Hari ini kembali berjalan sama seperti biasanya, tanpa berubah sama sekali. Kevin masih bersikukuh menjemputmu dan mengantarku ke kampus.
Selama di perjalanan, hanya keheningan yang berpendar di dalam mobil. Suara penyiar radio membuat suasana di antara kami tidak terlalu dingin dan beku. Aku menatap lurus ke depan, memperhatikan hiruk pikuk kota Jakarta. "Saya tidak suka melihat kamu berpakaian seperti itu." Suara Kevin membuat tatapanku berpaling. Kevin memperhatikan dari atas kepala hingga sebatas paha. Aku langsung menyilangkan kaki dan menutup pahaku yang terbuka bebas dengan telapak tangan. Dasar otak mesum! "Dasar modus! Ngakunya aja nggak suka, tapi matanya sampai mau keluar gitu!" Kevin mengerutkan kening. "Saya serius. Menurut saya, sangat penting bagi wanita untuk menutupi aurat mereka, agar terhindar dari kejahatan yang tidak terduga, serta godaan dari pria hidung belang." "Kamu nyindir diri sendiri ya?" Aku menyeringai geli. Merasa jenaka dengan perumpamaan Kevin ini. "Dengar ya, Tuan Kevin yang Terhormat, kamu nggak berhak mengatur cara berpakaianku. Kalau kamu nggak suka, ya kamu nggak perlu lihat dan tutup mata aja. Mau aku telanjang bulat sekalipun, itu bukan urusanmu!" seruku sarkastis dan blak-blakan. Kevin menghembuskan napasnya kuat-kuat dan mengelus dada. "Kemarin saya hampir tidak bisa tidur akibat ciuman kita kemarin," tuturnya mengubah topik pembicaraan. Sedangkan di kursiku, perlahan suara debar jantung mulai berdetak seirama. Aku masih mengabaikannya dan menatap ke arah lain. "Saya pernah berciuman dengan wanita, tapi tidak pernah merasakan hal aneh seperti waktu saya mencium kamu," lanjutnya kemudian diiringi dengan cengengesan geli. Aku mendengus jengkel sambil menggerutu, "Dasar playboy! Apa kamu suka menerobos bibir semua wanita sembarangan seperti itu?" Kevin memandangku sekilas dengan sebelah alis yang diangkat sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya. Dia menggeleng, "Tidak, hanya kamu." "Sorry, saat ini aku nggak mau membahas tentang ciuman kita." Lidahku terasa kelu. "Tapi aku ingin membahas tentang hubungan kita!" seruku tegas. "Bagus, saya juga ingin lebih banyak menjalin komunikasi dengan kamu. Apa yang ingin kita bahas? Baju pengantin, undangan pernikahan, atau pesta pernikahan?" "Bukan itu!" tandasku cepat. "Lantas?" Ia kembali menatapku sekilas. "Kamu nggak bisa nikahin aku begitu saja tanpa adanya lamaran resmi!" Kevin menginjak rem, saat mobilnya berhenti di perempatan lampu merah. Kali ini posisi tubuhnya bergeser hingga berhadapan denganku. "Maksud kamu seperti lamaran artis-artis Indonesia yang ditayangkan di televisi?" "Bukan! Itu terlalu mewah, aku yakin kalo kamu nggak akan sanggup mengeluarkan uang sebanyak itu. Pekerjaan kamu kan nggak jelas, hanya luntang lantung ngikutin anak gadis orang." Mendengar perkataan asalku, Kevin jadi tertawa terbahak-bahak. Sedetik kemudian dia langsung membungkam mulutnya rapat-rapat. Lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau, dia kembali menjalankan mobilnya. "Baiklah, masalah lamaran akan saya atur sesuai dengan yang kamu inginkan." Wajahmu memelas. "Aku ingin hadiah pernikahan yang mahal! Belikan aku mobil, kalo kamu ingin menikahiku." Kevin terkejut. Mungkin dia akan menilaiku sebagai cewek materialistis. Baguslah, sejujurnya itu yang aku inginkan. Lalu dia membatalkan perjodohan ini dan aku bisa hidup bebas. Tapi kenyataan selalu berbanding terbalik dengan yang aku inginkan. "Baiklah, saya tidak keberatan untuk masalah itu." Dengan mudahnya Kevin menerima permintaanku. Sungguh, benteng pertahanan Kevin begitu kukuh hingga aku