“Aku punya uang. Aku menunjukkan rekening asli padamu kemarin.” Ash sampai merasa aneh saat mengucapkannya. Ini pertama kali ia harus meyakinkan seseorang kalau ia punya harta.
“Lalu kenapa kau tinggal di tempat yang lapuk seperti ini?” Mae menunjuk sambil mengernyit sebal.
“Mmm… Aku biasanya tinggal di asrama—sebelum ini. Aku harus mencari rumah dengan segera agar kita bisa…”
“Kau punya uang banyak dan hanya ini yang bisa kau temukan? Kau pasti sangat payah saat mencari,” sergah Mae. Memang waktunya hanya seminggu, tapi uang bisa menyelesaikan pembelian rumah dalam waktu beberapa hari saja.
“Itu…”
“Kau sebentar lagi akan mati bukan? Kau butuh tempat yang indah dan nyaman seharusnya. Pilih dengan lebih baik.” Mae kembali memotong dengan decakan, sambil menatap sekitar.“Nikmati waktu terakhir yang kau punya dengan maksimal. Untuk apa kau tinggal di tempat kumuh seperti ini? Kau ingin mati ditempat yang beraroma seperti orang mati padahal belum ada yang mati di sini?” Mae mengernyit karena aroma apak di sekitarnya semakin terasa. Rumah itu sepertinya sudah lama tidak dihuni.
“Ini… rumah kakekku sebenarnya. Bagian dari warisan itu. Aku tidak banyak mengubah keadaan.”
Ash mengucapkannya sambil tersenyum, tapi orang buta juga bisa melihat kalau senyum itu penuh luka. Terluka karena seluruh ucapan Mae yang menghina tempat itu, padahal berarti banyak untuknya.
Mae yang malas bersimpati, masih bisa juga melihat itu, tapi tidak akan mengakui kesalahannya tentu.
“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi! Sekarang kau membuatku terlihat kejam.” Mae mendesis, menyalahkan Ash.
“Oke.” Ash hanya mengangguk, tidak membahas lukanya.
“Kalau kau memang tidak suka, aku akan mencari rumah lain dan kita bisa…”
“Tidak perlu,” tolak Mae, sambil berdiri.
“Aku tidak biasanya memberi keistimewaan seperti ini, tapi kau boleh memilih tempat dimana ingin menghabiskan waktu terakhir kehidupanmu. Aku tadi mengusulkan tempat yang lebih bagus, karena sayang sekali kalau kau mati di tempat yang kurang indah. Tapi tempat ini punya kenangan untukmu. Kita tinggal di sini saja.”
Mae tidak akan berdebat lagi tentang tempat tinggal. Ia pernah tinggal di tempat yang lebih buruk sebenarnya, tidak masalah kalau setahun ini tinggal di rumah lapuk itu.
“Dimana kamar yang akan kita tempati?” tanya Mae. Ia ingin berbaring dan mandi paling tidak. Ingin menghilangkan bekas sentuhan dua anak tiri setan itu dari tubuhnya.
“Sebelum itu… Ini. Kita harus menandatanganinya.” Ash mengambil amplop coklat yang tadi dibawanya dari mobil.
“Oh, surat pernikahan? Aku pikir kita harus ke kantor pencatatan, atau balai kota. Cepat sekali.”
Mae sedikit terkejut. Biasanya pernikahan formal dilakukan di kantor balai kota, dan tidak secepat ini mengurusnya. Butuh paling tidak dua puluh hari.
“Aku punya kenalan,” gumam Ash, sepertinya malas menjelaskan.
“Oke.” Mae membuka dokumen dan dengan mudah menemukan tempat dimana harus membubuhkan tanda tangan. Ini sudah keempat kalinya.
Tapi ada dokumen tambahan dibaliknya. Mae tidak meminta, karena biasanya tidak perlu, tapi Ash sudah menyiapkan detail tidak terduga.
Perjanjian pembagian harta–semacam prenup. Menyatakan kalau Mae akan memiliki harta Ash. Tidak ada keterangan berapa banyak atau jumlah persen, karena memang bukan surat warisan, hanya peresmian janji Ash.
Meski tidak normal, Mae dengan senang hati menandatanganinya. Setidaknya janji itu lebih berwujud nyata.
Ash duduk di hadapannya, lalu ikut menandatangani bagiannya. “Aku akan membawanya untuk disahkan besok. Tidak perlu datang langsung. Temanku akan mengurusnya,” kata Ash.
“Menyenangkan. Aku tidak perlu repot.” Mae berdiri dan mengulurkan tangan.
“Sah?” Mae menatap Ash yang juga perlahan berdiri dan menatap tangannya. Cukup lama sebelum akhirnya menyambut.
“Sah,” ucapnya, sambil mengangguk. Mata biru Ash menatap jelas, tapi Mae tidak bisa menebak apa yang terlintas di benaknya.
“Aku harus lebih sering mengamatinya.” Mae membatin. Ekspresi Ash lebih sering hangat, tapi saat datar begini, Mae resah. Ia tidak suka saat tidak bisa menebak pikiran pria. Khawatir isinya berbahaya.
“Aku akan menjadi istrimu sampai nanti kau mati. Aku tidak akan berkhianat, dan aku harap kau juga sama. Kalau kau tiba-tiba bertemu wanita dan jatuh cinta, atau ingin menikah dengannya, katakan saja terus terang. Aku akan pergi—dengan uang bagianku tentu.”
Mae malas kalau harus terlibat drama merepotkan demi uang. Ini alasan lain Mae memilih pria tua, mereka biasanya bersyukur telah memilikinya yang masih muda dan cantik, tidak perlu mencari yang lain. Ash masih muda, dan siapa tahu setahun ini ia menemukan wanita lain.
Ash, hanya menggeleng pelan. Tidak jelas apakah ia menolak kemungkinan itu, atau hanya tidak ingin mengaku.
“Siapa tahu saja. Kau masih bisa menarik wanita. Kau tidak menjadi jelek hanya karena sakit.” Mae menjentik rambut Ash yang ada di kening. Dari wajah, Ash tidak kekurangan.
Ash mengalihkan pandangan ke lantai, dan ini menggelikan menurut Mae. Ash tampak malu mereka bersiborok dari jarak dekat. Tidak ada pria yang menunduk malu saat melihat Mae, biasanya bernafsu.
Mae menyipitkan mata, lalu membuka mantel yang belum sempat dilepaskannya. Ash dengan otomatis menerima, dan menggantung mantel itu di dekat pintu—bantuan normal pada umumnya atas dasar sopan, sambil menjelaskan detail rumah itu.
“Kamar yang bisa dipakai sebelah sana. Aku memperbaiki satu itu dan… Apa yang kau lakukan?!” Ash berseru terkejut saat berbalik.
Mae bukan hanya membuka mantel, tapi semua pakaiannya. Ia membuka blouse yang dipakainya dalam sekali tarik, juga rok selutut hitam yang dipakainya dengan mudah. Tak lupa melepas ikatan di belakang kepala, mengurai rambut brunette, untuk mempertegas keelokan yang dimilikinya.
“Mary… maksudku… Mae, itu…” Ash mematung, tapi matanya bergerak liar. Tidak tahu harus mengarah kemana. Antara ingin memandang tubuh Mae yang perlahan berjalan mendekatinya, atau dengan sopan berpaling.
“Kita sudah menikah bukan? Apa lagi yang kau tunggu? Buka bajumu dan cium aku.” Mae berbisik lembut sambil membuka kaitan di belakang punggungnya dengan mudah, dan membuka lembar terakhir kain di tubuhnya, dengan dorongan ke bawah perlahan—ia kembali tegak berdiri di depan Ash, saat selesai—tanpa ada yang tertutup.
Apa pun keadaannya, Mae selalu memastikan tugas pertamanya berjalan lancar.
“Well, silakan menikmati.” Mae merangkul leher Ash, berjinjit dan mendekatkan bibirnya. Aroma aftersave musk memenuhi hidung Mae. Tidak ada aroma orang tua seperti yang biasa tercium olehnya.
Tapi sama saja akhirnya, bibir yang menyambut godaan itu sama. Riang gembira dan melumat dengan gemas. Siapa yang tidak akan tergoda oleh wajah cantik dan bibir ranum yang ditawarkan Mae?
Ash yang tadi tampak ragu pun, kini meraih pinggang Mae dan meremas kuat.
