Share

7. Kenangan Miranti

"Gak usah fitnah, ya!" Melihat ibunya diberlakukan tidak adil, Abrina maju sebagai garda terdepan. "Jelas-jelas kamu yang sengaja menabrak mamahku, pake fitnah orang segala," ujarnya dengan mata yang menatap tajam pada Lusi. 

 

"Aduh pusing deh kepalaku kalo harus berhubungan dengan anak pembangkang," keluh Lusi sambil memijit pelipis. Dia sengaja memamerkan cincin berlian di jari manis dan gelang emas yang menghiasi lengannya. "Lihat ibunya jatuh bukannya ditolong malah menyalahkan orang lain," sindirnya dengan senyum yang mengejek. 

 

Abrina lekas berpaling pada sang ibu. Tangannya terulur untuk membantu Miranti berdiri. 

 

"Ayo, Bi, kita pulang saja," ajak Miranti tanpa mau menatap wajah Haris dan juga Lusi. 

 

Bukan karena dia takut sama mereka. Namun, dia tidak mau luka hatinya yang mulai mengering kembali terusik jika melihat wajah mereka. Masih ingat betul betapa kedua orang itu cukup menyakiti hatinya. 

 

"Gak, Mah, aku gak mau pergi sebelum perempuan ini minta maaf sama Mamah karena udah sengaja menabrak Mamah tadi," tolak Abrina masih menatap Lusi dengan sengit. 

 

"Eh gak usah fitnah, ya! Justru emak kamu itu yang sengaja nabrak aku," sergah Lusi tidak terima, "aku yakin dia sengaja melakukan itu biar aku celaka. Biar bayi laki-laki di kandungan ini mati," tudingnya tidak kalah sengit. 

 

"Lusi, sudah! Malu dilihat orang," ujar Haris sedikit menghardik, "ayo kita pergi periksa," ajaknya serius. 

 

Lusi menatap sekeliling. Haris benar beberapa pengunjung rumah sakit dan petugas medis memandanginya. Tentu dia tidak mau terlihat picik di depan orang banyak. Terlebih rumah sakit tersebut bekas tempatnya dulu mencari makan. 

 

Akhirnya wanita itu pun mengangguk. Sebelum langkah Pergi Lusi sengaja memeluk lengan Haris dengan mesra. Hal itu lakukan guna memancing rasa cemburu pada diri Miranti. 

 

"Tunggu!" 

 

Miranti yang sedari tadi diam mulai angkat bicara. Haris dan Lusi pun menghentikan langkahnya seketika. Keduanya kompak balik badan kembali. 

 

Miranti melangkah maju untuk menghadap mantan suaminya. Dia menatap laki-laki yang dulu pernah sangat ia cintai itu dengan lekat. 

 

"Mas, aku tahu sekarang kita sudah tidak ada hubungan. Tapi kamu pertalian darahmu dengan Abrina tidak akan pernah putus," ujar Miranti dengan suara yang bergetar. Wanita itu tengah berusaha keras untuk tetap tegar dan tidak menangis. 

 

"Maksud kamu apa, Mbak?" Lusi langsung pasang badan dengan berdiri di depan Haris, "gak perlu kamu kasih tahu, Mas Haris juga gak bakalan lupa kalo dia ayahnya Bina."

 

"Diam kamu wanita ular! Aku gak bicara sama kamu," tegas Miranti dengan tatapan yang dingin. Dengan kekuatan yang ada dirinya menyeret lengan Lusi agar menjauh dari hadapannya. 

 

"Ihhh apa-apaan sih!" 

 

Lusi menggerutu. Namun, Abrina mencegahnya saat dirinya akan kembali berdiri di depannya Haris. Pastinya kekuatan Abrina lebih kuat darinya. 

 

Miranti sendiri kembali menatap Haris dengan lekat. "Kamu membelikan istri barumu perhiasan seharga puluhan juta. Tapi, jangankan perhiasan, kebutuhan sekolah Abrina darah dagingmu apa pernah kamu pikirkan?" tuturnya dengan hati yang teriris. 

 

"Salah sendiri kenapa Abrina ke luar dari rumah." 

 

Lagi-lagi Lusi yang menyahut. Karena Haris sendiri tidak mampu untuk menjawab. 

 

Miranti tidak merespon ocehan Lusi. Perhatiannya terus tertuju pada sang mantan suami. 