kehabisan akal. "Kita nggak bisa menikah begitu saja, Kevin! Kamu nggak boleh sekadar mengiyakan permintaanku demi membuat pernikahan ini berjalan lancar. Pernikahan itu bukan mainan, kita nggak mungkin menikah tanpa ada waktu untuk saling mengenal satu sama lain. Aku belum tahu siapa kamu sebenarnya, sebaliknya kamu pun begitu!" Kevin terdiam lama. Suara klakson kendaraan di belakang kami saling sahut menyahut ketika jalan mulai macet. Sedangkan aku hanya bisa mengetuk-ngetuk jari sendiri di atas paha ketika suasana menjadi dingin mencekam hingga menusuk pembuluh darahku. "Oke," tutur Kevin akhirnya. "Besok jam tujuh malam saya jemput kamu di rumah. Kita akan melakukan beberapa kencan." "Apa?" ***** Malam ini aku mengenakan gaun yang pendeknya lagi-lagi di atas lutut. Gaunnya tampak sederhana, berwarna biru langit dan bermotif bunga. Kevin tidak suka melihatku memakai pakaian seksi, jadi aku lakukan semua itu untuk membuatnya resah dan jengah. Rambut hitam sepanjang dada, kubiarkan saja terurai indah. Tidak lupa pula pada sentuhan terakhir, kupoleskan lipstik berwarna merah terang milik Mama di bibirku. Nah, kalau begini kan cuakep! Pintu kamarku diketuk, Mama muncul dari balik pintu. "Ya ampun, Reyna, kamu mau kemana pakai pakaian seperti ini?" Air muka Mama terlihat sangat kaget. "Mau kencan sama si mas-mas," ucapku sembari mengambil tas tali dari atas meja rias dan menyampaikannya ke bahu. "Iya, Mama tahu kalo kamu ada kencan dengan Kevin, tapi kan, Rey ... Pakaian seperti ini sangat tidak pantas. Lipstik kamu juga ketebalan." Mama berhenti sejenak saat menatap lipstiknya berada di atas meja riasku. Mata Mama terbelalak kaget. "Astaghfirullah, Reyna! Kamu pakai lipstik kondangan Mama?" Aku cengengesan geli sebelum mengangguk, lalu keluar dari kamar dan menghampiri Kevin yang sudah menungguku di kursi teras. Kevin dan Papa sedang berbincang ria. Saat melihat kehadiranku, mereka berdua bangkit dari sofa. Aku melihat penampilan Kevin sambil menilai, laki-laki itu hanya memakai kaos yang ditutupi dengan jaket kulit serta celana denim. "Reyna, tidak bisa kamu ganti pakaian kamu dengan yang lain?" Suara Papa muncul di tengah keheningan kami. "Sorry, Pa, aku dan Kevin udah telat." Aku segera berjalan mendekati Kevin dan merangkul tangannya. Agar kami bisa cepat pergi sebelum negara api menyerang. "Kalau begitu saya permisi dulu, Om," pamit Kevin sambil menyalami tangan Papa dengan sopan. "Tolong jaga anak Om baik-baik ya, Kevin. Reyna ini adalah permata hati saya satu-satunya." "Om tenang saja, sekarang Reyna telah menjadi permata hati saya juga." Jujur, rasanya aku ingin muntah mendengar perkataan gombal Kevin. Setelah berpamitan, aku dan Kevin langsung keluar dari rumah menuju mobil Fortuner miliknya. Secara jantan, ia membuka pintu mobil untukku sebelum duduk di balik kemudi. "Kamu tidak kedinginan, Rey?" tanya Kevin di tengah perjalanan. Dia melihatku sedang memeluk diri sendiri akibat suhu AC mobil Kevin yang cukup kencang. "Nggak!" ketusku kembali bersikap seperti biasa. "Lipstik kamu terlalu merah, Rey. Apa tidak terlalu berlebihan?" Aku langsung menoleh, menatapnya kesal. "Kenapa? Bibirku seksi, ya?" Kevin tertawa, hampir terbahak. Kemudian menggeleng pelan. "Bukan itu maksudnya, tapi kalau orang lain melihat lipstik kamu, nanti mereka bisa berpikir kalau saya habis berbuat yang macam-macam sama kamu." Sialan! Aku mengambil tisu dari atas dasbor mobil Kevin dan membersihkan lipstik di bibirku dengan kasar. Lagi-lagi Kevin tertawa, lebih tepatnya menertawaiku. ***** Kencan pertama yang kami lakukan adalah dinner romantis di salah satu