Kata orang-orang di sekelilingku, Kevin itu sempurna. Hanya dia yang mampu membuatku seorang Reina yang tak kunjung lulus skripsi tersadar untuk menjadi Reina yang lebih baik. Bahkan, keluarga besarku sangat antusias untuk menjodohkanku dengannya, membuatku sebal setengah mati. Padahal aku sudah mencintai Arman, pacarku saat ini. Namun sialnya, Arman malah membuatku semakin terjebak pada situasi perjodohan ini. Sampai akhirnya pernikahanku dengan Kevin pun terjadi. Saat kami memutuskan untuk saling berdampingan sebagai suami istri, berbagai masalah pun datang bertubi-tubi ….
Lihat lebih banyakREYNA
Siang hari itu keadaan rumah terlihat ramai. Bendera kuning sudah ditancapkan di depan pagar. Banyak orang yang memakai peci dan kerudung mulai berdatangan. Laki-laki berusia dua puluh tahun tersebut duduk di hadapan Faizal dan Mayang sambil menangis meraung-raung. Kini sudah terlambat untuk menyesali segala perbuatannya yang mengakibatkan kedua orang tuanya meninggal dunia. Sedangkan di depan pintu, muncul rombongan dari teman-teman orang tuanya yang ikut melayat. Deni membawa istri serta anaknya yang bernama Reyna yang masih berusia lima belas tahun, masuk ke dalam rumah. “Pa, ini yang meninggal siapa, sih?” tanya Reyna dengan polosnya saat itu. “Mereka adalah teman baik Papa, Rey. Dan yang lagi nangis di sana itu adalah anaknya.” Deni menunjuk ke anak laki-laki yang masih berlutut di depan jenazah orang tuanya. “Om Faizal dan keluarganya itu baik banget sama kita, coba deh kamu samperin anaknya. Dia pasti terpukul sekali,” ujar papanya lagi. Reyna menurut begitu saja, dia segera berjalan pelan dan duduk di atas lantai bersama anak laki-laki tersebut. Diambilnya tisu dari dalam tas dan langsung Reyna berikan kepadanya. “Mas yang sabar ya, jangan nangis. Pasti orang tua Mas sudah tenang di samping Allah.” Kevin menoleh, menatap wajah gadis yang duduk di sebelahnya dengan tatapan nanar. Mata gadis itu terlihat tulus dan teduh. Untuk pertama kalinya Kevin kembali merasakan hatinya begitu nyaman. Kevin menerima tisu tersebut sambil menghapus air matanya. “Terima kasih.” “Sama-sama, Mas.” Seulas senyum manis menyungging di bibir Reyna. Reyna merangkul tubuh Kevin hangat, menepuk punggungnya pelan. Dan di saat itu, hari itu, detik itu juga, mendadak hati Kevin mulai membaik. Dia tidak lagi menangis meratapi kepergian kedua orang tuanya. Dia duduk sambil membuka buku Yasin, mengirimkan doa-doa untuk kepergian orang tuanya. Namun siapa yang mengira, jika semesta kembali mempertemukan Kevin dan Reyna dalam keadaan yang sudah berbeda. ***** Aku menyingkap gorden, mengizinkan bias cahaya mengintip dari jendela kamarku. Di halaman depan rumah sudah terparkir sebuah mobil Fortuner, terlihat sangat asing. Sudah jelas kalau mobil itu bukan milik keluargaku. Dengan malas, aku langsung menyeret langkahku keluar dari kamar dan menuju dapur. Tatapanku mengernyit, saat melihat secarik kertas berada di atas meja makan bersamaan dengan sarapan pagi yang susah disediakan oleh Mbak Sri. ‘Mama, Papa dan Sri lagi belanja ke pasar. Kalau ada tamu, kamu suruh masuk aja, ya.’ Aku meremukkan kertas tersebut dan melemparnya ke dalam tempat sampah. Kemudian meneguk segelas susu hingga habis. Tidak berapa lama waktu berselang, bel rumah terus berbunyi nyaring dan mampu membuatku dongkol. “Iya, sabar!” Aku berteriak dan berjalan menuju pintu depan rumah. Saat pintu terbuka, aku tercengang melihat seorang tamu asing telah berdiri di depan pintu rumahku. Laki-laki di hadapanku ini tinggi menjulang, kira-kira sampai 180 senti, badannya kekar dan tegap. Warna kulitnya sawo matang, hidungnya mancung, bola matanya hitam namun tajam. Aku meneguk ludah ngeri. Wow, bulu tangannya agak lebat. Mirip gorila. Laki-laki itu memakai kaos Polo putih berkerah dan celana denim. Serta kacamata Oakley yang disematkan di antara kerah kaosnya. Otakku langsung merespons dengan cepat. Mungkin pemilik mobil Fortuner tersebut adalah laki-laki ini. “Maaf, mau cari siapa?” tanyaku malas dengan punggung yang bersandar di daun pintu, mulut menguap, dan satu tangan mengucek mata. Namun tidak ada tanggapan yang aku dapatkan. Justru hening dan senyap saat laki-laki itu sedang memperhatikan penampilanku dari atas kepala hingga ujung kaki. Pandangannya antara jijik atau geli. Aku memakai piyama berwarna hitam putih, persis seperti papan catur dan rambutku kusut masai. “Halooow!” Aku mengibaskan tangan. “Anda ini temannya Mas Emil, ya? Kalo mau cari dia sih, jangan di sini, tapi di rumah barunya. Sekarang dia tinggal sama istri dan anaknya.” Jika diperhatikan dengan teliti, wajah tamu yang tidak diundang ini hampir seumuran dengan Mas Emil, kakak kandungku. Lagi-lagi hening yang aku dapatkan. Aku nyaris berpikir, kalau laki-laki di hadapanku ini punya kendala dengan pendengaran. “Ya elah, ini orang budeg atau apa, sih? Kalo mau cari Mas Emil, dia lagi nggak ada. Jadi lain kali aja ya, datangnya. Bye!” Aku sudah hampir menutup pintu rumah, tapi laki-laki itu segera menahannya. “Tunggu sebentar. Kedatangan saya ke sini ingin bertemu dengan keluarganya Om Deni.” “Oh, jadi Mas temannya Papa? Tapi dilihat dari penampilannya sih, Mas lebih mirip temannya Mas Emil. Kalo Papa sih, ketuaan.” Laki-laki itu hanya menaikkan kedua alisnya tampak bingung. “Jadi, kamu anaknya Om Deni?” Ragu-ragu aku mengangguk. “Yap.” “Kamu Reyna. Benar, kan?” Aku kembali mengangguk dengan dahi berkerut. “I-iya.” Segaris senyuman manis tercetak di bibirnya. Dia pun langsung mengulurkan tangan. “Perkenalkan, nama saya Kevin.” Bukannya membalas, sontak hal itu justru membuatku membelalakkan mata, terkejut. “Maaf, Mas. Mungkin Anda salah orang!” Aku langsung menutup pintu dan berlari pontang panting masuk ke dalam kamar. Kemudian bersembunyi di balik selimut. Jantungku terpacu lebih cepat, tubuhku menggigil. Ini berita buruk! Kenapa mas-mas itu bisa tahu namaku? Jangan-jangan dia seorang penguntit, perampok, atau pedagang anak perawan. ***** Arman : ‘Aku udah nunggu di depan gerbang rumah kamu.’ Setelah mendapatkan pesan singkat itu, sambil menjinjing sepasang high heels, aku berjalan mengendap-endap melewati ruang tamu. Berhubung ini Sabtu malam, waktunya aku dan Arman menghabiskan waktu bersama, berpacaran seperti anak muda lainnya. Entah apa yang membuat hatiku sudah sangat yakin memilih Arman untuk melanjutkan hubungan yang lebih serius lagi. Padahal kami baru berpacaran selama tiga bulan. “Reyna, kamu mau ke mana?