Share

BAB 6

Lembaga Pemasyarakatan.

Aku duduk dengan gelisah menunggu pertemuan pertamaku dengan kakakku Rizal Arifin yang sedang menjalani hukuman di Lapas ini. 

"Mas, kita pulang aja yuk.Aku nggak yakin dia mau bertemu denganku," ucapku lirih.

"Tenang, Dik, jangan berprasangka yang tidak-tidak. Lebih baik memastikan lebih dahulu dari pada menyimpulkan sendiri. Kita tunggu beliau keluar ya." Mas Andri meremas jemariku memberiku kekuatan.

"Saudara Rizal, Anda diberi waktu 30 menit sebelum kembali ke sel Anda." Suara tegas petugas Lapas membuyarkan lamunanku. Kulihat sesosok laki-laki dengan perawakan tinggi menatap ke arahku. Mataku berkabut, aku teringat ayah. Sungguh penampilan Kak Rizal di depanku mengingatkanku pada ayah. Kembali kurasakan jariku diremas lembut oleh Mas Andri, sepertinya ia memahami jika aku sedang tidak baik-baik saja.

"Kak Rizal ..." gumamku lirih sambil berdiri.

"Duduklah, Dek," ucapnya menyuruhku duduk kembali. Dek??? Apa dia memanggilku adek? Apa dia mengingatku yang dulu masih sangat kecil dan polos? Dia duduk di hadapanku dengan menatap tajam padaku. Aku menunduk menerima tatapan tajamnya.

"Aku tau suatu saat kau pasti datang menemuiku. Tapi aku tidak menyangka kita akan bertemu di tempat seperti ini. Aku tidak punya banyak waktu. Apa ada yang mau kau sampaikan padaku?" kata Kak Rizal tetap dengan menatap padaku.

"Tidak ada yang ingin kusampaikan, Kak. Aku hanya ingin bertemu dengan kakak kandungku. Apakah itu salah? Aku tidak mengerti apa yang terjadi di masa lalu, yang aku tau dan ku dengar dari cerita ayah aku mempunyai 2 kakak laki-laki. Aku menemuimu sekarang karena Allah baru memberikan petunjuknya sekarang." Aku tiba-tiba menemukan kekuatan untuk berbicara dan menatapnya. 

Kulihat di luar Mas Andri lagi mengobrol dengan petugas Lapas, dia memberikan waktu padaku dan Kak Rizal untuk bicara. 

Kak Rizal tersenyum. "Gaya bicaramu persis ayah, Dek. Kakak rindu pada ayah. Kakak sudah banyak dosa pada ayah. Kamu tau, kakak berada di sini mungkin ini hukuman yang Allah berikan karena Kakak sudah terlalu banyak melukai hati ayah." kak Rizal menyeka air matanya. Matakupun sudah basah dengan air mata. Kusodorkan tisu padanya tanpa kata. "Terima kasih," ujarnya.

"Apa sebenarnya yang terjadi pada Kak Rizal dan Kak Amir, mengapa sampai seperti ini? Aku merasa menyesal terlambat menjumpai Kakak. Bahkan aku cuma bisa mengunjungi pusara Kak Amir. Kenapa Kakak dulu tidak pernah mengunjungiku? Apakah kau tidak pernah menganggapku adikmu?" Kembali  kutatap matanya. Dia tertunduk, menarik nafas panjang.

"Itulah yang menjadi penyesalan terbesarku sekarang dek. Dulu kakak begitu terpukul dengan kehadiranmu, kau mengambil ayah dari kami. Kami merasa kasih sayang ayah pada kami memudar karena kamu. Ayah sangat jarang mengunjungi kami, bahkan semakin menjauh dari kehidupan kami. Setelah dewasa baru kuketahui bahwa ayah sama sekali tidak meninggalkan kami, bahkan seharusnya kehadiranmu menjadi kebahagiaan kami juga. Ibukulah yang melarang ayah menemuiku dan Kak Amir, ibu juga merubah surat-surat tanah dan rumah serta semua harta atas namanya, bahkan ibu yang membuat ayah dipecat dari Pegawai Negeri Sipil. Hidup ayah terlunta-lunta hingga akhirnya mencoba membuka usaha jahitan. Dan ibumulah yang setia di samping ayah menemani ayah memulai hidupnya kembali dari nol. Sebelum ibuku meninggal, beliau membeberkan semuanya. Tapi sudah terlambat, aku dan Kak Amir sudah terlanjur kehilangan sosok ayah yang membuat kami berdua tumbuh dengan jiwa kekerasan. Akhirnya di sini lah aku sekarang, aku beruntung masih diberi Allah kesempatan untuk merenung dan menyesali serta bertaubat pada-Nya. Tapi kak Amir ...." Dia terisak, kembali kusodorkan tisu yang kupegang.

"Pulanglah, Dek, terima kasih sudah mengunjungiku. Maafkan semua yang sudah terjadi sampaikan pula maafku pada ibumu. Kau adalah adikku, sekarang kau satu-satunya saudaraku. Kakak berharap hiduplah dengan baik, setidaknya ayah punya satu anak yang tidak tersesat sepertiku dan Kak Amir. Kulihat suamimu sepertinya orang baik dan soleh (dia menoleh ke arah Mas Andri) ikutilah dia, dia surgamu. Sering-seringlah mengirim doa pada ayah, semoga ayah diampuni dosa-dosanya, dilapangkan kuburnya dijauhkan dari siksa kubur." Kak Rizal berdiri dan menepuk nepuk bahuku. Aku tergugu, tak sanggup berkata-kata.

