Seharusnya, gadis itu tersenyum tatkala sapuan kuas make up yang berpadu dengan balutan dress putih pada tubuh langsingnya terlihat sempurna saat ditilik dari pantulan cermin. Dia bahkan harus mencubit jemari untuk memastikan diri bahwa pribadi cantik yang balas menatap itu adalah dirinya. Tak terhitung berapa banyak gadis itu mengembuskan napas berat.
“Astaga, semoga aku tak gila menerima pernikahan ini. Sepertinya aku tak waras saat menerimanya,” gerutu gadis itu saat sang make up artist sedang berkutat dengan buket bunga yang akan dibawanya nanti. “Hah ..., sepertinya impianku untuk menikah di Santorini harus aku kubur dalam,” gumamnya kembali mengeluh.
Ah, lupakan Santorini. Wajah calon suami pun masih begitu buram dalam peta otaknya, yang pasti hasil kuliah bertahun-tahun ternyata tidak serta-merta memberikannya pekerjaan yang layak. Dan kini, dia harus berpuas diri menjadi seorang istri dari pria antah-berantah yang sekonyong-konyong datang mengganggu hidupnya.
Gereja kecil di pinggiran Kota Seoul itu tampak berbeda dengan dekorasi peach dan putih. Terlihat para tamu yang sebagian besar kerabat dan segelintir rekan bisnis, membentuk beberapa kelompok kecil yang terdiri dari empat atau lima orang, saling menyapa,
Shin Yunki, Pria berkulit pucat dengan obsidian sepekat jelaga itu menautkan alisnya begitu dalam, merangkum pemahaman takdir yang mengantarkannya pada hari ini. Mungkin tidak lebih dari setengah jam lagi, mau tidak mau dia harus mengucap sebuah janji suci dengan seorang wanita yang bahkan baru dikenalnya tidak lebih dari satu minggu.
Suara decit pintu yang terbuka di belakang tidak serta-merta mengalihkan atensinya, hingga sebuah tepukan di bahu benar-benar membuat lamunannya terburai.
"Jangan bilang kau melamunkan wanita lain di hari pernikahanmu, Hyung," ucap seorang pria dengan setelan jas mewah membalut badan atletisnya. Senyumnya terbentang menampilkan ceruk cacat di salah satu bagian pipi.
Sang calon pengantin mendengkus kasar lantas tertawa hambar. "Apa kau tahu keberadaannya?"
"Setelah memutuskan hubungan denganmu, wanita itu menghilang, Hyung. Aku tidak pernah melihatnya lagi."
Si pria pucat tersenyum getir. Masih terpeta jelas bagaimana buruknya hari itu bagi kesehatan mentalnya. Hubungan yang sudah dijalani selama satu tahun harus berakhir tatkala sang wanita mengaku bosan menjalani hubungan dengannya. Apa memang seperti itu? Sebegitu membosankankah dirinya sehingga sang kekasih yang selalu disirami rasa cinta setiap hari itu muak? Embusan napas kelewat berat keluar dari bilahnya sebelum melanjutkan memeta diri.
"Calon istrimu sangat cantik menurutku, siapa tahu kau akan jatuh cinta padanya suatu hari nanti." Ucapan si lelaki dengan setelan jas mewah itu terdengar begitu yakin, sedangkan yang diajak bicara hanya merotasikan bola matanya malas.
Beberapa saat kemudian, Shin Yunki melangkahkan tungkainya, terlihat mantap bagi siapa pun yang menatap−sangat bertolak belakang dengan kecamuk hati yang semakin membuatnya sesak. Netranya bergulir ke arah para tamu yang berjajar rapi dengan ulasan senyum seolah meminta restu, lantas memosisikan diri di pinggir altar guna menunggu sang calon pengantin wanita masuk ke gereja.
