Share

Perjanjian Gladak-gluduk

SUAMIKU 90CM

Bab 7 : Perjanjian Gladak-gluduk

Oh, my god. Gimana cara ngomongnya ya biar dia tidak tersinggung? bimbangku dalam hati sembari menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.

"Eh, anu ... emmm ... begini, Mas, tapi jangan marah dan tersinggung ya sebelumnya!" Aku mengelap keringat dingin yang mulai mengucur di dahi.

"Iya, Dik. Ngomong aja, Mas gak bakalan marah dan tersinggung kok," jawab Mas Syafril dengan tersenyum.

Aku menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan, "supaya hubungan kita lebih teratur, Zilla udah bikin jadwal dan surat perjanjian." Aku menggigit bibir dan meliriknya sekilas.

"Maksudnya?" Dia mengerutkan dahi.

"Coba baca surat perjanjian dan jadwalnya saja dulu Mas, hehee .... " aku mengulurkan kertas itu.

"Oh, jadwal 'gladak-gluduk'. Terserah Dik Zilla, Mas oke-oke saja," jawabnya terlihat agak kecewa tapi masih mencoba tersenyum.

"Maaf ya, Mas." Aku menundukkan kepala.

"Tidak apa-apa, Mas bisa mengerti. Jadi jadwalnya setiap tanggal 15 Mas baru bisa ambil jatah, begitu?"

"Hehe, Iya, Mas. Gak apa-apakan cuma sebulan sekali?" aku meringis menatapnya.

"Iya, Dik. Gak apa-apa. Oke." Dia mengacungkan jempol kecilnya ke arahku tanda setuju.

"Oke, kalau begitu Mas tanda tangan di sini." Aku menunjuk materai yang sudah di tempel.

"Dikenakan ke materai ya tanda tangannya?" dia melirikku sekilas.

"Iya, Mas." Aku menatapnya senang.

Akhirnya surat perjanjian beres, untung saja dia tidak protes. Aku sengaja milih tanggal 15, sebab hari ini, kan udah tanggal 17. Berarti dia harus menunggu satu bulan baru bisa ambil jatah. Aku tersenyum puas melihat tanda tangan kedua belah pihak sudah terpampang di kertas yang kupegang.

"Mas, Zilla nggak berdosakan sudah membuat surat perjanjian seperti ini? Dan Mas Syafril nggak terpaksa, kan, tanda tangannya?" aku merasa sedikit bersalah melihat tampang kecewanya.

"Tidak, Dik. Mas Ridho kok. Dik Zilla tidak berdosa, kan, Mas tetap dapat jatah walau cuma sebulan sekali. Hehe..." dia tersenyum ke arahku.

********

Akhirnya aku bisa tidur nyenyak malam ini dan tetap berpakaian lengkap, tidak seperti tadi malam. Aku menjadi merinding kalau teringat kejadian semalam. Saat pria kecil itu mengambil haknya. Aih, seram.

Seperti pagi-pagi kemaren, ketika aku keluar dari kamar. Sarapan pagi sudah terhidang di atas meja, entah kapan dia memasaknya. Aku tidak sadar sebab sehabis dipaksanya untuk sholat subuh, aku kembali tertidur.

Atau mungkin dia mempunyai tongkat ajaib, yang tinggal sekali 'tring' semuanya langsung ada.

"Ayo, Dik, kita sarapan dulu .... " dia buru-buru melepas celemek yang dipakainya.

"Gak usah deh, Mas. Zilla sarapan di kantor saja." Aku menelan ludah melirik menu kesukaanku ada di atas meja, nasi goreng seafood.

"Lhoh, Dik. Kenapa?" dia menghampiriku dengan wajah kecewa.

"Ada rapat pagi ini, Mas." Aku berjalan menuju pintu depan.

"Ya sudah, Mas anterin, ya!" dia berlari di belakangku, berusaha mengimbangi langkahku yang panjang.

"Gak usah, Mas. Zilla naik taxi aja." Aku menatapnya jengkel karena dia menghalangiku di depan pintu.

"Ya sudah, hati-hati!" dia menggeser tubuh kecilnya ke samping dengan raut wajah berubah muram.

Buset dah, aku makin ilfil lihat dia selalu mencoba cari muka. Aku makin membenci tingkah noraknya. Oh, my god. Hari-hari menyenangkan dalam hidupku telah berakhir, setiap hari hanya dongkol saja yang kurasakan setiap melihat tampang jeleknya.

Dia selalu menyogok dengan makanan serba enak, yang terkadang membuat imanku goyah untuk segera mengeksekusinya. Dia selalu tahu saja makanan favorit istrinya ini, pasti ibu yang memberitahu. Kelemahanku hanya dimakanan. Walau badan langsing begini, tapi aku hoby makan. Semua yang kumakan seakan tidak menjadi darah daging, tubuhku akan selalu tampak ideal.

Dua bulan sudah usia pernikahan kami, hari ini dia mengajakku untuk berkunjung ke rumah Bundanya. Begitulah dia memanggil sang ibu.

Supir menghentikan kami di sebuah rumah sedehana, hampir mirip dengan rumah Mas Syafril. Rumahnya tidak megah tapi luas dan besar.

Kedua mertuaku sudah menanti di depan pintu ketika mobil kami memasuki perkarangan rumah.

"Assalammualaikum. Ayah, bbunda." Mas Syafril menyalami kedua orang tuanya.

Aku juga ikut menyalami keduanya, dengan membungkukkan tubuh tinggi ini aku mencium punggung tangan para mertua.

"Waalaikumsalam. Ayo masuk," jawab ibu mertua senang sekali melihat kedatangan kami.

Aku masuk ke rumah itu dan mencoba menahan senyum ketika melihat perabotan serba mini juga ada di sini.

Taklama berselang, tiga saudara Mas Syafril pun juga menyambut kami. Disusul dua istri adiknya yang juga bertubuh mungil. Kami semua duduk di ruang keluarga.

Aku menatap mereka satu persatu, lalu kemudian teringat 'dongeng putri salju'.

Astaga, hanya aku manusia tinggi di rumah ini. Aku tertawa dalam hati menyaksikan keunikan ini.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status