Share

Berdamai

“Aki bilang dia akan menjauh dariku tapi sebelumnya dia ingin berciuman sekali saja dan bodohnya aku menyetujui dan sialnya Altair melihatnya!” gerutu Aquila frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri. 

“Kenapa.. kenapa kau takut saat Altair mengetahuinya?” Pertanyaan Emilia membuat Aquila terdiam. Ia tidak tahu kenapa ia merasa menyesal karena Altair melihatnya.

“Lain kali saja kau beri jawabannya.” Emilia menepuk pundak Aquila pelan. Emilia tahu Aquila sendiri belum menemukan jawaban atas perasaannya sendiri. 

“Ayo keluar, sepertinya live music sudah selesai!” Ajak Emilia.

***

“Aquila.. kau bisa mengambil cuti besok, aku tidak tega melihatmu seperti ini.” ucap Emilia di parkiran apartemen Aquila atau lebih tepatnya apartemen Altair. Mereka berdua baru saja pulang bekerja.

Emilia mengantarkan Aquila pulang karena sudah tidak ada kendaraan umum yang beroperasi pukul dua dini hari, kecuali taxi. Dan setelah mengetahui bagaimana keuangan sahabatnya ini sekarang, Emilia bersikukuh untuk mengantarkannya setiap hari karena jika tidak sudah bisa dipastikan gaji Aquila hanya akan habis untuk membayar taxi setiap hari yang bisa dibilang cukup mahal karena jarak tempat kerja dan tempat tinggal dia lumayan jauh.

Aquila tidak enak hati sebenarnya karena selalu merepotkan sahabat baiknya ini, tapi dia juga tidak punya pilihan lain. Gajinya hanya cukup untuk mencicil biaya kuliah juga keperluan pribadi. Beruntung sekarang dia tinggal bersama Altair, jadi ia tidak harus membayar sewa tempat tinggal. Sebagai gantinya Aquila kadang membeli keperluan sehari-hari untuk dirinya dan Altair. Awalnya Altair selalu menolak tapi Aquila bersikukuh dia tidak mau tinggal secara cuma-cuma.

“Apa aku terlihat sangat menyedihkan?” tanya Aquila dengan tawanya.

“Ya, kau seperti zombie!” jawab Emilia cepat. Aquila tertawa mendengar jawaban yang diberikan sahabatnya itu. 

“Terima kasih, tapi aku baik-baik saja!” desah Aquila pelan. Sesungguhnya yang Emilia katakan benar, ia seperti zombie sekarang. Aquila merasa seperti kehabisan tenaga, beberapa hari ini sangat melelahkan untuknya, dari mulai urusan kuliah sampai urusan pekerjaan, belum lagi masalah keluarga.

“Kau mau mampir?” Tawar Aquila yang bersiap turun dari mobil Emilia.

“Tidak!”

“Baiklah, sampai ketemu besok!” 

“Kalian sudah baikkan?” Pertanyaan Emilia menghentikan pergerakan Aquila.

“Sekali lagi terima kasih, maaf sudah merepotkanmu!” Aquila tersenyum kecil ke arah sahabatnya itu. Melihat senyum Aquila, Emilia sudah tau jawaban akan pertanyaan yang ia ajukan.

Sesampainya di apartemen Aquila bergegas menuju dapur, tenggorokannya benar-benar kering. Mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas lalu ia mendudukan dirinya di meja makan.

“Lelah sekali hari ini, rasanya aku kehabisan tenaga.” gumamnya.

Dia benar-benar lelah sekarang, baik fisik maupun mental. Ayahnya mendesak untuk segera pulang ke rumah, jika tidak ia mengancam akan menghentikan biaya Aquila kuliah. Aquila tidak bisa membayangkan itu, untuk mencukupi kebutuhannya yang sekarang saja sudah membuat ia harus bekerja keras, bagaimana dia bisa membiayai kuliahnya sendiri.

Universitas yang ia tempati saat ini masuk dalam jajaran kampus termahal di Jepang. Sementara jika dia pulang mentalnya akan lebih hancur karena harus melihat pertengkaran kedua orang tuanya setiap hari.

“Kak..” Aquila menangis lirih, ia butuh seseorang untuk teman bercerita, untuk teman berbagi, dan yang terlintas di fikirannya hanya Altair.

“Kak..” panggilnya sangat lirih yang tak mungkin bisa didengar oleh orang lain.

“Aquila!” panggil Altair pelan. Pria itu ke dapur untuk mengambil minum dan menemukan Aquila yang sudah tertidur di meja makan. Altair duduk di hadapan Aquila, tidak berniat untuk membangunkan gadis manis itu. Ia hanya mengamati wajah teduh Aquila yang tertidur.

Sudah setengah jam Altair menunggu Aquila tetapi tidak ada tanda-tanda gadis itu akan bangun.

“Kau pasti kelelahan kiddo, istirahatlah!” Altair menyelimuti tubuh Aquila dengan selimut yang baru saja ia ambil dari kamarnya, tadinya ia ingin memindahkan Aquila ke kamar tapi pasti gadis ini akan terbangun jadi Altair memutuskan untuk menyelimutinya saja. Lagipula ini sudah pukul setengah empat pagi dan ia harus kembali tidur, mengumpulkan sedikit tenaga untuk bekerja pagi nanti.

“Ughh.” Aquila mengerjap-ngerjapkan matanya yang terasa sangat berat, dan mendapati Altair tengah menyelimutinya.

“Aquila, maaf aku membangunkanmu!” Altair menyesal. Aquila mengeleng-gelengkan kepalanya.

“Ini jam berapa? Kak Altair sudah mau bekerja?” gumam Aquila masih setengah sadar.

“Belum, ini masih setengah empat pagi!” jawab Altair kalem, ia usap lembut kepala gadis yang lebih muda beberapa tahun darinya itu. Mencoba menyalurkan ketenangan agar Aquila kembali tidur.

“Kau pulang jam berapa semalam?” tanya Altair tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

“Seingatku aku turun dari mobil Emilia pukul setengah tiga.” Aquila mencoba bangun, menyandarkan tubuhnya ke kursi, “Tadi di kafe ramai sekali!” Lanjut Aquila. Altair ingat seberapa ramainya kafe itu saat akhir pekan, “Sekarang aku bekerja fulltime kak.”

“Jadi sekarang kau bekerja setiap hari?”

“Ya.”

“Apa ada masalah?” Aquila terdiam cukup lama mendengar pertanyaan Altair, ia bingung harus berkata jujur atau tidak, tapi ia juga tak mau membuat yang lebih tua khawatir.

“Tidak, hanya ingin saja.” Bohong Aquila.

“Aquila.. aku.. aku belum minta maaf padamu dengan benar, maafkan aku Aquila.. karena masalah yang dulu, kita belum bicara dengan benar sampai sekarang jadi aku benar-benar minta maaf!” ucap Altair tulus. Altair benar-benar menyesal atas perkataanya yang tidak baik.

Kejadian terakhir kali yang membuat hubungan mereka renggang sampai sekarang dan Altair tidak mau masalah itu sampai berlarut-larut hingga membuat mereka saling menjauh. Altair tidak ingin itu dan begitu pula Aquila. Hanya saja ego dan gengsi masih menguasai mereka kemarin.

“Jauh sebelum kakak minta maaf aku sudah memaafkanmu kak!” Senyum Aquila merekah. Ia bahagia akhirnya mereka kembali saling bicara.

“Benarkah? Terima kasih Aquila!” Senyum Atair ikut mengembang.

“Sejujurnya aku tidak tau kenapa itu bisa terjadi, maksudku aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa marah melihat kejadian itu. Aku tidak suka kau bersama orang lain semesra itu Aquila.. Aku mungkin menci-“ Aquila menempelkan jari telunjuknya di bibir Altair, menghentikan kata-kata yang hampir keluar dari mulutnya. Altair terdiam, tidak tahu maksud Aquila yang mencoba menghentikan ucapannya, apa Aquila membenci dirinya sehingga dia tidak mau mendengarnya atau bagaimana.

“Aku khawatir kau akan menyesal mengeluarkan kata-kata itu, jadi aku menghentikanmu kak.” jelas Aquila lembut. Altair menatap mata Aquila dalam, mencoba menyelami manik coklat madu gadis manis yang mungkin sudah mencuri hatinya, untuk mencari jawaban yang mungkin tersirat dari pertanyaan yang tadi belum lolos dari mulutnya.

“Aquila aku tidak akan menyesal.” Altair meraih jari telunjuk Aquila, menggenggamnya, dan menciumnya lembut. Aquila tersipu mendapat perlakuan manis Altair yang begitu tiba-tiba.

“Aku tau kau belum yakin dengan perasaanmu, jadi aku tidak ingin mendengarnya sekarang. Katakan lain kali jika kau sudah benar-benar yakin akan perasaanmu itu.” Aquila menarik tangannya dari genggaman Altair.

