"Mau apa kamu mendekatiku, hah?! Apa kamu mau gampar aku, Mas, Jawab!" ku bentak Mas Hearfy ketika aku melihat ia maju mendekatiku.
Mas Hearfy tak bicara, ia diam dan terus berjalan mendekat hingga tiba di sampingku. Sedang posisi badannya langsung menyerempet di lenganku. Kurang ajar! Emangnya dia pikir dia siapa? Berani dia memperlakukanku seenak jidatnya. Kulihat ia mengambil bayi dari tempat tidur padahal aku sedang membersihkan pub nya. "Cuma bersihin pub si kecil aja dibilang repot. Nih, yang model begini nih istri - istri jaman sekarang. Pegang hape berjam - jam saja betah. Eh, giliran melakukan pekerjaan rumah, mengurus bayi malah dibilang repot dan kecapekan." Mas Hearfy terus uring - iringan. Akan tetapi, tangannya juga kulihat dengan gesit membersihkan pub dan membasuh bayi ku pakai tisu basah. Setelah itu, ia kemudian melanjutkan dengan mengenakan pakaian bayi tanpa ada kendala atau rasa takut sepertiku. Aku jadi heran sendiri, kalau seandainya ia sangat lincah mengurus bayi seperti ini, kenapa ia membiarkan aku mengurus bayi kami sendiri? Apa ia hanya mengetes ku dan mau lihat apa aku mampu mengurus bayi atu tidak? Sulit dijelaskan dengan kata - kata mengenai sikapnya yang keterlaluan tersebut. "Lihat apa lagi? Ayo ke dapur bikin kan kopi untukku beserta sarapan sekalian. Orang bekerja tuh pakai tangan biar cepat selesai, jangan pakai mulut atau pakai hati. Dikit -dikit emosi, dikit -dikit mengeluh. Yang namanya perempuan ya kodratnya ya itu saja. Melayani suami, hamil, melahirkan, mengurus rumah tangga bukan cuma cari enaknya saja." ucapnya sembari menggendong bayi dan membawanya ke ruang tamu. Ya ampun! Apa dia pikir tugas seorang perempuan segampang itu? Hamil dan melahirkan ia kira suatu hal yang gampang? Sehingga seenak jidatnya ia meracau. "Mas, seandainya kalau kamu mengalami hal yang sama seperti aku, tentu kamu tidak akan berani bicara seenak jidatmu." ucapku dalam hati. I gin keluarkan semua uneg dalam hatiku, Akan tetapi aku tak mau merusak kesempatan langkah seperti ini. kapan lagi ia bisa membantuku mengurus bayi kami? "Mas, seandainya kalau aku tahu kamu pandai dan lincah dalam merawat bayi, tentu aku pasti memintamu untuk membantuku agar aku tak repot seperti kemarin- kemarin, Mas. Akan tetapi, kamu malah hanya menontonku tak mau membantuku sedikit pun. Sebenarnya apa maksud dari semua itu?" Akhirnya sebuah pujian pun terucap dari bibirku. Agar ia tahu kalau aku memang membutuhkan bantuannya dalam merawat bayi tercinta kami. Ia tak menyahut sedikit pun ucapanku. Ia malah kembali menyuruhku untuk membuatkan dia kopi dan sarapan pagi. "Jangan banyak bacot. Ini bukan waktunya untuk main drama- drama an. Sudah aku bantuin mengurus anak bukannya cepat ke dapur, ini malah masih terus mengomel." suruhnya. Aku hanya bisa mengelus dada mendengar ucapannya yang menusuk hati itu tanpa mampu menjawab sepatah pun . Tapi lumayanlah, ia sudah mau menggendong bayiku daripada tidak sama sekali. Setidaknya bayiku pasti sudah merasakan kalau ayahnya masih hidup, makanya masih bisa mendekapnya. Sebelum ke dapur aku pun sempat menanyakan padanya, apa dia mau kopi yang pahit atau yang manis. Mumpung dia lagi baik seperti itu, aku ingin membuat dia senang saat menikmati kopi buatanku tidak lagi komplain seperti kemarin- kemarin. "Mas, mau ku buatkan kopi yang pahit atau yang manis?" tanyaku. "Yang manis, masa mau buatkan aku kopi pahit. Emang kamu tega ya membuat hidupku pahit secara terus menerus. Punya istri aja aku kayak nggak punya. Tidur saja sendirian terus, sepi sunyi sudah dua bulan ini. Kamu mana ada kasih kesempatan buat aku. Temani aku tidur, Kek, ini malah ngurus bayi terus." omelnya panjang kali lebar sepanjang rel kereta