SUAMI YANG SEMPURNA

SUAMI YANG SEMPURNA

last updateTerakhir Diperbarui : 2024-09-03
Oleh:  Princess AldanOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
71Bab
573Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Sinopsis

Kata orang-orang di sekelilingku, Kevin itu sempurna. Hanya dia yang mampu membuatku seorang Reina yang tak kunjung lulus skripsi tersadar untuk menjadi Reina yang lebih baik. Bahkan, keluarga besarku sangat antusias untuk menjodohkanku dengannya, membuatku sebal setengah mati. Padahal aku sudah mencintai Arman, pacarku saat ini. Namun sialnya, Arman malah membuatku semakin terjebak pada situasi perjodohan ini. Sampai akhirnya pernikahanku dengan Kevin pun terjadi. Saat kami memutuskan untuk saling berdampingan sebagai suami istri, berbagai masalah pun datang bertubi-tubi ….

Lihat lebih banyak

Bab 1

PROLOG

REYNA

Siang hari itu keadaan rumah terlihat ramai. Bendera kuning sudah ditancapkan di depan pagar. Banyak orang yang memakai peci dan kerudung mulai berdatangan. Laki-laki berusia dua puluh tahun tersebut duduk di hadapan Faizal dan Mayang sambil menangis meraung-raung. Kini sudah terlambat untuk menyesali segala perbuatannya yang mengakibatkan kedua orang tuanya meninggal dunia.

Sedangkan di depan pintu, muncul rombongan dari teman-teman orang tuanya yang ikut melayat. Deni membawa istri serta anaknya yang bernama Reyna yang masih berusia lima belas tahun, masuk ke dalam rumah.

“Pa, ini yang meninggal siapa, sih?” tanya Reyna dengan polosnya saat itu.

“Mereka adalah teman baik Papa, Rey. Dan yang lagi nangis di sana itu adalah anaknya.” Deni menunjuk ke anak laki-laki yang masih berlutut di depan jenazah orang tuanya.

“Om Faizal dan keluarganya itu baik banget sama kita, coba deh kamu samperin anaknya. Dia pasti terpukul sekali,” ujar papanya lagi.

Reyna menurut begitu saja, dia segera berjalan pelan dan duduk di atas lantai bersama anak laki-laki tersebut.

Diambilnya tisu dari dalam tas dan langsung Reyna berikan kepadanya. “Mas yang sabar ya, jangan nangis. Pasti orang tua Mas sudah tenang di samping Allah.”

Kevin menoleh, menatap wajah gadis yang duduk di sebelahnya dengan tatapan nanar. Mata gadis itu terlihat tulus dan teduh. Untuk pertama kalinya Kevin kembali merasakan hatinya begitu nyaman.

Kevin menerima tisu tersebut sambil menghapus air matanya. “Terima kasih.”

“Sama-sama, Mas.” Seulas senyum manis menyungging di bibir Reyna. Reyna merangkul tubuh Kevin hangat, menepuk punggungnya pelan. Dan di saat itu, hari itu, detik itu juga, mendadak hati Kevin mulai membaik. Dia tidak lagi menangis meratapi kepergian kedua orang tuanya. Dia duduk sambil membuka buku Yasin, mengirimkan doa-doa untuk kepergian orang tuanya.

Namun siapa yang mengira, jika semesta kembali mempertemukan Kevin dan Reyna dalam keadaan yang sudah berbeda.

*****

Aku menyingkap gorden, mengizinkan bias cahaya mengintip dari jendela kamarku. Di halaman depan rumah sudah terparkir sebuah mobil Fortuner, terlihat sangat asing. Sudah jelas kalau mobil itu bukan milik keluargaku.

Dengan malas, aku langsung menyeret langkahku keluar dari kamar dan menuju dapur. Tatapanku mengernyit, saat melihat secarik kertas berada di atas meja makan bersamaan dengan sarapan pagi yang susah disediakan oleh Mbak Sri.

‘Mama, Papa dan Sri lagi belanja ke pasar. Kalau ada tamu, kamu suruh masuk aja, ya.’

Aku meremukkan kertas tersebut dan melemparnya ke dalam tempat sampah. Kemudian meneguk segelas susu hingga habis. Tidak berapa lama waktu berselang, bel rumah terus berbunyi nyaring dan mampu membuatku dongkol.

“Iya, sabar!” Aku berteriak dan berjalan menuju pintu depan rumah.

Saat pintu terbuka, aku tercengang melihat seorang tamu asing telah berdiri di depan pintu rumahku.

Laki-laki di hadapanku ini tinggi menjulang, kira-kira sampai 180 senti, badannya kekar dan tegap. Warna kulitnya sawo matang, hidungnya mancung, bola matanya hitam namun tajam. Aku meneguk ludah ngeri. Wow, bulu tangannya agak lebat. Mirip gorila. Laki-laki itu memakai kaos Polo putih berkerah dan celana denim. Serta kacamata Oakley yang disematkan di antara kerah kaosnya.

Otakku langsung merespons dengan cepat. Mungkin pemilik mobil Fortuner tersebut adalah laki-laki ini.

“Maaf, mau cari siapa?” tanyaku malas dengan punggung yang bersandar di daun pintu, mulut menguap, dan satu tangan mengucek mata.

Namun tidak ada tanggapan yang aku dapatkan. Justru hening dan senyap saat laki-laki itu sedang memperhatikan penampilanku dari atas kepala hingga ujung kaki. Pandangannya antara jijik atau geli.

Aku memakai piyama berwarna hitam putih, persis seperti papan catur dan rambutku kusut masai.

“Halooow!” Aku mengibaskan tangan. “Anda ini temannya Mas Emil, ya? Kalo mau cari dia sih, jangan di sini, tapi di rumah barunya. Sekarang dia tinggal sama istri dan anaknya.”

Jika diperhatikan dengan teliti, wajah tamu yang tidak diundang ini hampir seumuran dengan Mas Emil, kakak kandungku.

Lagi-lagi hening yang aku dapatkan. Aku nyaris berpikir, kalau laki-laki di hadapanku ini punya kendala dengan pendengaran.

“Ya elah, ini orang budeg atau apa, sih? Kalo mau cari Mas Emil, dia lagi nggak ada. Jadi lain kali aja ya, datangnya. Bye!”

Aku sudah hampir menutup pintu rumah, tapi laki-laki itu segera menahannya. “Tunggu sebentar. Kedatangan saya ke sini ingin bertemu dengan keluarganya Om Deni.”

“Oh, jadi Mas temannya Papa? Tapi dilihat dari penampilannya sih, Mas lebih mirip temannya Mas Emil. Kalo Papa sih, ketuaan.”

Laki-laki itu hanya menaikkan kedua alisnya tampak bingung. “Jadi, kamu anaknya Om Deni?”

Ragu-ragu aku mengangguk. “Yap.”

“Kamu Reyna. Benar, kan?”

Aku kembali mengangguk dengan dahi berkerut. “I-iya.”

Segaris senyuman manis tercetak di bibirnya. Dia pun langsung mengulurkan tangan. “Perkenalkan, nama saya Kevin.”

Bukannya membalas, sontak hal itu justru membuatku membelalakkan mata, terkejut.

“Maaf, Mas. Mungkin Anda salah orang!”

Aku langsung menutup pintu dan berlari pontang panting masuk ke dalam kamar. Kemudian bersembunyi di balik selimut.

Jantungku terpacu lebih cepat, tubuhku menggigil. Ini berita buruk! Kenapa mas-mas itu bisa tahu namaku? Jangan-jangan dia seorang penguntit, perampok, atau pedagang anak perawan.

*****

Arman :

‘Aku udah nunggu di depan gerbang rumah kamu.’

Setelah mendapatkan pesan singkat itu, sambil menjinjing sepasang high heels, aku berjalan mengendap-endap melewati ruang tamu. Berhubung ini Sabtu malam, waktunya aku dan Arman menghabiskan waktu bersama, berpacaran seperti anak muda lainnya. Entah apa yang membuat hatiku sudah sangat yakin memilih Arman untuk melanjutkan hubungan yang lebih serius lagi. Padahal kami baru berpacaran selama tiga bulan.