restoran. Lengkap dengan musik klasik yang mengalun indah serta bunga mawar di tengah-tengah meja. "Sebenarnya, tanpa harus berkencan seperti ini saya sudah tahu semua tentang kamu. Jadi alasan untuk mengenal satu sama lain dengan cara seperti ini ... terlalu klasik." Kevin memulai percakapan ketika pesanan sudah tersaji di hadapan kami. "Oh ya? Apa yang kamu ketahui tentangku sampai aku harus berkata fantastic?" Aku mengambil segelas air dan meneguknya perlahan. Kevin tersenyum simpul, dia mulai mengedikkan bahu. "Reyna Prameswari. Lahir di Bandung pada tanggal 19 Desember 1998. Anak bungsu dari dua bersaudara. Memiliki dua sahabat terbaik bernama Ivan dan Riska, kuliah fakultas ekonomi jurusan Akuntansi, sayangnya dia harus menjalani kehidupan yang penuh drama akibat masih menyandang status sebagai mahasiswa abadi, hampir enam tahun lamanya." Aku tersedak minumanku. Dari balik bulu mataku, aku bisa melihat kalau Kevin menyeringai penuh percaya diri. Tidak salah lagi kalau dia ini adalah seorang .... "Penguntit!" "Apa?" "Dasar penguntit!" Aku langsung melempar Kevin dengan serbet. Tapi, Kevin berhasil menangkapnya dengan sigap sebelum mendarat mulus di mukanya. "Selain itu, saya juga tahu semua tentang sikap kamu. Reyna adalah wanita yang pemarah, ganas, pembangkang, pemberontak, tengil, suka teriak-teriak, sering melotot. Tetapi, sebenarnya Reyna ini orang yang manja dan cengeng. Oh, satu lagi. Reyna orang yang sangat kasar." Kevin mengangkat serbetnya tinggi-tinggi, sebelum menaruhnya kembali ke atas meja. "Dari mana kamu tahu semua itu?" tanyaku curiga. "Saya punya teman bisa membaca karakter seseorang hanya dari mimik wajah. Jadi saya belajar dari dia dan karakter kamu sangat mudah ditebak." "Oh ya?" Aku mengangkat alis, jenaka. Dasar mas-mas tua sombong! Dia pikir dia tahu segalanya tentang aku? "Sebenarnya, kamu lupa satu hal tentang aku, Kevin. Kamu ingat? Reyna Prameswari itu adalah seorang wanita yang sangat jorok!" Apa Kevin lupa saat aku muntah tepat mengenai pakaiannya waktu itu? Jadi hari ini, malam ini, dan detik ini juga, Kevin harus sadar betapa joroknya aku sehingga tidak pantas bersanding dengannya. Sambil memandang Kevin tajam, aku mulai memakan steak menggunakan tangan, bukan garpu atau pisau. Mencincang-cincang dagingnya dengan jari dan melahapnya persis seperti orang kelaparan. Sambil berdecak menahan kelezatan, aku menjilati saus yang berlumuran di jariku. Masih kurang jorok? Aku langsung meneguk minumanku hingga airnya menetes sampai ke leher. "Kamu nggak makan?" tanyaku setelah puas melakoni peranku sendiri. Sedangkan Kevin, mulutnya terbuka lebar, menatapku sampai tercengang. "Aku sudah kenyang." Kevin menjatuhkan pisau dan garpu ke piring. Kemudian tersenyum. Senyuman terpaksa. "Oke, kalo begitu lebih baik kita pulang aja. Dan aku pikir, kamu akan ngomong sama Papa kalo perjodohan kita akan dibatalkan." Kevin menyesap minumannya dengan elegan. "Justru saya ingin membawa kamu ke tempat kencan kita selanjutnya." Aku terkesiap. "Kencan lagi? Ke mana?" Jadi, di sinilah kami akhirnya. Duduk di jajaran kursi paling depan studio bioskop sambil menonton film kartun. Tiket dan film, aku sendiri yang memilih. Awalnya aku dan Kevin beradu argumen karena dia ingin menonton film romantis atau horor. Tapi, aku sangat tahu bagaimana modus seorang laki-laki saat mengajak wanitanya nonton film dengan genre seperti itu. Mereka ingin mencuri kesempatan untuk merangkul, memeluk, atau mencium wanita di sebelahnya. Tidak akan aku biarkan Kevin mendapatkan bonus itu lagi. "Rey, kenapa kita tidak duduk di kursi belakang saja? Leherku pegal dan