Pagiiii yang cerah, matahari bersinar, ku gendong tas merah---salah, ku gendong Ash...Eh, salah juga :))) Selamat Pagi lah pokoknya "))) selamat menikmati penderitaan Carol Faraday :))
“Jangan, tarik yang ini dengan tangan kanan, lalu tahan memakai jari telunjuk. Kau tidak boleh menarik semua, atau benangnya akan kusut.”Dengan sabar, Ash menunjukkan contoh yang dimaksud agar Mae bisa mengikuti langkahnya. Mereka sedang merajut tentu. Kegiatan yang dipilih oleh Mae, karena ingin mendapatkan ketenangan—seperti yang dipromosikan Ash.Kepala Mae rasanya semakin sakit saat harus memikirkan masalah Rowena. Meski sudah punya rencana, tapi gelisahnya tetap datang. Tapi merajut sejauh ini hanya membuatnya semakin emosi. Meski Ash sudah menjelaskan dengan detail, memberi contoh, sampai memilihkan cara termudah, yang dihasilkan Mae lebih mirip gundukan benang kusut.“Aku menyerah!” Mae melemparkan hakpen dan benang ke atas meja lalu menghempaskan diri ke sofa. Berbaring miring dengan lelah.“Mungkin aku tidak berbakat, seperti kau saat menghias kotak.” Mae meraih tangan Ash yang sejak tadi duduk di samping sofa.“Bagaimana tangan ini bisa merajut tapi tidak bisa menempelkan m
“Tidak. Aku ingin melihat Daisy dulu. Aku mohon.” Mae mendahului saat melihat Stone mendekatinya, begitu mereka sampai di rumah sakit. Perjalanan mereka panjang untuk bisa sampai di rumah sakit, karena Daisy dibawa ke RS yang masih dekat dengan Bakewell.Tapi Mae selalu menolak saat Ash mencoba menjelaskan keadaan. Mae tidak merasa mampu menerima keterangan apapun saat ini. Ia lebih butuh untuk tahu keadaan Daisy daripada yang lain. Mae tahu kelemahannya sendiri setelah beberapa kali kehilangan arah saat mencoba mengelola kekacauan emosi dan keadaan yang beruntun. Ash ada di dekatnya—Mae tahu akan ada yang menjaganya, tapi Mae tidak mau melewatkan apapun karena pikirannya yang kacau. Mae lebih memilih untuk tahu satu demi satu—dan yang pertama adalah keadaan Daisy.“Nanti.” Ash memberi gelengan juga pada Stone. Mereka menaiki mobil terpisah tadi, dan sampai di rumah sakit pada saat yang hampir bersamaan.“Disana. Ms. Daisy sudah dipindahkan.” Stone memberi petunjuk dengan jari agar M
Fokus mata Mae yang tadinya bertebaran ke segala arah, akhirnya menatap warna biru yang ada persis di hadapannya. Mata biru yang selalu menjadi kepercayaannya itu, saat ini mengatakan hal aneh. Hal yang terdengar bodoh malah. Mae mendengus dan menegur akhirnya. “Kau itu bicara apa? Kau mirip sekali dengan Amy saat sedang jahil. Jangan main-main pada saat seperti ini, bukan waktunya.”Ash menggeleng. “Mary, kau pikir kenapa Stone ada di sini? Dia bukan petugas paramedis yang menjemput pasien. Stone adalah polisi, bukan paramedis. Keberadaannya seharusnya memberitahumu kalau keadaan tidak baik-baik saja bukan?” Perlahan Ash menjelaskan lagi. Ia tahu akan mengulang penjelasan itu karena tidak akan mudah diterima Mae. Ash akan mengulanginya meski ratusan kali, asalkan Mae terlepas dari ketergantungan pada Carol dan Faraday.“Tapi—” Mae menatap Stone yang menunjuk kursi di pojok—memang ada untuk keluarga pasien yang menunggu hasil tes. “Silakan,” katanya. Mengajak Mae duduk agar mereka b
“Tapi … Kenapa?” Pertanyaan yang datang amat lambat, dan fokus Mae kembali terpecah.Ia menatap Daisy, lalu pintu masuk unit observasi itu—baru kembali pada Stone dan Ash.Bahkan setelah semua itu, Mae masih perlu merasa mencari Carol dan dokter Faraday.“Mary.” Ash menepuk pelan pipi Mae, lebih lega karena paling tidak Mae tidak menolak sekitar, dan masih bisa diajak bicara meski sulit menerima. “Kau percaya padaku bukan? Kau tahu aku akan melakukan apapun untukmu bukan?” tanya Ash dengan senyum. Akan melakukan apapun hal positif untuk mengalihkan emosi Mae dari Carol.“Ya… Kau mencintaiku.” Mae bergumam dan menyentuh pipi Ash. Ia tahu Ash tidak akan berbohong. Ia membutuhkan orang yang tidak berbohong saat ini.Semua serba membingungkan—Mae tidak tahu harus mempercayai apa, tapi Ash tidak akan berbohong, tidak akan menyakitinya. “Ya, aku selalu menginginkan kebahagiaan untukmu. Selalu.” Ash mengangguk, sambil meremas tangan Mae yang ada di pipinya.“Tapi kenapa? Kenapa berpura-pura
“TIDAK!” Mae kembali berteriak dan hampir saja berlari pergi, tapi Ash berhasil merangkul tubuhnya, dan memeluk erat.“Maaf… maaf…,” bisik Ash, menyesal membuat Mae mengingat kejadian itu, tapi tidak berhenti. Sedikit lagi.“Kau korban, Mary. Kau yang menderita. Kau yang memberi uang untuknya. Mama Carol dan Dokter Faraday, mereka meminta uang darimu. Kau yang mencarinya, mereka yang menikmatinya.” Ash mengulang kalimat panjang itu, paling tidak tiga kali, sambil melawan keinginan Mae untuk memberontak.“Tidak begitu! Aku melakukannya untuk Daisy, semua uang itu untuk Daisy! Agar dia sembuh! Aku rela! Untuknya!” Mae tidak mau mendengar, tidak ingin menerima.Bagaimana bisa? Mae hanya tahu kenyataan itu. Mae mencurahkan seluruh hidupnya untuk itu. Mae tidak pernah memikirkan masa depannya, hanya Daisy—dan Daisy.“Aku rela… Daisy sakit…” Mae kembali menepuk dadanya—karena semakin sesak. Masih enggan menerima kalau dirinya korban, karena hal itu sama saja mengakui kebodohan seumur hidup.
