Share

Kenangan yang Ingin Aku Lupakan

“Kenapa rambut…” Ash tentu melihat rambut brunette Mae yang berantakan.

“Mereka…” Mae menunjuk ke belakangnya.

Melihat kedatangan orang lain, Evelyn tidak lagi mengejar, berhenti dan menatap Ash yang asing.

“Kau siapa?” tanya Evelyn sambil mengernyit heran.

Mae menggeleng, menyuruh Ash tidak menjelaskan apapun. Tapi memang Ash tidak punya kesempatan menjawab, karena Dexter yang menyusul dari ruang tengah muncul sambil berseru marah saat melihat Ash.

“Kau! Kau yang kemarin…. Sialan!” Dexter menunjuk sambil maju, tapi belum sampai melewati Evelyn, ada tubuh melesat menerjang. Dexter tiba-tiba terbanting ke lantai, dengan tangan Ash mencengkram lehernya.

“Aku sudah mengatakan padamu untuk berhati-hati dan tidak menyentuhnya.” Ash berbisik, amat lirih, dekat dengan telinga Dexter. Tidak ada yang mendengar selain Dexter.

Tangan Dexter menggapai, dan mencoba mencakar agar terlepas dari cekikan itu, dibantu oleh Evelyn yang menjerit dan menarik punggung jaket Ash.

Tapi cekikan itu tidak lama. Begitu melihat wajah pucat Dexter menampakkan ketakutan, dan anggukan samar—sebagai tanda kalau ia mengerti, Ash melepaskan tangannya dan berdiri.

Ash menangkap tangan Evelyn yang tidak berguna. “Terima kasih,” ucapnya.

Evelyn langsung diam tercengang. Selain tidak paham ucapan terima kasih itu untuk apa, Ash mengucapkannya dengan senyum. Tidak terlihat lagi seram yang dipakai mengancam Dexter tadi.

“Tunggu! Kau itu siapa? Mau kau bawa kemana?” Evelyn baru tersadar, dan mengejar saat Ash sudah menggandeng Mae keluar dari rumah Barnet yang mewah itu.

Evelyn berteriak marah, memanggil, tapi tidak sampai nekat menghadang mobil Ash saat melaju keluar dari gerbang.

***

“Sebentar.”

Ash menghentikan mobilnya. Belum jauh, dan Mae akan memprotes, tapi Ash sudah turun entah kemana. 

Mae menghela napas panjang lalu ikut turun. Paling tidak mencari udara segar. Ia sejak tadi tidak bicara sepatah katapun.

Terlalu bingung karena uangnya melayang. Dia membutuhkan uang itu. Sudah saatnya ia menyetor uang itu. 

“Ck!” Mae mendecak, sebagai bentuk kutukan pada Evelyn dan Dexter. Ia harus mencari cara untuk mendapatkan uangnya lagi. Ash belum akan mati dalam waktu dekat sepertinya. 

“Mary, ini.”

Mae mendongak dan melihat Ash mengulurkan gelas kertas tertutup. 

“Kau terlihat membutuhkannya.” Ash membeli minuman itu karena melihat Mae terlalu diam. Menurutnya Mae sedang terguncang.

Mae tidak terlalu butuh ditenangkan, tapi mengulurkan tangan—menerima minuman itu. Haus karena terlalu banyak berteriak. 

Tapi saat uap hangat naik dan terhisap oleh Mae, tangannya langsung menampar gelas itu sambil memekik. 

Mae yang tadi baik-baik saja, malah terlihat gemetar sekarang. Seluruh tubuhnya goyah sementara mundur menjauh dari kopi yang tumpah di tanah. 

Tapi tumpah pun tidak melegakan untuk Mae, justru lebih buruk. Mae bisa mencium aromanya dengan lebih kuat dan kenangan buruk bagaimana kopi panas menyiram kepalanya semakin kuat. 

Lengket, basah, sementara panas membakar kulit kepalanya, diiringi cemooh penuh hina yang dibisikkan ke telinganya. 

“Mary?” Ash bingung melihat perubahan Mae yang malah semakin memburuk. 

Mae dengan panik mengibaskan rambut, berusaha mengusir lengket dan panas yang sebenarnya tidak ada. 

Bayangan perlakuan Monroe–-suami pertama Mae—terlalu nyata. Sekian lama berlalu, tapi masih menghadirkan horor yang meneror Mae. 

Menuang kopi ke kepala Mae adalah bentuk hukuman favorit Monroe yang hampir setiap hari diterima Mae untuk kesalahan sekecil apapun. 

“Apa kau baik-baik saja? Apa kita perlu ke rumah sakit?” Ash semakin panik, karena Mae terlihat benar-benar pucat dan sakit. 

Untungnya perlahan Mae tersadar. setelah aroma kopi itu tidak lagi menusuk, dan Mae kembali ke dalam mobil agar bisa duduk, teror itu berkurang. Mae bisa bernapas lagi---hanya rambutnya semakin berantakan. 