mataku sakit harus menonton dari jarak sedekat ini." Kevin mengeluh. "Bisa diam nggak, sih? Filmnya udah mulai," balasku ketus tetap fokus memandang layar lebar di hadapanku. Setelah film dimulai, aku segera melakoni peranku sebagai Reyna yang sinting. Ketika semua orang tertawa melihat adegan kartunnya, aku juga ikut tertawa kencang. Tidak tanggung-tanggung sambil berjingkrak-jingkrak di atas kursi, memukul-mukul tangan Kevin, menghentakkan kaki berulang kali ke lantai dan melipat kaki di kursi. Seseorang yang duduk di belakangku langsung menendang kursiku dan memperingati Kevin agar aku bisa nonton dengan tenang. Aku sengaja melakukan hal ini agar Kevin semakin malu dan jengah. Lalu kami pulang dan dia membatalkan perjodohan ini. Seharusnya seperti itu yang terjadi, namun ekspektasi memang tak seindah realita. Pada kenyataannya, Kevin langsung merangkul tubuhku, menarikku mendekat, dan menjepitku di antara ketiaknya. Kevin berhasil membungkam mulutku. "Duduk yang tenang," bisiknya tepat di telingaku, membuat tubuhku membeku dan bulu kudukku meremang. "Kalau begini kan nontonnya jadi enak dan nyaman," tuturnya lagi seraya mengusap lenganku berulang kali dengan lembut. Aku nyaris kehabisan napas akibat tingkah lakunya. Mungkin misi kali ini bisa dibilang gagal. Tapi, aku masih punya satu cara yang lebih ampuh lagi. Selesai menonton, aku langsung membawa Kevin ke sebuah kelab. Memaksanya untuk ikut duduk di hadapan meja bar. Kevin mengedarkan pandangan ke sekeliling. Merasa tidak nyaman. "Reyna, ayo kita pulang. Saya nggak suka kamu pergi ke tempat seperti ini." "Bawel amat, sih!" Aku mengabaikannya dan mengambil segelas minuman beralkohol, lalu menenggaknya hingga habis "Reyna, kalau Papa kamu tahu, dia bisa marah besar." Aku menenggak segelas minuman lagi. "Bagus dong, setelah Papa tahu kalau kamu biarin aku sampai mabuk, perjodohan kita bisa langsung dibatalkan." Kevin mengambil gelas ketigaku dan menaruhnya di atas meja. Kemudian menarik lenganku secara paksa. "Ayo kita pulang. Minuman itu tidak sehat untuk kamu! Itu minuman haram!" Di tengah lantai, aku langsung menepis sentuhan Kevin. Dentuman musik mulai menggema nyaring di penjuru ruangan. Kesadaranku sudah dipengaruhi oleh minuman beralkohol. Aku melingkarkan tanganku di leher Kevin, menariknya mendekat, dan menggoyangkan badan di hadapannya. Kepalaku mulai pusing, perutku kembali bergejolak. Sejujurnya aku tidak terbiasa meneguk minuman seperti itu. Alhasil, muntahku kembali keluar. Entah sudah berapa kali aku muntah mengenai pakaian Kevin. Laki-laki itu segera membawaku keluar kelab, mengusap tengkukku saat muntah kembali menyerang. "Kalo nggak bisa minum alkohol jangan dicoba-coba. Bukannya nambah pengalaman, tapi kamu justru nambah dosa. Biasanya juga sering minum air mineral, kan." Kevin mengulurkan sapu tangan miliknya. Aku segera menyeka mulutku dan menyikut perutnya. "Bisa diam nggak, sih! Telingaku sakit dengerin omelan kamu terus. Mau aku muntahin lagi kemeja kamu?" Bukannya takut, Kevin hanya mengedikkan bahu santai. "Mau kamu muntahin sampai seribu kali di kemeja saya, saya tidak akan membatalkan perjodohan itu, Reyna. Lebih baik saya antar kamu pulang sekarang, karena kamu harus mempersiapkan diri untuk acara lamaran besok malam." "Apa?!" 🎗️🎗️🎗️🎗️🎗️Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena
Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "
"Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i
Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor
Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon
Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya