Share

Chapter 14 : Ticket To the Truth

Ini sudah memasuki hari kedua sejak pertemuannya dengan Ashtelle Odolff dan tiga hari sejak terakhir kali Sun menjumpai Noah Bellion.

Rasanya, tiada waktu baginya untuk tidak memikirkan Noah. Sun terjebak oleh rasa cemas yang mengganjal di benaknya, dia benar-benar ingin bertemu dengan Noah. Tapi jika mengingat kembali percakapannya dengan Ashtelle dan apa saja yang sudah wanita itu ceritakan tentang Noah, rasanya Sun mati gaya untuk menentukan raut apa yang akan dia pasang di depan lelaki itu nantinya.

“Aku memikirkan Noah terus seakan-akan dia sudah menempati sebuah ruang dalam hati dan otakku!” cibir Sun pada dirinya sendiri yang berakhir dengan dia berdiri bergeming.

Iya ... itu benar. Sun memikirkan Noah? Apa itu karena Noah memang sudah benar-benar menempati sebuah ruang dalam benak dan otaknya?

Sun menggelengkan kepala beberapa kali, berusaha menyangkal pertanyaan nyeleneh yang tiba-tiba melintasi otaknya. Tidak mungkin dia memberikan sebuah ruang untuk lelaki itu dalam dirinya. Dilihat dari aspek manapun, Noah bukanlah tipe lelaki yang bisa dengan mudahnya memasuki tempat dalam hatinya. Apalagi jika melihat fakta kalau Noah bukanlah orang yang baik, Sun sama sekali tidak berpikir untuk menikah dengan orang yang tidak berjalan di jalan kebaikan.

Karena itu, saat ini dia sedang berusaha mengembalikan kesadarannya: meyakinkan diri kalau alasan dirinya terus memikirkan Noah karena simpati sebagai sesama manusia, bukan karena perasaan lain. “Aku pasti hanya bersimpati belaka, tidak ada maksud lain,” ujarnya sejak tadi, meyakinkan diri.

Tapi ketika ia kembali tenang, dia memikirkan Noah lagi. Jika cerita tentangnya yang Ashtelle katakan itu benar, Sun tidak tahu harus bagaimana kedepannya. Sun juga tidak mau diperalat rasa iba, sampai ia tanpa sadar memberikan hatinya begitu saja pada Noah. Sun tidak mau!

Hidup sebagai wanita dari seorang lelaki tampan, diperlakukan dengan baik layaknya pasangan dan bertatap muka dengan tambahan beberapa kali bersentuhan tentunya bukanlah cobaan yang mudah untuk Sun abaikan. Jujur saja, dia terpesona, dia membiarkan perasaannya mengalir seperti wanita pada umumnya. Tapi Sun tidak mau terlena dan membiarkan dirinya tenggelam lebih dalam.

Sun tidak pernah berencana untuk jatuh cinta pada Noah. Satu-satunya rencana Sun adalah mengetahui masalah apa yang ayahnya dan Noah miliki, kemudian menyusun rencana lain untuk keluar dari belenggunya. Dia ingin hidup bebas seperti dulu, kendati hidup di tempat ini tidak semengerikan yang dia kira.

Ketika mengingat kembali dirinya sebelum berada di tempat ini, Sun tiba-tiba saja jadi merindukan ibunya. “Kira-kira Mama sedang apa, ya ...?” tanya gadis itu seraya bertopang dagu di balkon lantai dua. Dirinya sebenarnya sedang menikmati pagi dari balkon lantai dua, memandang kesibukan kota yang tidak seberapa kelihatan dari balik dinding Melrose.

Tapi akhirnya, acara menikmati paginya tergantikan jadi acara merenung serta memikirkan Noah.

Sun menghela napas jenuh, dia jadi merasa bosan dan berpikir itulah alasannya tidak bisa berhenti memikirkan Noah. “Aku perlu melakukan sesuatu untuk bisa menghilangkan lelaki itu dari pikiranku!” ujar Sun. Gadis itu kemudian beranjak pergi, menuju ke sisi lain rumah besar yang ia tempati dan berakhir mengunjungi area kolam renang.

“Sun ...!” Sun mendengar suara yang meneriakinya, dia melihat Emma yang sedang melambai dari dalam kolam seakan mengundangnya untuk turut serta menikmati hari yang panas.

Sun menghampiri Emma yang juga ditemani Lucy dan Jessie. Sapaan selamat pagi mengawali pertemuannya dengan tiga penghuni mansion itu yang kemudian dibalas serupa. Sun mengambil posisi duduk di kursi kayu yang panjang itu.

“Tidurmu nyenyak, Sun?” tanya Jessie. Wanita dengan kulit yang lebih gelap dari rasnya kebanyakan itu tidak mau mengalihkan wajahnya untuk menatap Sun, dia mempertahankan masker dan dua potongan tipis mentimun yang bertengger di wajahnya.