“Aku tidak tahu kau sudah sadar.” Ash terkejut saat melihat Daisy dalam keadaan membuka mata. Ia baru saja meninggalkan sisi Mae.Mata Daisy bergulir menatap Ash. Awalnya biasa saja, tapi dengan cepat menjadi merah dan air mata turun di pelipisnya.“Maaf, apakah maskernya bisa dilepaskan?” Ash bertanya pada perawat yang kebetulan lewat di dekat ranjang Daisy.“Oh? Tentu, asalkan pasien tidak merasa sesak napas lagi. Apa Anda bisa bernapas lega?” Perawat itu bertanya dengan ramah, tentu berpura-pura tidak melihat air mata Daisy, karena itu privasi.Daisy mengangguk dan perawat itu membantunya melepaskan masker, lalu memasang selang oksigen menempel di bawah hidungnya. Masih membantu Daisy bernapas dengan lebih lega meski tanpa masker. “Panggil saya lagi kalau memang terasa sesak.” Begitu perawat itu berpamitan dan pergi, maka Daisy tidak lagi menahan isakannya. Ash meraih tisu dan membantunya menghapus air mata, karena tangan Daisy terlalu lemas untuk menggenggam apapun. Tangannya den
Ash menggeleng. “Perbedaan itu bukan tidak mungkin. Bisa jadi orang tua kalian—”“Ayahku O dan ibuku A. Aku melihat catatannya di dokumen dulu. Aku tidak amat paham saat pertama melihatnya, tapi saat mempelajarinya di sekolah, aku akhirnya paham. Aku dan Mae tidak mungkin berasal dari orang tua yang sama.”Ash memejamkan mata, ingin memproses tapi otaknya terasa terlalu aktif. Ia berpikir terlalu jauh, padahal jawabannya mudah. Hanya perlu hal sederhana untuk membuktikannya.“Mae tidak menganggapnya aneh, karena tidak pernah melihat dokumen kematian orang tua kami—orang tuanya. Aku dulu meminta pada Mama Carol untuk memperlihatkannya karena penasaran kenapa mereka meninggal, Mae tidak pernah mempertanyakannya.”Daisy menghapus butir air matanya yang turun, lalu melanjutkan dengan nada datar.“Tapi aku malah bersyukur saat menyadari kalau Mae tidak akan pernah tahu. Dokumen itu sudah ikut terbakar bersama rumah Mama Carol. Aku lega saat menyadarinya.”“Apa kau waras? Kenapa kau diam? Ke
“Jangan memaksa kalau masih lemas. Tidak ada yang memburumu, Mary.” Ash berdiri dan menahan bahu Mae yang tampak ingin bangkit begitu membuka mata.“Aku—dimana…” Mae menatap sekitar.“Rumah sakit. Kau pingsan.” Ash menekan remote, sedikit menegakkan ranjang agar Mae bisa lebih tegak tanpa harus duduk.“Oh—ya.” Mae menerjemahkan kenyataan saat pandangannya menemukan polisi berseragam, tampak berjaga tidak jauh dari pintu.“Stone meninggalkannya agar bisa melaporkan perkembangan keadaanmu dan Daisy secara langsung.” Ash menjelaskan alasan keberadaan polisi itu. Stone sudah meninggalkan rumah sakit beberapa saat lalu.“Daisy!” Mae berpaling dengan sangat cepat, tapi ranjang Daisy kosong. “MANA…”“Jangan panik. Daisy hanya sedang menjalani serangkaian tes. CT-scan dan lain-lain. Aku kurang tahu apa saja, tapi banyak. Dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk memastikan keadaannya.”Ash memandang lantai saat mengatakan itu, karena dirinya kurang lebih berkontribusi atas kegawatan keadaa