Petugas Lapas kemudian masuk untuk membawa Kak Rizal kembali ke sel nya. 

Kuraih lengannya. "Aku pulang ya, Kak, Insya Allah aku akan sering mengunjungi Kak Rizal setelah ini. Semoga Allah memberi kekuatan pada Kak Rizal, pada kita semua." Aku mengucapkannya sambil mengingat masalahku dengan Mas Andri yang bahkan belum sempat kubahas.

***

"Dik, kemarin mau bahas apa dengan Rini?" Suara Mas Andri memecah kesunyian di mobil saat kami berdua pulang dari Lapas.

"Ada sesuatu yang ingin kupastikan padanya Mas, kenapa? Tumben mas jadi 'kepo' gini?" Aku menoleh padanya.

"Hehe gak boleh ngomong gitu, Dik. Bukankah Mas suamimu, Mas harap kamu tidak melakukan hal yang aneh-aneh ya, Dik." Tangan kirinya mengusap pahaku sedang tangan kanannya memegang stir. Aku kembali menoleh.

"Aneh-aneh gimana maksudnya, Mas? Kenapa juga aku harus aneh? Kurasa Mas deh yang aneh sekarang," sahutku ketus.

"Ya sudahlah, Dik. Kita nggak usah bahas 'keanehan' lagi," katanya sambil tertawa. Aku terdiam, tidak ada yang lucu menurutku, malah sekarang aku merasa makin tertantang untuk menyelidiki ada apa sebenarnya antara Mas Andri dan Rini.

***

Drrrtttt... ddrrtttt... Ponselku berbunyi. Kulihat Rini memanggil.

[Asalamualaikum, Rin.]

[Walaikumsalam Mbak Nuri. Mbak sibuk kah? Rini mau ketemu Mbak ada yang ingin Rini sampaikan,] ucapnya 

[Mbak masih di kantor Rin? Rini mau ketemunya kapan dan di mana? Nanti mbak usahakan waktunya. Mau ngomongin apa sih, Rin? Sudah ada yang ngelamar kah?] sahutku bercanda. Kudengar helaan nafasnya di telpon.

[Hehe kalau sekarang masih rahasia Mbak, Insya Allah ini salah satunya yang mau Rini ceritakan pada Mbak Nuri]

[Oke Rin, gini aja. Besok sepulang kantor Mbak ke rumahmu ya.]

[Dengan senang hati, Mbak. Rumah itu rumah Mbak Nuri juga karena itu pemberian perusahaan. Rini akan sangat senang kalau Mbak Nuri mau mengunjungi rumah Rini. Jangan lupa ajak anak-anak ya Mbak,] sahutnya.

[Aduh kalau itu belum bisa Rin, Mbak kan rencananya besok sepulang kantor langsung mampir, jadi gak pulang kerumah dulu. Lain kali lah Mbak bawa anak-anak berkunjung.]

Entah kenapa hatiku merasa kali ini aku tak boleh melibatkan anak-anakku, apalagi Aldy. Aku kembali teringat pernyataan Aldy yang merasa ayahnya dan Rini ada hubungan khusus.

***

Kunyalakan sambungan g****e map pada ponsel ku dengan memasang alamat Rini yang dikirimnya beberapa hari yang lalu. Memasuki perumahan yang lumayan bagus menurutku. Sepertinya ini perumahan baru, penataannya rapi dan bangunan-bangunannya masih terlihat baru. Aku membuka kaca mobilku ketika melewati pos satpam, kusampaikan detail alamat blok yang kutuju.

"Ohh ... rumah Nyonya Rini ya, silahkan Bu," kata pak satpam. 

Nyonya Rini??? Bukankan Rini belum menikah? Seharusnya satpam menyebutnya Nona Rini atau Mbak Rini. Setauku Nyonya adalah sebutan bagi perempuan yang sudah menikah. Ah ... entah kenapa aku semakin takut dengan kenyataan yang akan kuhadapi. Apakah Rini memang sudah menikah? Apakah suaminya adalah Mas Andri? Aku bertanya-tanya dalam hati. Hatiku tiba-tiba menciut, aku merasa takut jika apa yang ada dipikiranku menjadi kenyataan.

"Bu, kok malah melamun. Silahkahkan Bu ..." kata pak satpam terkekeh membuyarkan lamunanku.

Kuedarkan pandanganku mencari blok dan nomor rumah Rini. 

Degggg!!! 

Aku terkejut ketika kulihat di depan rumah bernomor 17 tepat dengan alamat yang diberikan Rini padaku ada mobil Mas Andri parkir di sana. Jantung serasa memompa dengan cepat, telapak tanganku dingin, perasaanku tidak enak. Aku memang tipe orang yang cepat gugup. Ada apa ini ya Allah? Dengan tangan gemetar aku mencari celah yang aman untuk memarkirkan mobilku.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status