Ketika hendak membuka pintu kamar dan keluar, mereka dikejutkan oleh kakak dan adik Rizal yang tak lain adalah ipar Dania. Mereka datang bersamaan.
"Mana Dania?!" Linda mencari Dania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Salma enggan menjawab, ia hanya memicingkan mata ke arah Dania yang sedang disuapi buah namun terhenti seketika. Salma dan anak-anak Dania pun bergegas keluar tanpa menghiraukan mereka yang datang. "Gimana? Tukang drama? Apa sudah pulihan?!" cetus Linda. "Kamu, kalau ada apa-apa tuh kabarin keluarga, bukan orang lain!" ucapnya lagi sambil melirik ke arah Meli. Dania hanya menyunggingkan senyum sinis. Selama ini, ia berpikir iparnya adalah sosok yang baik, karena mereka sesama wanita dan pasti mengerti bagaimana rasanya dikhianati. "Keluarga? Oh ya, aku pun ke sini diantar keluargaku, kok! Apa urusannya denganmu?" Suara Dania terdengar datar. Ia tahu, menghadapi orang-orang tukang tindas seperti ini tidak dapat dilakukan dengan cara serupa. Kedua bola mata Linda membulat mendengar ucapan Dania. Dania yang ia kenal bukanlah orang seperti ini. "Sudah bisa jawab ya, kamu? Keluarga mana? Seperti yang di sebelahmu ini yang kamu sebut keluarga? Suamimu sendiri saja enggak kamu beri tahu, lho, hei Dania!" cacinya sambil menunjuk-nunjuk ke arah Meli dan Dania. "Heh, Linda! Aku, walaupun bukan keluarga inti Dania, tapi aku mau meluangkan waktuku untuk Dania. Tidak seperti adikmu, istri mau melahirkan saja dihubungi susah! Asyik selingkuh di luar sana. Malu sedikit! Harusnya adikmu itu yang kamu caci maki, bukan sebaliknya," kali ini Meli yang menjawab cibiran Linda. Ia tidak terima Dania dicaci maki oleh Linda, yang jelas-jelas ini bukan salah Dania. Linda gugup, terlihat dari raut wajahnya. Namun, ia berusaha menyembunyikan itu semua demi menjaga nama baik adiknya, meskipun sebenarnya ia sudah mengetahui kebenarannya. "M-maksud kamu apa?!" "Halah, enggak usah pura-pura enggak tahu kamu! Memang dari dulu, kamu, adikmu, dan keluargamu tidak pernah tulus menerima Dania." Baru saja Linda ingin menjawab ucapan Meli, tiba-tiba dokter datang untuk mengecek keadaan Dania. "Permisi, Dania, gimana keadaanmu? Saya akan memeriksamu. Jika sudah membaik, kamu diperbolehkan pulang." "Baik, Dok," sahut Dania, yang sedari tadi mencoba menurunkan emosinya terhadap iparnya itu. Melihat Dania sedang diperiksa, Meli dan Linda keluar ruangan terlebih dahulu. Meli keluar sambil membawa potongan buah yang masih tersisa beberapa potong dan menusuk-nusuknya dengan garpu asal-asalan, melampiaskan kekesalannya terhadap Linda. Sementara itu, Linda terlihat sibuk memegang ponsel dengan raut wajah gelisah. Entah siapa yang dihubunginya, sepertinya sangat mendesak saat itu. Amarta, adik Rizal, tidak ikut berbicara. Namun, ia memperhatikan apa yang sedang diperdebatkan dan memilih enggan ikut campur, meskipun hal ini berhubungan dengan kakak-kakaknya. [Rizal, kenapa Dania dan temannya sudah tahu kalau kamu selingkuh? Kamu ini bagaimana sih?] [Rizal, kamu di mana? Baca pesan Kakak.] [Zal...?] Linda beberapa kali mengirim pesan singkat ke nomor adiknya itu. Setelah sekian banyak ia meneleponnya namun tidak ada jawaban. Sadar hatinya semakin kesal dan panas, Linda mengajak adiknya untuk pergi dari rumah sakit itu tanpa berpamitan terlebih dahulu. --- Setelah beberapa minggu, saat Dania dinyatakan sudah pulih dan diperbolehkan pulang, dirinya memikirkan bagaimana cara membalas perlakuan Rizal yang telah mencampakkannya dan anak-anaknya. Tring... Tring... Ponsel Dania berdering. Saat itu pagi hari, Dania sedang duduk bersantai di depan teras rumahnya ditemani secangkir kopi panas usai mengantar anak-anak ke sekolah. Terlihat kontak nama "Rizal," namun ia enggan menanggapinya. Tiga kali Rizal mencoba menghubungi, namun tidak satu pun direspons olehnya. Teringat momen manis bersama laki-laki yang beberapa tahun lalu menikahinya, terbesit pula tekad untuk menghancurkannya setelah luka yang ditorehkan di hatinya. [Dania, kamu sudah pulang?] [Kamu pulang ke mana? Kok di rumah kita kamu dan anak-anak tidak ada?] Cuplikan pesan singkat yang diterima Dania dari suaminya itu. Rasa cinta yang tidak bisa dipungkiri di hatinya bercampur dengan sakit hati yang sulit dilupakan. "Ah, tidak ada habisnya jika aku hanya memikirkan kamu, Mas! Belum tentu kamu memikirkanku di sini. Boro-boro mikirin, keadaanku saja tidak pernah kamu pertanyakan," gumamnya. Dania teringat akan bidadari surga yang telah pergi lebih dulu mendahuluinya. Anak itu dimakamkan tidak lama setelah dilahirkan dan dinyatakan meninggal. Dania sendiri yang mengikuti prosesi pemakaman anaknya itu. Meski tanpa ayahnya, setidaknya sang ibu yang selalu berjuang ada di sisinya hingga anak itu masuk ke liang lahat. Lahir dalam keadaan suci tanpa dosa, dan berpulang pun dengan keadaan masih sangat suci, terdzolimi oleh ayah kandungnya. Makamnya tidak jauh dari rumah Dania yang sekarang ditempati bersama anak-anaknya. Rizal tidak mengetahui sama sekali alamat rumah Dania yang sekarang. Rumah itu berdiri di atas tanah milik orang tuanya. Awalnya, Dania berniat menjadikannya investasi, bukan untuk menjadi janda. Namun, takdir berkata lain. "Siti Fatimah Dariz," Dania menyebut nama ini dengan bibir gemetar serta air mata berlinang hingga menetes. Itu adalah nama lengkap anak ketiganya. "Tenang di sana ya, sayang. Maafkan Ibu yang telah gagal berjuang untukmu. Tunggu Ibu dan abang-abangmu di sana ya, sayang," ucapnya sambil menatap foto anak perempuannya dengan air mata yang mengalir deras. Tring... Tring... Ponsel Dania kembali berdering. Nomor tidak dikenal menghubunginya. Bimbang, Dania akhirnya mengangkatnya. Ia terkejut bahwa yang menelepon adalah seorang..Berselang enam bulan ke depan, Danar mendapat kabar bahwa dirinya memenangkan tender yang selama ini diincarnya sejak lama.Ia langsung menghubungi istri tercintanya, yang tidak lama kemudian mengangkat teleponnya."Assalamu'alaikum, iya, Mas?""Kamu di mana? Aku punya kabar gembira, Sayang."Suara Danar terdengar sangat riang dan antusias untuk memberi tahu istrinya."Kabar gembira? Wah, apa nih?" Dania menanggapinya dengan antusias."Hmm, gimana kalau nanti malam kita bermalam di hotel bintang lima? Nanti Mas pulang cepat biar kita packing sama-sama. Gimana?""Iya, Mas. Asalkan kamu tidak kecapekan, aku selalu ikut rencanamu." Dania menjawab dengan penuh sukacita."Oke, Sayang. See you."Danar mematikan sambungan teleponnya.Semenjak menikah dengan Dania, Danar merasa rezekinya selalu mengalir deras. Ada saja keberhasilan yang datang dari berbagai sisi.Ia menganggap semua ini sebaga
"Rizal?" ucap Dania dengan heran dan penuh kekhawatiran, khawatir akan anak-anaknya.Sementara Danar maju untuk mengambil pesanan yang sudah dipesannya, mereka segera menutup pintu. Namun, Rizal menahannya."Pantas saja kamu tidak berada di rumahmu. Dan aku susah mencarimu, tahunya kamu berada di sini? Bersama selingkuhan berkedok sahabat kecil!" ucap Rizal dengan tatapan sinis.Mereka mengabaikan ucapan Rizal barusan dan langsung menutup pintu rapat-rapat. Dania teringat anak-anaknya. Ia khawatir Rizal akan melakukan hal yang tidak diinginkan lagi.Saat sampai di kamar anak-anaknya, mereka sedang bermain. Dania merasa lega."Ibu, apakah Ibu mau memanggil kami untuk makan malam?" tanya Raihan lirih."Iya, sayang. Ibu baru saja membeli makanan secara online. Yuk, kita makan sama-sama," ajaknya.Raihan lari terlebih dahulu, sedangkan Hafiz digendong oleh Dania untuk bergegas menuju meja makan.Di sana, terlihat Da
Plakkkkk!!!!Terdengar tamparan keras dari tangan Dania yang mendarat di pipi Radist. Kali ini, kesabarannya tidak dapat dibendung lagi.Danar tidak menghiraukan Dania yang menampar Radist barusan. Ia tetap memperlihatkan rekaman itu dengan terburu-buru.Dan... benar saja dugaan Danar. Radist sudah menjebaknya dengan memasukkan serbuk ke dalam makanan yang sedang dimasak tadi saat makan malam bersama. Namun, hanya makanan yang akan dimakan oleh Danar."Ketahuan, kan, belangnya? Perempuan ini bagaimana?!" ucap Danar."Kamu itu tidak tahu malu, Radist!"Danar memaki perempuan yang kini terdiam, namun tidak menunjukkan rasa penyesalan atas perbuatannya."Apa motifmu? Dan kenapa kamu bisa tahu vila ini? Padahal Mas Danar berkata kalau vila ini belum banyak yang tahu, termasuk kamu!"Dengan wajah yang terlihat menantang, Radist maju perlahan sambil melipat tangan ke dada."Lalu... kamu percaya begitu saja? B
"Hmm, apakah kamu tidak suka melihat Dania bahagia?"Terdengar suara perempuan menyahuti gumaman Anggi.Anggi menoleh dengan kasar. Ia terkejut dengan pertanyaan seseorang yang menanggapi gumamannya itu."Bukan urusanmu!" Anggi terlihat panik. Ia berpikir perempuan tersebut adalah seseorang dari keluarga mereka."Tentu jadi urusanku! Siapa pun yang tidak suka dengan kebahagiaan mereka akan menjadi partnerku untuk bersama menjatuhkan mereka, iya bukan?""Oh iya, perkenalkan, aku Radisty," katanya sambil mengulurkan tangan ke hadapan Anggi. Anggi hanya menanggapi sebisanya.Saat mendengarkan rencana demi rencana Radisty, Anggi pun enggan mengikutinya. Ia akan menggunakan caranya sendiri.---Dua hari setelahnya, Dania menikah dengan Danar. Mereka sepakat untuk mengambil cuti kerja selama sebulan. Mereka memutuskan untuk berlibur sekaligus berbulan madu.Sore itu, sepulang mereka berbelanja keperluan untuk libu
Lima bulan ke depan, Rizal dan yang lainnya sudah dipenjara. Mereka berpasrah diri, tidak ada yang dapat dilakukan selain menjalani hukuman tersebut.Saat bulan keenam mereka menjalani masa hukuman, siang itu Anggi dipanggil karena ada yang membesuk.Saat ditemui di ruang khusus kunjungan, ia terperangah melihat Anton yang berada di jajaran meja pengunjung tahanan."An-Anton?" sapa Anggi ragu-ragu.Anton, yang semula sedang memainkan ponsel sambil menunduk, menengadahkan pandangannya ke depan."Hai, gimana kabarnya?""Ya, gini-gini aja. Tumben kamu punya waktu untuk membesukku.""Hmm, sebenarnya ini kejutan. Tapi..."Belum selesai Anton meneruskan pembicaraannya, petugas datang untuk memberitahu kalau Anggi telah terbebas dari hukuman dan tuntutan."Permisi, benar dengan Saudari Anggi Noviyanthi?""Iya, Pak. Kenapa ya? Apa jam besuknya sudah habis?""Silakan ikut kami ke ruang Kepala P
"Si Danar, Mel. Bener kata lo, dia barusan ngirim pesan ke gue kalau katering nanti bakalan datang," ujar Dania sambil menunjukan ponselnya ke Meli."Kan gue bilang juga apa," sahut Meli."Iya, tapi kan boros banget. Udah ah, nanti gue mau bilang stop aja. Gak usah katering-katering lagi."Meli terdiam sambil memperhatikan Dania.Tanpa sadar, mereka sudah lama berbincang di dapur hingga karyawan katering yang mengantar makanan pun sampai.Dania mulai menyiapkan semua menu yang dipesan dan menatanya di meja makan."Ya ampun, sampai nasi aja dibeli," keluh Dania.Meli hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu.Semua makanan sudah tersaji dan tertata. Dania mengabadikannya dengan memfoto makanan sebelum disantap, lalu mengirimkan foto itu ke Danar."Sudah sampai, terima kasih.""Makan yang banyak, ya. Itu untuk sekali makan jadi langsung habiskan."Tak lama, Raihan dan Haf