Share

SUAMIKU SEDINGIN GUNUNG ES
SUAMIKU SEDINGIN GUNUNG ES
Author: Ranesta13

Hari Pernikahan

Seharusnya, gadis itu tersenyum tatkala sapuan kuas make up yang berpadu dengan balutan dress putih pada tubuh langsingnya terlihat sempurna saat ditilik dari pantulan cermin. Dia bahkan harus mencubit jemari untuk memastikan diri bahwa pribadi cantik yang balas menatap itu adalah dirinya. Tak terhitung berapa banyak gadis itu mengembuskan napas berat.

“Astaga, semoga aku tak gila menerima pernikahan ini. Sepertinya aku tak waras saat menerimanya,” gerutu gadis itu saat sang make up artist sedang berkutat dengan buket bunga yang akan dibawanya nanti. “Hah ..., sepertinya impianku untuk menikah di Santorini harus aku kubur dalam,” gumamnya kembali mengeluh.

Ah, lupakan Santorini. Wajah calon suami pun masih begitu buram dalam peta otaknya, yang pasti hasil kuliah bertahun-tahun ternyata tidak serta-merta memberikannya pekerjaan yang layak. Dan kini, dia harus berpuas diri menjadi seorang istri dari pria antah-berantah yang sekonyong-konyong datang mengganggu hidupnya.

Gereja kecil di pinggiran Kota Seoul itu tampak berbeda dengan dekorasi peach dan putih. Terlihat para tamu yang sebagian besar kerabat dan segelintir rekan bisnis, membentuk beberapa kelompok kecil yang terdiri dari empat atau lima orang, saling menyapa,

Shin Yunki, Pria berkulit pucat dengan obsidian sepekat jelaga itu menautkan alisnya begitu dalam, merangkum pemahaman takdir yang mengantarkannya pada hari ini. Mungkin tidak lebih dari setengah jam lagi, mau tidak mau dia harus mengucap sebuah janji suci dengan seorang wanita yang bahkan baru dikenalnya tidak lebih dari satu minggu.

Suara decit pintu yang terbuka di belakang tidak serta-merta mengalihkan atensinya, hingga sebuah tepukan di bahu benar-benar membuat lamunannya terburai.

"Jangan bilang kau melamunkan wanita lain di hari pernikahanmu, Hyung," ucap seorang pria dengan setelan jas mewah membalut badan atletisnya. Senyumnya terbentang menampilkan ceruk cacat di salah satu bagian pipi.

Sang calon pengantin mendengkus kasar lantas tertawa hambar. "Apa kau tahu keberadaannya?"

"Setelah memutuskan hubungan denganmu, wanita itu menghilang, Hyung. Aku tidak pernah melihatnya lagi."

Si pria pucat tersenyum getir. Masih terpeta jelas bagaimana buruknya hari itu bagi kesehatan mentalnya. Hubungan yang sudah dijalani selama satu tahun harus berakhir tatkala sang wanita mengaku bosan menjalani hubungan dengannya. Apa memang seperti itu? Sebegitu membosankankah dirinya sehingga sang kekasih yang selalu disirami rasa cinta setiap hari itu muak? Embusan napas kelewat berat keluar dari bilahnya sebelum melanjutkan memeta diri.

"Calon istrimu sangat cantik menurutku, siapa tahu kau akan jatuh cinta padanya suatu hari nanti." Ucapan si lelaki dengan setelan jas mewah itu terdengar begitu yakin, sedangkan yang diajak bicara hanya merotasikan bola matanya malas.

Beberapa saat kemudian, Shin Yunki melangkahkan tungkainya, terlihat mantap bagi siapa pun yang menatap−sangat bertolak belakang dengan kecamuk hati yang semakin membuatnya sesak. Netranya bergulir ke arah para tamu yang berjajar rapi dengan ulasan senyum seolah meminta restu, lantas memosisikan diri di pinggir altar guna menunggu sang calon pengantin wanita masuk ke gereja.

Sejurus kemudian, seorang pianis di podium sebelah kanan altar mulai memainkan Wedding March karya Mendelssonhn dengan penuh penghayatan, mengiringi sibakan pintu yang memunculkan sang pengantin wanita dalam balutan dress putih yang sukses membuat pria pucat itu terbuai dalam tegun.

Kenapa dia terlihat … lumayan? Ah, tidak-tidak. Masih cantik wanitaku.

Sementara itu, Ingatkan sang pengantin wanita untuk bernapas. Dalam hidupnya, dia tidak pernah berada dalam pusat atensi sekalipun dan hal ini membuatnya gugup setengah mati. Terlebih pribadi tampan dengan setelan jas hitam yang akan menjadi suaminya dalam beberapa menit ke depan menatapnya begitu lekat.