api. Aku hanya mendengus kesal. Lagi dan lagi. Hanya itu- itu terus bahan pembicaraannya. Hanya seputar melayani di atas kasur. Daripada aku pusing mendengar omongannya yang nyerempet mau minta jatah, aku pun dengan cepat pergi ke dapur untuk membuatkan dia kopi dan sarapan pagi berupa Nasi goreng dan telur dadar. Memang sengaja kubuat menu sarapan yang simpel, biar kalau bayiku menangis aku tinggal menggendongnya saja tidak pusing lagi dengan masak memasak. Namun, betapa kagetnya aku ketika semua makanan dihidangkan di atas meja, seketika aku merasakan kalau tubuhku dipeluk dari belakang. Aku tahu ini pasti ulah Mas Hearfy. Dia pasti mau apa- apakan aku dilihat dari gelagatnya yang sangat aneh seperti ini. "Mau apa kamu, Mas, tadi katanya lapar." ucapku sembari berusaha melepaskan pelukan tangannya di pinggangku. "Aku bukan lapar yang ini, Sayang, aku ingin. makan kamu." ucapnya sembari mengendus di pangkal telingaku. Secepat kilat aku mendorong wajahnya ke belakang. Bulu kudukku seketika meremang mendengar kalimatnya yang ingin' memakan ku'. Ya ampun, apa gara- gara aku tidak melayaninya makanya ia secepat itu berubah jadi Zombie pemakan manusia itu? Ih, amit amit. Jangan sampai deh. Semakin aku mendorong wajahnya, malah tangannya semakin kuat memeluk pinggangku. "Mas, lepaskan tanganmu, Mas. Memangnya kamu mau ngapain? Terus anak kita sekarang di mana, Mas? Apa kamu sengaja meninggalkan dia di kamar sendirian?" teriakku panik karena melihat tak ada bayiku di tangannya. "Sst, diam! Jangan berisik kenapa sih?! Anak kita sudah tidur dan aku sudah menidurkannya di kamar. Kita ikut ke kamar, yuk. Aku sudah nggak tahan, nih." ucapnya dengan suara yang mendesah di telingaku sambil tangannya memeluk pinggangku. Sembari menarik tanganku ia pun kembali berbisik di telingaku. "Ayo ke kamar, yuk, cepatan! Nanti keburu bayi kita bangun." ucapnya dengan suara yang semakin berat. Ya ampun. Baru kusadari, ternyata kebaikannya tadi adalah hanya topeng belaka untuk menutupi keinginannya yang sebenarnya. Ia ternyata hanya berpura - pura saja para aku dan bayiku. Mungkin pikirnya, kalau ia membantuku mengurus bayi aku pasti mau melayaninya. Dasar buaya! "Mas, lepaskan tanganmu, Mas. Kenapa sih kamu masih memaksaku juga? Bukan kah aku sudah bilang, Mas, kalau keadaanku belum pulih, badanku belum fit, lukaku juga belum sembuh. Kenapa kamu tak pernah mau mengerti? Apa kamu memang sengaja ingin menyakitiku?!" Kudorong kuat tubuhnya hingga ia hampir terjatuh. Beruntung ia adalah lelaki yang kuat karena badannya yang atletis. Berani kondisi tubuhnya yang melempem, aku pastikan ia pasti jatuh terjengkang menimpa tanah. "Dasar istri durhaka kamu, Dewi! Berani - beraninya main kasar sama suami. Ingat kamu! surganya istri tuh ada di suami karena posisi suami itu sebagai kepala rumah tangga. Jadi apa pun keinginan suami kamu harus memenuhinya karena itu hukumnya wajib. Bukan main dorong seenak jidatmu begini." Ia memarahiku habis - habisan, tapi persetan lah. Dari Pada ia terus melakukan pemaksaan terhadapku. Aku tak memperdulikan ia yang masih uring -uringan di dapur. Cepat aku berlari masuk ke kamar dan menutup pintu dari dalam dengan keras. "Ya Tuhan, ke mana Mas Hearfy yang dulu yang lembut dan penuh kasih sayang ke padaku? ke mana lelaki yang dulu kucintai karena sifatnya yang penuh perhatian padaku? Aku kini hampir tak mengenal dia sama sekali." perlahan kuusap bulir bening yang tiba tiba mengalir di pipiku. Terdengar benda- benda dari ruang tamu yang jatuh bertumpang tindih memperdengarkan bunyi gaduh di pagi hari. Aku tahu, pasti ia sengaja menjungkirbalikkan semua kursi meja untuk melampiaskan amarahnya. Aku pun membuka pintu perlahan sekedar untuk mengintip