“Ada apa, Nak?” Aku menghampiri putri kecilku itu. Tangannya mengeluarkan sedikit darah akibat tergores pecahan gelas.
“Kita obati dulu lukanya, ya!” Aku hendak menggendongnya, tetapi gadis itu malah menangis kencang.
“Apa sakit sekali? Ayo bunda obati lukanya,” ajakku lagi.
Gadis kecilku itu tidak menghiraukan dan tetap menangis kencang. Aku bergegas mengambil kotak P3K. Sebenarnya luka goresan itu sangat kecil, mirip luka bekas tusukan jarum saja, tetapi kenapa Chika menangis histeris?
“Ayah!” teriakku, memanggil. Entah kemana lelaki itu pagi-pagi buta begini. Biasanya dia baru bangun pukul 07.00, kenapa jam segini sudah menghilang?
Setelah selesai menempelkan plester ke jari Chika, gadis kecilku itu mulai tenang dan duduk di kursi meja makan. Aku membuatkannya susu hangat dan roti selai kesukannya. Setelah itu aku mengambil ponsel di kamar untuk menghubungi suamiku, dan aku baru sadar kalau tas kerjanya sudah tidak ada.
“Chika tadi kenapa? Kok gak panggil bunda kalau mau minum?” tanyaku setelah kembali dari kamar dan kini duduk berhadapan dengannya.
Dengan sisa-sisa air mata yang masih membasahi pipinya, Chika berusaha menjawab.
“Tadi ada Ayah, Chika mau minta tolong Ayah tapi…” Anakku itu kembali mewek. Aku penasaran apa yang terjadi, tetapi tidak ingin memaksakan dia untuk bercerita.
“Ayah udah berangkat kerja, ya nak?” tanyaku sambil mengoles selai ke roti. Lalu membuka ponsel untuk menghubungi suamiku, dan ternyata sudah ada pesan dari Bang Arlan disana.
[Maaf, Bund. Ayah ada urusan mendadak di kantor, jadi Ayah buru-buru pergi. Mau bangunin bunda tapi kasihan, kayaknya lelap banget, mana pake ngiler segala, heheh.]
Bertahun-tahun dia bekerja tidak pernah sekalipun sesubuh ini mendadak berangkat ke kantor, apalagi ini hari Sabtu. Aku masih terdiam di depan layar ponsel. Semakin mencurigakan dan seakan semua telah mengarahkanku, bahwa benar suamiku ada main di belakang.
“Bunda…” panggil Chika.
Aku mendongak lalu menaikkan alis seakan bertanya, ada apa?
“Hari ini Chika izin gak ikut ekskul, ya Bund, Bunda tolong bilangin ke Ibu Guru dong… kita ke rumah Nini aja, yuk!” ajaknya dengan suara sedikit memelas dan serak.
“Emmm…” Aku sejenak berpikir. Sebenarnya hari ini aku berencana untuk cosplay menjadi detektif ke kantor Bang Arlan untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi padanya. Namun, aku juga harus mengerti perasaan Chika. Pasti hatinya sedang tidak baik-baik saja saat ini, meski aku sendiri belum tahu apa yang terjadi antara Chika dan ayahnya tadi.
“Oke deh. Bunda antar kamu ke rumah Nini, abis itu bunda balik lagi sebentar, ya. Karena bunda ada acara ketemuan sama temen, boleh?”
Chika menggeleng. “Bunda gak usah ke kantor ayah lagi, kita di rumah Nini aja,” ucapnya, seolah tahu apa yang sedang kurencanakan.
“Eng-enggak, Nak. Bunda cuman mau ke…” Ah, sialnya aku kehabisan kata untuk beralasan.
Tiba-tiba Chika menatapku lekat. “Bunda, tadi Chika gak sengaja denger Ayah nelpon sambil jalan tergesa-gesa. Abis itu Ayah marah sama Chika…” Gadis kecilku itu menghentikan kalimatnya seolah lidahnya kelu untuk mengungkapkan.
“Apa karna itu kamu jadi mecahin gelas?” tanyaku seketika.
Gadis itu menunduk dan bergeming beberapa saat.
“Udah, gak usah dipikirin!” Aku menasehatinya agar tenang, padahal di dalam hati ini sudah menyimpan banyak kegundahan. “Eh, ngomong-ngomong sejak kapan kamu sedewasa ini, Nak? Kemana Chika-nya bunda yang sering tantrum itu?” ledekku, menggodanya.
Tawanya berhasil membuat suasana pagi yang diselimuti awan mendung, menjadi sedikit memudar. Chika, apa yang sudah dia dengar dari Ayahnya hingga membuatnya shock? Apa anak sekecil ini sudah mengerti? Kenapa Bang Arlan sampai marah pada anak yang sangat disayanginya ini?
****
Aku dan Chika sudah berada di terminal bus dan sedang menunggu keberangkatan menuju Bandung. Saat ini uang yang kupegang sangat tidak cukup, sehingga terpaksa aku menjual cincinku untuk pegangan sebelum berangkat tadi.
Aku mengirimkan foto kami berdua kepada Bang Arlan untuk membuktikan bahwa kami akan berangkat, tanpa memberitahunya bahwa setelah mengantarkan Chika, aku akan segera kembali untuk menjalankan misiku.
[Hati-hati kalian, ya. Hmmm.. bakalan sepi rumah, Ayah sendirian deh..] keluhnya dengan membubuhi emoji sedih.
Aku tersenyum getir. Entah bagaimana, aku merasakan ada kebohongan saat membaca pesan darinya ini.
[Kami balik besok ya, Yah. Soalnya Chika katanya lagi kangen banget sama Nininya.] balasku.
[Oke, Bund. Jangan lupa kabarin]
Obrolan kami kuakhiri tanpa membalas pesan terakhir darinya. Dia masih bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Tetapi aku yakin, serapat apapun dia menyembunyikan sesuatu dariku, sepandai apapun dia mencoba mengelabuiku, aku akan menemukan jawabannya.
Di perjalanan, Chika lebih banyak diam dan melamun. Matanya selalu menghadap jendela, fokus pada pemandangan selama perjalanan. Aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu.
“Nak… kalau ada apa-apa, jangan ragu buat cerita sama Bunda, ya!” ucapku sambil menggenggam tangannya.
Chika menoleh padaku dengan tatapan sayu yang tak kumengerti.
“Jangan takut!” bisikku, lalu memeluknya.
Tak berapa lama, Chika tertidur sampai akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Untuk masuk ke daerah rumah Ibu, aku memesan taksi. Chika yang biasanya merengek minta dibelikan jajanan, kali ini dia hanya diam.
“Nak, nanti kalau sampai rumah Nini, jangan cemberut gitu, ya! Ntar Nini mikir macam-macam, lagi.” Aku memberi nasehat sambil mengelus kepalanya.
Chika hanya mengangguk. Lima belas menit, kami sampai di rumah Ibu. Pelukan hangat kami terima serta senyum merekah penuh rindu terpampang di wajah Ibu. Setelah berbincang sedikit, aku pamit pada Ibu untuk kembali ke Jakarta dengan alasan sudah ada janji dengan teman dan besok pagi akan menjemput Chika lagi.
“Apa sepenting itu, Neng?” tanya Ibu, agak keberatan memberiku izin.
Aku mengangguk. “Ini penting banget, Bu.”
Dengan terpaksa Ibu mengizinkan. Wanita yang sudah melahirkanku 33 tahun silam itu mengantarku ke depan teras sambil menggenggam tangan Chika.
“Kamu baik-baik, ya Sayang!” Aku membungkuk mengelus rambut Chika dan mencium pipinya.
“Bunda, kalau bisa jemputnya bareng Ayah ya, naik mobil Ayah,” pintanya penuh harap.
Aku tersenyum tipis. Tak yakin dengan hal itu. Tetapi aku hanya mengangguk pada Chika sebagai jawaban untuknya.
Sekitar tiga jam perjalanan, aku telah sampai di dekat kantor Bang Arlan. Aku pun sudah memakai hoodie dan menutupkan topinya ke kepala. Tak lupa kupakai kacamata hitam dan juga masker, mirip seorang mata-mata. Aku duduk di minimarket yang terletak di seberang kantor Bang Arlan sambil menikmati mie cup. Mataku tak lepas dari gedung bertingkat itu.
Masih bingung akan berbuat apa, tiba-tiba suamiku muncul bersama seorang wanita. Mereka tertawa berjalan menuju parkiran. Beberapa menit kemudian, aku melihat mobil suamiku itu melintas, dan di dalamnya ada wanita yang tadi berjalan bersamanya.
Tanpa pikir panjang, aku bergegas mengejarnya dengan ojek yang sedang mangkal di persimpangan jalan tak jauh dari minimarket itu.
“Kejar mobil itu ya, Kang!” pintaku pada Kang Ojek sambil menunjuk mobil Xpander berwarna putih. “Jangan sampe kehilangan, Kang!” pintaku lagi.
Kang Ojek itu mengangguk. “Jadi deg-degkan euy. Ngerasa kayak lagi ngejar suami Mbaknya yang selingkuh,” selorohnya.
Aku terkesiap, namun apa yang diucapkan lelaki yang kutaksir usianya sekitar 40-an itu, memang benar.
“Kebanyakan nonton sinetron si Akang, mah.” Aku terkekeh menanggapi ocehannya seakan apa yang dia katakan tidak benar.
Tanpa kusadari, ternyata Bang Arlan mengarah ke jalan pulang. Aku meminta Kang Ojek untuk melaju pelan dan tetap berjarak, jangan sampai ketahuan. Benar saja, suamiku itu sudah masuk ke halaman rumah. Aku meminta Kang Ojek untuk turun di dekat persimpangan yang jaraknya sekitar 100 meter dari rumah.
Tak bisa lagi kujelaskan bagaimana detak jantungku ini berdebar sangat kencang ketika kulihat suamiku berjalan masuk ke rumah sambil merangkul wanita berambut panjang itu.
“Gila! Benar-benar gila Bang Arlan! Berani-beraninya dia membawa wanita lain ke rumah pemberian orang tuaku!” Tanganku mengepal hebat bersamaan dengan emosiku yang kian membuncah.
“Memang saya pelakunya,” ucap Tante Rusni dengan kepala menunduk.Setelah ketahuan bahwa dirinya menemui Aditya yang merupakan mantan calon menantunya untuk membantunya mencari Yunita yang beberapa hari ini menghilang, aku tidak berhenti bertanya hingga akhirnya tante Rusni lelah dan mengakui bahwa dirinyalah yang telah menjebakku di acara reuni sekaligus pengumuman oleh Yunita bahwa dirinya akan menikah. Saat itu, aku bahkan tidak mengingat wajah calon suami Yunita.“Kenapa tante tega ngelakuin itu sama Gita? Apa salah Gita sama tante?” Aku mulai terisak. Perih sekali hati ini ketika wanita yang sama kuhormati seperti ibuku sendiri ternyata diam-diam menyakiti lahir dan batinku.Percakapan kami saat ini sedang direkam video oleh Angga sebagai bukti untuk berjaga-jaga. Sebab, orang jahat dan licik bisa mengulangi perbuatannya jika ada kesempatan.“Tante minta maaf, Gita. Tante sudah memberikanmu minuman untuk menghilangkan kesadaranmu, lalu menyuruh Aditya untuk berhati-hati dan janga
“Kamu yakin gak mau ambil lagi rumah itu? Atau kamu mau aku renovasi semua bentuknya agar kamu bisa melupakan Arlan?” Angga berujar tanpa menoleh padaku, sedang tangannya sibuk menyusun berbagai stok makanan di dalam kulkas.Aku tidak mengindahkan ucapannya, yang kuperhatikan sejak tadi adalah, perhatiannya soal makanan. Lelaki ini sangat hobi membelikan makanan untuk orang lain. Aku duduk di mini bar dengan tangan menyanggah dagu. Semakin kuperhatikan, Angga semakin tampan meski wajahnya terlihat kaku dan jarang tersenyum, apalagi ekspresinya yang datar itu.“Kamu denger aku ngomong, gak?” Angga menyalakan kompor dan mendidihkan air, lalu menatapku dari dekat.Aku terkesiap ketika tiba-tiba mendapati dua bola matanya berada tepat di depanku. Bersamaan dengan degup jantung yang berdebar tak menentu.“Malah senyam-senyum sendiri. Apa aku terlihat seperti suami idaman?”Aku mendecih. “PD amat,” gumamku sambil melipat tangan ke dada.Dia tertawa keras dan menyiapkan mie instan ke dalam m