* Suara berat namun tegas dari seorang pria, langsung menghentikan langkahku. Aku menggigit bibir seiring dengan jantung yang berdetak cepat. Perlahan tapi pasti, aku mulai membalikkan badan dan bertemu pandang dengan Papa yang tengah duduk di sofa. Tatapan beliau sungguh tidak bersahabat. “Kok diam? Papa tanya, kamu mau ke mana?” tanya Papa lagi, sekadar berbasa basi hanya untuk memancing jawabanku. Sejenak, Papa melepaskan kacamatanya, lalu membersihkan lensanya dan memakainya kembali. “Reyna ada janji dengan teman, Pa,” balasku berbohong, seolah melupakan peraturan baru dari Papa—yang melarangku untuk keluar malam hari sejak negara skripsit itu menyerang. You khow, saat ini aku masih mengabdi menjadi mahasiswi abadi di salah satu universitas swasta tempatku menuntut ilmu. Honestly, di saat umurku telah menginjak dua puluh empat tahun. Ralat, hampir dua puluh lima tahun. Bahkan aku sudah tidak peduli lagi dengan skripsi yang selalu menghantui hidupku selama hampir enam tahun kuliah. Bagiku, masih menyandang status sebagai mahasiswa, itu berarti akan terhindar dari yang namanya pengangguran—yang kini sudah padat merayap di Indonesia. Jadi untuk saat ini aku terbebas dari yang namanya pengangguran. “Kamu lupa dengan peraturan baru kita, Reyna? Papa tidak akan mengizinkan kamu keluar malam, sampai kamu wisuda nanti.” Wajahku langsung berubah drastis jadi merengut sebal. Peraturan apa ini? Bahkan aku saja tidak tahu kapan bisa menyelesaikan skripsi, meskipun hidupku sudah dihantui oleh drop out. Aku tidak peduli. Sungguh tidak peduli. Aku sudah lelah berada di kampus dan duduk di antara adik-adik junior. “Ayolah, Pa. Reyna nggak bisa terus-terusan mengurung diri di kamar tiap malam. Aku bisa stress! Papa juga nggak mau kan, lihat anaknya jadi stress?” Papa menggeleng kepala. “Reyna, Reyna. Ternyata kamu lebih stress karena tidak bisa keluar malam daripada tidak kelar kuliah? Sebenarnya, pemikiran kamu itu ada di mana sih, Nak?” Aku mulai naik pitam. Emosiku memang sering pasang surut. “Oh, Papa mau bilang kalo Reyna ini nggak punya pemikiran dan bodoh. Makanya Rey nggak selesai-selesai kuliah, gitu?” “Papa tidak pernah berkata kalau anak Papa itu bodoh,” ujar Papa dengan wajah polos sambil mengangkat bahu. “Ah, sudahlah, Pa. Rey lelah setiap hari harus berdebat dengan pembahasan yang sama. Intinya, malam ini Rey ingin refreshing otak dulu sama teman-teman. Dan Papa Haris ngizinin Rey untuk pergi!” Intonasi ku terdengar tinggi dan menekan. “Maaf, Rey, untuk kali ini akan Papa tegaskan. Kamu tidak boleh keluar dari rumah!” Suara Papa tidak kalah kerasnya, sama sekali bukan Papa yang biasanya dan berhasil membuat bulu tanganku meremang karena ketakutan. “Oh iya, Reyna. Papa ingin menanyakan satu hal penting kepada kamu,” lanjut Papa lagi. “Hm?” gumamku malas. Hilang sudah mood-ku saat ini. “Kenapa kamu tidak mempersilakan Kevin untuk masuk ke dalam rumah kita, Rey?” Seketika dahiku berkerut, berusaha mengingat nama Kevin yang terasa begitu familiar. Kevin, Kevin, Kevin, Kevin. Oh, si mas-mas yang tadi pagi ke rumah itu, ya? “Pa, Reyna aja nggak kenal sama dia. Dan Reyna nggak mau ambil resiko untuk masukin orang asing ke dalam rumah kita.” “Tapi, Rey, Kevin itu tamu kita yang sangat penting, tamu penting kamu juga. Masa sih kamu nggak ingat sama si Kevin?” “Idih! Emangnya dia penting amat harus diingat-ingat.” Aku mengerucutkan bibir