“Iya. Bagaimana dengan kalian?”

“Aku seperti biasa, tidak ada yang spesial dari tidur setelah melayani lelakiku.”

“Oh, Tuan Draven mampir kemari semalam?” tanya Sun. Dia tidak tahu kalau semalam ada yang berkunjung.

“Iya, dan dalam keadaan mabuk.”

“Mau mabuk atau tidak, kenapa yang didatangi harus Kak Jessie!?” Sun dikejutkan dengan suara yang tiba-tiba ikut nimbrun dalam percakapannya dengan Jessie. Dia menoleh dan melihat Emma yang sebelumnya sibuk berenang, sekarang sudah ada di pinggiran kolam.

Jessie terdengar mendecih. “Itu karena aku ini wanita kesayangannya. Kau tidak boleh iri, Emma!”

“Seharusnya Draven memberikan perhatian lebih padaku, aku ini wanitanya yang paling muda.” Emma tampaknya belum mau merelakan kenyataan bahwa kedatangan Draven yang terhitung jarang sekali itu ternyata tidak berakhir di kamarnya.

“Kau itu hanya wanita di antara wanitanya, jangan berharap lebih!”

“Kalau Draven datang mengunjungimu lagi, mintalah dia untuk ke kamarku saja!” tutur Emma, final. Sun hanya tersenyum-senyum melihat perdebatan dua wanita itu, sembari berkata dalam hati: Jelas sekali kalau Emma begitu karena merindukan Draven, apa dia masih mau menyangkal perasaannya?

Sun akhirnya membiarkannya dan beralih pada satu presensi lain di sampingnya duduk.

Lucy tampak tenang sejak tadi, seakan dia tidak tergores sama sekali oleh perdebatan Emma dan Jessie. Lucy membubuhi wajahnya dengan masker, juga menaruh dua irisan mentimun di kedua matanya yang terpejam. Sun berpikir kalau wanita itu sedang tidur, jadi dia asal berceletuk, “Ah ... untuk seorang wanita yang sedang bersaing dengan wanita lainnya, kau terlihat santai sekali, Nona Lucy ....”

Beberapa detik kemudian, Sun dibuat membatu ketika dia mendengar suara tawa dari asal Lucy berada. “Hah ...,” dia seperti sedang menertawai sesuatu yang konyol, “aku sibuk melakukan hal yang lebih penting dari pada mendebatkan laki-laki hidung belang itu!”

Ucapan Lucy membuat Sun, Emma dan bahkan Jessie jadi terperangah melihat aksi beraninya.

“Kak Lucy, bukankah ucapanmu barusan itu terlalu berani?” tanya Emma, didukung anggukan Sun yang sebenarnya juga berpikiran yang sama dengan Emma. Iya ... meski bagian ‘hidung belang’ itu memang bukan bualan, tapi tetap saja itu terdengar sedikit kasar.

Lucy tampak tak acuh, dia malah membalas pertanyaan Emma dengan tak kalah berani. “Apa aku salah? Bukannya kalian yang berharap sesuatu yang bodoh bernama kesetiaan dari lelaki yang doyan main perempuan itu?” dia membaliknya dengan tanya yang membuat Jessie mengerutkan dahinya. “Aku tidak suka menghabiskan waktuku untuk memperebutkannya dengan wanita lain, Sun. Aku sudah tahu dia seperti itu dan itu bukan masalah besar untukku. Jika dia masih menginginkanku, dia akan datang dengan kakinya sendiri ke kamarku!”

Sun bungkam, melirik Emma yang tampak tersinggung sekali dengan ucapan Lucy.

Baiklah jika begitu adanya bagi Lucy, tapi bagi Emma yang sudah Sun dengar cerita dan sudut pandangnya, kehadiran Draven itu adalah hal yang sangat penting. Sun mengerti itu dengan baik, jadi bukan hal yang mengejutkan baginya kalau Emma akan langsung memasang wajah tak suka setelah mendengar ucapan Lucy.

“Ck, kau tidak asyik sama sekali, Kak Lucy!” Emma menggulirkan tatapannya dengan sinis, lalu pergi menjauhi Lucy dengan berenang ke tepi kolam yang lain. Jessie tidak berkomentar apa-apa mengenai ucapan Lucy, kendati dia tahu itu memang sedikit kasar untuk didengar Emma yang belum sedewasa dirinya.

Tapi Jessie memilih bungkam saja, dia sudah tahu kalau begitulah sifat Lucy. “Aku rasa aku sudah selesai,” ujarnya, mencari alasan untuk meninggalkan kolam beserta suasana yang jadi tidak setenang tadi.

