Dua tahun yang lalu. Siang itu Miranti tengah sibuk membuat menu makan malam. Dia berkutat di dapur dibantu oleh Bi Sarti. Meski mempunyai tenaga asisten rumah tangga, tapi perempuan itu lebih suka membuat menu makanan sendiri. Terlebih anak dan suaminya memang menyukai masakan olahannya. Bahkan setiap jam makan siang, Miranti akan selalu mengunjungi kantor Haris untuk mengantarkan makanan. Sang suami lebih suka makan makanan buatan sang istri ketimbang jajan di luar. Selain lebih hemat juga lebih higienis tentunya. Haris sendiri adalah seorang pengusaha ayam pedaging. Dia memperternak ribuan ayam pedaging. Lalu menyalurkannya ke resto-resto yang mengolah daging ayam seperti gerai ayam geprek, ayam bakar, ayam penyet dan lain sebagainya. "Aduuuh!" Miranti yang tengah menumis sayur tiba-tiba mengeluh. Bi Sarti yang tengah mengupas bumbu langsung menoleh. "Ibu kenapa?" tanyanya peduli. Miranti tidak langsung menyahut. Perempuan itu hanya meringis sembari meremas perutnya yang tera
"Pekerjaan?" Alis Miranti bertemu. "Benar, Bu, saya sangat butuh pekerjaan," balas Lusi langsung memasang wajah yang menghiba, "saya adalah tulang punggung untuk adik-adik saya," tuturnya terus berlagak sedih. "Orang tua saya sudah gak ada dan saya yang harus menghidupi biaya kedua adik saya," lanjut gadis itu sambil memohon. Untuk menarik simpati Miranti, Lusi berpura-pura menangis. "Saat ini saya sedang butuh uang yang cukup banyak untuk biaya wisuda adik perempuan saya. Belum lagi adik laki-laki saya yang bungsu juga sebentar lagi akan masuk SMA. Pastinya saya memerlukan banyak uang untuk biaya pendaftarannya," bebernya sambil terisak. Miranti yang berhati lembut iba mendengarnya. "Saya ini cuma seorang ibu rumah tangga yang lebih bisa ngasih solusi apa-apa buat kamu," ungkapnya jujur. Mendengar penuturan Miranti, Lusi mengeraskan isak tangisnya. Membuat Miranti, Abrina, dan Pak Nono tidak tega melihatnya. "Begini Mbak ....""Nama saya Lusi." Tangan Lusi langsung terulur. "A
Sudah lebih dari tiga minggu pasca jatuhnya Miranti dari tangga. Perempuan itu masih belum mampu berjalan. Sehari-harinya hanya bisa duduk di kursi roda. Miranti sendiri tidak hanya patah tulang. Menurut dokter yang menangani perempuan itu juga mengalami trauma pada tulang belakangnya. Makanya perlu waktu lama untuk sembuh. Di lain pihak Lusi yang jahat justru menganti obat-obatan yang dokter berikan dengan vitamin biasa. Hal tersebut kian memperparah kondisi Miranti. Sehingga sakit wanita itu tidak kunjung sembuh. "Mah, Pah, aku ditunjuk sama wali kelasuntuk mewakili sekolah pada perlombaan tarik suara," ujar Abrina suatu malam saat sedang makan bersama.Haris dan Miranti sontak saling melempar pandang. Keduanya tampak begitu senang mendengarnya. "Oh ya?" sahut keduanya pun serempak. "Iya nih, lomba nyanyi tingkat nasional. Karena pesertanya dari beberapa sekolah SMP di Indonesia," tutur Abrina semringah. "Wahhh selamat ya, Sayang," ucap Miranti seraya mengelus rambut panjang
Abrina menatap lekat banner di hadapannya. Gadis itu tentu tergiur dengan hadiah yang ditawarkan. Untuk saat ini uang sepuluh juta tentu sangat berarti untuk kehidupannya bersama sang Ibu.Belum lagi salah satu jurinya adalah seorang produser musik. Jadi besar kemungkinan jika pemenangnya bisa ditawari masuk ke dapur rekaman. Lalu masuk ke industri musik dan menjadi penyanyi profesional seperti impian Abrina selama ini."Tapi, Mah, biaya pendaftarannya lumayan mahal," keluh Abrina sedikit memanyunkan mulutnya, "lima ratus ribu sendiri.""Gak papa, Bina. Kan kalo kamu menang kans kamu meraih cita-cita menjadi penyanyi jadi terbuka lebar," sahut Miranti terus mendukung. "Lagian kamu kan habis dapat rezeki dari Gibran lima juta itu. Masih sisa banyak kok, Bi.""Benar sih, tapi uangnya mau buat bayar kontrakan rumah kita, Mah," tutur Abrina terus merasa dilema, "ingat kita sudah nunggak sampai tiga bulan, Mah."Miranti membingkai wajah sang putri. "Uangnya masih sisa banyak, Nak," tuturny
