“Kau melewati batas, Mary. Jangan mengeluh setelah ini,” bisik Ash, sambil menarik turun semua kain yang ada di tubuh Mae. “Pintu…” Mae berusaha mengatakan kalau mereka belum berpindah jauh, baru beberapa langkah dari pintu, tapi Ash tidak amat peduli. Tidak akan memilih tempatnya dimana juga, karena dimanapun bukan masalah. “Ash!” Mae melenguh, seharusnya memprotes, tapi mulai tidak terlalu peduli juga. Ia malah meremas rambut pirang yang kini ada di lehernya. Menyebarkan rasa hangat membakar seperti kemarin. Seperti permintaan Mae, lebih banyak warna merah. Ash juga sudah tahu ia tidak perlu hati-hati. “Jangan…” Usaha terakhir Mae untuk meminta Ash tidak melakukannya di depan pintu, gagal juga, karena malah beralih menjadi erangan rendah, saat tangan Ash meremas titik hangat yang memang sudah amat berharap mendapat sentuhan. Mae juga sudah lupa mereka ada dimana, dan menurut saja bersama jeritan saat kedua kakinya tidak lagi menapak di lantai saat menerima Ash. Dengan mudah A
“Ash?” Mae memanggil sambil membuka pintu kamar. Mae tahu ia kesiangan—tertidur terlalu lama, tapi seharusnya Ash masih di rumah. “Ash?” Mae sudah sampai dapur dan hanya menemukan jejak teh. Ash ada di rumah memang. Hanya ada satu tempat yang belum diperiksanya. Kamar yang satu lagi. “Ash?” “Oh?” Ash yang duduk menunduk, terperanjat. Tapi senyum yang bisa melelehkan itu, langsung merekah saat melihat Mae. “Kau sudah bangun? Aku sudah memesan makanan tadi, tapi belum—tiga puluh menit lagi sampai.” Ash mengangkat ponsel, memeriksa kemajuan makanan yang dipesannya. “Aku harap kau suka pizza pepperoni. Aku hanya bisa menemukan itu yang cepat.” Ash menimbang jarak yang paling dekat saja tadi. “Suka.” Mae masuk, dan menarik pipi Ash sampai sedikit melar. “Aw?” Ash mengelus pipinya. Tidak sakit, heran saja. “Untuk apa?” tanya Ash. “Aku sudah mengatakannya beberapa kali, jangan terlalu sering tersenyum seperti itu,” kata Mae, sambil duduk di pangkuan Ash, tanpa permisi. Namun si em
Ruby tentu saja tidak bisa mengatakan apapun. Ia nyaris tidak bisa percaya ucapan seperti itu bisa dihasilkan oleh bibir Ash. Sekali lagi, ada sisi yang mengejutkan. “Merajut—aku memakainya untuk mengendalikan insting itu. Candu adrenalin yang tidak sehat itu berkurang saat aku merajut. Aku harap tidak terlalu menakutkan untukmu.” Ash mengusap rambut Mae. “Tidak.” Mae menggeleng. Apa yang dikatakan Ash memang menakutkan, tapi tidak membuatnya takut, karena tahu Ash tidak pernah memperlihatkan sisi itu padanya. Apa yang disebut ‘merah’ oleh Mae, amat jauh dari keji atau haus darah. Mae pernah melihat dan mengalami keji. Jauh berbeda dari Ash. “Tapi—ada apa dengan ayahmu?” Mae masih ingin memohon, tapi ingin tahu juga apa alasan yang tadi sempat disebut Ash. “Itu… sedikit rumit.” Ash kembali duduk, dan menarik Mae agar juga kembali duduk di pangkuannya. “Aku membencinya—aku bahkan tidak ingin mengikutinya saat ayahku pertama datang menjemput. Kebencian untuk alasan yang salah saat
Tapi Mae bahkan tidak berpikir ke arah sana. “Mungkin karena Mama Carol belum mengatakannya? Aku ingat saat Mama Carol pertama menyebut Daisy. Katanya Daisy memang selalu di rumah sakit, tidak bisa tinggal bersamaku setelah orang tuaku meninggal. Mama Carol baru mengatakan padaku tentang Daisy setelah bisa lebih paham,” kata Mae. Kepolosan yang tidak mengherankan. Ash tidak akan mencela bagaimana Mae begitu percaya pada penjelasan itu karena dirinya mungkin akan sama saja. Kebohongan masuk akal yang diucapkan oleh orang yang paling dipercaya oleh Mae. Seumur hidup Mae mengenal Mama Carol sebagai pelindung. “Setelah mengatakan kau punya adik, Mama Carol membawamu ke rumah sakit.” Ash menyusun alur waktu agar lebih mudah menjelaskan pada Stone nanti. “Ya, Daisy sangat lemah saat itu, tidak bisa menyapa, tapi manis.” Mae tersenyum. Ash juga tidak heran mendengar penilaian itu. Kalau dirinya yang saat itu berpenampilan anak remaja ugal-ugalan masih bisa mendapat simpati Mae, maka sep
