Share

Chapter 15 : Highschool Memories

“Yellow Crowl?” Noah Bellion mengulang nama itu dengan nada tanya, memastikan apa yang didengarnya dari Draven barusan.

Lelaki gondrong itu mengangguk sembari mengalihkan wajahnya, dia embuskan asap rokok yang tertahan dalam mulutnya dengan perlahan. “Merepotkan,” ucapnya dengan raut yang tampak sangat terbebani.

Tentu saja itu adalah tugas yang tak mungkin bisa Draven atasi seorang diri. Dia sadar kalau dirinya belum berada di level yang sama dengan William sampai bisa ditugaskan untuk mengurus sebuah kelompok berisikan orang-orang sadis seperti Yellow Crowl.

Yellow Crowl adalah salah satu organisasi bawah tanah yang sudah lumayan lama berdiri. Kelompok itu berisi para pembunuh bayaran profesional, mereka terkenal di dunia bawah tanah karena kecakapan mereka dalam menjalankan aksi dan juga tentu saja ... keberingasan yang tak lagi menggambarkan sifat manusia.

Mengapa Noah menyebut mereka adalah kelompok yang merepotkan? Karena di kelompok itu, semua orang sudah dicuci otaknya sehingga dalam pikiran mereka hanya ada kata ‘membunuh’. Mereka bahkan tidak ragu membunuh orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan misi mereka, mereka bahkan bisa membunuh seseorang hanya karena orang itu terlihat tidak menyenangkan untuk dipandang.

Ah ... Noah akan mengoreksi. Ketimbang menyebutnya organisasi merepotkan, Noah akan lebih setuju kalau menyebutnya sebagai kelompok para orang gila.

Satu-satunya hal yang bisa mengendalikan keberingasan mereka adalah adanya pemimpin yang tak juga kuat, tapi pintar. Tapi sejak lima tahun yang lalu, kepemimpinan Yellow Crowl kosong karena pemimpin sebelumnya meninggal karena usia. Sejak itu, Yellow Crowl belum menemukan orang yang sempurna yang bisa mereka jadikan pemimpin.

“Kau tentunya masih ingat hitman kebanggaan Tuan William yang meninggal dua tahun lalu, kan?” Draven bertanya, menarik kembali ingatan masa lalu Noah tentang seseorang yang Draven maksud.

Joe Clarke, hitman nomor satu Little Boy selama beberapa dekade yang tewas ketika berhadapan dengan satu anggota Yellow Crowl dua tahun lalu. Noah bisa memaklumi kekalahannya jika mengingat usianya saat itu sudah tak lagi muda. Tapi mengingat belum ada satu pun hitman Little Boy lain yang bisa mengalahkannya dan mengingat prestasi yang dimilikinya bisa tak berarti di hadapan satu anggota Yellow Crowl, bukankah itu sudah cukup untuk memberi peringatan akan kemampuan Yellow Crowl yang mengerikan itu?

Aku beri sedikit fakta yang mungkin akan terdengar mengerikan. Yellow Crowl memilih pemimpin mereka melalui pertarungan hidup dan mati. Terdengar kuno sekali tapi itulah yang terjadi.

Seseorang yang ingin memimpin Yellow Crowl harus bertarung dengan calon lainnya sampai di antara mereka ada yang mati. Jika tersisa satu yang bertahan dan tidak mati, maka dialah yang berhak menjadi pemimpin Yellow Crowl dengan dianggap sebagai yang paling kuat dari yang terkuat.

Dalam lima tahun terkakhir, belum ada yang mengajukan diri menjadi pemimpin karena mereka mengakui kalau pemimpin sebelumnya adalah orang yang sangat kuat dan dihormati. Kesetiaan itulah yang membuat mereka berpikir kalau pemimpin sebelumnya tidak tergantikan. Tapi karena tidak ada yang memimpin, kelompok itu jadi tidak beraturan dan merepotkan orang-orang sekitar, termasuk mereka yang bekerja di dunia bawah yang sama.

“Aku tidak tahu kenapa Tuan William malah mengirim anak kesayangannya menuju gerbang neraka dengan membuatnya berurusan dengan kelompok orang gila,” lanjut Draven, bersandar pada tembok selagi dirinya menghabiskan puntung rokok yang semakin memendek. “Pada akhirnya, dia tetap membuat semua pihak di Little Boy ikut andil dalam mengatasi kerusuhan yang kau buat.”

Draven mengalihkan tatapannya dengan sinis sebelum akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Noah. Seperti biasa, lelaki yang lebih muda darinya itu akan terus bungkam tanpa mau membalas ucapannya. Itu membosankan, Draven tidak beda halnya dengan berbicara pada patung.

Tapi mengejutkannya, Noah bersuara ketika Draven berada di langkah ketiganya. “Kalau tidak mau melakukan, tidak usah melakukan,” ujarnya dengan suara yang tenang dan dingin. Draven memutar tubuhnya, menatap tajam sosok Noah yang masih betah memandang hal lain kecuali matanya.

Tak lama kemudian, mata mereka bertemu. Draven tertawa congkak melihat lagak yang Noah tunjukan di depannya. Draven tahu jika Noah adalah anak kesayangan William, tapi dia tetap saja merasa kesal karena mau bagaimanapun juga, dia adalah senior Noah.

“Oho ... lihat bagaimana kau menatap seniormu, Tuan Muda Bellion!” ejek Draven dan tatapan sayu nan dingin milik Noah tak berubah. “Setelah semua kekacauan yang kau buat, kau masih bisa menatapku seperti ini?”

“Apa yang membuatku tak bisa menatapmu sesuka hatiku?” Noah balik bertanya, menohok Draven sampai lelaki berewok itu tak bisa langsung menjawabnya. Kesempatan yang bagus untuk Noah melanjutkan ucapannya. “Kau bukan pemimpin dan berhentilah bersikap seakan kau ini pemimpin. Berhenti melakukan apa yang sebenarnya hanya pantas dilakukan oleh Tuan William.”

Draven merotasi matanya dengan muak. Dia menjilat dinding mulutnya, membuat raut kesal juga tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia sudah ratusan kali mendengar ucapan menyebalkan dari Noah, tapi sepertinya yang barusan adalah yang paling menyebalkan sampai dia ingin sekali memukul wajah tampan lelaki itu sekarang juga.

“Kau ingin menantangku, anak congkak?” tanya Draven, tanpa sadar dirinya sendiri memberi tahu siapa yang congkak di sini.

Noah tentu saja malas untuk menanggapi, dia hanya berpesan, “Kalau tidak mau mengurusnya, jangan mengurus. Aku tidak butuh orang yang hanya akan mengoceh sepanjang perjalanan.” Kemudian akhirnya Noah yang memutuskan untuk meninggalkan Draven tanpa lelaki itu cegah. Sementara Draven hanya memandang dirinya yang perlahan menjauh dengan kesal.

***

Ini adalah hari yang sangat cerah, bak langit memberi Sun seluruh izinnya untuk bisa melakukan apa yang dia ingin lakukan hari ini dengan baik. Sun tersenyum ketika melihat langit biru dengan gumpalan awan yang berjalan pelan tertiup angin.

Seperti yang dikatakan Lucy, dia tidak memberi tahu Noah untuk apa yang akan dia lakukan hari ini. Noah sempat menghubunginya tadi malam, dan untung saja lelaki itu sedang dalam masa sibuk karena sebuah tugas yang tak Sun tahu detailnya. Jadi sudah dipastikan kalau Noah tidak akan berkunjung hari ini.

“Ah ... aku senang Tuhan ternyata memberkati niatku,” ujar Sun, memuji keberuntungannya di hari ini.

Sembari berjalan menuju taksi yang dipesannya, tidak ada satu orang pun yang bertanya ke mana Sun akan pergi. Mereka hanya tahu kalau Sun akan melakukan urusannya, dan untung saja tidak ada yang bertanya banyak dan membiarkan Sun pergi. Mereka yang mengajak Sun bicara sebelum kepergiannya mungkin hanya mengucapkan salam perpisahan atau doa agar Sun selalu selamat ke mana pun dirinya pergi.

Gadis itu memakai gaun abu-abu yang hanya mencapai betisnya kemudian menyempurnakannya dengan jaket levis, berusaha membuat penampilannya sesantai mungkin namun tetap membuatnya terlihat keren di antara orang-orang kota. Kakinya berbalut ankle boots yang tak seberapa tinggi, kemudian untuk berjaga-jaga—Lucy menyarankan padanya untuk memakai topi lebar berwarna putih yang senada dengan tas miliknya.

“Nona Lucy memiliki selera berpakaian yang keren,” gumam Sun sembari menelisik kembali pakaiannya dari atas sampai bawah. Ya ... meski tidak semua yang dipakainya ini adalah barang-barang miliknya, tapi setidaknya ini semua sangat membantu Sun di hari pertamanya menjalankan rencana.

Perjalanan Sun menuju lokasi yang diberikan Lucy tidaklah terlalu jauh, hanya sekitar 15 menit perjalanan dan dia sudah sampai ke tempat yang dituju. Benjamin Franklin High School, itu nama sekolahnya.

Sun tidak perlu menunggu lama untuk masuk setelah membayar taksinya. Karena hari ini adalah hari minggu, maka tempat itu tidaklah ramai. Sun memasuki area sekolah itu dan langsung disambut akan kemegahannya. Sekolahnya dulu tidak sebesar ini, untuk masuk ke sekolah besar ini pasti butuh uang yang banyak.

Ketika tengah berpikir seperti itu, Sun tiba-tiba terdiam dan berpikir. Jika Noah berada di Louisiana setelah dibuang oleh pamannya, itu berarti dia tidak memiliki apa-apa. Lalu, dengan uang siapa dia yang hanya anak panti asuhan—bisa memasuki sekolah besar seperti ini? Apa saat itu dia sudah diadopsi oleh William?

Begitulah sekiranya pertanyaan-pertanyaan yang mengitari kepala Sun. Tapi karena dia sadar kalau waktunya sedetik saja di sini sangatlah berharga, maka dia akan lupakan dulu sejenak pertanyaan-pertanyaan itu dan lanjut memasuki sekolah lebih dalam. Dia tidak berniat sama sekali untuk kembali lagi besok kalau saja informasi yang didapatnya sampai kurang karena terlalu banyak membuang waktu.

Ada satu bagian yang hampir terlewat. Sebenarnya Sun sudah menghubungi salah satu orang di sekolah itu untuk bisa menjadi informannya, dia juga mendapat bantuan dari Lucy untuk hal itu. Karena itu, setelah ini dia berharap bisa mengajak Lucy makan bersama sebagai tanda terima kasihnya.

Ketika melewati lapangan hijau yang sangat luas, perhatian Sun teralihkan. Kakinya berhenti melangkah, matanya berpusat pada para siswa yang sedang bermain american football dengan sangat antusiasnya. Mereka berteriak dalam keseruan, bergerak dalam kecepatan dan kerja sama tim yang kental. Semua itu mengingatkan Sun kembali pada masa-masa sekolah atasnya yang baru selesai satu tahun yang lalu. Dia bahkan sempat tidak percaya kalau dirinya bukan lagi seorang remaja.

Tapi ketika melihat anak-anak itu, Sun kembali terpikirkan akan Noah. Apakah Noah dulu bermain seperti itu bersama teman-teman sebayanya? Apakah Noah dulu menjadi siswa yang populer di antara siswa lainnya? Atau ... apakah Noah tersenyum selebar itu ketika bersama teman-temannya.

Sun menyimpan kembali senyumnya. Entah mengapa yang ada di pikirannya hanya Noah yang tampak suram dan selalu menghindari pergaulan karena latar belakang dan masa lalunya.

Sun sempat diam beberapa saat karena itu. Kemudian suara teriakan siswa yang ada di lapangan mengejutkannya dan membuatnya kembali tersadar. Ia melanjutkan langkahnya menuju sebuah ruangan di mana seseorang sudah menunggunya.

“Nona Sun?” Seorang wanita berusia kisaran 40-an itu bertanya ketika Sun baru saja menutup pintu ruangannya.

“Iya. Saya Sun yang menghubungi Anda malam tadi,” ujar Sun sembari memberi salam, lalu berjabat tangan dengan wanita yang dilansir sebagai guru dari Noah di sekolah itu. “Senang bertemu dengan Anda, Nyonya Beatric Arrawn.”

“Senang bertemu dengan Anda, Nona Sun. Silakan duduk dan gunakan bahasa yang lebih santai saja, aku tidak memiliki kedudukan setinggi itu sampai kau harus berbicara dengan sangat formal.”

Sun tertawa kecil mendengar ucapan wanita bernama Beatrice itu. “Baiklah, Nyonya Beatrice. Aku akan bicara lebih santai.”

Teh disuguhkan, ruangan juga sudah dikunci rapat sampai selesainya semua urusan. Sun sempat terdiam beberapa saat karena ragu untuk memulai, tapi untungnya Beatrice sangat peka dan memutuskan untuk membuka topik obrolannya. “Jadi ... kau datang ke sini untuk mengenal Noah Bellion saat masih bersekolah di tempat ini?” tanyanya dan Sun mengangguk.

“Iya. Aku punya urusan yang membuatku harus mengenal Noah ketika dia bersekolah.”

“Apa yang ingin kau tahu, Nona? Ah—” Beatrice lebih dulu menyela, tak memberi Sun jeda untuk menjawab pertanyaannya sebab dirinya masih memiliki pertanyaan lain, “kau ini memiliki hubungan apa dengan anak muridku?”

Pertanyaan Beatrice membuat Sun terdiam, seketika gugup untuk menjawab. “Anggap saja kalau aku ini kekasihnya.” Akhirnya seperti itulah dia menjawab setelah diam dengan wajah kikuk untuk beberapa saat. Beatrice mengangguk paham.

“Aku senang sekali mendengar Noah ternyata memiliki seorang kekasih saat ini. Aku pikir dia akan terus menjadi anak yang seperti itu.”

“Anak yang ... ‘seperti itu’?” tanya Sun, menekankan kalimat yang sedikit ambigu, “apa maksudnya itu, Nyonya Beatrice?”

“Ah ... dulu ketika bersekolah di tempat ini, Noah adalah anak yang sangat pendiam. Dia tidak memiliki banyak teman atau memang sengaja tidak mau punya teman, yang jelas dia selalu terlihat sendiri dan tidak memiliki daya tarik pada hal apapun di sekolah ini.”

Sun tidak menyangka dia akan mendapat informasi tambahan secara cuma-cuma. Padahal niat awalnya datang bukan untuk mengetahui seperti apa Noah ketika masih bersekolah, melainkan mencari tahu jika saja ada informasi mengenai orang-orang dari masa lalu Noah yang berhubungan dengan keluarganya. Tapi karena apa yang dia dengar ini bukanlah informasi yang terlalu tak perlu dia dengar, maka Sun akan luangkan sedikit waktunya untuk mendengarnya.

“Apa Noah tidak mengikuti organisasi kesiswaan atau klub kegiatan?” Sun bertanya, seperti ia mulai tertarik dengan topik yang dibahas.

“Tidak, sama sekali. Meskipun mengikuti kegiatan klub adalah hal yang diwajibkan bagi seluruh siswa, tapi Noah sama sekali tidak memiliki ketertarikan dengan hal-hal semacam itu. Dia hanya duduk, belajar, dan pulang.” Ah ... Sun paham. Dia sudah salah kalau berharap Noah di sekolah akan berbeda dengan dirinya yang sekarang. Mereka masihlah Noah yang sama, tidak ada yang berubah sejak dulu.

“Karena itu, aku senang mengetahui ternyata Noah memiliki rasa ketertarikan terhadap wanita. Aku pikir dia tidak punya yang semacam itu, hahaha.” Beatrice tertawa. Meski candaannya tak terdengar lucu bagi Sun, tapi untuk menghargainya, gadis itu tetap teertawa sumbang. “Nona Sun, aku penasaran tentang kabarnya saat ini. Dia memang menutup diri dari siapapun termasuk gurunya, aku akan mewajarkannya kalau dia tidak pernah datang mengunjungi kami. Tapi, aku ingin tahu kabarnya, seperti ... bagaimana rupanya yang sekarang?”

Sun lagi-lagi dibuat bungkam dan tak mampu menjawab lantang. Alisnya landai membentuk raut kebingungan. Harus dengan kalimat apa dia menjawab pertanyaan itu? Dia harus menjawabnya dengan baik agar semua ini terlihat natural, kan?”

“Dia masih menjadi Noah yang tampan dan dingin, Nyonya Beatrice,” ungkap Sun, berharap semoga jawabannya dapat diterima. Beatrice terdiam, tampaknya sedang menimbang-nimbang apakah akan percaya pada jawaban Sun atau tidak.

Tapi pada akhirnya, Sun berhasil. “Iya ... wajah tampan dan aura dinginnya itu adalah dambaan para gadis di sini. Sayangnya, dia tidak memiliki ketertarikan untuk meladeni gadis-gadis yang mengejarnya.”

“Haha ... iya.” Sun mengalihkan wajahnya dan tatapan yang mungkin akan membuat Beatrice curiga jika melihatnya. Wanita tua itu lalu meminum teh yang disajikan sebelum melanjutkan pertanyaannya.

“Lalu ... apa pekerjaannya saat ini?” Sun berhenti bergerak ketika ujung cangkir itu menyentuh bibirnya. Dia membatu beberapa saat sebelum kemudian meletakkan kembali cangkir tehnya. Ah, dia lelah dihadapkan dengan situasi di mana dia tidak bisa menjawab jujur dan harus merancang kebohongan. Itu membuatnya tidak tenang.

Sun berpikir, mengarang sebuah kebohongan memang merepotkan. Tapi tidak mungkin juga bagi Sun untuk berkata jujur kepada Beatrice kalau Noah Bellion yang dulu duduk manis di kelasnya sebagai murid yang tenang dan enak dipandang, ternyata tumbuh menjadi seorang mafia kejam yang terkenal sedaratan New Orleans. Sun tidak mau ambil risiko kalau saja wanita tua di hadapannya ini ternyata memiliki penyakit jantung.

Ya ... mau bagaimana lagi? Sun memang harus berbohong lagi kali ini. “Dia menjadi pebisnis, Nyonya. Dia menjalankan bisnis keluarganya bersama ayahnya.”

“Ah ... pebisnis! Aku tidak heran karena Noah adalah murid yang sangat pintar.” Beatrice menanggapi, dia terlihat bangga lewat tawanya. Sun pun ikut tertawa dan bernapas lega setelah kebohongannya bisa diterima. Tapi itu tak berlangsung lama sampai Beatrice kembali memberinya sebuah pertanyaan, “Tapi, bukankah Noah itu anak yatim piatu?”

“Uhuk!” Pertanyaan yang membuat Sun seketika tersedak tehnya.

“Nona Sun! Kau baik-baik saja? Astaga ...,” ucap Beatrice dengan nada cemas sembari berusaha menepuk pelan punggung Sun beberapa kali. “Maafkan aku, Nona, aku tidak tahu ucapanku akan membuatmu terkejut.”

“Tidak ma-salah, Nyo-nya. A-ku ha-nya terse-dak,” ujar Sun terbata-bata. Inilah alasan Sun tidak suka berbohong terlalu banyak. Selain karena itu merepotkan, hukuman yang datang juga bisa saja tiba-tiba dan langsung diberikan. Seperti saat ini.

Butuh beberapa saat sampai Sun bisa meredakan sesaknya setelah tersedak. Setelah itu, tidak ada percakapan antar keduanya sampai Sun menyambungnya.  “Maksud ucapanku tadi, Noah melanjutkan bisnis dari ayah angkatnya.” Sun sedikit melirik Beatrice, berharap semoga yang dia ucap kali ini tak menimbulkan kecurigaan apapun.

“Ah ... jadi rumor yang mengatakan dia akan diadopsi itu benar, ya?”

Seharusnya Sun mempertimbangkan bahwa Noah bisa saja belum diadopsi oleh William saat itu, sehingga dirinya tidak akan terlalu percaya diri dan berkata kalau Noah menjalankan bisnis keluarganya. Untunglah dirinya memiliki alasan untuk menambal kecurigaan itu, dan sepertinya Beatrice percaya apa yang dia katakan.

“Iya ... dia sudah diadopsi dan hidup dengan keluarga barunya.”

“Apakah nama orang yang baik itu adalah Tobias Wright?” tanya Beatrice dan Sun terdiam bingung. Dia baru pertama kali mendengar nama itu dan tidak tahu siapa dia sebenarnya. Untuk kali ini, sepertinya Sun tidak perlu untuk berbohong.

“Tobias Wright?”

“Iya. Apa nama ayah Noah saat ini adalah Tobias Wright?”

“Bu-bukan dia, Nyonya. Tapi siapa Tobias Wright itu?” tanya Sun yang benar-benar tak tahu siapa itu Tobias dan apa hubungannya dengan Noah. Sun jadi berpikir kalau orang bernama Tobias itu bisa menjadi kunci dari pertanyaannya dan menjadi akhir dari tujuannya. Sun berharap jika orang bernama Tobias itu adalah sosok yang berhubungan dengan masa lalu Noah ketika ia masih menjadi anak dari pebisnis besar.

 “Tobias Wright adalah orang yang membayar biaya sekolah Noah di tempat ini selama tiga tahun penuh, dia juga yang mendaftarkan Noah di tempat ini atas namanya, bukan nama pihak panti asuhan tempat Noah menetap.”

Itu dia! Itu adalah hal yang Sun inginkan.

Jika saja saat itu Noah memang belum diadopsi oleh William, itu berarti Noah masih berhubungan dengan orang-orang dari keluarganya di New York. Bisa saja Tobias Wright itu adalah salah satu pelayannya atau orang kepercayaan ayah Noah untuk mengurus Noah di Louisiana. Atau bahkan bisa saja Tobias Wright adalah anak buah kepercayaan Noah dari dulu hingga sekarang.