“Reyna, kamu mau ke mana?*

Suara berat namun tegas dari seorang pria, langsung menghentikan langkahku. Aku menggigit bibir seiring dengan jantung yang berdetak cepat. Perlahan tapi pasti, aku mulai membalikkan badan dan bertemu pandang dengan Papa yang tengah duduk di sofa. Tatapan beliau sungguh tidak bersahabat.

“Kok diam? Papa tanya, kamu mau ke mana?” tanya Papa lagi, sekadar berbasa basi hanya untuk memancing jawabanku. Sejenak, Papa melepaskan kacamatanya, lalu membersihkan lensanya dan memakainya kembali.

“Reyna ada janji dengan teman, Pa,” balasku berbohong, seolah melupakan peraturan baru dari Papa—yang melarangku untuk keluar malam hari sejak negara skripsit itu menyerang.

You khow, saat ini aku masih mengabdi menjadi mahasiswi abadi di salah satu universitas swasta tempatku menuntut ilmu. Honestly, di saat umurku telah menginjak dua puluh empat tahun. Ralat, hampir dua puluh lima tahun. Bahkan aku sudah tidak peduli lagi dengan skripsi yang selalu menghantui hidupku selama hampir enam tahun kuliah.

Bagiku, masih menyandang status sebagai mahasiswa, itu berarti akan terhindar dari yang namanya pengangguran—yang kini sudah padat merayap di Indonesia. Jadi untuk saat ini aku terbebas dari yang namanya pengangguran.

“Kamu lupa dengan peraturan baru kita, Reyna? Papa tidak akan mengizinkan kamu keluar malam, sampai kamu wisuda nanti.”

Wajahku langsung berubah drastis jadi merengut sebal. Peraturan apa ini? Bahkan aku saja tidak tahu kapan bisa menyelesaikan skripsi, meskipun hidupku sudah dihantui oleh drop out. Aku tidak peduli. Sungguh tidak peduli. Aku sudah lelah berada di kampus dan duduk di antara adik-adik junior.

“Ayolah, Pa. Reyna nggak bisa terus-terusan mengurung diri di kamar tiap malam. Aku bisa stress! Papa juga nggak mau kan, lihat anaknya jadi stress?”

Papa menggeleng kepala. “Reyna, Reyna. Ternyata kamu lebih stress karena tidak bisa keluar malam daripada tidak kelar kuliah? Sebenarnya, pemikiran kamu itu ada di mana sih, Nak?”

Aku mulai naik pitam. Emosiku memang sering pasang surut. “Oh, Papa mau bilang kalo Reyna ini nggak punya pemikiran dan bodoh. Makanya Rey nggak selesai-selesai kuliah, gitu?”

“Papa tidak pernah berkata kalau anak Papa itu bodoh,” ujar Papa dengan wajah polos sambil mengangkat bahu.

“Ah, sudahlah, Pa. Rey lelah setiap hari harus berdebat dengan pembahasan yang sama. Intinya, malam ini Rey ingin refreshing otak dulu sama teman-teman. Dan Papa Haris ngizinin Rey untuk pergi!” Intonasi ku terdengar tinggi dan menekan.

“Maaf, Rey, untuk kali ini akan Papa tegaskan. Kamu tidak boleh keluar dari rumah!” Suara Papa tidak kalah kerasnya, sama sekali bukan Papa yang biasanya dan berhasil membuat bulu tanganku meremang karena ketakutan.

“Oh iya, Reyna. Papa ingin menanyakan satu hal penting kepada kamu,” lanjut Papa lagi.

“Hm?” gumamku malas. Hilang sudah mood-ku saat ini.

“Kenapa kamu tidak mempersilakan Kevin untuk masuk ke dalam rumah kita, Rey?”

Seketika dahiku berkerut, berusaha mengingat nama Kevin yang terasa begitu familiar.

Kevin, Kevin, Kevin, Kevin.

Oh, si mas-mas yang tadi pagi ke rumah itu, ya?

“Pa, Reyna aja nggak kenal sama dia. Dan Reyna nggak mau ambil resiko untuk masukin orang asing ke dalam rumah kita.”