“Tidak. Terus saja. Kemanapun itu, yang jauh.” Mae menunjuk ke arah jalan, sedikit tersengal tapi tidak lagi gemetar.

“Tapi kau terlihat sakit. Kita perlu ke UGD mungkin.” Ash tidak bisa mengabaikan keadaaan itu tentu.

“Tidak perlu. Asal jangan kopi.” Mae bergumam sambil menaikkan hoodie jaket yang dipakainya.

“Kau yakin? Perjalanan kita masih lama.” Ash tidak ingin terjadi sesuatu saat mereka sampai di jalan yang rumah sakitnya jauh.

“Yakin, dan bangunkan aku kalau sudah sampai.” Mae bersandar dan melipat tangannya di depan dada, bersiap tidur. 

Tidak keberatan dengan perjalanan panjang, akan memakai kesempatan itu untuk melupakan Monroe, dan menghilangkan rasa sakit akibat tangan Evelyn dari kepalanya. Kepanikannya tadi mungkin juga dipicu oleh rasa sakit akibat jambakan rambut mungkin.

“Mary, apa…” 

“Mae.” Mae mengoreksi.

“Apa?”

“Jangan Mary. Mae saja. Aku lebih suka Mae. Hanya belum sempat menggantinya secara resmi,” kata Mae.

Ia bahkan tidak yakin akan menengok saat ada yang memanggilnya Mary sekarang. Ia terakhir memakai Mary sebelum menikah. Ash tentu memanggil sesuai identitas yang diberikannya saat mengurus dokumen pernikahan mereka.

“Kenapa kau tidak memakai nama Mary lagi?” tanya Ash, sebelum Mae benar-benar tertidur.

“Tidak cocok dengan karakterku. Mary nama orang suci—You know... 'likes God's Mom. Tidak pantas dipakai orang yang sering dihina. Kasihan namanya.” Mae menjawab separuh bergumam, dan akhirnya tertidur.

Ash melirik, tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Akhirnya kembali fokus pada jalan. Banyak hal yang dipaksakan, tapi yang penting tujuannya membawa Mae tercapai. Ia bisa tidur nyenyak malam ini.

***

“Mary… Maksudku, Mae. Kita sudah sampai.” Ash menyentuh sedikit saja pundak Mae, tapi sudah cukup membuat Mae tersentak, dan mundur sampai menempelkan tubuhnya ke pintu mobil. Ingin menghindar sejauh mungkin.

“Oh, maaf. Apa aku mengagetkan? Aku hanya….” Ash langsung menarik tangannya, karena Mae terlihat begitu defensif padahal hanya disentuh.

“Aku… terkejut.” Mae meluruskan tubuhnya, menguasai diri. Ia terlalu terbawa mimpi yang berisi Monroe. Tidur tidak membuatnya tenang, ia tidak bisa dekat dengan kopi memang.

“Kita turun.” Ash turun terlebih dulu, Mae sedikit lambat karena kantuk. Mae tidak tahu tujuannya kemana—tidak terlalu peduli, tapi perjalanannya dari siang sampai malam. Mae melewati halaman, lalu melihat bentuk rumah di depan pada umumnya.

“Di sini saja, lebih hangat. Di ruang lain, pemanasnya agak sedikit kurang.” Ash meminta Mae maju dan masuk lebih dalam. Akhir musim gugur membuat suhu malam hari lebih dingin.

“Rumahmu… tidak seperti dugaanku.” Mae baru benar-benar menatap sekitar setelah sampai di dalam.

Bayangan Mae, kurang lebih rumahnya akan seperti milik Barnet paling tidak, tapi rumah Ash sangat jauh dari kesan itu. Tidak kumuh, tapi lebih cenderung ke arah rumah pedesaan yang kuno.

Ada sofa panjang empuk yang tertutup rajutan, menghadap perapian tua berwarna merah. Hiasan dinding yang berupa lukisan pemandangan dan pajangan porselen berbentuk malaikat gemuk yang sepertinya berasal dari abad lalu.

Semua itu tidak menampakkan kekayaan yang diinginkan Mae. Nyaman, tapi kurang mewah. Mae tidak mencari nyaman.

“Apa kau benar-benar punya uang sebanyak itu? Apa kau membohongiku?!” tuduh Mae.

Mumpung belum menandatangani surat pernikahan, ia masih bisa mundur. Mae tidak mau membuat kesalahan seperti saat menjadi sugar baby kedua kali—sebelum menikah dengan Barnet. Uang yang ditunjukkan sugar daddy-nya adalah hasil hutang. Mae tidak mendapatkan uang banyak darinya.

Setelah itu, tentu Mae waspada. Apalagi uang dari Barnet macet, Mae harus teliti agar mendapat uang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ipin Arifin
yah ...disiram kopi panas tiap hari ternyata gak dpt apa2
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status