Niat mulia katanya bang :))
“Cepat sekali perginya.” Mae berkomentar saat melihat Poppy hanya tinggal sendiri begitu ia kembali dari memesan minuman di kasir. Harper dan Enola yang tadi ada sudah tidak terlihat. Pergi tanpa merasa perlu berpamitan dengan Mae. “Memang. Anaknya pulang cepat atau semacam itu.” Poppy menyebut alasan Harper dan Enola pergi sambil terkekeh. Seperti Gina, Poppy sangat menyambut gembira kedatangan Mae di Andover. Ia langsung mengajak Mae bertemu. Sayangnya bersama Harper dan Enola tadi—hanya tidak bertahan lama. Harper tidak bisa menolak langsung ajakan Poppy. Diantara mereka Mae yang memiliki level setelah Gina sebenarnya—juga Poppy. Suami Poppy pangkatnya setara Ash, sedang suami Enola dan Harper ada di satu tingkat di bawah mereka. Sedang Gina tentu sudah sama sekali berbeda. Ia tidak ikut berkumpul tanpa rencana resmi atau acara untuk dibahas. Gina berada di level yang lebih tinggi sebagai istri Parker. “Sampai kapanpun dia tidak akan suka padaku bukan?” Mae duduk dan mulai
“Kita tidak pergi ke rumahmu?” tanya Carol, saat melihat Mae menghentikan mobil di depan deretan cafe. “Tidak. Maaf, aku tidak bisa.” Mae menggeleng, lalu turun. Ia membantu Mama Carol turun dari mobil dan memapahnya sampai ke dalam cafe. Trotoar di sana cukup terjal, Mama Carol akan kesulitan melangkah karena keadaan punggungnya itu. “Aku padahal ingin melihatmu tinggal dimana.” Carol mendesah kecewa. “Maaf.” Mae meminta maaf lagi, tapi tidak memperpanjang penjelasan maupun mencari alasan untuk sikapnya itu. Sikap Mae tidak berubah. setelah mendengar penjelasan Ash tentang masa lalu, Mae masih belum bisa membawa Mama Carol mendekati tempat hidupnya bersama Ash—ataupun menjelaskan kepadanya siapa Ash. Terlalu rumit. Bicara kepada Lynch kemarin membuat Mae ingat salah satu nasehatnya— menyelesaikan masalah satu demi satu, tidak menumpuk sekaligus. Saat ini Mae ingin menyelesaikan masalah Daisy dulu. “Aku pikir kau masih tidak suka kopi.” Carol heran saat masuk ke cafe. Aroma cafe
“Kau apa?” Carol tampak terkejut. “Aku akan membuka toko roti—suamiku yang ini mengizinkan. Nanti hasilnya akan aku pakai untuk membiayai Daisy. Pasti bisa, Mama. Setelah transplantasi ginjal itu Daisy tidak akan membutuhkan cuci darah rutin bukan? Uangnya akan aku pakai untuk modal.” Mae punya uangnya. Warisan dari Barnet sudah masuk ke dalam rekeningnya. Ada email dari bank yang memberitahu Mae kemarin. Mae tidak tahu bagaimana bisa hal itu terjadi—karena tidak pernah merasa melakukan apapun untuk mengurusnya, tapi bersyukur tentu. Tapi meskipun ada—dan masih akan bersisa cukup lumayan kalau Mae tetap memberi jatah kepada Daisy seperti normalnya—jumlah itu tidak akan cukup untuk modal membuka toko. Mae akan memberi jumlah yang lebih kecil, dan berharap sisanya bisa dipakai untuk membuka toko. Nanti ia akan mendapat pemasukan—dan bisa dipakai untuk hidup bersama Daisy serta Mama Carol seperti biasa. Mungkin jumlahnya tidak akan bisa langsung besar, tapi seharusnya cukup. Keadaan
“Young Lady, aku tidak tahu kau siapa, Tapi itu tadi tidak sopan sekali. Kau mengganggu pembicaraan kami!” Carol bangkit dan menegur dengan kening berkerut.Mae langsung merasakan dejavu karena seperti itulah sikap Mama Carol saat sedang menegur anak yang nakal maupun tidak sopan. Masih terdengar sopan tapi ia tahu amarah yang menyusul berikutnya lebih buruk kalau Poppy terus melawannya.“Aku teman Mae. Aku juga tidak tahu siapa kau, tapi kau baru saja menghina temanku. Aku tidak terima.” Poppy tadi masih terdengar sopan, tapi setelah teguran itu ia langsung meninggalkan sopan santun dan balik menatap Carol dengan wajah ketus.“Teman? Mae, kau punya teman seperti ini?” Carol bukan hanya heran, tapi juga nyaris tidak percaya. Se
“Kau butuh sesuatu? Aku akan ambilkan.” Poppy menawarkan segalanya begitu mereka sampai di dalam apartemen Ash.“Tidak. Sudah cukup.” Mae amat berterima kasih karena Poppy sudah memberinya secangkir teh. Itu saja cukup memberinya kehangatan. Tubuhnya tadi terasa dingin mendadak.Mae hanya bisa menduga itu karena serangan panik. Setelah duduk dengan lebih nyaman di sofa serta minum teh, tubuhnya kembali menghangat sekarang.“Aku salah. Maaf. Aku seharusnya tidak sekasar itu, dan tidak turut campur.” Poppy duduk di samping Mae lalu meminta maaf bertubi-tubi.“Jangan.” Mae menggeleng sambil berusaha tersenyum.“Aku justru terharu dan berterima kasih. Aku—akh
Ash bersiul lalu menatap sekitar. Mencari pergerakan. Dari balik pepohonan, akhirnya terdengar suara raungan mesin mobil. Ash menghela napas lega. Rencana pertukaran itu masih bisa berjalan meskipun ia sedikit terlambat sampai di tempat perjanjian. Sepanjang jalan mereka ke tepi hutan ada banyak sekali serangan tidak jelas. Entah mereka tahu sandera apa yang dibawanya, atau sekedar ingin merampok saja. Ash harus melakukan pekerjaan yang hampir mustahil tadi, karena harus melindungi sandera dan juga melawan musuh yang kebanyakan tidak nampak. Ia kini hanya tinggal berharap pertukaran itu berjalan lebih damai. Ia butuh pulang dan melihat Mae. Menebus kelelahan setelah sekian hari berada di hutan.Ash melirik ke arah pria brengsek yang yang kemarin hampir mati di tangannya, juga Ian. Mereka kini berjaga di sekeliling sandera. Ash lalu maju saat mobil jeep terbuka yang perlahan berhenti di seberang lapangan. Kurang lebih berjarak sepuluh meter darinya.Ash melirik arloji di tangannya. I
“Kau yakin tidak akan memberatkan? Kau akan sibuk, Ro.” Dean bertanya sambil memandang Rowena yang masih memeriksa jadwalnya pada ponsel. Brad baru saja mengirim detail jadwal mereka berdua untuk dua minggu ke depan. “Tidak masalah. Ini bukan pertama kali aku melakukannya.” Rowena mengangkat bahu. Ia sudah menemani Dean selama beberapa kali masa pemilu. Kesibukan kampanye bukan hal baru untuknya.“Terima kasih, Ro. Aku tidak akan bisa melakukannya tanpamu.” Dean meraih tangan Rowena dan mengecup lembut.“Apa lawan yang kau hadapi kali ini sangat berat? Kau sampai menjadi ekstra manis untuk berterima kasih padaku.” Rowena tersenyum lalu bersandar pada bahu Dean.“Apa maksudmu? Aku selalu manis.” Dean tersenyum lega melihat reaksi Rowena itu. Meski sekian puluh tahun berlalu, Dean terkadang masih khawatir untuk bersikap manis padanya. Ada kala Rowena akan menerima, tapi ada juga saat ia akan membalas dengan ketus. Dean harus bisa membaca keadaan hatinya sebelum bisa melakukannya. Mele
“Aku tidak menyarankan kau melihatnya saat ini juga, masih bisa besok.”Poppy menyarankan, tapi kakinya tetap menginjak pedal gas, melajukan mobil Mae. Poppy menentang rencana Mae untuk menjenguk Ash seketika, karena memang tadi Mae sempat pingsan.Butuh beberapa saat penuh kepanikan untuk menyadarkan Mae tadi. Poppy tidak ingin mengulang itu.“Aku ingin melihatnya sekarang.” Mae mengusap tangannya yang kembali terasa dingin. Ia sejak tadi bersusah payah menghitung angka dalam kepalanya untuk mengurangi cemas—dan mencegah serangan panik. Mae tahu ia harus bisa tenang.Satu-satunya hal yang masih membuat Mae bisa bernapas adalah kata ‘terluka’. Ash terluka setidaknya—bukan lebih buruk dari itu. Mae sengaja tidak bertanya luka itu seperti apa, atau separah apa, karena takut. Ia tidak mau mendengar kabar yang lebih buruk lagi. Pada akhirnya ia akan tahu setelah melihat Ash nanti. “Oh, itu Gina.” Poppy berseru lega, menunjuk Gina yang terlihat berjalan cepat menghampiri, begitu mereka tu