“Ini sudah pagi, kakak harus tidur begitu pula aku.” Aquila berdiri besiap menuju kamarnya sebelum langkahnya dihentikan oleh ucapan Altair.

“Tunggu aku!” seru Altair penuh arti. Aquila menjawabnya dengan senyum yang begitu lembut.

Mereka hanya butuh menurunkan ego sedikit untuk membuat hubungan yang sempat renggang kembali seperti semula. Namun, juga dibutuhkan keberanian dan kemauan yang kuat. Ke depannya mungkin akan lebih mudah untuk Altair karena setidaknya dia sudah tahu apa yang hatinya inginkan. Kadang sedikit kesalahpahaman tidaklah seburuk yang kita fikirkan asalkan kita tidak takut untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya.

***

“Altair, getaran handphonemu benar-benar mengganggu!” teriak Ryota sebal. Ia merasa sangat terganggu dengan getaran handphone Altair.

Mereka bertiga, Altair, Ryota dan Naoki sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing setelah selesai meeting sebelumnya. Mereka belum beranjak dari ruangan itu saat handphone Altair tidak berhenti bergetar sedari tadi menandakan ada panggilan yang masuk.

Altair tidak berniat mengangkatnya, ia masih sibuk dengan tumpukan kertas yang harus ia teliti satu persatu, melihat siapa peneleponnya pun tidak. Sementara Ryota dan Naoki juga tak kalah sibuk dengan laptop masing-masing.

“Angkatlah!” Perintah Ryota yang sudah kehilangan kesabaran.

“Mungkin itu panggilan penting, angkatlah!” ucap Naoki yang masih anteng dengan laptop di depannya.

“Memangnya ada yang lebih penting dari tumpukan kertas ini?” ujar Altair tanpa mengalihkan atensinya.

“Aquila.” Naoki berujar santai.

Mendengar jawaban Naoki membuat Altair menghentikan pekerjaannya, benar juga bagaimana jika itu Aquila karena seingatnya gadis itu berjanji akan memasakkan makan malam untuknya nanti. Tapi bukankah ini baru pukul empat sore atau Aquila ingin menanyakan menu yang ia inginkan pikir Altair.

Altair tersenyum lembut membayangkannya, ia lihat sekilas benarkah Aquila yang menghubunginya. Mengernyitkan dahinya sekilas melihat nama ‘Emilia’ yang terpampang di layar handphonenya, ia segera mengangkatnya.

“Kak kau lama sekali!” teriak Emilia dari seberang panggilan, membuat Altair menjauhkan sedikit telepon itu dari indra pendengarannya, dia tidak ingin tuli di usia muda.

“Aku sedang meeting, ada apa?” tanya Altair tanpa basa-basi.

“Ah maaf mengganggu, tapi Aquila baru saja pingsan di kafe bisakah kau menjemputnya nanti?” jelas Emilia.

“Apa? Pingsan? Kenapa?” seru Altair panik, membuat kedua sahabatnya ikut panik.

“Apa? Siapa yang pingsan?” teriak Naoki heboh.

“Aku ke sana!” lanjut Altair cepat. Altair memutuskan panggilan dengan Emilia, lalu bersiap untuk menjemput Aquila.

“Aquila pingsan, tolong kalian bereskan berkas-berkas sialan ini dan antar ke rumahku nanti!” Perintah Altair, ia benar-benar panik sekarang. Kedua sahabatnya hanya memandang kepergian Altair yang setengah berlari dengan tatapan heran, pasalnya mereka belum pernah melihat Altair sepanik ini karena seseorang apalagi perempuan. Altair sendiri merutuki dirinya karena tidak sadar Aquila sedang sakit padahal dini hari tadi mereka cukpu lama mengobrol.

Altair melihat keseluruh penjuru kafe dan menemukan sosok Emilia yang sedang melayani pelanggan. Ingin sekali ia menghampiri gadis itu untuk menanyakan kabar Aquila tapi ia juga tidak mau mengganggu pekerjaan Emilia, jadi ia memutuskan untuk duduk sembari menenangkan dirinya sendiri.

“Kak, kau sudah sampai?” sapa Emilia basa-basi setelah selesai melayani pelanggan, tadi dia melihat kedatangan Altair.

“Baru saja.. di mana Aquila? Bagaimana keadaannya? Bagaimana mungkin dia bisa pingsan?” tanya Altair panjang. Membuat Emilia tersenyum lembut, mengindahkan hatinya yang terasa ngilu melihat perhatian Altair untuk sahabatnya.

“Jadi aku tak punya kesempatan eh.” Batin Emilia nanar.

“Emilia?” panggil Altair membuyarkan lamunan Emilia.

“Aquila ada di ruang istirahat karyawan,” jawab gadis itu, “Tapi sebelum itu ada yang harus aku katakan padamu kak.” Lanjut Emilia.

“Apa?”

“Apa kau tau kenapa Aquila bekerja fulltime sekarang?” tanya Emilia.

“Dia bilang karena dia bosan di rumah dan ingin saja, apa ada alasan lain?” Altair penasaran dengan pertanyaan Emilia.

“Paman Minami sudah memblokir semua akses keuangan Aquila.” Altair terkejut dengan penuturan gadis yang lebih muda darinya itu.

“Kenapa?” hanya pertanyaan itu yang lolos dari mulutnya.

“Agar Aquila pulang ke rumah, tapi kau tahukan Aquila tidak semudah itu menyerah. Jadi alih-alih pulang ke rumah dia lebih memilih bekerja walaupun ini sangat berat untuknya. Dia tidak punya waktu luang sekarang apalagi untuk istirahat.” terang Emilia. Altair tidak bisa berkata-kata, dia yang tinggal bersama Aquila tapi dia juga tidak tau apapun tentang anak itu.

Kenapa Aquila tidak pernah bercerita tentang apapun padanya? Apa dia tidak berarti apapun untuk Aquila? Apa Aquila tidak percaya padanya? Pertanyaan demi pertanyaann hinggap di kepala Altair.

“Aquila tidak mau merepotkanmu.” ucap Emilia seakan bisa mendengar batin Altair.

“Antar aku ke tempat Aquila.” Altair berujar lirih. Emilia menganggukkan kepalanya pelan.

Mereka berdua berjalan ke ruangan di mana Aquila berada, sesampainya di sana terlihat gadis manis itu sedang tertidur di sofa, satu lengannya ia gunakan sebagai bantal dan satu lengan lagi ia gunakan untuk menutupi matanya.

Altair berjalan perlahan menghampiri Aquila lalu berjongkok di sampingnya, ia usap surai Aquila lembut. Dilihat dari dekat seperti ini terlihat sekali tubuh kurus Aquila membuat dada Altair berdenyut ngilu. Aquila anak yang baik tapi cobaan yang sudah ia terima tak main-main. Ia selalu menyembunyikan emosinya di balik senyum manis yang selalu menghiasi wajah manisnya dan pembawaanya yang selalu ceria.

Di luar sana banyak yang iri dengan kehidupan Aquila. Anak tunggal seorang konglomerat yang memiliki segalanya. Paras yang cantik, harta yang melimpah, kepintaran diatas rata-rata, dan tentunya keluarga yang bahagia. Sekilas nampak sempurna di depan panggung tanpa tahu seberapa kacaunya kehidupan Aquila di belakang panggung.

Aquila membuka matanya begitu merasakan seseorang membelai surainya lembut dan yang pertama ia lihat adalah senyum Altair yang begitu menenangkan.

“Kak.” Aquila sedikit heran melihat Altair ada di tempat kerjanya.

“Maaf Aquila, aku yang menghubunginya tadi.” gumam Emilia. Aquila menjawabnya dengan senyum kecil.

“Kau tidak harus kemari kak, semalam kau bilang hari ini akan sibuk?” Aquila menatap Altair, takut jika dirinya sudah mengganggu kegiatan pria tampan itu.

“Kau lupa aku punya dua tangan kanan yang sangat bisa diandalkan?” Altair balik bertanya. Benar Altair mempunyai Ryota dan Naoki yang akan selalu membantunya.

“Kita pulang ya, kau akan lebih nyaman istirahat di rumah.” tawar Altair masih dengan tatapan lembutnya.

“Kau bisa berjalan atau aku harus menggendongmu?” Pertanyaan Altair barusan membuat Aquila sedikit malu.

“Tidak perlu, aku bisa berjalan sendiri kak.”

“Emilia, aku pulang dulu ya!” Aquila pamit pada Emilia yang masih berdiri di dekat pintu.

“Pulanglah, aku tidak mau melihatmu besok. Kau harus lebih banyak istirahat dulu!” Emilia menyingkir dari tempatnya berdiri, memberi ruang untuk Aquila dan Altair keluar, “Huh.. aku benar-benar kalah dari Aquila.” desah Emilia pada dirinya sendiri. Ia amati punggung Altair dan Aquila yang semakin menjauh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status