perbuatannya. Kulihat ia duduk terpaku di sudut rumah sambil meremas rambutnya kasar. Apakah ia frustrasi karena aku tidak menuruti keinginannya? Kenapa ia tak mencoba untuk bersabar sedikit lagi, hanya dua bulan lagi, dan itu bukanlah waktu yang lama. Aku hanya ingin kondisiku pulih lalu mengikuti program keluarga berencana atau KB baru aku melakukan tugasku sebagai seorang istri tulen pada umumnya. "Ah! Dasar istri payah! Sudah habis kesabaranku menghadapi sikapnya yang acuh padaku. Mulai sekarang aku akan mencari kebahagiaanku sendiri. Percuma hidup serumah dengan istri tapi tak bisa memenuhi kebutuhan suami!" Kudengar ia mengomel dari arah dapur. Diam diam, ku intip dari dalam kamar karena kudengar langkah yang menuju ke arah ruang tamu. Kelihatannya ia membuka pintu depan dan sambil mengancamku, ia membanting pintu dengan keras hingga menimbulkan bunyi yang menggema. "Dasar istri durhaka! Diceraikan baru tahu rasa!" Ku usap dadaku perlahan, menghela napas panjang dan mencoba untuk menetralisir suasana hati yang mulai memanas di dalam sana. "Ya Tuhan, apakah ini yang namanya ujian dalam rumah tangga yang masih seumur jagung ini? Apakah aku sanggup menjalaninya, kalau dia terus- terusan bersikap tak perduli dan kasar seperti itu?" Selang dua jam kemudian, ia datang dengan muka yang merah padam. Tak menegurku atau sekedar menyapa bayi dalam gendonganku. Ia langsung menuju ke kamar. Tidak lama kemudian ia ke luar dengan membawa sebuah tas besar.Apakah dia sangat menyayangi putraku? Kalau benar iya, aku merasa sangat bersyukur dan beruntung dipertemukan dengan nya dan bisa bersahabat dengannya...***"Kurang ajar! beraninya kamu berjaya begitu padaku. Dasar wanita miskin tak tahu diri. Muak aku sama kamu." Sandra kulihat melangkah kakinya untuk mengejar ku yang sudah mulai turun dari atas tempat pengantin, tapi nas, mungkin karena ia menginjak gaunnya sendiri, makanya ia langsung terjatuh hingga terdengar bunyi gedebuk dari arah belakangku. Aku segera menengok ke belakang, dan juga semua turut berdiri dan mendekat ke arah pengantin wanita yang terjatuh hingga gaun putih panjangnya belepotan debu dan tanah yang menimbulkan warna lain di gaunnya. "Mas, cepatan tarik aku dong, Mas, aku nggak bisa berdiri nih " seru Mbak Sandra. Bagaimana dia mau berdiri? sementara gaun panjangnya tertindih kakinya sendiri. Walau pun mendengar teriakan minta tolong dari Mbak Sandra, akan tetapi baik para tamu undangan atau pun kedua mertua
Akhirnya, pernikahan antara Hearfy dan Sandra pun dilaksanakan juga, walau pada dasarnya ia belum menceraikan Dewi secara sah. Pernikahan itu digelar sangat meriah, hanya lebih meriah pernikahan pertamanya dengan Dewi dulu saat ayahnya masih menjabat sebagai kepala desa di kampung itu. Akan tetapi, bagi ukuran warga desa itu, pernikahan keduanya ini pun tergolong sangat mewah dan meriah, ketimbang para warga lain yang hanya mengadakan resepsi kecil kecilan atau istilahnya ramah tamah sederhana. Dan seperti yang dikatakan Sandra, ia memang mengundang Dewi mantan istri Hearfy untuk menghadiri acara syukuran pernikahan itu. Dilihatnya kiri kanan, semua manusia yang berjubel memadati halaman rumahnya, tapi ia tak melihat Dewi ada di situ. "Kurang ajar! Berani benar dia nggak menghargai undangan ku. Sudah miskin tapi belagu. Awas dia!" ia menggerutu sendiri. Hearfy yang berdiri di sebelahnya pun menasihati agar jangan uring uringan di depan tamu, takutnya ada yang berpikiran yang buk
"Mas, usir mantan istrimu itu, Mas, aku tidak suka mereka tinggal di situ.""Iya, sayang, nanti aku akan mengusir mereka." sahut Hearfy lirih. "Mas, nggak benar kan, apa yang mantan istrimu itu katakan, kalau rumah itu miliknya? Soalnya aku kepikiran terus tentang perkataannya itu.""Ya enggaklah sayang. Rumah dia dari mana? Itu rumah yang dibangun oleh Ayah untukku, bukan untuk dia. Jadi tenang saja besok atau lusa aku pastikan akan mengusir mereka."; Sahut Hearfy menipu calon istrinya tersebut. Sandra yang tidak tahu menahu masalah penjual belian tanah itu percaya saja akan ucapan Hearfy.Ia bangga akan dirinya yang bisa merebut Hearfy dari Dewi istrinya untuk menjadi suaminya."Ternyata usahaku nggak sia sia. Mas Hearfy sudah masuk dalam jebakan perangkap cintaku. Tak sia sia aku selalu menyenangkan hatinya dengan tubuhku, melayani kebutuhan batinnya selama istrinya mengandung dan melahirkan. Sebentar lagi aku nggak usah sembunyi sembunyi lagi bermesraan di depan orang karena
"Aduh, uang sebanyak ini mau kuapakan ya? Aku ingin membuka usaha saja atau bagaimana? Tapi kalau aku buka usaha, aku khawatir semua orang akan curiga padaku. Mereka pasti bertanya tanya, dari mana aku bisa mendapatkan modal sebanyak itu? Secara aku hanya seorang wanita rumahan dan Ibu rumah tangga pula. Pasti mereka akan mencurigai yang bukan bukan padaku nanti. Ah, lebih baik aku jangan gegabah. Aku tahu g saja dulu yang itu. nanti setelah waktunya tepat, barulah aku akan membuka usaha." Aku membatin sendiri. Akhirnya setelah berpikir cukup lama, aku pun mengambil sebuah keputusan, untuk menabung saja dulu. Kalau waktunya sudah tepat, barulah aku akan membuka usaha, apa pun itu. Semenjak aku sudah memperoleh penghasilan sendiri, kebutuhan aku dan anakku pun semua tercukupi. Aku bisa membelikan di kereta bayi. Yang mana kereta ini sangat bermanfaat untukku. Aku bisa nendudukan anakku di situ, di saat aku melakukan kegiatan harianku yaitu menulis novel. Seperti hati ini, kare
"Mbak Sandra, Mbak Sandra, aku tuh bukan seperti kamu, pura pura minta tolong, tapi ternyata mau bermain lato lato dengan suami orang. jaga saja suami Mbak, jangan sampai ..."***Akhirnya pada sore harinya, aku pergi ke rumah Bu Wati untuk berpamitan pada beliau kalau keesokan harinya aku akan kembali ke rumahku.Pada awalnya beliau terheran heran mendengar ucapanku, tapi setelah ku jelaskan bahwa aku telah membeli rumah itu dengan bantuan orangtuaku, beliau pun akhirnya mengangguk setuju."Ah, kalau begitu malah bagus, Nak, Ibu mau lihat bagaimana nanti tanggapan dari mertua dan suamimu saat tahu kamu sudah memiliki rumah itu. Biar mereka semakin kepanasan dan bila perlu jadi darah tinggi sekalian. Emosi Ibu melihat tingkah mereka yang sangat angkuh itu." ucap Bu Wati kesal.Keesokan harinya, aku segera berkemas untuk pindah ke rumahku kembali. Rasanya sangat lega, bisa kembali lagi ke rumah tersebut.Melihat kehadiranku kembali di rumahku, Bu Rohaya langsung datang bertam
Hari masih amat pagi, ketika Bu Rohaya datang ke rumah. Aku pun langsung membuka pintu dan mempersilakan dia untuk duduk. Wajah beliau terlihat sangat sumringah. Aku yakin, pasti ada kabar gembira untukku di pagi ini. "Maaf, Nak, kalau Ibu datangnya terlalu pagi. Apa ini tidak menggangu bayimu yang lagi tertidur?" tanya Bu Rohaya dengan suara perlahan. Aku tersenyum. "Tentu saja tidak, Bu. Ya ampun, kenapa Ibu sampai berpikiran seperti itu? Kayak saya ini orang lain saja." ucapku dan wanita paruh baya itu pun tersenyum. "Begini, Nak Dewi, Ibu mau mengantar buku sertifikat ini. Segala urusan mengenai penjual belian, dan tanda tangan serah terima pun sudah dilakukan oleh teman Ibu yaitu Bu Evi di kantor desa kemarin. Yang menjadi permasalahannya, besok, Bu Evi mau ikut suaminya yang bertugas di pedalaman. Menurut saran beliau, baiknya, pagi ini juga Nak Dewi harus mengurus surat jual beli lagi di kantor desa atas nama Bu Evi sebagai pihak pertama atau penjual dan Nak Dewi sendiri