sebal. Aku ini tipe orang yang paling tidak suka membahas orang yang tidak kukenal. “Hm….” Papa menggaruk dagunya yang tidak gatal. “Ya sudahlah, kalau kamu tidak ingat. Nanti kamu juga akan kenal dengan Kevin, karena besok dia akan datang ke rumah kita. Jadi tolong bersikap baiklah dengan dia, mengerti? Sekarang kembali masuk ke kamar kamu.” “Tapi, Pa, izinin Reyna pergi malam ini dengan teman-temanku, dong.” “Papa tidak mengizinkan kamu pergi. Sekarang, masuk ke dalam kamar.” Wajahku memelas, mataku sudah berkaca-kaca. “Pa—“ “Anakku, Reyna Prameswari. Papa bilang masuk ke kamar kamu, SE-KA-RANG!!” Dengan berderai air mata, aku berlari menuju kamar dan membanting pintu. Aku langsung melempar tubuh ke atas ranjang. Aku menangis sesenggukan. Tak lama waktu berselang, ponselku berdering nyaring. Arman.. “Kami di mana, Rey? Aku udah nunggu di depan gerbang rumah kamu dari tadi.” “Papa nggak izinin aku keluar, By,” balasku masih terisak. “Terus gimana?? Apa kita batalin aja rencana malam ini?” Kutatap layar ponsel dengan jengkel. Pake inisiatif dikit, kek, kamu kan bisa datang ke rumah terus minta izin sama Papa untuk bawa aku pergi. Dasar cowok pengecut! “Nggak! Aku tetap mau pergi dengan kamu malam ini!” Aku mulai keras kepala. Arman mendesah panjang. “Tapi gimana caranya, Reyna? Aku nggak berani menghadapi Papa kamu. Papa kamu tuh mantan anggota TNI. Aku takut.” Memang benar, Papa memiliki gestur tubuh yang tinggi dan tegap. Wajahnya begitu tegang, kumisnya tebal. Papa adalah seorang yang memiliki peranan penting di Indonesia, mengabdi untuk negara hingga mampu bertaruh dengan nyawa, yakni sebagai anggota TNI. Semua orang yang melihat Papa, pasti akan langsung lari terbirit-birit akibat kumis tebalnya. Meskipun sikap Papa keras, tubuh Papa sekuat baja, tetap saja hatinya selembut Hello Kitty. Tapi sepertinya, pengecualian untuk malam ini. “Pokoknya kamu tetap tunggu aku di depan, oke? Aku tahu gimana caranya agar bisa keluar dari rumah ini. See you soon, baby. Mwah.” Sambungan terputus secara sepihak. Tergesa-gesa, aku mulai mencari kain panjang yang sudah disimpulkan hingga bermeter-meter dari dalam lemari. Selembar kain yang selalu kupakai setiap kali ingin kabur dari rumah. Setelah mengikat kain itu di tiang balkon, lantas aku pun segera turun seperti Tarzan, tanpa menimbulkan suara gaduh. Kakiku berhasil berpijak pada tanah. Kemudian dengan cara mengendap-endap aku lari keluar dari pintu gerbang rumahku. “Cepat jalan!” pintaku setelah berhasil masuk ke dalaM mobil Arman dan duduk di jok kursi penumpang dengan napas terengah-engah. Arman tersenyum senang. “Siap, Tuan Putri.” Dentuman lagu Black Eyed Peas mulai terdengar kencang dari stereo mobil Arman. Mobilnya pun melesat jauh meninggalkan rumah dengan kecepatan tinggi. Kami bersorak girang, tertawa lepas dan berteriak bebas. Inilah malam kebebasanku tanpa omelan dari Papa, tugas kuliah, dan pemikiran kolot akan wisuda. 🎗️🎗️🎗️🎗️🎗️Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena
Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "
"Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i
Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor
Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon
Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen