Mereka berdua sudah di supermarket, Altair mendorong troli sementara Aquila yang akan mengambil bahan makanan yang mereka butuhkan tepatnya yang Aquila inginkan.
Altair tidak keberatan tentang itu, ia menyukainya, ia menyukai wajah Aquila yang bersemangat tiap kali mengambil satu persatu makanan yang dia suka atau wajah memelasnya saat Altair melarangnya mengambil barang yang hanya terlihat lucu untuk Aquila.
Tingkah keduanya membuat orang-orang disekitar mereka merasa iri karena menurut pandangan orang lain, mereka terlihat begitu mesra, juga serasi. Altair dengan tinggi diatas rata-rata sementara tinggi Aquila hanya sebatas pundak Altair. Altair yang begitu menawan, Aquila yang begitu menarik.
“Kau bekerja nanti malam?” tanya Altair. Ia ingat Aquila harus bekerja setiap akhir pekan.
“Tidak, hari ini aku cuti.”
“Bagaimana jika nanti malam kita mengadakan pesta barbeque kecil-kecilan? Kau bisa mengajak Arata dan Emilia, aku akan mengundang Ryota dan Naoki?” tanya Altair yang mendadak mendapat ide bagus.
“Wahh.. itu ide yang sangat bagus Kak, baiklah ayo kita ke counter daging!” jawab Aquila antusias.
Dengan cekatan Aquila mengambil bahan yang mereka perlukan untuk nanti malam.
“Kak, apa ada yang kau inginkan?” tanya Aquila karena sedari tadi dia mengambil apapun yang dia inginkan sedangkan Altair hanya menurutinya.
“Mungkin aku akan membutuhkan ini.” Altair mengambil beberapa botol sake. Aquila mengerucutkan mulutnya mendengar jawaban Altair.
“Semuanya sudah kita beli kak, ayo kita ke kasir dan mampir ke kedai kue yang aku bilang!” ajak Aquila bersemangat. Dia membantu Altair mendorong troli setengah penuh itu menuju kasir.
Altair tersenyum kecil menanggapinya. Hatinya menghangat tiap kali melihat Aquila tersenyum.
***
“Tolong satu vanilla latte, satu americano, dua chesse cake dan satu red velvet ya.” Aquila memesan makananya di kedai baru itu, sementara Altair memilih mencari tempat duduk, ia memilih tempat di pojok depan.
Mereka sudah sampai di kafe yang ingin Aquila kunjungi. Kafenya tidak begitu luas namun nampak begitu nyaman, nuansa antique jelas terasa di seluruh penjurunya. Tidak lama berselang Aquila datang dengan pesanannya.
“Kafe ini lumayan unik, kurasa aku akan sering mengunjunginya.” ucap Altair. Pria tinggi itu menyambut Aquila untuk mengambil alih nampan yang ia bawa.
“Kurasa kau benar kak, tempat ini sangat nyaman.” Aquila menyetujui.
Dengan cepat Aquila menyuapkan cheese cake yang sedari tadi sudah membuat tenggorokannya menelan ludah.
“Pelan-pelan saja!” Altair mengelap sedikit cream yang ada di sudut mulut Aquila dengan ibu jarinya tanpa sadar.
“Ohh.. Umm..” Aquila mencoba menyembunyikan pipinya yang bersemu.
Handphone Aquila berbunyi tanda ada pesan yang masuk, raut mukanya berubah tegang saat membacanya, membuat Altair bertanya-tanya siapa kira-kira yang mengiriminya pesan dan apa bunyinya.
“Apa ada masalah?” tanya Altair khawatir.
“Tidak.. tidak.. hanya saja aku baru ingat harus mencari beberapa buku, aku akan ke toko seberang ya sebentar.” jelas Aquila. Terlihat sekali gadis itu menyembunyikan sesuatu.
“Kalau begitu ayo!”
“Ah tidak.. kakak disini saja, aku hanya sebentar. Bagaimana jika kakak menghubungi yang lain untuk rencana kita nanti malam?” tolak Aquila cepat.
Altair hanya mengangguk, ia sedikit curiga dengan sikap Aquila yang mendadak aneh setelah mendapat pesan barusan, tapi ia tetap mencoba mempercayai gadis itu. Seperginya Aquila, Altair menghubungi Ryota, Naoki, Arata dan Emilia untuk menyampaikan rencananya dan mereka semua setuju.
Dua puluh menit berlalu dan Aquila belum kembali, membuat Altair dilingkupi rasa cemas, bukankah gadis manis itu bilang hanya sebentar?
Altair mengamati toko buku yang ada di seberang kafe, beruntung kafe itu berdinding kaca jadi ia bisa leluasa mengamatinya dari tempat ia duduk. Tak berselang lama ia melihat Aquila keluar bersama seorang pria ke arah gang sempit yang ada di samping toko. Pria itu menggunakan topi jadi Altair tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Reflek Altair berlari untuk menyelamatkan Aquila yang menurutnya sedang dalam bahaya, jantungnya sungguh ingin berlari keluar dari dadanya.
Siapa pria itu? Kenapa dia membawa Aquila? Kenapa Aquila tidak memberontak? Apakah gadis itu diancam? Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di kepala Altair, menciptakan skenario yang belum tentu benar.
“Ahh sial, padat sekali lalu lintas hari ini!” umpatnya yang belum bisa menyeberangi jalan dari tadi.
Setelah berhasil menyeberang dia berlari secepat yang dia bisa untuk mengejar Aquila. Di sana, di ujung gang dia melihat Aquila yang sedang berciuman mesra dengan sosok lelaki yang membawanya tadi, hatinya mencelos melihatnya.
Apa-apaan.. dia sudah khawatir setengah mati namun ternyata berbanding terbalik dari yang ia takutkan.
Seperti ada duri-duri kecil yang menusuk dadanya saat melihat pemandangan di depan sana, ia memegangi dada kirinya, merematnya kecil. Kenapa tiba-tiba sakit sekali, kenapa? Bukankah dia tidak ada perasaan apapun pada gadis yang sudah tinggal bersamanya itu? Setidaknya itulah yang dia percaya selama ini.
“Aquila.” panggilnya lirih.
Aquila melepaskan ciumannya begitu mendengar suara Altair dan mendorong pria itu agar menjauh saat menyadari Altair berdiri melihatnya dari depan gang, dengan tatapan yang sulit diartikan.
“K.. Kak!“ Aquila terbata, perasaan takut menyergapnya.
“Kak tunggu!” teriak Aquila mengejar Altair yang mulai melangkah menjauh, menghiraukan laki-laki yang baru saja berciuman dengannya. “Kak.. Kak.. aku mohon berhenti!” Aquila terus mengejar Altair, bahkan beberapa kali menabrak pejalan kaki yang memenuhi jalanan. Gadis itu sudah berlari secepat yang ia bisa tetapi tidak bisa menyusul Altair.
Altair sudah menunggu Aquila di dalam mobilnya, bukan untuk berbicara dengannya hanya saja ia tidak mungkin meninggalkan gadis itu sendiri. Tak lama Aquila masuk ke dalam mobil, tanpa menunggu lagi ia langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Menghiraukan Aquila yang dari tadi mencoba mengajaknya bicara.
“Kalian lama sekali?” gerutu Arata yang sudah ada di apartemen mereka bersama Ryota, Naoki dan Emilia.
Tidak menjawab Altair langsung pergi ke dapur, meletakkan semua belanjaan yang sudah mereka beli tadi, lalu segera melangkah masuk ke dalam kamarnya tanpa mengindahkan semua tatapan tanya. Sementara Aquila memilih duduk di ruang tengah, ia lelah, ia menyesal, kenapa Altair harus melihat kejadian tadi, dan untuk alasan apa pria itu marah?
“Kalian bertengkar?” Ryota bertanya pada Aquila. Ia memberikan segelas air putih untuk Aquila yang terlihat lelah.
“Mungkin.” Aquila meraih air minum itu dan langsung menghabiskannya.
“Apa yang kau lakukan sampai membuatnya memasang wajah semenakutkan itu?” Emilia tidak berbohong, Altair begitu menakutkan saat marah. Tidak ada jawaban, gadis manis itu ragu untuk menceritakan kejadian yang tadi berlangsung.
“Sudahlah sebentar lagi pasti Altair baikan, biarkan dia sendiri dulu. Bagaimana jika kita menyiapkan pestanya?” Ajak Naoki antusias.
Sebenarnya Naoki tahu betul Altair benar-benar marah kali ini, ia sangat mengenal Altair, mereka sudah berteman sejak sekolah menengah atas juga bersama Ryota dan melihat ekspresi Altair tadi ia tidak yakin itu akan segera mereda.
Mereka mulai menyiapkan pestanya, menyiapkan semua bahan-bahan yang diperlukan dan membawanya menuju rooftop apartemen mewah itu. Ya mereka akan melakukan pesta barbeque di rooftop yang pengelola apartemen sediakan untuk para penghuni yang ingin melakukan kegiatan outdoor.
Aquila mencoba fokus pada teman-temannya tetapi hasilnya nihil, ia masih terbayang kejadian tadi, ia masih ingat betul bagaimana raut sedih dan kecewa terpancar dari sorot mata Altair.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam saat Altair keluar dari kamar, ia sedikit merasa bersalah pada para sahabatnya yang sudah datang tapi ia tinggalkan begitu saja tanpa bicara apapun. Ia juga tidak mau mengambil resiko yang mungkin terjadi jika dia memaksakan berbaur saat moodnya sedang tidak baik. Kejadian tadi benar-benar membuat moodnya berantakan, dan Altair tidak suka itu.
Altair menyapu pandangannya ke seluruh penjuru apartemen mewah miliknya dan ia tidak menemukan siapapun disana, “Yoshh.. waktunya menyusul mereka!” Altair menepuk-nepuk pipinya, bermaksud memberi kekuatan pada diri sendiri.
Pria tinggi itu membuka pintu rooftop, melihat semua teman-temannya yang memang sudah berada di tempat itu. Aquila, Ryota dan Emilia terlihat sedang sibuk memanggang daging, sementara Arata dan Naoki sedang bercengkrama dengan sesekali menyuapkan makanan kemulut mereka. Pelan namun pasti Altair berjalan mendekat, menyiapkan dirinya untuk berhadapan dengan Aquila.
“Apa ini daging untukku?” Altair mengambil satu tusuk daging dari panggangan lalu menyuapkannya kemulut.
“Ya, berterima kasihlah padaku karena aku sudah berbaik hati memanggangkannya untukmu.” gumam Ryota. Altair hanya tersenyum mendengar jawaban yang diberikan oleh sahabatnya itu.
Aquila mencuri pandang pada Altair yang baru saja datang, sementara yang dipandang masih bersikap acuh padanya, berjalan menjauh menuju Arata dan Naoki yang duduk tak jauh dari pemanggang. Sebenarnya ia ingin sekali menyapa Aquila, tapi entah kenapa tiap kali ia ingin mencobanya seakan tenggorokannya kering, tak ada suara yang ia bisa hasilkan. Pemandangan tadi siang masih berputar di otak cerdasnya.
“Hei bagaimana jika kita bermain truth or drink?” Ajak Arata antusias.
“Tidak mau, seperti anak kecil saja!” balas Emilia cepat.
“Oh.. ayolah.” rengek Arata dilebih-lebihkan.
“Kurasa itu bukan ide buruk.” Aquila mengiyakan ajakan Arata.
“Yang setuju angkat tangan!” seru Naoki. Semua angkat tangan kecuali Altair dan Emilia.
“Yeayyyy!” Arata antusias.
“Dimulai dari Aquila saja, lalu berputar dengan Arata paling akhir.” usul Ryota melihat posisi duduk mereka. Saat ini mereka duduk memutari meja kayu besar.
“Baiklah, Arata.. apa kau mandi sebelum kesini?” Aquila bertanya memasang wajah polosnya, dia tak tahu harus bertanya apa jadi dia hanya bertanya hal sekenanya, sementara yang ditanya sudah merah padam.
“Ya.. nice question Aquila, aku tau betul apakah dia mandi atau tidak karena dari kemarin dia menginap di rumahku.” Naoki antusias mendengar pertanyaan Aquila.
Ia ingin semua orang tahu bagaimana Prince Arata menjaga kebersihannya. Sementara Arata tak tahu harus menjawab apa. Semua orang saling melontarkan candaan ke arah Arata membuatnya semakin malu.
“Oh ayolah Arata.. mengaku saja!” goda Naoki dengan muka menyebalkan. Arata salah tingkah dibuatnya. Imagenya sebagai pria tampan nyaris sempurna bisa hilang jika mengaku tidak mandi tapi berbohongpun tak akan ada yang percaya.
“Kalian sudah tahu jawabannya, next!” pekik Arata yang dihadiahi tawa oleh semua temannya.
“Yo.. sekarang giliranku.” Ryota berusaha menahan tawanya karena mereka berhasil mengerjai Arata.
“Emilia.. apa ada yang kau sukai di antara kami?” tanya Ryota tanpa basa-basi. Semua mata memandang sahabat baik Aquila itu penasaran.
Tanpa menunggu lama Emilia mengambil gelas yang berisikan sake tanpa ragu, ia melihat intens ke arah Altair sekilas sebelum meminumnya, dengan cepat Altair membuang pandangan ke arah lain. Dan tentu saja mereka semua menyadarinya.
“Kak, sekarang giliranmu!” Arata berujar pada Altair.
“Siapa pria itu?”
Semua terdiam mendengar pertanyaan yang lolos dari mulut Altair. Tentu semua tahu pertanyaan itu di arahkan untuk siapa meski Altair tidak menyebutkan nama.“Siapa pria itu.. Aquila Minami?” desis Altair merendahkan suaranya.“Di.. dia sahabatku.” gumam Aquila lirih tidak berani menatap Altair. Gadis manis itu takut mendengar nada rendah pria yang beberapa bulan ini tinggal bersamanya. Selama mereka tinggal bersama belum pernah sekalipun Altair menggunakan nada rendah untuk berbicara padanya, sekalipun Aquila membuat kesalahan Altair tak pernah marah padanya. Nada rendah Altair benar-benar mengintimidasi Aquila.“Jadi kami semua yang ada disini boleh mencium bibirmu seperti tadi, bukankah kami juga sahabatmu?”Hening.Semua orang terdiam mendengar pertanyaan Altair. Aquila menatap Altair tak percaya. Entahlah, tapi pertanyaan Altair membuatnya
“Aki bilang dia akan menjauh dariku tapi sebelumnya dia ingin berciuman sekali saja dan bodohnya aku menyetujui dan sialnya Altair melihatnya!” gerutu Aquila frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri.“Kenapa.. kenapa kau takut saat Altair mengetahuinya?” Pertanyaan Emilia membuat Aquila terdiam. Ia tidak tahu kenapa ia merasa menyesal karena Altair melihatnya.“Lain kali saja kau beri jawabannya.” Emilia menepuk pundak Aquila pelan. Emilia tahu Aquila sendiri belum menemukan jawaban atas perasaannya sendiri.“Ayo keluar, sepertinya live music sudah selesai!” Ajak Emilia.***“Aquila.. kau bisa mengambil cuti besok, aku tidak tega melihatmu seperti ini.” ucap Emilia di parkiran apartemen Aquila atau lebih tepatnya apartemen Altair. Mereka berdua baru saja pulang bekerja.Emilia mengant
“Aquila, kau ingin makan sesuatu?” tanya Altair setelah sampai di apartemen mereka.“Aku ingin langsung istirahat saja kak.” jawab Aquila lemah. Ia masih merasa pusing, badanpun masih terasa berat. Altair hanya mengangguk, ia memapah Aquila ke kamarnya. Terlihat sekali raut lelah di wajah gadis itu. Altair menidurkan Aquila pelan, menyelimutinya sampai sebatas dada, tidak lupa mengelus surainya lembut.“Tidurlah!” ucap Altair sembari mengusap-usap kuping Aquila pelan. Matanya menatap Aquila lekat. Gadis itu menuruti perkataan pria di sampingnya, ia mencoba memejamkan mata. Aquila yang begitu merasa nyaman akan perlakuan Altair langsung terbawa ke alam mimpi. Ia tidak pernah diperlakukan selembut ini oleh orang lain. Yakin Aquila telah tertidur Altair keluar menuju balkon lalu meraih handphonenya untuk menghubungi seseorang.“Halo Tsuyu, bisakah kau ke apartemenku sekarang? Temank
Altair bersiap secepat yang dia bisa, dari ucapa Ryota pasti ada hal penting yang terjadi di kantor. Tentu Altair tidak ingin sesuatu terjadi pada perusahaan yang dia dan sahabatnya bangun dengan susah payah.Selesai bersiap Altair menghampiri Aquila yang masih berada di dapur, gadis itu terlihat tengah menyesap teh chamomile kesukaannya, “Aquila, aku berangkat ya.” Altair berucap cepat.“Tunggu, aku sudah menyiapkan bento untukmu.” Aquila mengejar Altair yang sedikit lagi mencapai pintu. Ia menyerahkan bungkusan makan siang yang ia siapkan saat menunggu Altair bersiap tadi.“Thanks! Ittekimasu!” ucap Altair, ia menerima bento dari Aquila.“Itterashai!” jawab Aquila, ia perhatikan punggung lebar Altair yang mulai menjauh.Dengan kecepatan tinggi Altair melajukan mobil Audi hitamnya menuju kantor,
