Ponsel Dania kembali berdering. Nomor tidak dikenal menghubunginya. Bimbang, Dania akhirnya mengangkatnya. Ia terkejut bahwa yang menelepon adalah seorang laki-laki muda yang entah siapa; ia pun tidak mengetahuinya.
"Hallo, selamat siang. Benar dengan Ibu Dania Indah Pertiwi?" "Iya, siang. Maaf, ini siapa ya?" "Perkenalkan, saya Armando Syahputra. Saya pengacara yang diberi kuasa untuk mengurus dan menyerahkan surat warisan dari mendiang Ibu Denada Pratiwi," sahut suara laki-laki itu dengan nada gagah. "Warisan? Warisan apa ya? Apa Anda salah sambung? Mendiang nenek saya itu bukan dari kalangan orang berada yang bisa meninggalkan warisan begitu, Pak," sahut Dania, terkejut dengan apa yang dikatakan laki-laki itu. "Untuk lebih jelasnya, nanti saya jelaskan secara terperinci saat saya bertemu dengan Ibu Dania. Saya akan segera atur waktu untuk bertemu dan membicarakan hal ini." "Iya, baik, Pak." "Terima kasih. Selamat siang." "Iya, siang." Dania menutup sambungan teleponnya dan melamun. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Di satu sisi, ia agak sedikit syok dan kaget. Di sisi lain, ia takut ini hanya akal-akalan Rizal yang hendak mencari tahu keberadaannya. Ia pun segera menghubungi Meli untuk mempertanyakan pendapatnya dan bagaimana jalan terbaiknya. Meli yang beberapa kali dihubungi belum juga menjawabnya hingga akhirnya Dania menyadari waktu telah menunjukkan jam pulang sekolah anak-anaknya. Dania bergegas bersiap menjemput mereka. Selesai bersiap dan memanaskan motor matic bututnya Dania pun meluncur ke sekolah Raihan dan Hafiz, yang berjarak tidak jauh dari rumahnya. Dania yang baru saja pindah tempat tinggal beserta anak-anaknya juga memindahkan mereka ke sekolah baru untuk menghindari kemungkinan mereka dibawa paksa oleh suaminya, Rizal. Sesampainya di sekolah, terlihat Raihan dan Hafiz telah duduk menunggu dijemput. Mereka duduk bersama seorang perempuan. Dania yang khawatir segera menghampiri mereka. "Sayang, maafin Ibu ya. Ibu telat jemput," ucap Dania terbata di akhir kalimat. "Lho, Mel! Kok lo di sini?" "Iya, Dan. Tadi kebetulan gue lewat sini. Terus gue lihat Rizal lagi nunggu di depan sekolah mereka. Untungnya mereka belum pulang, jadi gue jemput lewat pintu belakang sekolah. Gue minta izin dan minta bantuan langsung sama kepala sekolah. Untung gue lewat sini, lho, Dan," jelas Meli dengan nada panik. Dania tersentak kaget. Ia tidak menyangka Rizal telah mengetahui keberadaan sekolah anak-anaknya. Lalu Mereka bergegas pergi untuk pulang ke rumah. "Ya sudah, ayo kita buru-buru pulang. Gue nggak mau anak-anak gue diambil bajingan itu," pungkasnya. Raihan dan Hafiz berada tak jauh dari Meli dan Dania sehingga mereka tidak mendengar obrolan antara ibu mereka dan sahabatnya itu. Mereka sampai di rumah. Dengan kecepatan tinggi, Dania mengendarai motor maticnya. Meski begitu, ia tetap berhati-hati karena anak-anak kesayangannya ikut bersamanya. Tak lama setelah sampai rumah, mereka berganti baju dan makan siang. Kemudian, Dania menemani anak-anaknya tidur siang, sementara Meli menunggu di ruang tamu. "Akhirnya tidur juga sayangnya Ibu," ucap Dania sambil mengecup kening mereka bergantian. Dania berjalan keluar kamar dan menghampiri Meli di ruang tamu. Terlihat Meli sedang memakan camilan sambil fokus memainkan ponsel miliknya. "Huh..." keluh Dania sambil menghempaskan tubuhnya di atas kursi yang mulai mengeras. "Udah tidur, anak-anak?" tanya Meli. "Udah, barusan," sahut Dania dengan sedikit menguap sambil memijat pelipisnya. "Eh, Dan, tadi lo nelpon gue ya?" tanya Meli sambil berjalan ke dapur untuk mengambil air putih dingin dari kulkas mini. "I... iya," jawab Dania ragu. Ia lupa apa yang ingin disampaikan saat tadi menelepon Meli sebelum menjemput anak-anaknya. "Oh, iya. Tadi gue nelpon lo mau nanya pendapat lo, Mel, tapi lo nggak angkat-angkat," ucap Dania sambil merebahkan tubuhnya di kursi. Ia merasakan sedikit kram pada jahitan di perutnya. "Nah, itu kebetulan banget. Gue lagi ngawasin anak lo di sekolah. Gue baru mau ke rumah lo, padahal. Emangnya mau nanyain apaan, Dan? Penting