Dengan begini Sun bisa lebih mudah mencari tahu masalah apa yang ayahnya miliki dengan Noah, kan?

Tapi masalahnya ... baik Sun maupun Beatrice, tidak tahu siapa itu Tobias Wright. “Aku pikir karena dialah yang membayar biaya sekolah, mungkin dia yang akan menjadi ayah angkat Noah.”

“Jadi ... kau tidak tahu siapa itu Tobias Wright, Nyonya Beatrice?”

“Sayang sekali, aku tidak tahu,” jawab Beatrice dengan wajah lesu.

Beatrice membiarkan Sun yang sibuk memikirkan urusannya. Gadis itu sedang memikirkan cara untuk bisa menemui orang bernama Tobias Wright itu. Untuk saat ini, Sun hanya bisa berharap pada orang itu untuk menjawab semua rasa ingin tahunya dan membantu Sun mencapai tujuannya.

Tapi melihat wajah Beatrice, tampaknya wanita itu benar-benar tidak tahu siapa Tobias Wright. Kalau begitu, urusannya cukup sampai di sini, kan?

“Baiklah kalau begitu, aku akan pamit, Nyonya Beatrice.” Sun mengangkat bokongnya, bersiap untuk pergi dari sana. Tidak masalah jika dia tidak bisa mendapat informasi tentang Tobias Wright hari ini, yang penting dia sudah menggenggam tali utama dari tujuannya berkunjung ke tempat ini.

Beatrice ikut berdiri mendengar ucapan tamunya yang akan pergi. “Maaf aku tidak bisa membantu banyak, Nona Sun,” ujarnya, masih menyesal padahal dia sudah sangat membantu Sun, pikir gadis itu.

“Tidak masalah, Nyonya. Aku sudah sangat terbantu dengan informasi yang kau berikan padaku hari ini.”

“Aku harap aku punya satu orang lagi yang bisa ku percaya untuk membantumu.”

“Aku akan sangat terbantu, Nyonya. Tapi yang kau lakukan sudah sangat cukup, terima kasih banyak.” Sun tersenyum hangat, berharap Beatrice akan berhenti merasa bersalah meski informasi yang diberikannya tak cukup untuk memuaskan rasa penasaran Sun. “Kalau begitu, aku pamit, Nyonya. Terima kasih untuk waktu yang kau berikan hari ini.”

“Sama-sama. Hati-hati di jalan, Nona Sun. Dan aku harap hubunganmu dengan Noah terus lancar sampai menuju bahagia,” ujar Beatrice mengiringi langkah Sun. Gadis dengan surai pirang yang dikepang dua ke bawah itu tersenyum manis, meski dia tidak berharap kalimat terakhir tadi akan terucap.

Sun berjalan menuju pintu. Dia benar-benar akan keluar, sampai suara Beatrice menginterupsinya. “Nona Sun!” panggil wanita itu dengan lantang dan tiba-tiba, Sun terkejut sedikit sebelum mengalihkan wajahnya. “Aku ingat siapa yang bisa kau jadikan informan barumu setelah aku, barangkali dia tahu sesuatu tentang lelaki bernama Tobias Wright.”

Kedua netra Sun membulat dengan antusias tinggi.  Dia segera berbalik dan kembali duduk menghadap Beatrice. “Aku akan sangat terbantu, Nyonya. Boleh aku tahu siapa dia?” ucap Sun dengan raut muka gembira.

“Dia adalah satu-satunya teman wanita Noah di sekolah ini.”

“Ah ... temannya ...,” gumam Sun, menganggap itu hal lumrah sebelum dia sadari satu kata terlewat yang langsung membuatnya mendelik.

Teman wanita?

Sun sempat terdiam dengan mata membesar sebelum dia ingat, tidak ada waktu untuk mengurus itu!

“Iya, dia gadis yang berada di satu panti asuhan yang sama dengan Noah. Dan katanya dulu Noah tidak mau bersekolah di sini karena gadis itu tidak ada di sini. Karena itu, lelaki bernama Tobias Wright itu menyekolahkan dirinya juga di tempat ini.”

“Ah begitu ...,” ucap Sun sembari mengangguk-angguk. “Lalu, siapa nama gadis itu, Nyonya?”

“Namanya Joana Clarke.”

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status