“Tapi, Rey, Kevin itu tamu kita yang sangat penting, tamu penting kamu juga. Masa sih kamu nggak ingat sama si Kevin?”

“Idih! Emangnya dia penting amat harus diingat-ingat.” Aku mengerucutkan bibir sebal. Aku ini tipe orang yang paling tidak suka membahas orang yang tidak kukenal.

“Hm….” Papa menggaruk dagunya yang tidak gatal. “Ya sudahlah, kalau kamu tidak ingat. Nanti kamu juga akan kenal dengan Kevin, karena besok dia akan datang ke rumah kita. Jadi tolong bersikap baiklah dengan dia, mengerti? Sekarang kembali masuk ke kamar kamu.”

“Tapi, Pa, izinin Reyna pergi malam ini dengan teman-temanku, dong.”

“Papa tidak mengizinkan kamu pergi. Sekarang, masuk ke dalam kamar.”

Wajahku memelas, mataku sudah berkaca-kaca. “Pa—“

“Anakku, Reyna Prameswari. Papa bilang masuk ke kamar kamu, SE-KA-RANG!!”

Dengan berderai air mata, aku berlari menuju kamar dan membanting pintu. Aku langsung melempar tubuh ke atas ranjang. Aku menangis sesenggukan. Tak lama waktu berselang, ponselku berdering nyaring. Arman..

“Kami di mana, Rey? Aku udah nunggu di depan gerbang rumah kamu dari tadi.”

“Papa nggak izinin aku keluar, By,” balasku masih terisak.

“Terus gimana?? Apa kita batalin aja rencana malam ini?”

Kutatap layar ponsel dengan jengkel. Pake inisiatif dikit, kek, kamu kan bisa datang ke rumah terus minta izin sama Papa untuk bawa aku pergi. Dasar cowok pengecut!

“Nggak! Aku tetap mau pergi dengan kamu malam ini!” Aku mulai keras kepala.

Arman mendesah panjang. “Tapi gimana caranya, Reyna? Aku nggak berani menghadapi Papa kamu. Papa kamu tuh mantan anggota TNI. Aku takut.”

Memang benar, Papa memiliki gestur tubuh yang tinggi dan tegap. Wajahnya begitu tegang, kumisnya tebal. Papa adalah seorang yang memiliki peranan penting di Indonesia, mengabdi untuk negara hingga mampu bertaruh dengan nyawa, yakni sebagai anggota TNI. Semua orang yang melihat Papa, pasti akan langsung lari terbirit-birit akibat kumis tebalnya. Meskipun sikap Papa keras, tubuh Papa sekuat baja, tetap saja hatinya selembut Hello Kitty. Tapi sepertinya, pengecualian untuk malam ini.

“Pokoknya kamu tetap tunggu aku di depan, oke? Aku tahu gimana caranya agar bisa keluar dari rumah ini. See you soon, baby. Mwah.” Sambungan terputus secara sepihak.

Tergesa-gesa, aku mulai mencari kain panjang yang sudah disimpulkan hingga bermeter-meter dari dalam lemari. Selembar kain yang selalu kupakai setiap kali ingin kabur dari rumah. Setelah mengikat kain itu di tiang balkon, lantas aku pun segera turun seperti Tarzan, tanpa menimbulkan suara gaduh.

Kakiku berhasil berpijak pada tanah. Kemudian dengan cara mengendap-endap aku lari keluar dari pintu gerbang rumahku.

“Cepat jalan!” pintaku setelah berhasil masuk ke dalaM mobil Arman dan duduk di jok kursi penumpang dengan napas terengah-engah.

Arman tersenyum senang. “Siap, Tuan Putri.”

Dentuman lagu Black Eyed Peas mulai terdengar kencang dari stereo mobil Arman. Mobilnya pun melesat jauh meninggalkan rumah dengan kecepatan tinggi.

Kami bersorak girang, tertawa lepas dan berteriak bebas. Inilah malam kebebasanku tanpa omelan dari Papa, tugas kuliah, dan pemikiran kolot akan wisuda.

🎗️🎗️🎗️🎗️🎗️

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
71 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status