Tidak mungkin Ash bisa menolak saat ada tubuh hangat yang menempel padanya. Tubuh yang dengan sengaja bergerak perlahan untuk memancing hasrat, mendesak lembut, menarik nafsu yang tadi terbenam jauh dalam benak Ash. Ini tidak termasuk dalam rencananya. Ash hanya ingin menunjukkan kamar untuk Mae, bukan mencumbu maupun menyentuh. Rencana yang hanya tinggal rencana, karena rencana Mae yang lebih berhasil. Mae menyeringai saat Ash menyusupkan wajah ke lehernya, mencari kehangatan dan aroma untuk memuaskan keinginannya. Memang seharusnya seperti ini, Mae hanya perlu memamerkan tubuhnya dan pria akan tergila-gila. Mae mendesah pada saat yang tepat, bersuara serak dan lembut. Membuatnya menjadi pelengkap godaan manja. Untuk memastikan Ash benar-benar tenggelam dalam nafsu tanpa bisa kembali. Mae kembali tersenyum saat kedua tangan Ash mulai naik dan mengelus, mencari kepuasan juga seperti bibirnya, mencari tempat hangat dan empuk untuk disentuh. Membelai lembut pinggang Mae, lalu perut d
Mae tidak merasa melakukan kesalahan sampai membuat Ash menyadari kepura-puraannya. Dan akting yang dilakukannya tadi seharusnya sempurna. Mae melenguh saat dibutuhkan, dan mendesah ketika waktunya tepat. Ia seharusnya sudah terlihat ingin. Butuh waktu sampai hampir setahun bagi Barnes untuk menyadari sandiwara itu, dan itu pun karena Mae melakukan kesalahan. Ia melenguh—berpura-pura menikmati—saat belum terjadi apapun. Mae sudah separuh mengantuk saat Barnes membuka pakaiannya, dan merasa Barnes sudah melakukannya, tapi ternyata belum. Setelah itu Barnes berusaha keras untuk memuaskan Mae, yang mana mustahil—karena Mae tidak pernah menginginkannya. Tapi itu butuh waktu lama, Ash menyadari bahkan sebelum mereka melakukan apapun. “Kau tahu dari mana aku tidak menginginkannya?” Mae ingin tahu dimana kesalahan yang membuat sandiwara itu terbongkar. Ash mengerutkan kening. “Apa ini penting? Aku seharusnya bertanya kenapa kau melakukan ini saat tidak menginginkannya.” Ash menunjuk tubuh
Mae menyipitkan mata, karena tidak mendapati ada makhluk hidup di sampingnya. Ia bangun sendiri, pada ranjang yang dipakainya sendiri. Ash tidak bangun terlebih dulu, karena ranjang bagiannya dingin. Tidak ada yang menempatinya semalaman. “Lucu sekali.” Komentar yang tidak sesuai dengan hati, karena Mae jengkel tentu. Ia berharap Ash akan ada di ranjang bersamanya pagi ini. Setelah kegagalan tadi malam, Mae langsung tidur—karena memang terlalu mengantuk untuk terus jengkel, sementara Ash belum juga masuk. Mae mengira suami barunya itu akan masuk setelahnya. “Apa sebenarnya maumu?” Mae bergerak ke kamar mandi sambil mengomel. Pernikahan ini belum berumur sehari tapi sudah menyebalkan. Biasanya mudah saja padahal. Mae hanya perlu melayani di ranjang, dan sudah. Apa pun akan datang padanya setelah itu—mulai dari pakaian, perhiasan dan lainnya. Mae kini harus berusaha lagi, dan jangan sampai gagal. Mae menatap bayangannya di cermin, dengan sikat gigi masih menyangkut di dalam mulut
“Tidak.” Ash menutup bibir Mae, sesaat setelah ia menutup mata. Mata yang langsung terbuka, amat lebar. Terkejut, tapi yang utama adalah malu. Ini bahkan lebih buruk dari kemarin. Setidaknya kemarin ia berhasil mencium Ash, tidak ditolak sebelum terjadi. Ash terlalu waspada untuk terhanyut saat pagi dan segar. “Bukan salahmu juga, aku harus segera berangkat. Maaf. Tapi aku sudah terlambat.” Ash mundur menjauh, dan merapikan pakaian seragamnya, juga sepatu. “Maaf sekali lagi.” Ash mengangguk, lalu berlari kecil ke arah pintu, tapi berbalik lagi. “Aku sudah memenuhi kulkas, tapi kalau kau tidak ingin memasak, ada restoran di kaki bukit. Mobil yang semalam bisa kau pakai—aku memakai yang lain. Kuncinya disana.” Ash menunjuk ke atas perapian. “Lalu akan ada orang juga yang datang untuk membersihkan nanti sore, dan…” “Tidak perlu!” Mae membantah. Tidak bermaksud ketus, tapi perasaan jengkelnya masih terbawa. “Oh, bagaimana…” “Aku akan mengurusnya sendiri, kau pergi saja!” Mae ak