Sejurus kemudian, seorang pianis di podium sebelah kanan altar mulai memainkan Wedding March karya Mendelssonhn dengan penuh penghayatan, mengiringi sibakan pintu yang memunculkan sang pengantin wanita dalam balutan dress putih yang sukses membuat pria pucat itu terbuai dalam tegun.
Kenapa dia terlihat … lumayan? Ah, tidak-tidak. Masih cantik wanitaku.
Sementara itu, Ingatkan sang pengantin wanita untuk bernapas. Dalam hidupnya, dia tidak pernah berada dalam pusat atensi sekalipun dan hal ini membuatnya gugup setengah mati. Terlebih pribadi tampan dengan setelan jas hitam yang akan menjadi suaminya dalam beberapa menit ke depan menatapnya begitu lekat.
Kaitan lengan pada pria tua yang ditunjuk sebagai walinya kian erat bersamaan dengan satu per satu langkah meniti bentangan karpet yang terasa begitu jauh.
Astaga, apa-apaan pria itu, haruskan dia menunjukkan ketampananya agar terlihat seperti pangeran menawan? Dasar kucing salju! Oh Tuhan kuatkanlah hamba-Mu ini.
Walau dengan keengganan tersamar dari kedua belah pihak−berucap saya bersedia dengan sepintas lalu tanpa kesadaran penuh. Pemberkatan itu berjalan lancar, bahkan cuaca Seoul yang beberapa hari ini diguyur hujan tampak cerah, seolah memberkati mereka mengucap janji suci.
"Kau boleh mencium pasanganmu," ucap sang pendeta di depan mereka dengan senyum ceria yang sayangnya terlambat disadari oleh sang pengantin wanita.
Tentu, si pria pucat itu benar-benar memainkan perannya kelewat hebat. Dengan senyum mengembang, dia mulai mengikis jarak dengan tangan yang mulai menelusup ke perpotongan leher sang istri lantas melumat ranumnya dengan begitu lembut.
Sial ... apa dia tidak bisa memberiku aba-aba? Ciuman pertamaku ... astaga! Apa tidak bisa di kening saja?
Kilat penuh kemenangan tampak terpeta jelas pada sorot sang pria, meninggalkan kekehan yang nyaris seperti decihan remeh yang lagi-lagi terlambat disadari gadis itu.
"Jangan bilang itu ciuman pertamamu?" bisik Yunki masih dengan tatapan penuh kelembutan yang memuakkan.
Apa dia terlihat seperti gadis tolol sekarang? Karena saat ini dia hanya mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba merangkum semua pemahaman dari gelombang kejut yang baru saja menerpanya.
Baru saja dia tersadar akan ucapan meremehkan itu, sang pria sudah memutar tubuhnya menghadap ke arah para tamu yang bertepuk tangan, meninggalkan berjuta sanggahan yang ingin gadis itu lontarkan. Ah ... sanggahan macam apa? Bahkan tebakan pria itu benar adanya. Jadi, dengan rutukkan yang begitu lantang dia ucapkan dalam hati, gadis itu berakhir tersenyum menyambut ucapan selamat serta doa semoga mendapatkan keturunan secepatnya dari para tamu.
Demi apa pun, wanita itu bahkan bersedia bertukar tempat dengan para tamu yang mengucapkan hal tersebut.
TTT
Jadi di sinilah mereka, mengarungi jalan bebas hambatan dengan Mercedez Benz hitam di jalanan Kota Seoul yang entah menuju ke mana, yang pasti si pria pucat ingin terbebas barang sejenak dari peran yang menyiksanya sejak pagi tadi.
"Kau mau membawaku ke mana?" tanya sang gadis menyembunyikan ketakutannya dengan memasang wajah datar setelah mengetahui bahwa pria di balik kemudi itu tidak membawanya ke apartemen. Jangan salahkan pikirannya yang meliar, gadis itu takut si pria pucat akan memasukkan dia ke dalam karung dan membuangnya ke laut, mengingat pernikahan sialan ini benar-benar di luar kendali mereka.
Sang pria terkekeh geli. "Memangnya kau mau aku membawamu ke mana, hm? Ke apartemenku untuk beradegan panas?"
"Yak! Jangan coba macam-macam denganku!" gertaknya dengan kilat yang ditunjukkan semengerikan mungkin. Tangannya dia lipat di depan dada sebagai bentuk pertahanan.
Tawa sang pria semakin kencang. "Kau terlalu percaya diri, sepertinya kau sering berfantasi liar tentang diriku, ya?"
"Apa!" teriak sang gadis.
"Tercetak jelas di wajahmu, sok galak tetapi terlihat kesepian." Pria itu menggerakkan telapak tangannya di wajah dengan sorot meremehkan.
"Yak! Berengsek! Kau pikir aku semurahan itu, eoh. Aku bahkan ingin bercerai sejak melangkahkan kaki ke arah altar."
Air muka pria pucat itu berubah seketika. Pandangannya beralih ke jalan dengan konsentrasi penuh.
Mengembuskan napas berat, pria itu berkata, "Ya ... secepatnya kita akan bercerai. Kau tahu 'kan aku melakukannya demi orang yang aku sayang."
Ini mungkin bisa dikatakan gila! Rencana masa depan yang sudah tersusun rapi dalamdiarydi kamarnya, satu per satu menjadi kenyataan. Haruskah Jihye berkata WOW? Setelah menyelesaikan kuliah dengan gemilang, dia malah terjebak dalam sebuah pernikahan settingan yang membuahkan seorang anak menggemaskan bernama Jiyoon. Terkadang hidup memang seironi itu. Atas banyaknya air mata yang tercurah bagai rebas-rebas hujan yang tak berkesudahan. Atas pedihnya luka hati bagai disayat ribuan silet. Well, Jihye tidak akan memandang hidupnya selebay itu. Kelembutan hati yang dimilikinya membuka satu kesempatan, dengan harapan apa yang menjadi kesempatan itu turut menyembuhkan apa yang menjadi kesakitannya selama ini. Jihye berdiri di depan bentangan karpet putih di sebuah altar yang menghadap kaldera di Santorini, degup jantungnya bertalu gila. Silir angin sejuk yang menyapa lembut epidermisnya, serta riuh tepuk tangan orang-or
“Ke-kenapa kita ke sini?" Itu adalah sebuah pertanyaan sekaligus konversasi pertama yang mengudara di dalam mobil.Jihye melihat sekeliling, mengamati basemen tempat Yunki menghentikan mobilnya. Dia terlampau hafal dengan tempat ini. Tempat yang begitu banyak menghadirkan kenangan. Basemen dari sebuah apartemen tempatnya dan Yunki menghabiskan masa pernikahan dulu."Hye, maaf kalau kau tidak keberatan kita istirahat dulu di sini, sepertinya Jiyoon memerlukan tempat tidiur yang nyaman."Menatap sang putra yang kini tertidur pulas karena kenyang menyusu, Jihye menggerakkan kepala setuju. Yunki pun mengangguk, mengulas senyum tipis yang Jihye tahu benar senyuman itu tidak sampai matanya.Pria itu keluar dari mobil dan membuka pintu untuk sang wanita seraya mengambil alih Jiyoon. Di balik wajah yang kembali datar itu Jihye tetap bisa menerima kehangatan karena satu tangannya yang terbebas dari menahan tubuh Jiyoon, menggenggam tangan Jihye begitu erat w
Sinar mentari sudah merangsek masuk ke sela-sela tirai kamar beberapa jam lalu, pun dengan cicit burung pengantar hari baru bahkan sudah tidak terdengar.Jihye merasa baru saja mengatupkan pelupuk saat ranjangnya memantul diikuti teriakan gemas Jiyoon yang kini sibuk mendaratkan ciuman basah penuh salivanya ke wajah sang ibu.Pantulan lirih di sisi ranjang yang lain memperlihatkan presensi Yunki yang tampak malu-malu dengan wajah tidak enak karena membangunkannya. Tadi malam Jihye nyaris terjaga semalaman karena Yunki meminta Jiyoon untuk tidur bersama di unit miliknya.Kalau ibunya tidak mau ikut, ya sudah Jiyoon saja.Hasilnya Jihye lebih banyak terjaga karena khawatir Jiyoon akan menangis malam-malam mencari dirinya."Jam berapa sekarang?" tanya Jihye menggeliat malas mencoba mengumpulkan fragmen-fragmen nyawa yang masih berserak, "Jiyoonie sudah mandi, ya? Harum sekali," imbuhnya mengendus leher sang putra diikuti beberapa cecapan gema
Jihye cukup kerepotan mengusir Yunki tadi malam karena tanpa diduga Jiyoon terbangun dan berakhir bermanja-manja ria dengan sang ayah sampai pukul dua dini hari. Hasilnya Jihye harus mengumpat tatkala lingkaran mata panda tersemat begitu apik di wajahnya kini.“Astaga Jiyoon kenapa dekat sekali dengan pria itu, sih? Wajah eomma jadi kusut begini karena ikut bergadang,” monolog Jihye sembari menatap Jiyoon yang masih tertidur lelap. Bagaimanapun menatap wajah sang buah hati yang tertidur lelap seperti itu menghangatkan relungnya.Pukul 07.30 Jihye sudah bersiap untuk kerja, menyahut tas setelah melontarkan beberapa pesan pada Bu Kim mengenai ASI yang sedang dia hangatkan jika Jiyoon terbangun dan ingin menyusu. Sungguh menjadi seorang ibu pekerja itu kadang melelahkan juga terlebih saat kau harus berpisah dengan anak yang sedang melalui masa emasnya.Jihye menutup pintunya dan tanpa sadar menatap bilah kayu dengan besi kromium bertuliskan 506
Setelah mengatakan bahwa Yunki akan menetap di Gwangju, sekelumit ruang di sudut hati Jihye sempat bersorak dengan debaran yang sukses menggelitik perut. Namun, sosok imajiner Jihye yang mengulas kurva senyum itu kini pudar berganti sosok berawai yang kembali menggenggam sendu. Bagaimana tidak? Sudah satu minggu berlalu setelah Yunki mengatakan akan menetap di sana, pria itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Kecemasan Jihye semakin menjadi tatkala Jiyoon kembali rewel mencari sang ayah.Bagaimana mungkin Jihye harus merendahkan diri untuk menghubungi pria yang bahkan hanya memberikan harapan semu bagi dirinya dan Jiyoon? Jihye tidak akan membiarkan mereka kembali menyesap pahit, getir dan jatuh pada kubangan lara yang diakibatkan orang yang sama. Bukankah sejak awal Jihye sudah menolak sedemikian rupa?Jihye menarik sudut bibirnya miris, menatap sendu Jiyoon yang baru saja tertidur pulas setelah lama berkutat dengan rewelnya. “Sabar ya, Sayang. Lebih baik
Sebuah ikatan darah, seberapa kuat dia menggenggam keyakinan bahwa Jiyoon tidak membutuhkan sosok Yunki, kenyataan yang ada menampar Jihye begitu kuat dan apa yang dikatakan Hobi benar adanya.Wanita itu menapak pada permukaan lantai keramik putih di sepanjang koridor rumah sakit, berkali-kali tatapannya ia layangkan pada dua entitas di depannya yang tentu saja menumbuhkan sensasi ganjil pada relungnya. Lega, kesal, gemas, marah atau apa pun itu yang pasti rasa cemburu yang sejak kemarin bercokol di hatinya terasa kian berat.Bagaimana tidak, itu mini-mini yang bernama Jiyoon sampai saat ini menempel bak perangko pada sang ayah. Bahkan saat Jihye akan mengambil alih kala Yunki mengurusi biaya administrasi rumah sakit, makhluk mungil yang sejak tadi tertidur itu tiba-tiba terbangun dengan rengekan tidak mau berpisah.Akhirnya Jihye memutuskan untuk mengerucutkan bibir, berjalan malas di belakang mereka dengan otak berdesing memikirkan berbagai macam ide unt