“Anda siapa dan mau apa?”Daisy memandang heran pada pria yang ada di depan pintu. Tidak biasanya ada tamu yang datang ke rumah bobrok itu. Ia memakai seragam warna biru dan tampak resmi.“Selamat siang, Miss. Perkenalkan, nama saya Bob Morgan. Saya dari kantor urusan perumahan kota.” Pria yang mungkin berusia empat puluhan lebih itu menyerahkan kartu namanya. Daisy memeriksa sekilas. Tampak resmi.“Ada urusan apa?” tanya Daisy, sudah tidak amat curiga tapi tidak juga memberi jalan untuk masuk.“Akan ada wacana pengembangan jalan baru di sekitar sini. Saya harus melakukan pemeriksaan masing-masing rumah di area ini untuk memastikan dimana saluran pembuangan dan juga saluran gas. Maaf, tapi mungkin Anda akan sedikit terganggu.” Bob menjelaskan dengan detail, sembari mengangsurkan dokumen yang sekali lagi terlihat valid. Daisy membacanya sekilas saja. Sangat teknis. Jenis tulisan yang jauh berbeda dari bacaannya sehari-hari—novel. “Tapi aku tidak tahu apapun tentang rumah ini. Mama C
“Aku akan menunggu di sini.” Ash menunjuk area di depan pintu kamar Daisy yang tadi ditunjukkan oleh perawat.Ashingin menemani Mae seterusnya, tapi ada resiko bertemu dengan Mama Carol, ia terpaksa menghentikan langkah di sana. Kalau kemarin Ash menghindari pertanyaan berkenaan dengan kejadian sepuluh tahun yang lalu, sekarang Ash semakin tidak ingin menunjukkan wajahnya karena kecurigaan yang telah menumpuk itu. Ia tidak bisa memprediksi perubahan seperti apa yang akan terjadi kalau dirinya muncul sekarang di depan Mama Carol—bisa jadi lebih buruk.“Ya.” Mae masih sangat oleng, tapi berhasil menapak tanah sejak tadi. Tidak sangat ambruk. Ia membuka pintu dengan tangan gemetar dan melangkah pelan.Mae sudah cukup lega mendengar Daisy cukup kuat karena sudah bisa meninggalkan UGD, tapi hatinya kembali mencelos sampai terasa mengerut saat melihat keadaan Daisy. Masih belum sadar dengan berbagai peralatan menempel di tubuhnya. Wajahnya tampak cekung dan pucat.“Inikah yang kau inginkan?
Ash menatap sekitar dan berjalan pelan sambil meraba tembok rumah sakit yang usang itu. “Kenapa keadaannya menyedihkan begini?” Ash mengernyit, lalu menatap kaca jendela retak yang juga tidak diperbaiki. Udara musim dingin yang membeku mengalir bebas ke lorong itu.Rumah sakit itu tidak besar, hanya dua lantai, tapi yang menjadi perhatian pertama Ash adalah usang. Ada banyak Rumah Sakit kecil yang memang kompeten—tapi yang ini tidak terlihat seperti itu.Kalau Daisy memang selemah itu, maka hal pertama yang ingin dilakukannya adalah membawa Daisy keluar dari sana, memindahkannya ke rumah sakit yang jauh lebih baik. Ash tidak akan pernah membawa siapapun ke rumah sakit itu, meskipun hanya untuk mengobati luka robek akibat ranting. Bisa-bisa lukanya akan tercemar tetanus. Ash melihat amat banyak karat di pegangan tangga besi tadi.Lalu sepi. Ash belum pernah melihat rumah sakit amat sepi seperti itu. Mungkin terdengar seperti kabar baik, karena tidak ada orang sakit, tapi orang bodoh
“Aku akan mengusahakan obatnya, Mae. Jangan khawatir. Daisy masih bisa bertahan saat ini.” Faraday tersenyum menenangkan sambil menepuk punggung tangan Mae.“Terima kasih, Dokter.” Mae mengangguk dengan lega. Ia membutuhkan jaminan itu.“Bagaimana dengan ginjalnya?” tanya Mae. “Maaf sekali, tapi keluarga pasien itu masih menginginkannya bertahan. Mereka belum merelakannya.”Mae meremas kedua tangannya. “Bagaimana dengan Daisy? Lalu apa—”“Tenang, Mae. Daisy tetap ada di urutan donor paling atas. Ia yang akan menjadi prioritas saat ini. Kalau memang tidak dari pasien itu, maka yang lain akan datang. Percayalah.”Mae ingin percaya, tapi rasanya kembali jauh. Kemarin Faraday memberinya harapan dalam hitungan bulan berikut, tapi kini kembali tidak pasti.“Tapi Daisy semakin buruk, tidak akan bertahan,” katanya.“Jangan berdoa seburuk itu, Mae. Daisy sangat kuat bisa bertahan sampai sekarang. Ini sudah diluar perkiraanku, ini kabar baik. Kau harus optimis.” Faraday tersenyum.“Aku akan opt