Part 6
"Baguslah, sana kerja, jangan jadi benalu!" ucap ibu sinis. "Bu, jangan bicara seperti itu, Bu. Bagaimanapun juga Nak Saga sudah menjadi bagian dari keluarga kita," tukas Bapak menengahi "Heleh!" sahut ibu sinis kemudian berlalu kembali ke dalam. "Saya berangkat dulu, Pak!" pamit Mas Saga. "Kamu pasti kembali lagi 'kan? Kamu tidak berencana kabur untuk meninggalkan putri bapak?" tanya Bapak, entah kenapa Bapak bertanya seperti itu. Biarpun dia pergi, bukankah tidak masalah bagiku? Ah ya, aku paham sekarang, bapak dan yang lain tidak percaya padaku. Mungkin bapak khawatir kalau anaknya yang tidak berharga ini ditinggalkan begitu saja. Aku menghela napas dalam. Entah kenapa terasa berat sekali. Tanpa kusadari, lelaki itu memandangku sejenak dan menjawab, "saya akan kembali, Pak." Dia mendekatiku lalu memberi dompet berisi kartu identitasnya. "Pegang ini sebagai jaminan. Aku pasti akan kembali." "Lho?" Aku mengerutkan kening. "Kamu tidak usah khawatir, ada atau tidak adanya dompet tidak berpengaruh bagiku. Aku sudah terbiasa hidup di jalanan," ujarnya lagi. Dan sosok itu melangkah pergi meninggalkan rumah tanpa terisi makanan lebih dulu. Aku mematung sejenak. Tetiba terdengar suara Mega yang cempreng. "Bu, aku berangkat dulu!" teriaknya. "Hati-hati, Sayang! Lho, kamu gak sarapan dulu?" "Gak Bu, udah kesiangan! Udah ditungguin Mas Gun di ujung jalan!" "Kamu mau kemana?" "Biasa, Bu, jalan-jalan dulu sama Mas Gun!" "Gak kerja?" "Izin libur, Bu." "Lho Bos-mu gak marah?" "Haha, tenang aja, Bu. Aku kan pegawai kesayangan di kantor jadi dapat kompensasi soal izin." "Hmmm ... Terus kenapa Gunturnya gak disuruh kesini saja?" "Buru-buru, Bu. Udah ya, aku berangkat!" "Ya, hati-hati di jalan." Gadis itu tampak cantik mengenakan dress warna biru denim selutut dan sweater rajutnya. Ia berjalan melewatiku tanpa permisi, dengan sikap sombong dan angkuhnya gadis itu benar-benar meremehkanku sebagai seorang kakak. Pamit pada bapak pun alakadarnya saja. "Suamimu pergi kemana, Mbak? Ngamen ya?" ejeknya tiba-tiba dari luar rumah. Setelah mengatakan hal itu dia pergi sambil tertawa. Aku hanya menggeleng pelan sambil menghela napas dalam. Dan kembali melakukan aktivitas membersihkan dan beres-beres rumah. Hari ini aku bolos kerja, kakiku masih terasa nyeri bila dipakai untuk berjalan jauh. Menit demi menit berlalu, hari mulai menjelang siang, mendadak teringat ucapan ibu semalam, 'kalau mau makan harus masak sendiri karena aku sudah punya suami.' Apa boleh buat, dengan terpaksa aku keluar rumah. Berjalan pelan menuju warung Bu Endah, hendak membeli beras dan kebutuhan lain, minimal saat Mas Saga pulang nanti ada makanan yang dia santap. "Bu, aku beli berasnya satu kilo, telor seperempat sama mie gorengnya 4 bungkus ya, Bu," ujarku. Tak hanya itu, akupun memilih bumbu2 dan sayur ceisim untuk campuran mie nanti. "Eh, eh, ada pengantin baru! Gimana rasanya? Kok jalanmu ampe begitu sih, May?" Geni, teman seumuran Mega bertanya sambil meledek. Mereka memang bestie. "Pengantin baru kok belanjanya cuma mie sama telor, gak dinafkahi ya? Ups lupa! Haha!" Entah kenapa dia tiba-tiba datang, dan beberapa yang lain juga ikut datang padahal tadi warung tampak sepi. "May, mahar kamu cuma seratus ribu doang? Gak minta yang lain? Bagaimana bisa kamu menerima pernikahan semurah itu?" "Namanya juga sudah terlanjur basah, ya terima saja maharnya murah! Untung bukan mahar sandal bekas!" sindir ibunda Geni yang tiba-tiba nimbrung, dan disahuti tawa ibu-ibu yang lain. 11 12 untuk perangai ibu dan anak itu, sama-sama doyan julid ya seperti ibu dan adik tiriku. "Wanita itu seharusnya memikirkan masa depannya dengan lebih baik. Bagaimana bisa ia menerima mahar semurah itu?" celetuk yang lain. "Anak zaman sekarang ya yang penting cinta, berandalan miskin gak apa-apa malah mau-mau aja diajak ind3hoy di sawah. Aiiih! Pokoknya kamu jangan sampai begitu, Geni! Bikin malu!" "Tenang aja, Bu, aku nungguin lamaran dari Mas Aksara kok, hehehe!" Kata-kata sindiran itu terasa menusuk hatiku seperti pedang tajam. Kenapa mereka tidak berpikir kalau aku merasa terpukul atas insiden kemarin dan juga perkataan mereka. Perih sekali. Ini hari pertamaku menjadi seorang istri dari pria asing itu. Namun seperti tak ada bedanya, aku hanya menjalani pernikahan yang jauh dari impian. Dan yang membuatku semakin terpuruk adalah reaksi keluarga serta para tetangga yang menghinaku seperti ini. 'Sudahlah, biarkan mereka berbicara, menjawab pun tak ada artinya,' ucapku pada diri sendiri sambil menelan ludah. 'Bismillah, Damay, kamu kuat, Damay! Yuk semangat! Anggap saja mereka hanya mengkhawatirkan aku,' gumamku dalam hati, berusaha mencari pelipur lara. "Semuanya 45 ribu, Neng," ujar Bu Endah membuyarkan lamunanku. Gegas aku membayarnya dan segera pergi dari sana. Risih rasanya mendengar cemoohan mereka. "May, besok kamu tetap berangkat kerja? Tadi suami berandalmu pergi ke sana, mau kemana dia, May?" Lagi-lagi Geni kepo. Aku hanya mengendikkan bahu dan berusaha mempercepat langkah meninggalkannya. "Ih dasar somse, ditanyain malah pergi gitu aja!" sungutnya yang masih terdengar di telingaku. Keningku mengernyit saat melihat sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah orang tuaku. Rumah sederhana dengan taman kecil yang dipenuhi bunga-bunga liar di halaman. Dua pria besar berpakaian serba hitam turun dari mobil tersebut. Wajah mereka serius, dan gerakan mereka terlihat gesit, sebagai tanda bahwa mereka terlatih dengan baik. "Apakah ini rumahnya, Bos?" tanya salah satu dari mereka, suaranya berat dan serak. "Percayalah padaku, ini tempatnya," jawab yang lain, suaranya juga sama beratnya. Dengan langkah mantap, mereka berdua mendekati pintu depan rumah. Pintu diketuk dengan cepat, terlihat ibu membukakan pintu, dan ekspresi wajah yang berubah kaget melihat kedua pria itu. "Ada apa, Pak?" tanya ibu, mencoba menyembunyikan kecemasannya. "Uuh, itu pasti orang yang mau nagih hutang! Eh, May, jangan-jangan suamimu itu punya utang banyak ya sampai didatangi debt collector segala?" Suara Geni mengejutkanku, rupanya dia mengikuti langkahku. Dasar tukang kepo! "Dia di mana?" tanya salah satu dari mereka. "W-wah, siapa yang Anda maksud?" tanya ibu gemetar. "Apa yang terjadi?" Bapak muncul dari dalam rumah. Saat bapak muncul, kedua pria berpakaian hitam itu mengernyitkan kening. Mereka mendekati bapak dengan langkah pasti, membuatnya mundur beberapa langkah. "Kami mencari Damay!"Setelah itu, aku duduk sebentar di bangku, perasaanku tetap hangat dari perhatian kamu. Kamu berdiri di depanku, matamu masih penuh dengan kasih sayang. Tanpa kata, kamu ambil botol air, lalu menyodorkannya padaku. "Minum dulu, jangan sampe dehidrasi," katamu sambil ngelirikku.Aku ambil botolnya, tapi mataku gak lepas dari kamu. Rasanya, setiap detik yang berlalu penuh makna. Kamu bukan cuma buat aku merasa nyaman, tapi kamu juga selalu bikin hari-hariku lebih berwarna."Kamu nggak pernah capek ngurusin aku, ya?" Aku bertanya, meskipun aku tahu jawabannya. Kamu cuma tersenyum lebar, senyuman yang paling aku sukai."Capek? Gak ada yang lebih menyenangkan selain ngurusin kamu. Kamu bikin aku bahagia, Mas," jawabmu, suara kamu serak, tapi tetap penuh rasa sayang."Terima kasih, Sayang, udah selalu ada," aku bisikin pelan.Kamu balas dengan tatapan lembut, senyum tipis. "Aku akan selalu ada, Mas. Ayo kita saling berjanji."
POV SAGA Matahari sore mulai meredup, meninggalkan semburat jingga di langit. Angin sepoi-sepoi mengayun dedaunan di taman, sementara langkah kita beriringan di sepanjang jalur setapak. Aku menggenggam tanganmu erat, sesekali melirik wajahmu yang tampak begitu ceria. "Kamu mau es krim?" tanyaku tiba-tiba. Mata kamu berbinar. "Mau!" jawabmu semangat. Aku terkekeh, lalu menarikmu menuju kios es krim di sudut taman. "Kamu mau rasa apa?" Kamu berpikir sebentar sebelum menjawab, "Coklat dan vanila aja, biar manis dan lembut seperti aku, Mas." Aku tertawa kecil dan memesankan es krim pilihanmu, sementara aku sendiri memilih rasa stroberi. Setelah menerima es krim, aku menyodorkannya padamu. "Ini buat kesayangan aku." Kamu mengambilnya dengan senyuman lebar, lalu menjilat es krim itu dengan wajah puas. "Hmm, enak banget!" Aku menatapmu sambil tersenyum. "Tapi masih ada ya
Malam itu, di rumah, Saga duduk di ruang keluarga bersama Damay. Rasa cemas tentang masa depan perusahaan masih menghantuinya. Damay duduk di sampingnya, memegang tangannya, berusaha memberikan kenyamanan. "Mas, kenapa?" "Tidak apa-apa, aku hanya berpikir bagaimana dengan nasib masa depan perusahaan, terlebih Ayah sudah menyerahkan semuanya padaku." "Jangan khawatir, Mas. Mas sudah melakukan yang terbaik," kata Damay lembut. Saga hanya menghela napas. Damay menatapnya dengan penuh pengertian. "Mas, kamu sudah berusaha, dan sekarang waktunya untuk bergerak maju. Ayah sudah membantu banyak, dan kamu akan mampu mengelola perusahaan itu dengan baik." Saga tersenyum tipis, berusaha menerima kenyataan yang ada. "Aku akan berusaha lebih keras lagi, Damay. Aku tidak ingin semua pengorbanan sia-sia." Keesokan harinya, Saga kembali ke kantor dengan semangat baru, siap menghadapi tantangan
Setelah keputusan pengadilan yang menghukum Aidan, Saga dan Damay akhirnya bisa bernapas lega. Namun, kebahagiaan mereka tak bertahan lama. Saga harus menghadapi kenyataan baru yang lebih berat: perusahaannya, yang telah dibangun dengan susah payah selama bertahun-tahun, berada di ambang kebangkrutan.Perusahaan yang dulu begitu megah kini mengalami kerugian besar akibat beberapa investasi yang gagal, manipulasi laporan dari dalam ditambah dengan pengaruh dari masalah yang menimpa Aidan. Saga tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa banyak keputusan buruk yang terlanjur diambil, dan kini semuanya berujung pada masalah keuangan yang tak bisa dihindari.Saga duduk termenung di ruang kerjanya, mata terpaku pada layar komputer yang menampilkan laporan keuangan perusahaan. Kerugian yang terus menggunung dan semakin parah membuat hatinya terasa berat. Segala usaha yang dilakukan untuk membalikkan keadaan seolah sia-sia. Kini, kebangkrutan di ambang pintu, dan ia tahu
"Diana?" kata Saga dengan nada terkejut, mencoba menguasai emosinya.Diana berdiri di depannya, tanpa kata-kata lebih dulu. Wajahnya terlihat pucat, dan kedua tangannya gemetar saat ia meletakkan sebuah surat di atas meja Saga.“Aku tahu kamu pasti sudah tahu tentang Aidan,” kata Diana pelan, suara tergetar. “Tapi aku mohon, Saga, bebaskan dia. Aku sedang hamil anaknya. Aku tak ingin anak ini tumbuh tanpa seorang ayah.Saga terkejut, tapi ia segera menutupi rasa terkejutnya. Saga menatap Diana dengan tatapan kosong. Dia terdiam sejenak, seolah mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Diana. Wajahnya berubah, tidak bisa menyembunyikan perasaan marah dan kecewa.“Aidan sudah membuat segalanya berantakan, Diana,” kata Saga, suaranya tegas. “Dia tak hanya menyusahkan dirimu, tapi juga aku dan keluarga kami. Kenapa kamu tidak melihat apa yang dia lakukan?”Diana menundukkan kepala, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tahu, aku tahu dia telah m
"Kamu pikir kamu bisa mengancamku begitu saja dan aku akan diam? Tidak, Aidan. Kalau kau ingin menantangku, aku akan buat kamu menyesal.""Hahaha! Tapi ingatlah ini Saga, sampai kapanpun aku tidak akan menyerah!" ucap Aidan setengah berteriak.Dengan wajah yang penuh amarah, Saga berbalik dan meninggalkan ruang interogasi.Di luar ruangan, Pak Tom menunggu, melihat bosnya dengan tatapan serius."Bagaimana, Mas Bos?" tanya Pak Tom, suara penuh kekhawatiran."Aku tak percaya dia melakukan ini. Tapi aku tak akan biarkan dia merusak apa yang sudah kumiliki."Pak Tom mengangguk. "Kami akan terus mengawasi perkembangannya, Bos."Dengan tatapan tajam, Saga melangkah keluar dari kantor polisi.*** Hari itu, Damay dan Saga akhirnya mendapatkan kabar baik. Setelah menunggu dengan penuh kecemasan, dokter akhirnya datang dengan senyum yang membawa harapan."Pak Saga, Bu Damay, kami sudah memeriksa kondisi