Pelukan itu berlangsung lama dan Jihye tidak segan-segan membenamkan tubuhnya pada dekapan Hobi yang senyaman rumah, mencoba membaurkan kelesah dengan afeksi yang selalu tercurah dari pria menyenangkan itu."Nyonya Janda, sepertinya ada yang sedang memperhatian kita,” bisi Hobi.“Siapa?” tanya Jihye mendongakkan kepalanya,“Mantan suamimu dari tadi melihat kita. Mau bersenang-senang sedikit?" bisik Hobi yang sudah menangkap presensi Yunki dengan visusnya di depan sana.Jihye tertawa samar lantas menjawab, "Seru sepertinya."Maka, seperti itulah. Saudara persepupuan ini saling mencubit pucuk hidung yang diiringi bentangan senyum dan tatapan sendu penuh afeksi. Siapa pun akan menyangka mereka adalah pasangan romantis yang sedang beradegan mesra, dan pria di ujung sana terlihat stagnan dengan kepalan tangan dan rahang mengerat sempurna. Astaga, cemburu menguras hati tampaknya.Ah, tentu saja Yunki tidak akan membiarkan p
Barang kali, Jihye dapat melabeli dirinya sendiri dengan kata tidak professional. Sikap jual mahal yang mati-matian dipertahankannya kini luluh lantak jika menyangkut sang buah hati. Demamnya sangat tinggi, mencapai angka 40 derajat dan sempat mengalami kejang.Dalam sengguk pilunya wanita itu dapat mendengar sang pria mengalunkan kalimat penenang dalam silabel begitu lembut. Jihye terbuai, rasa sakitnya seolah luntur tatkala digempur afeksi yang memang sangat dia rindukan selama ini, terlebih dekapan Yunki tetaplah terasa nyaman."Aku takut kehilangannya, aku bukan ibu yang baik. Dia terus memanggilmu dan a-aku--" Jihye tidak mampu melanjutkan perkataannya dan malah menangis semakin kencang. Seandainya Yunki tidak datang, barang kali dirinya hanya akan berusaha tegar dan membenamkan diri dalam rasa bersalah tatkala melihat sang buat hati yang masih saja mengucapkan katappa ppadalam igaunya."Aku ada di sini, kau tidak perlu khaw
Jihye sempat stagnan tatkala mendengar pertanyaan yang terlontar dari bilah Yunki sementara tangan mungil Jiyoon terus saja menggapai-gapai udara dengan badan yang terus dicondongkan seolah ingin di pangku sang ayah. Kalau sudah begini, Jihye yang dibuat pening. Seharusnya pertanyaan itu bersifat retoris saja. Apa Yunki tidak bisa melihat kalau anak itu sangat mirip dengannya? Apa dia ingin mendengar kalau Jiyoon adalah anak Hobi? Gila, Yunki sudah gila."Sayang, mau ke mana, sih? Tidak boleh sok akrab dengan orang asing," ucap Jihye memilih mengabaikan pertanyaan Yunki dan berusaha menjauhkan sang anak dari ayahnya.Netranya melirik Hobi meminta pertolongan, mungkin saatnya berlakon bak keluarga kecil nan bahagia kali ini,sedangkan diam-diam Yunki menatap pria itu tajam seolah membangun benteng permusuhan. Ah, Yunki tetaplah Yunki, seorang pribadi impulsif yang masih harus belajar mengendalikan diri dari sikap meledak-ledaknya."Jung Hobi," ucap Hobi meng