Aku hanya menggelengkan kepala tak percaya, hanya karena masalah ranjang ia sampai semarah itu padaku.
"Mau ke mana kamu, Mas?! Apa karena masalah sepeleh itu kamu mau pergi dari rumah?!" tanyaku sembari berdiri di pintu kamar mencegat Mas Hearfy yang sedang menyeret tas pakaiannya untuk ke luar. Memalukan! Hanya gara - gara masalah urusan ranjang ia sampai kabur ke rumah orangtuanya seperti itu. Dia berdiri di hadapanku dengan wajah yang memerah dan memarahiku. "Apa kamu bilang?! Apa kamu kira itu masalah yang sepeleh, hah?! Urusan ranjang kamu kira masalah Sepeleh?! Sepeleh buat kamu karena kamu egois!" Bentaknya kasar. Aku terhenyak. Gara -gara urusan ranjangnya yang tidak terpenuhi, ia sampai tega membentakku dengan kasar seperti itu. "Jadi, maksudnya kamu pergi meninggalkan aku dan anak kita hanya karena aku tidak memenuhi kebutuhan batinmu, begitu, Mas? ya ampun, Mas, kamu nyadar nggak sih kalau aku baru habis melahirkan sebulan yang lalu? Kamu tega, Mas, aku nggak ngerti kenapa kamu bisa seperti itu." ucapku dengan penuh emosi. Tanpa terasa bulir bening yang sedari tadi menggantung di pelupuk mata kini turun dengan derasnya tanpa mampu ku cegah. Seharusnya saat ini aku sedang di manja dan di sayang karena sudah memberikan dia seorang bayi lelaki yang tampan. Akan tetapi kini kami malah adu emosi menge ai urusan ranjang. Dia malah memaksaku untuk memenuhi kebutuhan batinnya. Aku tak percaya kalau dia jadi sekejam itu kepadaku. Melihatku dengan wajah yang bersimbah air mata, lelaki itu bukannya sadar dia malah semakin meradang. "Keluarkan terus air mata buaya mu! Emang kamu pikir dengan begitu aku akan memaafkan kamu?! Kamu yang sudah membuat aku tak betah di rumah. Minggir kamu dari situ.! Aku mau pergi dari rumah yang sudah tak memberikan kenyamanan buat aku ini." Ia mendorong tubuhku hingga punggungku membentur pintu dengan keras. Seketika bayi dalam gendonganku yang sedang terlelap pun ikut terguncang badannya dan membuat ia bangun dan menjerit seketika. Tak ku pedulikan punggungku yang sakit, segera aku mendiamkan bayiku yang menangis kencang sembari terus meminta padanya untuk tidak melakukan tindakan gila itu. Demi bayiku aku tetap berusaha untuk menahannya agar dia jangan pergi dari rumah. "Tunggu, Mas, maafkan aku, kumohon jangan tinggalkan aku dan anak kita, Mas. Aku janji, kalau sudah sembuh nanti aku pasti kasih tahu ke kamu." ucapku sembari memegang lengannya mencoba kembali menahannya agar tidak pergi dari rumah meninggalkan aku dan bayiku yang masih kecil ini. Biar bagaimana pun, aku masih sangat membutuhkan dirinya untuk menolongku, menjaga bayi kami ketika aku hendak melakukan pekerjaan rumah. "Ah, alasan yang basi. Aku tahu kamu sudah sembuh, tapi kamu hanya mencoba menipuku pada hal yang sebenarnya kamu lebih nyaman keadaan seperti itu!" "Demi Tuhan, Mas, sungguh, tidak ada niatku untuk membohongi kamu ,Mas, Aku benar - benar belum pulih. Tolong pikirkan baik - baik keputusan itu, apa kamu tidak kasihan dengan anak kita anak yang berasal dari darah dagingmu sendiri?" ucapku lirih berharap ia mau mengerti keadaanku dan membatalkan niatnya untuk kabur. "Alah! Malas aku mendengar rengekan mu ini. Kamu terlalu jual mahal. Rasakan sendiri kalau tak ada suami itu bagaimana!" ucapnya sembari menarik tas yang berisi pakaian miliknya dan ke luar dari rumah dengan wajah yang penuh emosi. Karena kehabisan kata, aku pun membiarkan dia pergi, rasanya aku sudah tak sanggup lagi untuk bisa mencegahnya. Tak ada kalimat lagi yang bisa ku ucapkan untuk membuat dia bisa mengerti akan keadaanku yang sebenarnya kini. Ku Ikuti dia hingga ke depan pintu dan melihat ia menaruh tas pakaiannya ke atas jok motor. "Ingat! Jangan coba - coba untuk mencariku! karena kamu sudah tak membutuhkan kehadiranku lagi di sampingmu.!" ucapnya lalu melesat pergi meninggalkan rumah. Hatiku sakit karena merasa disia- siakan dan tak diperhatikan oleh suami sendiri di saat baru habis melahirkan seperti ini. Tapi apa dayaku, sebagai seorang perempuan yang masih sedikit mempunyai harga diri, aku tidak akan lagi mengemis dia untuk kembali padaku. Aku harus tetap kuat dan sabar. Demi bayiku, aku tidak boleh lemah. Apa pun yang akan terjadi, aku akan menghadapinya dengan senyuman yang ikhlas karena mungkin ini sudah jalan yang terbaik untukku. *** Seketika, kenangan masa lalu kembali terlintas di pelupuk mataku. Terbayang kembali awal perkenalan kami setahun yang lalu. Awalnya, aku yang baru datang dari kota tak mengenal siapa dia sebenarnya. Dia dengan senyumnya yang menawan yang sanggup menggetarkan hatiku, datang dengan senyuman lembutnya yang memikat. Saat itu, menurut pandanganku sekilas, "Dek, boleh kita berkenalan? Namaku Hearfy, kamu siapa?" Tanya waktu itu dengan suara dan tatapan yang cukup lembut menggetarkan jiwaku. " Dewanti Candrawati. Biasa dipanggil Dewi. balasku sembari menunduk. Kurasakan dadaku berdegup kencang. Saking groginya aku sampai tak sanggup menatap mata elangnya. Diam diam, semenjak perkenalan di hari itu, aku pun mulai mencuri- curi pandang ke arahnya. Perawakannya agak berbeda dari pada para pemuda sebayanya. Ia lebih tinggi, lebih bersih dan juga badannya lebih kekar dan terawat. Kata teman yang kutanya, dia sebenarnya putra seorang kepala desa, pernah kuliah dan tinggal di kota juga. Awalnya, aku tak terlalu menghiraukan karena masih berpura- pura jual mahal padanya. Akan tetapi, dengan gigihnya ia berusaha untuk mendekatiku dan terjadilah perkenalan denganku. Dan akhirnya hubungan kami semakin dekat lalu dilanjutkan dengan hubungan yang lebih serius. "Maukah kamu jadi pacarku, Wi? Dari sekian gadis yang kutemui, hanya kamu yang berkenan di hatiku." Ucap Mas Hearfy suatu saat ketika kami sedang duduk berdua di teras rumah kami. ya, dia sering berkunjung ke rumahku semenjak kami berkenalan waktu itu. Dan saat itu pun, aku merasa menjadi gadis yang sangat beruntung. Karena dari sekian gadis yang suka padanya, ternyata akulah yang dipilihnya untuk menjadi kekasih hatinya. Tanpa banyak alasan, aku pun menerima cintanya dan kami pun mulai menjalin cinta. Mas Hearfy yang kukenal dulu adalah seorang lelaki yang sangat baik, sopan dan juga ramah. Dia berbeda dengan para pemuda yang lainnya yang suka bengal dan pecicilan. Ia lebih terlihat dewasa dan bertanggung jawab dan juga sedikit pendiam atau