Aku terus meracau tidak jelas selama di perjalanan, sedangkan Kevin hanya menanggapi semua omelanku dengan senyuman, anggukan, dan tawa. Hampir satu jam lebih menempuh perjalanan tanpa terkena macet, akhirnya mobil yang dikendarai Kevin berhenti di depan rumah berpilar putih dengan halaman yang cukup luas.
“Kita sudah sampai.” Aku enggan menggubris maupun menoleh. Tanganku terus mencengkeram seatbelt. “Kamu tidak mau tidur di sini semalaman kan, Reyna?” Kevin berujar tenang. Aku segera menoleh ke samping menatapnya dengan wajah murka maksimal. “Kamu menculikku!” Kevin tertawa sekilas. “Saya tidak menculik kamu, Reyna. Saya cuma bawa kamu ke rumah Nenek. Memangnya salah?” “Kenapa nggak bilang dulu kalo mau bawa aku pergi sejauh ini? Kamu udah bohong sama aku, jadi tetap aja ini namanya penculikan! Aku nggak bisa tinggal diam, aku harus bilang rencana buruk kamu sama Mama dan Papa. Pinjam handphone!” Sialnya lagi, ponselku kehabisan baterei. Jadi aku tidak bisa menghubungi Papa dan mengadukan kalau laki-laki yang telah dijodohkan denganku itu adalah penculik. Lagi-lagi Kevin tersenyum jenaka. “Mana ada orang minta tolong, terus pinjam handphone si penculik.” Aku terdiam dan merengut. Benar juga kata Kevin. Kenapa aku dilahirkan dengan kapasitas otak yang begitu kecil seperti ini? “Pokoknya aku mau pulang!” Akhirnya yang aku lakukan hanya meronta dan menangis. “Reyna, tenang. Saya sudah minta izin sama Papa dan Mama kamu untuk membawa kamu pergi dan mereka setuju. Karena saya tidak akan berani membawa anak gadis orang pergi tanpa izin dari orang tuamu.” Aku menatap manik mata Kevin lekat-lekat, tersirat kejujuran di sana. Setelah dibujuk berulang kali, akhirnya Kevin berhasil membawaku masuk ke dalam rumahnya. Di sana, aku langsung disambut oleh Nenek dan Wanda. Mereka terlihat senang dengan kehadiranku. Selagi Kevin menuju ke dapur bersama adik kesayangannya, Nenek membawaku mengelilingi rumah mereka. Melewati koridor yang berimpitan oleh dua dinding, kiri dan kanan. Serta ada beberapa foto yang ditempel di dinding tersebut. Aku mengamati foto kedua orangtua Kevin, berusaha mengingat dan mengenal mereka. Tapi aku tidak bisa mengingat apa-apa. Wajah orangtuanya terasa sangat asing. Sekarang aku mengerti, mengapa Wanda dan Kevin tidak begitu mirip meskipun mereka saudara kandung. Ternyata, wajah Kevin lebih mewarisi garis wajah ayahnya yang keturunan Timur Tengah. Sedangkan Wanda lebih menyerupai ibunya yang asli Indonesia dan memiliki gestur wajah ayu yang sangat khas Jawa. “Kevin itu anaknya baik lho, Rey.” Suara nenek mendadak muncul di belakangku, membuatku tersentak kaget. Beliau langsung mengambil tempat di sebelahku, ikut memandang foto Kevin waktu bayi. “Awalnya orangtua kamu dan orangtua Kevin sering bersenda gurau untuk menjodohkan kalian. Kedua orangtua Kevin meninggal, ketika umurnya dua puluh tahun dan Wanda empat belas tahun. Pada saat itu, kami semua sama sekali tidak menyangka kalau Faizal akan menuliskan wasiat untuk menikahkan kamu dengan Kevin ketika umurmu sudah dua puluh lima tahun. Kevin itu anak yang patuh kepada orangtuanya. Dia tidak pernah membantah ataupun menolak permintaan orangtuanya, termasuk untuk menikah dengan kamu.” Mendengar penjelasan Nenek, mendadak bulu-bulu tanganku meremang. Saat kutatap wajah keriput itu, air muka Nenek terlihat sendu. Otakku terus berputar mencari cara untuk menolak perjodohan ini secara halus. Setidaknya aku bisa memberikan pengertian kepada Nenek. “Ta-tapi, Reyna tidak mencintai Kevin, Nek.” Aku memberanikan diri angkat suara. “Anakku Reyna ….” Tiba-tiba Nenek merangkul bahuku, memaksaku agar berhadapan dengannya. “Mungkin sulit bagi kamu untuk menerima semua kenyataan ini, tapi Nenek bisa menjamin kalau Kevin itu laki-laki yang baik dan lemah lembut. Kevin akan menjaga kamu sepenuh hati tanpa merusak barang satu senti pun. Pernikahan Kevin adalah salah satu hal yang paling Nenek impikan selama ini.” Tersimpan banyak permohonan di manik mata nenek. “Tetap aja Reyna nggak mau menikah dengan Kevin. Sampai kapan pun Reyna tidak akan bisa menerima Kevin sebagai suami Reyna. Reyna, juga tidak bisa mencintai Kevin sepenuh hati meskipun kami akan hidup sampai seribu tahun lamanya. Tolong jangan paksa Reyna menikah dengan Kevin, Nek!” Aku langsung membentak Nenek dengan kasar tanpa tahu efek samping yang akan terjadi nanti. Nenek terperangah kaget. Ia menyentuh dadanya sambil bernapas sesak. “Tapi, Rey—“ Nenek berusaha mencengkeram lengan bajuku, segera kutepis menjauh. Aku masih melontarkan segala kegundahan yang ada di hatiku. “Maaf, Nek, tapi keputusan Reyna sudah bulat. Pokoknya Reyna akan membatalkan perjodohan ini! Reyna nggak mau menikah dengan cucu Nenek!” Suara hantaman yang cukup keras membuatku terperanjat. Nenek pingsan dan terjatuh di lantai. Aku meneguk lidah ngeri dan mulai ketakutan. “Nenek!” Wanda hadir dan menghampiri neneknya. “Nenek kenapa, Mbak Rey?” tanya Wanda sambil menengadahkan kepala menatapku, yang hanya bisa diam mematung. Aku menggeleng pelan, menutup mulut dengan telapak tangan. Perlahan melangkah mundur. Rasa bersalah langsung menggelayutiku. Ketika aku berbalik badan ingin kabur, Kevin sudah berada di hadapanku. Ia langsung menarik tanganku, membawaku pergi menjauh. “Ayo ikut saya!” Kami berjalan menuju halaman belakang, berhenti di lorong teras yang tampak sunyi dan sepi. Melihat tatapan tidak bersahabat dari Kevin, semakin membuatku ketakutan. “Bukan aku yang menyebabkan Nenek pingsan.” Tangisku meledak seketika. “Jantung Nenek lemah. Beliau tidak bisa mendengar atau mengetahui berita yang mengejutkan. Sekarang jujur, apa yang kamu katakan pada Nenek sampai beliau pingsan?” tanya Kevin berusaha setenang mungkin. Sama sekali tidak terdeteksi nada kemarahan. Sangat bertolak belakang dengan tatapannya. “Aku—“ Suaraku tercekat di tenggorokan, terisak. “Aku bilang, kalau aku ingin membatalkan perjodohan ini. Aku nggak mau nikah sama kamu!” “Astaga, Reyna.” Kevin mendesah, menarik sejumput rambutnya ke belakang. “Kamu sadar tidak, apa yang telah kamu ucapkan di hadapan Nenek?” Aku hanya mampu mengangguk lugu, enggan menatap mata Kevin yang berkobaran api. “Sadar, sangat sadar malahan. Tapi, hanya ini satu-satunya cara untuk membatalkan perjodohan kita—“ “Dengan cara membunuh nenek saya?” Potong Kevin cepat. “Aku nggak bunuh nenek kamu! Bukan salah aku kan, kalo Nenek kamu itu punya penyakit jantung!” Seruku sarkastis. Kini kesedihan itu sudah tergantikan dengan amarah. Kevin menghela napas berat, disentuhnya kedua lenganku lembut. “Kamu boleh memaki, membenci, ataupun menghina saya. Tapi, tolong, jangan pernah lakukan hal itu terhadap Nenek. Hanya beliau satu-satunya orangtua yang saya miliki di dunia ini. Buatlah beliau bahagia dengan pernikahan kita, Reyna.” Nada permohonan begitu kentara. Tatapan Kevin nelangsa. “Terus, siapa yang akan memikirkan kebahagiaanku? Nggak ada, Kevin! Nggak ada yang peduli sama perasaanku! Papa, Mama, Mas Emil, dan kamu—kalian semua egois!” Aku mulai naik pitam. Kevin diam. Mengamati butiran air mata yang membasahi wajahku. Kemudian telapak tangannya yang kasar mulai membelai pipiku lembut, membasuhnya perlahan. “Jangan menangis, Reyna. Saya peduli dengan perasaan kamu. Bahkan saya berjanji untuk membuat kamu bahagia.” “Omong kosong, Kevin! Aku tahu betul laki-laki seperti apa kamu ini. Setelah berhasil menikah denganku dan mengabulkan wasiat kedua orangtuamu, kamu akan langsung pergi meninggalkan aku. Kamu akan menyakiti perasaanku dan nasib kita akan berujung pada perceraian! Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup, itupun dengan laki-laki yang aku cintai sepenuh hati.” “Kamu meragukan kesetiaan saya?” Kevin merasa terhina. “Saya juga tidak ingin adanya perceraian, Reyna. Impian kita sama, menikah sekali seumur hidup.” Meskipun tubuh Kevin lebih jangkung, tetapi tidak menyurutkan keberanianku untuk menatapnya dengan menantang. Sedangkan laki-laki itu masih berusaha keras menelan semua omongan kasarku dan menganggap hanya candaan semata. Kevin menarik sudut bibirnya dan menyeringai geli. “Saya tidak akan pernah melepaskan kamu, Reyna Prameswari.” “Aku tegaskan sekali lagi sama kamu. Sampai kapan pun, meskipun laki-laki di dunia ini tinggal kamu seorang. Demi langit dan bumi, aku tidak mau men—“ Ucapanku terhenti ketika bibir Kevin langsung menc**m bibirku. Aku berusaha keras mendorong tubuh Kevin, namun tubuhku sendiri sudah lemah dan tidak berdaya. Seketika lututku terasa lemas. Beberapa detik kemudian, c***an kami berakhir. Mata kami saling beradu pandang. Napas kami saling memburu. Ayo, cepat Reyna, hajar si tua ini! Tendang pahanya, tendang selang***annya, tendang lututnya, tendang tulang keringnya, injak kakinya! Sayangnya pikiranku tidak sejalan dengan tekadku. Bagaimana bisa aku menghajar Kevin, di saat tubuhku tidak bisa digerakkan seolah-olah lumpuh total. Kalau saja tangan Kevin tidak memeluk pinggangku, mungkin aku sudah teronggok di lantai bagaikan mayat. “Saya tidak ingin Nenek mendengar kalimat itu lagi, Rey. Sekeras apa pun kamu menolak rencana besar ini, saya akan tetap menikahi kamu,” katanya tegas, mantap dan lantang. “Duh, senangnya melihat kalian berdua akur.” Tiba-tiba saja suara Nenek muncul. Aku langsung menoleh, memperhatikan tubuh Nenek dari atas kepala sampai ujung kaki, beliau terlihat sehat-sehat saja. “Lho, Nenek kok ada di sini? Bukannya tadi—“ Nenek hanya tersenyum mencurigakan, kemudian menatap wajah cucunya. “Gimana akting Nenek, Vin? Berhasil, ya?” Alis Nenek naik turun, tampak seringai jenaka di sana. “Kayaknya berhasil deh, Nek. Lihat tuh, tadi Mas Kevin sama Mbak Reyna sampai ehem-ehem gitu.” Wanda yang berdiri di sebelah Nenek ikut bersuara. Spontan aku menundukkan kepala malu, menggigit bibir dan tanpa disadari muncul rona merah di kedua pipiku. Sudah pasti Wanda dan Nenek telah menangkap basah kami sedang berciuman. “Sebenarnya ini ada apa, sih? Kenapa Nenek tiba-tiba udah sadar aja?” gumamku, nyaris tanpa suara. “Kata Kevin, kalian berdua lagi marahan, ya?” “Hah?” Bengong, aku melirik Kevin yang tidak balas menatapku. Laki-laki itu justru terlihat santai dan tenang. “Jadi, sebelum kalian mampir ke sini, Kevin sempat menghubungi Nenek terlebih dahulu. Kevin bilang, kalau Reyna lagi marah memang suka bicara asal dan melantur. Nenek harus pura-pura pingsan aja supaya kamu merasa bersalah dan maafin Kevin. Emangnya kalau Reyna lagi ngambek suka ngomong serem kayak gitu, ya? Ih, Nenek hampir jantungan beneran lho tadi, Rey.” Akting? Pura-pura? Luar biasa sekali! Kevin menganggap semua perkataanku tadi hanya lelucon semata. Dia sudah berhasil mengambil alih perhatian Nenek. Saat Nenek dan Wanda undur diri dalam keadaan masih menyeringai geli, kini aku kembali menyerang Kevin dengan pelototan tajam. “Bagus sekali permainan kamu!” Kevin hanya menampilkan wajah tanpa dosa. “Nenek saya memang punya penyakit jantung, Rey. Saya sengaja mengalihkan perhatian Nenek dengan cara seperti ini. Jangan sampai kamu berkata seperti itu lagi dan buat Nenek sampai pingsan beneran.” Aku mengatup rahangku hingga gigiku ber gemeletuk. “Kamu memang nggak bikin Nenek sampai jantungan, tapi kamu udah berhasil bikin aku asli jantungan!” “Oh ya?” Kevin mengangkat alisnya. “Ya! Kamu tadi sudah—um … men … udah—“ suaraku terbata-bata saat mengingat ciuman intens kami tadi. “Udah apa, Reyna?” Kevin melangkah maju, membuatku terkesiap dan berjalan mundur hingga tubuhku menabrak dinding. "Jangan mendekat!" Aku mengancamnya dengan telunjuk. Kevin hanya terkekeh geli, dia sama sekali tidak merasa terancam. Kemudian, jarinya mulai mengangkat daguku dan menatap wajahku lekat-lekaf. "Wajahmu merona, Reyna," goda Kevin, lagi-lagi mengeluarkan jurus senyum menyebalkan itu lagi. 🎗️🎗️🎗️🎗️🎗️Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena
Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "
"Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i
Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor
Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon
Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya