Pagi hari setelah digelarnya pesta pernikahan. Sejatinya dua insan yang sudah mengucap janji suci itu menghabiskan waktu di atas ranjang empuk mereka.
Tidak melulu tentang seks, bisa jadi mereka akan saling menautkan tubuh berbagi afeksi atas desiran hangat layaknya pengantin baru, kecapean sehabis resepsi misalnya.
Berbeda dengan Seo Jihye, gadis dengan surai kecokelatan sepunggung itu bahkan harus mengisi paginya dengan sibuk memasukkan pakaian dan harta benda yang dia miliki ke dalam koper. Pindah ke sebuah apartemen mewah bukan suatu yang harus dibanggakan saat ini, terlebih setelah mengetahui jenis pria seperti apa yang kini menjadi suaminya itu.
Jihye kembali bergidik saat membayangkan wajah licik suaminya saat melakukan ciuman di depan altar.
Kilat penuh kemenangan tampak terpeta jelas pada sorot sang pria, meninggalkan kekehan yang nyaris seperti decihan remeh yang lagi-lagi terlambat disadari gadis itu.
"Jangan bilang itu ciuman pertamamu?" bisik Yunki masih dengan tatapan penuh kelembutan yang memuakkan.
“Aish! Kenapa aku membayangkan hal menyebalkan itu!” rutuknya menyesali sambil memasukan satu per satu pakaiannya dengan bibir mengerucut sebal. “CEO, tampan, kaya dan menjadi budak cinta. Hal-hal seperti itu, apa hanya ada di novel saja? Suamiku memang CEO, kaya dan … sedikit tampan, ta-tapi dia itu seperti kucing. Ya. Kucing salju yang dingin, menyebalkan. Astaga … mengingat wajahnya saja membuatku emosi.” Jihye kembali menggerutu dan mengutuk pria yang sudah sah menjadi suaminya itu.
Sial, seolah belum cukup buruk ... Jihye menghela napas berat tatkala menemukan salah satu roda di kopernya rusak, ditambah besi pegangannya yang macet tidak bisa ditarik.
“Astaga apa aku harus mengangkatnya sampai apartemen pria itu? Ini ‘kan berat.” Gadis itu berkacak pinggang, memutar otak sebelum ponselnya bergetar menampilkan sebuah pesan bernada ancaman dari kontak yang Jihye tulis dengan Kucing Salju Sialan.
[Kucing Salju Sialan]
[Kau di mana, aku sudah lapar. Mau minggat? Mau aku tuntut? ]
“Omo, apa-apaan sih. Ancamannya kacangan sekali. Memangnya aku terlihat akan lepas tanggung jawab begitu saja?” monolognya geram.
Jihye sebenarnya tidak ingin menanggapi pesan tersebut, tetapi kini ponselnya kembali bergetar.
“Yak! Aku masih di rumahku sedang membawa barang-barang, bisa sabar sebentar tidak, sih?” ucap Jihye sewot sesaat setelah menggulirkan tombol hijau pada layar ponselnya.
“Jangan coba-coba kabur!”
“Astaga!” Jihye hanya bisa memekik dan memutar bola matanya malas--tak habis pikir-- lantas mematikan sambungan telepon tersebut secara sepihak.
Sejak awal gadis itu mengetahui, bahwa berhubungan dengan pria itu tampaknya hanya akan mengikis kewarasan cepat atau lambat, tetapi Jihye bisa apa? Keadaan sangat tidak menguntungkan baginya.
Baiklah, sepertinya Jihye harus mempercepat acara pindahan sederhana ini dengan mengerahkan semua tenaga guna mengangkat koper jeleknya itu. Tidak ada tatapan sendu pada luasan ruang yang berbanding terbalik kemewahannya dengan tempat yang akan ia tinggali nanti. Namun, di sini aromanya tetaplah nyaman, dengan begitu banyaknya memoar manis yang dia cecap selama ini. Well, setidaknya memang manis sampai dia benar-benar hidup sebatang kara.
“Ini bukan perpisahan, nanti aku akan kembali lagi kemari.”
Mungkin pernikahan itu akan berlangsung selama beberapa bulan saja dan Jihye benar-benar mengharapkan hal itu terjadi karena bagaimanapun pertemuannya dengan pria itu benar-benar melenceng jauh dari ekspektasinya dalam menjalani hidup.
Setelah melakukan pembayaran sewa untuk satu tahun ke depan, gadis itu segera menuntun tungkainya, mengembuskan napas berat sebelum berbalik dan berusaha sekuat tenaga mengeret kopernya ke tempat pemberhentian bis.
Butuh tiga puluh menit perjalanan untuk Jihye bisa sampai ke apartemen mewah itu dan rasanya berkali-kali lebih lama manakala tenaga yang dia keluarkan untuk koper itu sangatlah besar.
Tungkai yang mengayun pada lantai marmer harus terinterupsi tatkala seorang petugas keamanan menghentikannya.
“Maaf, Nona. Anda mau ke mana?”
“Aku akan ke lantai 17,” jawab Jihye tampak gugup. Gadis itu segera merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya guna menilik informasi yang telah dia tulis di sana. “Lantai 17 unit 3 tempatnya Tuan Shin Yunki. A-aku istrinya.”
Petugas keamanan itu tampak sangsi lantas memindai penampilan Jihye dari atas ke bawah.
Astaga sungguh sialan, tidak sopan sekali. Sudahlah, mungkin itu memang tugasnya dan Jihye harus maklum mengingat penampilannya saat ini yang sangat tidak berkelas—celana jeans sebatas lutut dengan oversized tee yang dipadankan dengan Converse hitam yang bahkan warnanya pun sudah pudar, dan jangan lupakan rambutnya yang dia ikat asal. Ah, bahkan Jihye menyesal sudah mengaku sebagai istri Tuan Shin di hadapan pria itu.
“Anda bisa tunggu sebentar?” pinta petugas keamanan tersebut dengan senyum ramah yang penuh kecurigaan, menunjuk kursi empuk di lobi tidak jauh dari sana.
Jihye dapat menyimpulkan bahwa petugas keamanan itu tengah mengkonfirmasi satu dua hal dengan menelepon Yunki di unitnya dan sekitar sepuluh menit kemudian pria itu memperlihatkan presensinya di sana. Tatapan angkuh masih saja terpeta tatkala netra sepekat jelaga itu menatap Jihye dengan pindaian tak kalah menyebalkan dari sang petugas keamanan.
“Pak Jung, kau harus mulai terbiasa dengan Nona ini, dia asisten rumah tanggaku,” ucap Yunki dengan intonasi datar. Jihye sontak membelalakkan mata sementara si petugas keamanan tampak mengulum senyum dengan sesekali mendaratkan tatapan geli pada Jihye. Sialan memang, bahkan petugas keamanan sekarang menganggapnya gadis penuh kehaluan.
Gadis itu segera mengikuti Yunki dalam geram tertahan dan mati-matian merutuki perkataannya tadi pada si petugas keamanan yang masih saja menatap Jihye dengan tatapan geli.
“Nona Seo, bukankah di lobi banyak sekali kaca? Sebelum mengaku sebagai Nyonya Shin, lebih baik kau lihat penampilanmu dulu. Astaga bikin malu saja.”
Shin Yunki ini kenapa menyebalkannya keterlaluan, sih? Apa tidak cukup dengan memindai penampilan dan memperlihatkan wajah angkuh di depan Jihye? Kenapa masih juga membahas hal yang tengah mati-matian ingin Jihye lupakan?
Dalam kekehan yang dia pertahankan agar terlihat natural, gadis itu menjawab, “Maaf aku lupa kalau aku ini terlalu cantik untuk mengaku sebagai istrimu.”
Ah, sudahlah. Jihye kalah telak kali ini karena akhirnya dia memilih berkutat dengan koper jelek itu dengan rahang mengatup sempurna karena kehilangan kata-kata untuk menimpali segala jenis ucapan sarkas Yunki yang dibalut dengan cemooh merendahkan.
Lihat saja aku akan berlatih keras untuk mengimbangi mulut menyebalkanmu itu!
TTT
“Bisa kalian perbaiki dia?” ucap Yunki seraya menunjuk Jihye yang sedang berdiri di belakangnya.
Apa katanya tadi? Perbaiki? Memangnya aku boneka rusak?
Hari ini entah keberapa kali Jihye harus mengepalkan tangannya gusar. Kesal bukan main, kenapa pria bernama Shin Yunki ini menguji kesabaran sekali? Kalau Jihye berubah menjadi Hulk wanita bagaimana?
“Serahkan pada kami, Tuan Shin,” ucap kepala pegawai salon kecantikan itu seraya menatap Jihye ceria yang untungnya tanpa binar mencemooh seperti petugas keamanan tadi pagi.
Seratus delapan puluh menit setelahnya, dalam tegun dan tegukan saliva yang mati-matian dia usahakan samar, Yunki menatap presensi Jihye yang tampak berbeda. Sapuan make up natural yang dipadankan dengan busana feminin ternyata mampu memunculkan aura asing dalam diri gadis itu.
Lumayan cantik, sih, tetapi belum mampu menggetarkan seperti wanitaku.
Pria itu mengedikkan bahu tak acuh, lantas menyahut kaca mata hitamnya. “Lumayan, ayo kita beli koper baru untukmu. Pastikan kau membuang koper jelekmu yang tadi.”
Ini mungkin bisa dikatakan gila! Rencana masa depan yang sudah tersusun rapi dalamdiarydi kamarnya, satu per satu menjadi kenyataan. Haruskah Jihye berkata WOW? Setelah menyelesaikan kuliah dengan gemilang, dia malah terjebak dalam sebuah pernikahan settingan yang membuahkan seorang anak menggemaskan bernama Jiyoon. Terkadang hidup memang seironi itu. Atas banyaknya air mata yang tercurah bagai rebas-rebas hujan yang tak berkesudahan. Atas pedihnya luka hati bagai disayat ribuan silet. Well, Jihye tidak akan memandang hidupnya selebay itu. Kelembutan hati yang dimilikinya membuka satu kesempatan, dengan harapan apa yang menjadi kesempatan itu turut menyembuhkan apa yang menjadi kesakitannya selama ini. Jihye berdiri di depan bentangan karpet putih di sebuah altar yang menghadap kaldera di Santorini, degup jantungnya bertalu gila. Silir angin sejuk yang menyapa lembut epidermisnya, serta riuh tepuk tangan orang-or
“Ke-kenapa kita ke sini?" Itu adalah sebuah pertanyaan sekaligus konversasi pertama yang mengudara di dalam mobil.Jihye melihat sekeliling, mengamati basemen tempat Yunki menghentikan mobilnya. Dia terlampau hafal dengan tempat ini. Tempat yang begitu banyak menghadirkan kenangan. Basemen dari sebuah apartemen tempatnya dan Yunki menghabiskan masa pernikahan dulu."Hye, maaf kalau kau tidak keberatan kita istirahat dulu di sini, sepertinya Jiyoon memerlukan tempat tidiur yang nyaman."Menatap sang putra yang kini tertidur pulas karena kenyang menyusu, Jihye menggerakkan kepala setuju. Yunki pun mengangguk, mengulas senyum tipis yang Jihye tahu benar senyuman itu tidak sampai matanya.Pria itu keluar dari mobil dan membuka pintu untuk sang wanita seraya mengambil alih Jiyoon. Di balik wajah yang kembali datar itu Jihye tetap bisa menerima kehangatan karena satu tangannya yang terbebas dari menahan tubuh Jiyoon, menggenggam tangan Jihye begitu erat w
Sinar mentari sudah merangsek masuk ke sela-sela tirai kamar beberapa jam lalu, pun dengan cicit burung pengantar hari baru bahkan sudah tidak terdengar.Jihye merasa baru saja mengatupkan pelupuk saat ranjangnya memantul diikuti teriakan gemas Jiyoon yang kini sibuk mendaratkan ciuman basah penuh salivanya ke wajah sang ibu.Pantulan lirih di sisi ranjang yang lain memperlihatkan presensi Yunki yang tampak malu-malu dengan wajah tidak enak karena membangunkannya. Tadi malam Jihye nyaris terjaga semalaman karena Yunki meminta Jiyoon untuk tidur bersama di unit miliknya.Kalau ibunya tidak mau ikut, ya sudah Jiyoon saja.Hasilnya Jihye lebih banyak terjaga karena khawatir Jiyoon akan menangis malam-malam mencari dirinya."Jam berapa sekarang?" tanya Jihye menggeliat malas mencoba mengumpulkan fragmen-fragmen nyawa yang masih berserak, "Jiyoonie sudah mandi, ya? Harum sekali," imbuhnya mengendus leher sang putra diikuti beberapa cecapan gema
Jihye cukup kerepotan mengusir Yunki tadi malam karena tanpa diduga Jiyoon terbangun dan berakhir bermanja-manja ria dengan sang ayah sampai pukul dua dini hari. Hasilnya Jihye harus mengumpat tatkala lingkaran mata panda tersemat begitu apik di wajahnya kini.“Astaga Jiyoon kenapa dekat sekali dengan pria itu, sih? Wajah eomma jadi kusut begini karena ikut bergadang,” monolog Jihye sembari menatap Jiyoon yang masih tertidur lelap. Bagaimanapun menatap wajah sang buah hati yang tertidur lelap seperti itu menghangatkan relungnya.Pukul 07.30 Jihye sudah bersiap untuk kerja, menyahut tas setelah melontarkan beberapa pesan pada Bu Kim mengenai ASI yang sedang dia hangatkan jika Jiyoon terbangun dan ingin menyusu. Sungguh menjadi seorang ibu pekerja itu kadang melelahkan juga terlebih saat kau harus berpisah dengan anak yang sedang melalui masa emasnya.Jihye menutup pintunya dan tanpa sadar menatap bilah kayu dengan besi kromium bertuliskan 506
Setelah mengatakan bahwa Yunki akan menetap di Gwangju, sekelumit ruang di sudut hati Jihye sempat bersorak dengan debaran yang sukses menggelitik perut. Namun, sosok imajiner Jihye yang mengulas kurva senyum itu kini pudar berganti sosok berawai yang kembali menggenggam sendu. Bagaimana tidak? Sudah satu minggu berlalu setelah Yunki mengatakan akan menetap di sana, pria itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Kecemasan Jihye semakin menjadi tatkala Jiyoon kembali rewel mencari sang ayah.Bagaimana mungkin Jihye harus merendahkan diri untuk menghubungi pria yang bahkan hanya memberikan harapan semu bagi dirinya dan Jiyoon? Jihye tidak akan membiarkan mereka kembali menyesap pahit, getir dan jatuh pada kubangan lara yang diakibatkan orang yang sama. Bukankah sejak awal Jihye sudah menolak sedemikian rupa?Jihye menarik sudut bibirnya miris, menatap sendu Jiyoon yang baru saja tertidur pulas setelah lama berkutat dengan rewelnya. “Sabar ya, Sayang. Lebih baik
Sebuah ikatan darah, seberapa kuat dia menggenggam keyakinan bahwa Jiyoon tidak membutuhkan sosok Yunki, kenyataan yang ada menampar Jihye begitu kuat dan apa yang dikatakan Hobi benar adanya.Wanita itu menapak pada permukaan lantai keramik putih di sepanjang koridor rumah sakit, berkali-kali tatapannya ia layangkan pada dua entitas di depannya yang tentu saja menumbuhkan sensasi ganjil pada relungnya. Lega, kesal, gemas, marah atau apa pun itu yang pasti rasa cemburu yang sejak kemarin bercokol di hatinya terasa kian berat.Bagaimana tidak, itu mini-mini yang bernama Jiyoon sampai saat ini menempel bak perangko pada sang ayah. Bahkan saat Jihye akan mengambil alih kala Yunki mengurusi biaya administrasi rumah sakit, makhluk mungil yang sejak tadi tertidur itu tiba-tiba terbangun dengan rengekan tidak mau berpisah.Akhirnya Jihye memutuskan untuk mengerucutkan bibir, berjalan malas di belakang mereka dengan otak berdesing memikirkan berbagai macam ide unt