Kaitan lengan pada pria tua yang ditunjuk sebagai walinya kian erat bersamaan dengan satu per satu langkah meniti bentangan karpet yang terasa begitu jauh.

Astaga, apa-apaan pria itu, haruskan dia menunjukkan ketampananya agar terlihat seperti pangeran menawan? Dasar kucing salju! Oh Tuhan kuatkanlah hamba-Mu ini.

Walau dengan keengganan tersamar dari kedua belah pihak−berucap saya bersedia dengan sepintas lalu tanpa kesadaran penuh. Pemberkatan itu berjalan lancar, bahkan cuaca Seoul yang beberapa hari ini diguyur hujan tampak cerah, seolah memberkati mereka mengucap janji suci.

"Kau boleh mencium pasanganmu," ucap sang pendeta di depan mereka dengan senyum ceria yang sayangnya terlambat disadari oleh sang pengantin wanita.

Tentu, si pria pucat itu benar-benar memainkan perannya kelewat hebat. Dengan senyum mengembang, dia mulai mengikis jarak dengan tangan yang mulai menelusup ke perpotongan leher sang istri lantas melumat ranumnya dengan begitu lembut.

Sial ... apa dia tidak bisa memberiku aba-aba? Ciuman pertamaku ... astaga! Apa tidak bisa di kening saja?

Kilat penuh kemenangan tampak terpeta jelas pada sorot sang pria, meninggalkan kekehan yang nyaris seperti decihan remeh yang lagi-lagi terlambat disadari gadis itu.

"Jangan bilang itu ciuman pertamamu?" bisik Yunki masih dengan tatapan penuh kelembutan yang memuakkan.

Apa dia terlihat seperti gadis tolol sekarang? Karena saat ini dia hanya mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba merangkum semua pemahaman dari gelombang kejut yang baru saja menerpanya.

Baru saja dia tersadar akan ucapan meremehkan itu, sang pria sudah memutar tubuhnya menghadap ke arah para tamu yang bertepuk tangan, meninggalkan berjuta sanggahan yang ingin gadis itu lontarkan. Ah ... sanggahan macam apa? Bahkan tebakan pria itu benar adanya. Jadi, dengan rutukkan yang begitu lantang dia ucapkan dalam hati, gadis itu berakhir tersenyum menyambut ucapan selamat serta doa semoga mendapatkan keturunan secepatnya dari para tamu.

Demi apa pun, wanita itu bahkan bersedia bertukar tempat dengan para tamu yang mengucapkan hal tersebut.

TTT

Jadi di sinilah mereka, mengarungi jalan bebas hambatan dengan Mercedez Benz hitam di jalanan Kota Seoul yang entah menuju ke mana, yang pasti si pria pucat ingin terbebas barang sejenak dari peran yang menyiksanya sejak pagi tadi.

"Kau mau membawaku ke mana?" tanya sang gadis menyembunyikan ketakutannya dengan memasang wajah datar setelah mengetahui bahwa pria di balik kemudi itu tidak membawanya ke apartemen. Jangan salahkan pikirannya yang meliar, gadis itu takut si pria pucat akan memasukkan dia ke dalam karung dan membuangnya ke laut, mengingat pernikahan sialan ini benar-benar di luar kendali mereka.

Sang pria terkekeh geli. "Memangnya kau mau aku membawamu ke mana, hm? Ke apartemenku untuk beradegan panas?"

"Yak! Jangan coba macam-macam denganku!" gertaknya dengan kilat yang ditunjukkan semengerikan mungkin. Tangannya dia lipat di depan dada sebagai bentuk pertahanan.

Tawa sang pria semakin kencang. "Kau terlalu percaya diri, sepertinya kau sering berfantasi liar tentang diriku, ya?"

"Apa!" teriak sang gadis.

"Tercetak jelas di wajahmu, sok galak tetapi terlihat kesepian." Pria itu menggerakkan telapak tangannya di wajah dengan sorot meremehkan.

"Yak! Berengsek! Kau pikir aku semurahan itu, eoh. Aku bahkan ingin bercerai sejak melangkahkan kaki ke arah altar."

Air muka pria pucat itu berubah seketika. Pandangannya beralih ke jalan dengan konsentrasi penuh.

Mengembuskan napas berat, pria itu berkata, "Ya ... secepatnya kita akan bercerai. Kau tahu 'kan aku melakukannya demi orang yang aku sayang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status