“Tadaima!” ucap Altair seraya membuka pintu apartemennya setelah pulang dari kantor. Penasaran karena tidak ada jawaban dari Aquila ia lirik jam yang melingkar di tangannya menunjukkan pukul sembilan malam, tidak mungkinkan gadis itu sudah tidur seawal ini.“Aquila?” Panggilnya lagi.“Kak Altair.. okaeri!” Aquila keluar dari arah dapur dengan celemek yang terpasang.“Maaf aku tidak dengar, aku sedang fokus memasak.” Jelas Aquila. Altair berjalan mendekatinya.“Memangnya sudah sembuh? Kita bisa membeli makanan saja agar kau tidak perlu repot seperti ini.” ucap Altair lembut. Ia usap-usap kepala Aquila pelan.“Kak.. aku pingsan karena kelelahan, bukan karena penyakit mematikan jadi berhentilah terlalu mengkhawatirkanku.” Aquila berkata lembut. Altair hanya mengangguk-anggukkan kepala.“Sudahlah lebih baik k
Hari berganti, Aquila sudah sembuh dari sakitnya dan sekarang dia sudah tidak bekerja fulltime di kafe lagi, Altair benar-benar melarangnya sejak insiden Aquila jatuh pingsan karena kelelahan. Altair yang akan membiayai kuliah Aquila. Tentu saja Aquila menolak pada awalnya. Dia tidak mau merepotkan siapapun, selagi dia masih bisa bekerja dia akan bekerja hingga akhirnya Altair memberikan penawaran yang menurut gadis itu masuk akal. Setelah Aquila lulus kuliah dia harus bekerja untuk perusahaan Altair sebagai cara untuk membayar biaya hidup dan biaya kuliah Aquila yang sudah Altair keluarkan. Sebenarnya Altair tidak mempermasalahkan uang yang harus ia keluarkan untuk Aquila tapi mengingat gadis manis itu tidak akan menerima bantuan nya secara cuma-cuma akhirnya dia memberikan penawaran tersebut. Hubungan mereka berdua pun semakin dekat. Sudah tidak ada lagi rasa canggung di antara mereka. Keduanya sudah seperti kakak beradi
“Would you like to be mine?” tanya Altair. Ia genggam kedua tangan Aquila erat sembari memaku sepasang manik coklat madu itu.“Absolutely, yes!” Mendengar jawaban yang diberikan Aquila, Altair segera menarik tangan gadis itu hingga terjatuh di pangkuannya. Memeluknya erat, menyesap aroma jasmine yang menguar dari tubuh Aquila. Aquila melakukan hal yang sama, ia memeluk erat pria tampan beraroma mint yang baru saja sah menjadi kekasihnya.Lama keduanya saling berpelukan, mencurahkan segala perasaan yang sudah mereka tahan beberapa bulan yang lalu.“Arigatou.. hontou ni arigatou!” Altair berucap lembut, “terima kasih karena sudah hadir di hidupku.” Lanjutnya.“Un.. terima kasih karena telah ‘menemukanku’!” balas Aquila.Altair yang pertama melepaskan pelukannya, ia i
Pagi menjelang. Ryota, Arata dan Naoki masih tertidur di sofa panjang apartemen Altair sementara sang empunya tengah menikmati segelas kopi hitam di balkon depan. Menikmati udara pagi yang begitu segar, pria itu sudah lupa kapan terakhir kali ia menikmati udara pagi seperti sekarang ini.Menyesap kopinya santai, menikmati segala rasa yang terkandung di minuman berwarna hitam pekat itu. Ada rasa manis juga pahit yang menyapa indra pengecapnya bersamaan, mau tidak mau ia harus meneguknya. Seperti kehidupan. Kau tidak bisa memilih untuk selalu merasakan bahagia dan membuang pahitnya, suka tidak suka kau dipaksa menelan ke duanya untuk menyeimbangkan rasa.Beberapa kali pria tampan itu mengambil nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dari ufuk timur bisa ia lihat matahari yang masih malu-malu menampakkan diri, sebagian sinarnya menerobos awan yang menghalangi. Bisa Altair lihat juga beberapa burung berterbangan untuk memulai aktivitas