 

"Kamu bahkan dengan teganya menyetop jatah bulanan Abrina. Tega kamu mempersulit kehidupan darah dagingmu sendiri, Mas," tutur Miranti dengan menahan sesak di dada. 

 

"Sedangkan adik-adiknya Lusi kamu biayai. Padahal mereka sama sekali tidak ada hubungan darah dengan kamu. Ayah macam apa itu namanya!" kecam Miranti mulai terbawa emosi. 

 

Dia bahkan sempat memukul dada Haris demi meluapkan kekecewaannya. 

 

"Eh eh jangan aniaya suami aku ya, Mbak!" teriak Lusi langsung menghalangi tangan Miranti yang masih mau memukul dada Haris. 

 

"Mamah, sudah, Mah, nanti kondisi Mamah drop lagi," pinta Abrina mengingatkan. 

 

"Aku bisa laporin kamu ke polisi lho, Mbak, kalo kamu terus menganiaya suami aku," ancam Lusi sambil mendelik. 

 

"Aku gak takut," balas Miranti berani, "di sini aku cuma menyayangkan sikap Mas Haris yang gak memenuhi kewajibannya sebagai seorang ayah. Tega menahan hak anaknya sendiri."

 

"Ranti." Haris menatap wanita yang dulu pernah sangat ia puja tersebut dengan berlagak tenang. Padahal sesungguhnya dia tengah merasa bersalah, "aku gak pernah menahan haknya Abrina. Pintu rumah selalu terbuka lebar-lebar jika dia mau kembali menikmati semua fasilitas."

 

"Mas Haris kita sudah bercerai dan hak asuh anak jatuh ke tangan aku."

 

"Ya sudah silakan rawat Abrina sendiri."

 

Bibir Lusi langsung tergelak menang mendengar jawaban sang suami. 

 

Tidak mau ibunya bersedih, Abrina menarik lengan Miranti. "Sudahlah, Mah, gak usah memohon sama pria berhati batu itu," ujarnya sembari melirik Haris dengan sengit, "aku yakin kita bisa kok hidup tanpa dia. Dan aku juga bertekad akan membuat hidup Mamah jauh lebih bahagia dari mereka," ikrarnya tulus. 

 

Setelah itu Abrina menggandeng tangan Miranti pergi. Meninggalkan Haris yang masih menatap kepergian mereka. Sampai di luar, Abrina sengaja mencari untuk tumpangan. 

 

"Bina, taksi itu mahal. Kamu dapat uang dari mana?" tegur Miranti begitu melihat putrinya melambaikan tangan ke taksi di ujung jalan. 

 

"Kak Gibran yang baik hati itu ngasih aku uang, Mah. Jadi Mamah nggak usah khawatir. 

 

"Uang ongkos naik taksi ini bisa kamu gunakan untuk jajan kamu di sekolah nanti, Bina."

 

"Udahlah, Mah, gak papa," sahut Abrina mengelus pundak Ibunya lembut, "Mamah masih lemah, aku gak mau Mamah pusing kalo naik bis."

 

Meski pendiam Abrina mempunyai sifat yang sedikit keras kepala. Dia suka ditentang keinginannya. Gadis itu mewarisi karakter sang ayah. Karena itulah Miranti memilih untuk menurut. 

 

Perempuan itu manut saja saat Abrina menyuruhnya untuk memasuki mobil sedan berwarna biru tersebut. Hawa sejuk langsung terasa begitu dia duduk di jok belakang. Sudah satu tahun ini dirinya tidak lagi merasakan nikmatnya menaiki kendaraan yang nyaman. 

 

Kehidupan Miranti berubah seratus delapan puluh derajat usai diceraikan oleh Haris. Dua tahun yang lalu dirinya masih hidup bagaikan seorang ratu. Hingga akhirnya dia terusir dari rumahnya sendiri gara-gara memperkerjakan wanita ular yang bernama Lusi. 

 

Angan Miranti pun melayang pada masa dua tahun silam. Awal mula dirinya bertemu dengan Lusi. 

 

 

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
dianrahmat
klw saat sidang perceraian diajukan nafkah anak ditanggung oleh ayahnya, maka si Haris bisa dilaporkan ke polisi dlm kasus penelantaran anak atau tdk memenuhi kewajiban dlm menafkahi anak. btw... Haris tetap lah seorang bajingan yg tega nelantarin anak kandung tp mau membiayai adek2 ipar yg matre
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status