Keesokan harinya Abrina memutuskan untuk mengikuti saran dari Anggini. Terlebih sang ibu juga mendukungnya. Gadis itu kembali berangkat ke sekolah.Kehadiran Abrina di sekolah diabaikan oleh teman-temannya. Karena memang dia tidak mempunyai banyak teman. Terlebih semenjak ibunya jatuh miskin kian membuatnya dijauhi kawan.Hanya Anggini yang tampak senang melihat kehadiran Abrina. Sama satu orang lagi. Dia tak lain dan tak bukan adalah Gavin.Pemuda yang memang sudah menaruh rasa pada Abrina dari semenjak satu kelas itu lekas mendekati bangku sang gadis. Seperti biasa dia diikuti oleh kedua anak buahnya.Sama satu pemuda lagi. Dilihat dari parasnya, Abrina merasa asing. Sepertinya cowok itu murid baru di sini."Masih ingat masuk sekolah lu?" sindir Gavin begitu mendekat. Dia yang usil lekas menarik ikatan rambut Abrina.Abrina yang enggan menanggapi Gavin hanya membuang muka."Oh iya kata Anggi lu mau pindah, ya? Kok gak jadi? Kangen berantem sama gue, ya?" ledek Gavin tampak percaya d
Pukul setengah dua siang bel pulang sekolah berbunyi. Anak-anak bersorak gembira. Mereka lekas membenahi mejanya dan bersiap pulang. Hal yang sama juga dilakukan oleh Abrina dan juga Anggini. Keduanya berbenah lantas melangkah beriringan ke luar kelas. Kalau dulu Abrina masih ada kesibukan sehabis pulang sekolah yakni mengikuti les dan bimbel. Sekarang tidak. Gadis itu akan memilih langsung pulang. Seperti biasa naik bus sudah menjadi langganannya selama satu tahun ini. Berdesak-desakan di dalam bus sudah menjadi makanannya sehari-hari. Berbeda dengan Gavin dan gengnya. Seperti biasa pulang sekolah mereka gunakan untuk main basket, futsal, game, nonton, atau sekedar nongkrong di warung. Gavin anak brokenhome juga sama seperti Abrina. Pemuda itu sudah merasakan sakitnya perpisahan orang tuanya dari waktu SD. Abrina masih beruntung karena kedua orang tuanya merebutkan hak asuhnya. Gavin tidak. Orang tua Gavin dan Gibran sudah menikah dan punya keluarga masing-masing. Ibu mereka per
"Terima kasih." Abrina pun menerima cokelat tersebut. "Ayo makan biar kamu rileks," suruh Leon mempersilakan. "Waduh ada yang lagi nikung elu dari belakang nih, Vin," celetuk salah seorang kawannya Gavin begitu melihat perhatian Leon pada Abrina. Leon yang langsung peka dengan sindiran itu langsung tersenyum simpul. "Enggak lah, Jo. Gue mana mau nikung sahabat sendiri," elaknya santai. "Tadi nggak sengaja aja beli coklat dua batang. Satu udah dimakan, satu lagi gue kasih buat Abrina," kilahnya dusta. "Ya udah yuk aku ke belakang panggung, ya," pamit Abrina sembari mengunyah cokelat dari Leon. "Semangat ya, Bi, aku yakin kamu menang," support Anggini sambil mengepalkan tangannya ke atas. "Aamiin." Abrina menyahut. Gadis itu lantas meninggalkan teman-temannya. Abrina melangkah menuju backstage. Dirinya menghabiskan cokelat pemberian dari Leon, lantas membuang bungkusnya ke tempat sampah. Di belakang panggung Abrina berkumpul dengan peserta yang lain. Total ada lima belas peserta
"Argghhh!"Leon dan Lusi mengerang bersamaan. Leon sendiri harus merasakan sakit di kaki karena tertindih badan motor. Sementara Lusi yang membonceng terpental satu meter dari motor. "Sa-sakiiit!" erang Lusi dengan berlinang air mata. "To-tolooong!" teriak Leon meminta bantuan. Karena dia sendiri juga merasakan sakit yang luar biasa menimpa kakinya. Leon melihat ada beberapa warga yang bergerak mendekat. Mereka ada yang langsung mengangkat motor baru Leon dan segera mengevakuasi Pemuda tersebut. Ada juga yang menolong Lusi. Keduanya dievakuasi ke tempat yang lebih aman. Tidak di tengah jalan seperti itu. Lusi dan Leon di bawah pohon tepi jalan. Salah Seorang warga yang menolong bekas menghubungi pihak ambulans. "Ya ampun kenapa di pahaku ada darah?" Lusi yang memang mengenakan midi dress cukup panik saat menyaksikan ada darah mengalir dari pangkal pahanya. "Oh tidak tidak! Bagaimana nasib anakku?" rengeknya ketakutan. "Sabar ya, Mbak, ambulans sedang dalam perjalanan ke sini,"