“Baru kali ini aku mengenal orang segila Angga.” Aku menghela napas panjang dengan mata menatap langit-langit kamar.Hari yang melelahkan. Akhirnya aku kembali ke butik dan menginap di kamar lantai tiga, sebab rumah itu sudah kuserahkan pada Angga.Aku memang ingin menjualnya dan menebus kembali tanah peninggalan ayah. Tetapi, uang itu sudah diserahkan seluruhnya pada Bang Arlan.Kemarin, saat pertemuan terakhir kami, Bang Arlan masih dengan rasa gengsinya dan merasa harga dirinya dijatuhkan oleh Angga.“Saya tidak bisa menerima uang ini!” tegas Bang Arlan. Dari raut wajahnya, sepertinya dia memang serius. Aku jadi heran, kenapa dia menolak, padahal selama ini yang dia kejar hanya uang.“Apa permintaan saya susah, Pak Arlan?” tanya Angga dengan wajah yang ketat.Aku pun mengira setelah menerima uang miliaran, mereka akan pergi dan berhenti mengangguku, tapi ternyata Bang Arlan belum selesai.“Apa lagi yang kamu inginkan, Bang?” tanyaku dengan perasaan putus asa. “Kita selesaikan sampa
“Pak Angga?” Yunita bersuara, memecahkan keheningan suasana yang menegang.Bang Arlan yang tadinya terpelongo karena terkejut, kini berubah pandangan menjadi sinis.“Kamu?” Aku juga tak sabar, kenapa bisa Angga yang menjadi pembelinya.“Apa anda tidak mau melayani saya sebagai pembeli rumah ini?” Angga bertanya dengan angkuh pada Bang Arlan yang seketika memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah menekan tombol merah, mengakhiri panggilan.“Si*l!” Bang Arlan menggerutu dengan tangan mengepal dan rahang mengeras. “Sampai kapan kau akan terus ikut campur urusanku, hah?” Mata Bang Arlan melotot pada Angga dengan gigi yang dirapatkan, geram.Angga tertawa kecil dan melangkah maju, mendekati Bang Arlan.“Sampai kamu berhenti menganggu Gita.” Angga menyondongkan wajahnya dan sedikit berbisik pada Bang Arlan.“Wah, Cah Bagus! Apa kamu akan memberikan uang pada ibu kalau ibu berhasil membujuk Arlan untuk berhenti mengganggu Gita?” tanya Mamanya Bang Arlan dengan mata berbinar. Di kepalanya han
“Chika ingat!” Putri kecilku itu berujar dengan tegas. “Nomornya B xx23 NJ.”Aku terperangah mendengar ucapan Chika. “Kamu cerdas sekali, Nak.” Aku berlutut, meraih tangannya. Dia hanya diam dengan ekspresi datar. Biasanya dia akan tersenyum manis jika kupuji, tapi hari ini, dia berubah sensi.“Chika mau ke kamar Nini dulu. Bunda boleh pergi selesaikan urusan dengan Ayah. Chika disini aja sama Nini.” Gadis kecilku itu melepas genggaman tanganku. “Nini, Chika ke kamar dulu ya, tinggal digoreng aja kan, donatnya?” Dia mengalihkan pandangan pada ibuku sambil berdiri, bersiap untuk meninggalkan dapur.Ibuku hanya mengangguk dengan senyum cerah. Gadis kecilku itu langsung pergi ke kamar Nini-nya dan mengunci pintu.Ibu mengusap bahuku dengan lembut. “Kamu yang sabar, ya, Nak. Chika, anak sekecil itu terlihat aneh jika bersikap seperti orang dewasa, tapi itu semua terjadi sebab tekanan batin yang dia rasakan. Bagaimana bisa dia menerima kenyataan secara tidak sengaja bahwa seorang pria yang
“Sayang … sini, biar bunda jelasin.” Aku merentangkan tangan, memintanya untuk datang ke pelukanku.Chika menggelengkan kepalanya sambil menangis sesenggukan. “Bunda sama ayah jahat! Bunda sama ayah gak sayang Chika!” Dia menjerit, meluapkan emosinya.“Chika … cucu Nini … sini sama Nini, Nak!” Ibuku yang sudah tenang berusaha membujuk gadis kecil itu, sedang aku terduduk di lantai menundukkan kepala.Meski dia benci dengan ayah bundanya, beruntung masih ada Nini yang menjadi labuhan hatinya.“Jangan terus menyalahkan bunda, Nak. Nanti kalau kamu udah besar, pasti mengerti kenapa semua ini terjadi,” ujar Ibuku memberikan Chika nasihat.Chika menenggelamkan kepalanya dalam pelukan ibu. “Tapi Chika gak mau ayah sama bunda pisah dan berantem, Nini. Chika maunya tante itu pergi jangan ganggu ayah lagi. Chika mau buang aja semua bonek itu!” Gadis kecil dengan dress rumahan berwarna merah muda itu membalik badan seketika dan menunjuk mainan baru yang diberikan Yunita.“Kalau Chika benci sama