banget kayaknya," tanya Meli penasaran. Dania mulai menceritakan semuanya secara detail, termasuk telepon dari pengacara yang baru saja diterimanya. Ia meminta pendapat Meli tentang langkah terbaik yang harus diambil. "Hah, ini lo serius, Dan?" Meli ternganga mendengar cerita Dania. "Iya, serius. Tadi dia ngomong begitu. Gue nanya sama lo, mungkin nggak ini penipuan? Atau cuma akal-akalan Rizal biar tahu alamat gue?" Akhirnya, mereka merundingkan keputusan yang akan diambil. Di satu sisi, ini adalah kesempatan untuk Dania bisa benar-benar terlepas dari Rizal. Namun, di sisi lain, ia takut jika ini hanyalah penipuan atau rencana licik Rizal. "Kan kata lo tadi dia minta alamat rumah, tuh? Nah, jangan lo kasih. Lo bilang aja ketemu di luar, tapi di tempat yang aman. Terus lo liat nanti, gimana respons dia," saran Meli. Saat itu juga, Dania menghubungi pengacara tersebut dan membuat janji pertemuan yang akan dilakukan lusa mendatang. Pengacara itu pun menyanggupinya. Sebelumnya, Dania meminta izin untuk ditemani oleh sahabatnya, Meli, dan pengacara itu tidak keberatan. --- Dua hari kemudian, tepat di hari libur, Dania dan anak-anaknya segera bersiap untuk pergi menemui pengacara tersebut. Tepat pukul 08.00, Dania dan anak-anaknya sudah rapi. Meli pun sudah datang. Mereka segera bergegas menuju tempat yang dituju. "Mana, Dan, orangnya?" tanya Meli setelah sampai di lokasi. "Gue juga nggak tahu. Coba tunggu sebentar," jawab Dania sambil melihat sekeliling. Tiba-tiba, seorang laki-laki muda yang duduk di ruang VIP dengan penampilan rapi memakai jas melambaikan tangan ke arah Dania. "Itu, Mel. Ayo," ajak Dania. Ia tidak menyangka pengacara itu masih sangat muda, tetapi sudah bisa sesukses ini. Dania, Meli, dan anak-anaknya berjalan menghampiri pengacara itu. Setelah sampai, mereka dipersilakan duduk memesan makanan atau sekadar minuman terlebih dahulu. Sambil menunggu pesanan datang, Dania mulai membaca isi surat warisan yang akan diberikan padanya. Dania terlihat sedih dan murung. Entah apa sebabnya. Saat pesanan datang, mereka pun menyantapnya dengan santai. Raihan dan Hafiz asyik menikmati camilan khas anak-anak pada umumnya. Pengacara muda itu memperkenalkan dirinya. Ia menjelaskan bahwa dirinya adalah cucu dari sahabat nenek Dania, yang merupakan pengacara juga. Ia sendiri tidak tahu-menahu soal surat warisan itu sampai ia menemukannya di sebuah lemari pribadi milik neneknya. "Pak, kalau nggak tahu soal surat itu, gimana bisa tiba-tiba menghubungi Dania?" tanya Meli, penasaran. "Kebetulan itu saya temukan di lemari pribadi milik nenek saya, dan saya perhatikan kalau surat ini belum diurus untuk sampai ke ahli waris yang tertera namanya disitu, yakni Dania Indah Pertiwi. Bisa dilihat, surat ini sudah ada sejak..Berselang enam bulan ke depan, Danar mendapat kabar bahwa dirinya memenangkan tender yang selama ini diincarnya sejak lama.Ia langsung menghubungi istri tercintanya, yang tidak lama kemudian mengangkat teleponnya."Assalamu'alaikum, iya, Mas?""Kamu di mana? Aku punya kabar gembira, Sayang."Suara Danar terdengar sangat riang dan antusias untuk memberi tahu istrinya."Kabar gembira? Wah, apa nih?" Dania menanggapinya dengan antusias."Hmm, gimana kalau nanti malam kita bermalam di hotel bintang lima? Nanti Mas pulang cepat biar kita packing sama-sama. Gimana?""Iya, Mas. Asalkan kamu tidak kecapekan, aku selalu ikut rencanamu." Dania menjawab dengan penuh sukacita."Oke, Sayang. See you."Danar mematikan sambungan teleponnya.Semenjak menikah dengan Dania, Danar merasa rezekinya selalu mengalir deras. Ada saja keberhasilan yang datang dari berbagai sisi.Ia menganggap semua ini sebaga