Mae sebenarnya malas kembali ke Bakewell secepat ini, tapi tidak punya pilihan. Ia harus mengunjungi bank. Uangnya yang ada di rekening sudah kosong, maka ini saatnya ia memakai simpanan lain—emas. Sayangnya belum banyak, dan kini Mae harus menguranginya gara-gara dua anak tiri setan itu. Mae mengangguk pada petugas bank yang menyerahkan buku tabungannya lagi. Ia mencairkan emas yang ada di lemari penyimpanan bank itu, dan kini tabungannya kembali terisi. Ia juga mengurus pemindahan simpanan emas itu, agar tidak perlu kembali ke Bakewell kalau ingin mencairkan uangnya. “Terima kasih atas kunjungannya, Mrs. Jones. Apa ada lagi yang bisa kami bantu?” Pegawai bank itu bertanya dengan ramah. “Untuk urusan bank sudah tidak ada, tapi ada satu hal yang aku minta darimu,” kata Mae sambil berdiri dan memakai kembali kacamata hitamnya. “Oh?” Wanita setengah baya yang melayaninya sejak tadi tampak bingung. “Namaku bukan lagi Jones, tapi Cooper. Tolong katakan pada semua temanmu. Aku yakin in
Terdengar tidak pantas, tapi Mae maklum karena memang uang itu tidak boleh terlambat. Harus ada setiap kali Daisy membutuhkannya.“Sudah ada.” Mae menjawab dalam bisikan singkat.“Oh, syukurlah. Kau sehat rupanya. Aku khawatir kau sakit.” Carol menepuk pelan punggung Mae, menyalurkan kelegaan, dan menutupinya seolah tengah bertanya kabar Mae.“Tidak. Ada masalah di pekerjaan. Aku tidak bisa santai seperti biasa.” Mae memberi alasan tersamar tentang tidak pulang. Tidak terlalu bohong. Bagi Mae menjadi sugar baby dan istri adalah pekerjaan yang menghasilkan uang.“Ada apa? Apa masalahnya berat?” Carol bertanya sambil memandang khawatir. Carol tahu pekerjaan Mae, yang tidak tahu adalah Daisy. Ia mengira Mae bekerja di kota lain dan cukup.“Ya, cukup berat. Tapi tidak perlu khawatir. Aku akan membereskannya.” Mae belum tahu bagaimana, tapi menyingkirkan kekalutan itu. Dengan penuh senyum, Mae mengambil kantong yang dibawanya tadi.“Jeruk bukan? Aromanya.” Daisy mengendus saat Mae membuka
“Kau jangan menakutiku!” sergah Ian. Ia tidak amat mengerti tapi jelas meragukan Ash bisa melakukan kriminalitas menjijikkan itu.“Apa kau mabuk? Atau wanitanya terlihat tua tapi belum cukup umur? Kau tertipu? Dia mengaku cukup umur?” Ian memberondong dengan pertanyaan yang sekiranya bisa sedikit menyelamatkan moral Ash.“Bukan itu! Dia…” Ash mendesah lalu menegakkan punggung, tapi tidak benar-benar tegak. Ia menyangga kepalanya dengan tangan, representasi kalau memang kepalanya sedang amat berat.“Dia apa? Katakan! Aku akan menjauh darimu mulai dari sekarang kalau memang kau busuk. Aku tidak mau kena masalah juga!” desak Ian.“Mulia sekali, dan terima kasih atas dukungannya.” Ash mendengus mendengar betapa sedikitnya niat Ian bertahan disisinya saat ada masalah. Tapi memang begitulah Ian. Ash betah bersamanya karena selalu blak-blakan.“Well, kau tidak perlu aku kalau punya masalah seberat itu. Ayahmu saja akan cukup menyelesaikan…”“SHUT YOUR MOUTH! Kau ingin aku makin mual?!” benta
“Dia akan murka, lihat saja!” Ian terdengar ikut marah pada keputusan Ash yang bodoh, tapi sebenarnya sedang amat panik. Membayangkan masa depan Ash yang mendadak suram.“Aku tidak akan mengumumkannya bukan? Aku tidak bodoh.” Ash mendesis lalu menunjuk kursi. Menyuruh Ian tenang dan kembali duduk. Ash bukan tidak tahu, karena itu ia membawa Mae ke Reading. Ia tidak ada di dekat sini.“Tt…tapi bukan berarti dia tidak akan tahu. Dia membuat puluhan anak kehilangan tempat tinggal hanya karena kau menemukannya dulu. Kau lupa? Kau pikir apa yang akan dilakukannya kalau sampai ia tahu lagi yang ini?!” Ian sudah kembali duduk, tapi tidak bisa berhenti panik. “Kau jangan membuat masalah, Ash. Nanti…”“Aku tidak mungkin meninggalkannya sendiri.” Ash menyela. Keputusannya liar tapi perlu.“Kau hanya ingin membantunya bukan? Kembalikan kemana kau menemukannya, bantu saja dari jauh. Kembalikan sebelum ayahmu tahu.” Ian menunjuk ke pintu, menyuruh Ash melakukannya sekarang juga. Terdengar sepert