“Astaghfirullah …” Ibu meneteskan air mata.Beliau sangat terkejut setelah mendengar semua ceritaku tentang Bang Arlan dan Yunita. Setelah tadi ibu memegangi dadanya dan mengatakan dia baik-baik saja, hanya reaksi terkejut saat merespon berita yang kusampaikan. Ibu memintaku menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi.“Bu … tapi Gita sekarang baik-baik aja. Ibu gak usah khawatir.” Aku berusaha menghiburnya yang tampak sangat terpukul menatapku dengan mata yang bergetar.“Bagaimana bisa kamu bilang baik-baik aja kalau ternyata Chika itu bukan anaknya Arlan. Lalu dia anaknya siapa, Nak?” Ibu sedikit berbisik dan mendekatkan wajahnya padaku. Air mata ibu akhirnya lolos setelah sejak tadi dia tahan.Aku terdiam sesaat.“Tentang itu, Gita juga sedang mencari tau, Bu. Dan sekarang sudah mendapat titik terang. Ada Angga yang membantu Gita.” Aku menjelaskan semuanya agar membuat Ibu tidak berpikir keras.Wanita yang melahirkanku itu menangis. Kepalanya menunduk dalam, dengan bahu terguncan
“Kamu…” Tante Rusni menunjukku dengan tangan gemetar. Dia seperti hendak protes. Dan mempertahankan sandiwaranya.Namun, aku mengalihkan keadaan ketika mendengar ponsel yang terus bergetar dari dalam tas.Aku menyibak rambut baru yang lurus sebahu berwarna kecoklatan ini lalu merogoh tas. Seketika panggilan yang sejak tadi berdering mati. Aku tak sempat menjawab panggilan dari ibu. Bola mataku melebar ketika pesan dari ibu sudah sejak tadi memberitahukan bahwa mantan suamiku datang bersama Yunita dan Mamanya Arlan.“Gita permisi dulu, Tante. Urusan kita belum selesai. Ada hal yang lebih penting saat ini.” Aku segra menyandang menyandang tasnya dan berlari terburu-buru menuju mobil.Tante Rusni ikut berjalan menuju pintu keluar dan melihatku dengan perasaan heran. Belum sempat dia mengutarakan apa pun yang sebenarnya sangat ingin kudengar, tetapi aku langsung pergi tanpa mendengarkan penjelasannya.“Ibu… ayo dong angkat telepon Gita!” Berkali-kali aku menekan tombol panggilan pada nomo
“Tante, gimana kabarnya? Tante lagi dimana?” Aku menelepon Tante Rusni, alias Mamanya Yunita dengan niat mengajaknya bertemu.“Kabar tante baik, Tante lagi di Bandung, ada apa, Git? Apa Yunita bikin masalah lagi sama kamu?” Suaranya terdengar mendayu terdengar sedang tak enak hati. “Tante minta maaf banget sama kamu ya, Gita. Kamu…”“Tante, maaf saya potong. Gimana kalau kita ketemuan aja buat bicarain semuanya?” ajakku.Dari seberang telepon aku mendengar desahan napas beratnya. Aku menerka, dia sedang keberatan dengan ajakanku.“Emm… gimana ya, tante agak sibuk belakangan ini, Git.” Dia akhirnya menolak.“Biar Gita aja yang ke Bandung, Tante. Gita sekalian mau ke rumah ibu. biar Gita mampir ke tempat tante,” ujarku menepis tolakannya.Dia terdiam sesaat, namun akhirnya menyetujui.“Oke deh. Kapan kamu mau datang?” tanya wanita itu.“Hari ini, Tante.”“Oke,” sahutnya dan telepon berakhir.Setelah kemarin mendengar penjelasan dari karyawanku yang bernama Chika, ciri-ciri yang dia sebu