Kepergian Jessie menyisakan rasa berat hati pada Sun. Tentunya dia tidak bodoh sampai tidak menyadari kalau karena dirinyalah suasana jadi begini. Kalau Jessie tahu Sun sedang menyalahkan diri sendiri, dia mungkin akan marah. Tapi memang itulah yang terjadi. Kalau saja Sun tidak dengan sembarangan berceletuk di depan Lucy yang sebenarnya tidak sedang tidur, Lucy pastinya tidak akan terpancing untuk mengatakan hal-hal seperti tadi.

Namun, berbeda dengan dirinya, Lucy terlihat sama sekali tidak terbebani. Dia melanjutkan aktivitasnya, beberapa menit sebelum memutuskan untuk bangun. Dia membuka mata dan melihat Sun masih ada di sana.

“Apa kau ingin mengatakan sesuatu, Sun?” tanya Lucy tiba-tiba, ditambah dengan raut dingin itu, Sun jadi merasakan dinginnya menembus kulit.

“Ti-tidak ada, Nona Lucy!” jawabnya dengan sedikit terbata.

Lucy kemudian melihat ke arah Emma. Wanita itu masih berenang dari hulu ke hilir, tentunya untuk kesehatannya sehingga dia tidak perlu berpikir untuk mementingkan presensi Lucy yang masih di sana. Tak berselang lama, Lucy buka suara.

“Aku mendengar obrolanmu dengan Nyonya Ashtelle kemarin lusa.” Perkataan yang tiba-tiba dan membawa topik yang menyimpang dari sebelumnya, Sun jadi sedikit terperanjat. “Kau ... apa ingin tahu lebih banyak tentang Noah?”

Sun tidak tahu kenapa tiba-tiba Lucy bertanya seperti itu, yang jelas dirinya jadi kerepotan saat harus menjawab cepat dengan jawaban yang tepat. “Tidak ... ah, iya—ya ... sebenarnya tidak seberapa ....”

Lucy melirik dengan ekor matanya selagi Sun memasang senyum kikuk dan berharap sikap gugupnya tak membuat kesal. Tapi untunglah semua sesuai harapannya, Lucy tidak terlihat kesal. Malah dia sepertinya masih ingin melanjutkan perkataannya setelah mendengar jawaban plinplan dari Sun.

“Nyonya Ashtelle tidak merawat Noah sejak kecil. Noah datang ke rumahnya setelah dia berusia 14 tahun,” ujar Lucy, memberitahu informasi yang sebelumnya tidak Sun ketahui. Sun tidak tahu angin apa yang membuat Lucy mau berbagi informasi seperti itu, tapi ini tidak terlalu buruk karena menggali informasi tentang Noah adalah hal yang sedang ingin Sun lakukan. “Setelah berusia 18 tahun, Noah menjalani hidupnya sebagai mafia dan tidak pernah kembali ke rumah Nyonya Ashtelle kalau tidak ada urusan penting. Jadi, jika kau ingin mengenal Noah, bukan Nyonya Ashtelle tempat yang bisa kau datangi.”

“Aku pikir karena Nyonya Ashtelle itu ibu angkatnya, jadi aku bisa mendengar lebih banyak cerita tentang Noah.”

“Kalau kau memang ingin tahu tentang lelaki itu, ada orang yang tahu banyak tentang masa lalu ataupun masa kecilnya.”

“Siapa orang itu?” tanya Sun dengan wajah penasaran.

Lucy menjawabnya, “William Odolff,” kemudian Sun membatu seketika. Ya ... Lucy memaklumi itu. Nama William tentu terdengar semengerikan nama kelompok yang dipimpinnya, dan itu juga berlaku bagi Sun. Tapi mau bagaimana lagi? Memang William lah satu-satunya sumber informasi terlengkap dan paling akurat untuk Sun yang ingin mengetahui lebih banyak tentang Noah.

“Ah ... ya ... aku dengar Tuan William adalah teman dari ayahnya Noah, jadi tidak heran kalau dia tahu lebih banyak tentang Noah ketimbang Nyonya Ashtelle.” Sun merespons dengan nada gugupnya yang kentara. Lucy jadi ingin menertawai kalau saja di wajahnya tidak ada masker yang bisa retak kalau dia gunakan untuk tersenyum.

Jadi, Lucy hanya menanggapi dengan kalimat setenang mungkin. “Kau mungkin merasa gugup hanya dengan mendengar namanya saja, atau bisa saja saat ini rasa gugupmu itu berasal dari kau yang membayangkan Tuan William akan ratusan kali lebih mengerikan dari Noah.”

“Haha ... sebenarnya aku tidak berniat berpikir begitu, Nona Lucy.”

“Tak masalah, itu wajar. Aku juga seperti itu dulunya.” Lucy mengangkat bokongnya, sepertinya akan segera pergi dari sana. Tapi sebelum pergi, dia sempatkan diri untuk mengatakan sesuatu pada Sun. “Jika kau belum siap bertemu dengan Tuan William, aku tahu ke mana kau harus pergi.”