tak banyak bicara. Ia lebih suka mendengarkan pembicaraan teman - temannya dan hanya sesekali menyela kalau memang ia merasa perlu. Waktu itu, aku tak melihat tingkahnya yang aneh seperti sekarang ini yaitu lelaki yang haus belaian. Dulu menurutku ia adalah seorang pemuda terbaik yang kukenal sehingga ketika dia melamarku, aku pun langsung menerimanya dengan senang hati. "Maukah kamu menjadi pendamping hidupku, Wi? rasanya tak ada gadis lain yang bisa mendampingiku kecuali kamu. Aku ingin melamar mu pada orangtuamu." Masih terngiang ucapannya waktu itu ketika dia melamarku secara pribadi sebelum resmi melamar pada orangtuaku. Tanpa pikir panjang, aku pun menerima pinangannya. Akhirnya setelah hampir sebulan menjalin hubungan ia pun membawa orangtuanya ke rumahku untuk melamar aku pada kedua orangtuaku dan berlanjut ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. "Ayah sih, setuju setuju saja, kalau Dewinya sendiri sudah tepat dengan pilihannya. Hanya satu yang Ayah tekankan, jangan pernah sakiti dia, lebih lebih main kasar sama anakku. Dia putriku yang baik, putri satu satunya yang kumiliki. Kalau dia salah tegur dan menasihati dia secara baik- baik. Jangan main tangan." itu nasihat Ayah ketika menerima lamaran Mas Hearfy dulu. Dan waktu itu, Mas Hearfy pun mengangguk, bahkan ia sampai bersumpah di depan ayahku kalau dia tak akan menyakitiku. Pernikahan kami waktu itu pun digelar dengan cukup meriah. Karena ia anak bungsu dari dua bersaudara dan juga anak seorang kepala desa, Pernikahan kami waktu itu pun bisa dikatakan sebagai pernikahan yang sangat mewah dan besar. Sempat aku mengusulkan padanya sebelum acara pernikahan di mulai. Agar resepsinya sederhana saja tak usah dibesarkan. Namun jawaban Mas Hearfy dan kedua orangtuanya sungguh di luar dugaan. "Kami ini keluarga terpandang di kampung kita ini. jadi kamu seharusnya bersyukur, tidak usah protes seperti itu. Ada banyak kok di luaran sana gadis yang ingin seperti dirimu." ucapan Ibu mertua yang mampu membuatku terbungkam pada waktu itu. Selain kerabat dan handai taulan, semua masyarakat di desa kami pun turut diundang oleh ayah mertua demi memeriahkan pesta pernikahan kami. Waktu itu aku merasa sangat bahagia begitu pun juga dengan kedua orangtuaku. Rasanya hanya akulah satu satunya wanita di kampungku yang sangat beruntung. Namun, kenangan indah itu ternyata hanya sebatas kenangan saja karena kebahagian yang dijanjikan oleh Mas Hearfy tak pernah ia tepati. pernikahan yang megah, pesta yang meriah tidak menjamin kelanggengan hubungan kami. Baru setahun menikah kami sudah dihadapkan pada masalah rumah tangga yang sangat rumit. Ujian yang begitu berat menurutku sebagai seorang perempuan. Masih kuingat betul kebiadabannya padaku malam itu malam di mana ia memaksaku. Waktu itu aku baru dua Minggu melahirkan, ia malah sudah meminta haknya dan bahkan hampir saja memaksaku. Beruntungnya aku waktu itu karena kedua mertuaku menginap di rumahku, hingga pada malam itu aku pun selamat dari nafsu bejadnya. Mengingat itu semua, air mataku perlahan kembali jatuh melewati pipiku. Dengan segudang penyesalan aku melangkah masuk ke dalam rumah. Kubuka ponselku