"Rizal?" ucap Dania dengan heran dan penuh kekhawatiran, khawatir akan anak-anaknya.Sementara Danar maju untuk mengambil pesanan yang sudah dipesannya, mereka segera menutup pintu. Namun, Rizal menahannya."Pantas saja kamu tidak berada di rumahmu. Dan aku susah mencarimu, tahunya kamu berada di sini? Bersama selingkuhan berkedok sahabat kecil!" ucap Rizal dengan tatapan sinis.Mereka mengabaikan ucapan Rizal barusan dan langsung menutup pintu rapat-rapat. Dania teringat anak-anaknya. Ia khawatir Rizal akan melakukan hal yang tidak diinginkan lagi.Saat sampai di kamar anak-anaknya, mereka sedang bermain. Dania merasa lega."Ibu, apakah Ibu mau memanggil kami untuk makan malam?" tanya Raihan lirih."Iya, sayang. Ibu baru saja membeli makanan secara online. Yuk, kita makan sama-sama," ajaknya.Raihan lari terlebih dahulu, sedangkan Hafiz digendong oleh Dania untuk bergegas menuju meja makan.Di sana, terlihat Da
Plakkkkk!!!!Terdengar tamparan keras dari tangan Dania yang mendarat di pipi Radist. Kali ini, kesabarannya tidak dapat dibendung lagi.Danar tidak menghiraukan Dania yang menampar Radist barusan. Ia tetap memperlihatkan rekaman itu dengan terburu-buru.Dan... benar saja dugaan Danar. Radist sudah menjebaknya dengan memasukkan serbuk ke dalam makanan yang sedang dimasak tadi saat makan malam bersama. Namun, hanya makanan yang akan dimakan oleh Danar."Ketahuan, kan, belangnya? Perempuan ini bagaimana?!" ucap Danar."Kamu itu tidak tahu malu, Radist!"Danar memaki perempuan yang kini terdiam, namun tidak menunjukkan rasa penyesalan atas perbuatannya."Apa motifmu? Dan kenapa kamu bisa tahu vila ini? Padahal Mas Danar berkata kalau vila ini belum banyak yang tahu, termasuk kamu!"Dengan wajah yang terlihat menantang, Radist maju perlahan sambil melipat tangan ke dada."Lalu... kamu percaya begitu saja? B
"Hmm, apakah kamu tidak suka melihat Dania bahagia?"Terdengar suara perempuan menyahuti gumaman Anggi.Anggi menoleh dengan kasar. Ia terkejut dengan pertanyaan seseorang yang menanggapi gumamannya itu."Bukan urusanmu!" Anggi terlihat panik. Ia berpikir perempuan tersebut adalah seseorang dari keluarga mereka."Tentu jadi urusanku! Siapa pun yang tidak suka dengan kebahagiaan mereka akan menjadi partnerku untuk bersama menjatuhkan mereka, iya bukan?""Oh iya, perkenalkan, aku Radisty," katanya sambil mengulurkan tangan ke hadapan Anggi. Anggi hanya menanggapi sebisanya.Saat mendengarkan rencana demi rencana Radisty, Anggi pun enggan mengikutinya. Ia akan menggunakan caranya sendiri.---Dua hari setelahnya, Dania menikah dengan Danar. Mereka sepakat untuk mengambil cuti kerja selama sebulan. Mereka memutuskan untuk berlibur sekaligus berbulan madu.Sore itu, sepulang mereka berbelanja keperluan untuk libu
Lima bulan ke depan, Rizal dan yang lainnya sudah dipenjara. Mereka berpasrah diri, tidak ada yang dapat dilakukan selain menjalani hukuman tersebut.Saat bulan keenam mereka menjalani masa hukuman, siang itu Anggi dipanggil karena ada yang membesuk.Saat ditemui di ruang khusus kunjungan, ia terperangah melihat Anton yang berada di jajaran meja pengunjung tahanan."An-Anton?" sapa Anggi ragu-ragu.Anton, yang semula sedang memainkan ponsel sambil menunduk, menengadahkan pandangannya ke depan."Hai, gimana kabarnya?""Ya, gini-gini aja. Tumben kamu punya waktu untuk membesukku.""Hmm, sebenarnya ini kejutan. Tapi..."Belum selesai Anton meneruskan pembicaraannya, petugas datang untuk memberitahu kalau Anggi telah terbebas dari hukuman dan tuntutan."Permisi, benar dengan Saudari Anggi Noviyanthi?""Iya, Pak. Kenapa ya? Apa jam besuknya sudah habis?""Silakan ikut kami ke ruang Kepala P
"Si Danar, Mel. Bener kata lo, dia barusan ngirim pesan ke gue kalau katering nanti bakalan datang," ujar Dania sambil menunjukan ponselnya ke Meli."Kan gue bilang juga apa," sahut Meli."Iya, tapi kan boros banget. Udah ah, nanti gue mau bilang stop aja. Gak usah katering-katering lagi."Meli terdiam sambil memperhatikan Dania.Tanpa sadar, mereka sudah lama berbincang di dapur hingga karyawan katering yang mengantar makanan pun sampai.Dania mulai menyiapkan semua menu yang dipesan dan menatanya di meja makan."Ya ampun, sampai nasi aja dibeli," keluh Dania.Meli hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu.Semua makanan sudah tersaji dan tertata. Dania mengabadikannya dengan memfoto makanan sebelum disantap, lalu mengirimkan foto itu ke Danar."Sudah sampai, terima kasih.""Makan yang banyak, ya. Itu untuk sekali makan jadi langsung habiskan."Tak lama, Raihan dan Haf