bermaksud untuk menghubungi orangtuaku karena aku ingin pulang ke rumah orangtuaku. Akan tetapi, baru saja layar hape itu terbuka muncul sebuah unggahan di mana kulihat Mas Hearfy sedang duduk berdempetan dengan kakak ipar dan juga ibu mertua sembari bercanda tawa ria. Tak ada kulihat sedikit pun kemarahan yang ada di raut wajahnya, di situ, ia malah sangat bahagia.Apakah dia sangat menyayangi putraku? Kalau benar iya, aku merasa sangat bersyukur dan beruntung dipertemukan dengan nya dan bisa bersahabat dengannya...***"Kurang ajar! beraninya kamu berjaya begitu padaku. Dasar wanita miskin tak tahu diri. Muak aku sama kamu." Sandra kulihat melangkah kakinya untuk mengejar ku yang sudah mulai turun dari atas tempat pengantin, tapi nas, mungkin karena ia menginjak gaunnya sendiri, makanya ia langsung terjatuh hingga terdengar bunyi gedebuk dari arah belakangku. Aku segera menengok ke belakang, dan juga semua turut berdiri dan mendekat ke arah pengantin wanita yang terjatuh hingga gaun putih panjangnya belepotan debu dan tanah yang menimbulkan warna lain di gaunnya. "Mas, cepatan tarik aku dong, Mas, aku nggak bisa berdiri nih " seru Mbak Sandra. Bagaimana dia mau berdiri? sementara gaun panjangnya tertindih kakinya sendiri. Walau pun mendengar teriakan minta tolong dari Mbak Sandra, akan tetapi baik para tamu undangan atau pun kedua mertua
Akhirnya, pernikahan antara Hearfy dan Sandra pun dilaksanakan juga, walau pada dasarnya ia belum menceraikan Dewi secara sah. Pernikahan itu digelar sangat meriah, hanya lebih meriah pernikahan pertamanya dengan Dewi dulu saat ayahnya masih menjabat sebagai kepala desa di kampung itu. Akan tetapi, bagi ukuran warga desa itu, pernikahan keduanya ini pun tergolong sangat mewah dan meriah, ketimbang para warga lain yang hanya mengadakan resepsi kecil kecilan atau istilahnya ramah tamah sederhana. Dan seperti yang dikatakan Sandra, ia memang mengundang Dewi mantan istri Hearfy untuk menghadiri acara syukuran pernikahan itu. Dilihatnya kiri kanan, semua manusia yang berjubel memadati halaman rumahnya, tapi ia tak melihat Dewi ada di situ. "Kurang ajar! Berani benar dia nggak menghargai undangan ku. Sudah miskin tapi belagu. Awas dia!" ia menggerutu sendiri. Hearfy yang berdiri di sebelahnya pun menasihati agar jangan uring uringan di depan tamu, takutnya ada yang berpikiran yang buk
"Mas, usir mantan istrimu itu, Mas, aku tidak suka mereka tinggal di situ.""Iya, sayang, nanti aku akan mengusir mereka." sahut Hearfy lirih. "Mas, nggak benar kan, apa yang mantan istrimu itu katakan, kalau rumah itu miliknya? Soalnya aku kepikiran terus tentang perkataannya itu.""Ya enggaklah sayang. Rumah dia dari mana? Itu rumah yang dibangun oleh Ayah untukku, bukan untuk dia. Jadi tenang saja besok atau lusa aku pastikan akan mengusir mereka."; Sahut Hearfy menipu calon istrinya tersebut. Sandra yang tidak tahu menahu masalah penjual belian tanah itu percaya saja akan ucapan Hearfy.Ia bangga akan dirinya yang bisa merebut Hearfy dari Dewi istrinya untuk menjadi suaminya."Ternyata usahaku nggak sia sia. Mas Hearfy sudah masuk dalam jebakan perangkap cintaku. Tak sia sia aku selalu menyenangkan hatinya dengan tubuhku, melayani kebutuhan batinnya selama istrinya mengandung dan melahirkan. Sebentar lagi aku nggak usah sembunyi sembunyi lagi bermesraan di depan orang karena
"Aduh, uang sebanyak ini mau kuapakan ya? Aku ingin membuka usaha saja atau bagaimana? Tapi kalau aku buka usaha, aku khawatir semua orang akan curiga padaku. Mereka pasti bertanya tanya, dari mana aku bisa mendapatkan modal sebanyak itu? Secara aku hanya seorang wanita rumahan dan Ibu rumah tangga pula. Pasti mereka akan mencurigai yang bukan bukan padaku nanti. Ah, lebih baik aku jangan gegabah. Aku tahu g saja dulu yang itu. nanti setelah waktunya tepat, barulah aku akan membuka usaha." Aku membatin sendiri. Akhirnya setelah berpikir cukup lama, aku pun mengambil sebuah keputusan, untuk menabung saja dulu. Kalau waktunya sudah tepat, barulah aku akan membuka usaha, apa pun itu. Semenjak aku sudah memperoleh penghasilan sendiri, kebutuhan aku dan anakku pun semua tercukupi. Aku bisa membelikan di kereta bayi. Yang mana kereta ini sangat bermanfaat untukku. Aku bisa nendudukan anakku di situ, di saat aku melakukan kegiatan harianku yaitu menulis novel. Seperti hati ini, kare
"Mbak Sandra, Mbak Sandra, aku tuh bukan seperti kamu, pura pura minta tolong, tapi ternyata mau bermain lato lato dengan suami orang. jaga saja suami Mbak, jangan sampai ..."***Akhirnya pada sore harinya, aku pergi ke rumah Bu Wati untuk berpamitan pada beliau kalau keesokan harinya aku akan kembali ke rumahku.Pada awalnya beliau terheran heran mendengar ucapanku, tapi setelah ku jelaskan bahwa aku telah membeli rumah itu dengan bantuan orangtuaku, beliau pun akhirnya mengangguk setuju."Ah, kalau begitu malah bagus, Nak, Ibu mau lihat bagaimana nanti tanggapan dari mertua dan suamimu saat tahu kamu sudah memiliki rumah itu. Biar mereka semakin kepanasan dan bila perlu jadi darah tinggi sekalian. Emosi Ibu melihat tingkah mereka yang sangat angkuh itu." ucap Bu Wati kesal.Keesokan harinya, aku segera berkemas untuk pindah ke rumahku kembali. Rasanya sangat lega, bisa kembali lagi ke rumah tersebut.Melihat kehadiranku kembali di rumahku, Bu Rohaya langsung datang bertam
Hari masih amat pagi, ketika Bu Rohaya datang ke rumah. Aku pun langsung membuka pintu dan mempersilakan dia untuk duduk. Wajah beliau terlihat sangat sumringah. Aku yakin, pasti ada kabar gembira untukku di pagi ini. "Maaf, Nak, kalau Ibu datangnya terlalu pagi. Apa ini tidak menggangu bayimu yang lagi tertidur?" tanya Bu Rohaya dengan suara perlahan. Aku tersenyum. "Tentu saja tidak, Bu. Ya ampun, kenapa Ibu sampai berpikiran seperti itu? Kayak saya ini orang lain saja." ucapku dan wanita paruh baya itu pun tersenyum. "Begini, Nak Dewi, Ibu mau mengantar buku sertifikat ini. Segala urusan mengenai penjual belian, dan tanda tangan serah terima pun sudah dilakukan oleh teman Ibu yaitu Bu Evi di kantor desa kemarin. Yang menjadi permasalahannya, besok, Bu Evi mau ikut suaminya yang bertugas di pedalaman. Menurut saran beliau, baiknya, pagi ini juga Nak Dewi harus mengurus surat jual beli lagi di kantor desa atas nama Bu Evi sebagai pihak pertama atau penjual dan Nak Dewi sendiri