Ucapan Lucy tentu saja menarik seluruh atensi yang Sun miliki. “Benarkah?” Gadis itu bahkan bereaksi seperti baru saja mendapat kabar baik seperti memenangkan lotre.

Lucy menjawabnya dengan anggukan. “Ikut aku ke kamarku,” ucapnya lalu pergi dari sana. Sun juga bersiap pergi, sebelumnya dia sempat berpamitan dengan Emma.

“Nona Emma, kami masuk lebih dulu!” pekiknya agar Emma bisa mendengar suaranya. Wanita itu hanya mengacungkan jempol dari dalam air, kemudian Sun meninggalkan dirinyanya yang masih ingin berenang.

Sun menuruti ucapan Lucy. Dia mengikuti wanita itu menuju kamarnya dan menunggunya berganti baju. Sun dipersilakan untuk duduk di sofa yang ada di kamar itu, sembari menunggu Lucy selesai dengan urusannya.

Setelah Lucy selesai mencuci wajah dan berganti pakaian, dia menghampiri Sun dengan sebuah kertas berisi tulisan yang sepertinya sebuah alamat. “Apa ini sebuah alamat, Nona Lucy?” tanya Sun, memastikan apa yang dilihatnya.

Lucy mengangguk, membenarkan. “Itu adalah dua alamat dari dua tempat yang berbeda, tempat-tempat yang mungkin bisa membantumu mencari tahu tentang Noah lebih dalam.”

Sun membaca lagi dua alamat itu, dia mengidentifikasi dua hal yang berbeda dari apa yang dia baca. “Ini alamat sekolah Noah?” tanya gadis dengan iris biru itu pada Lucy.

“Itu mungkin saja tidak akan membantu banyak, aku tidak menjamin Noah adalah orang yang terbuka pada teman-temannya di sekolah dulu. Tapi kalau kau datang ke alamat satunya, mungkin saja akan sangat membantu.”

“Ini ....”

“Iya. Panti asuhan tempat Noah tinggal sebelum diadopsi oleh Tuan dan Nyonya Odolff.”

Sun melihat kembali kertas itu, membaca ulang nama panti asuhan yang menjadi rumah Noah selama beberapa tahun. Namanya manis sekali, Panti Asuhan Tangan Yang Indah, menginterpretasikan panti asuhan yang memiliki tangan-tangan indah untuk selalu bisa merengkuh anak-anak yang mungkin saja tak sempat merasakan hangatnya rengkuhan tangan orang tua mereka.

Tapi mengingat itu adalah rumah kedua bagi Noah, senyum Sun luntur perlahan. Rumah itu tentunya tidak sesempurna rumah pertamanya, rumah itu tidak memiliki apa yang Noah inginkan, apalagi kehadiran orang tuanya. Dan yang paling menyesakkan, tempat yang harus Noah sebut ‘rumah’ itu adalah tempat pamannya membuang dirinya.

Sun tidak tahu apakah Noah menyukai rumah itu atau tidak.

Lucy menyadari raut wajah Sun yang tampak lesu setelah sebelumnya terlihat senang. Dia mungkin saja teringat akan kisah hidup Noah yang Ashtelle ceritakan padanya tempo hari lalu. Wanita dengan mata sayunya itu berkata, “Aku tidak tahu apa tujuanmu, tapi jika kau memang ingin mengetahui masa lalu Noah, pastikan Noah tidak mengetahuinya.”

“Ah ... Noah tidak akan suka, ya ....”

“Aku rasa iya. Jika Noah adalah orang yang terbuka, pun dengan masa lalu dan lukanya, dia tidak akan menjadi Noah yang berdiri di hadapanmu saat ini.”

Sun mengerti. Dia hanya perlu mencari informasi tanpa melibatkan Noah ataupun membiarkan Noah tahu. “Terima kasih, Nona Lucy. Ini sangat membantuku,” ujar Sun, tersenyum hangat. Lucy hanya memperhatikan Sun yang kini beranjak dari duduknya, lalu pamit pergi dari hadapan Lucy.

Sun kembali ke kamarnya. Dia langsung duduk di meja rias dan langsung menghadap pantulan dirinya di cermin. Bertolak dengan apa yang dia lakukan, Sun duduk di sana dengan pikiran yang hanya mengarah ke satu nama.

Dia sudah putuskan akan pergi untuk menjalankan rencananya besok pagi, tempat pertama yang akan dia kunjungi sudah diputuskan. “Aku akan pergi ke sekolahnya dulu,” ucap Sun, memastikan rencana yang dia buat sudah matang dan tidak menimbulkan risiko. “Nona Lucy benar, aku tidak seharusnya memberi tahu Noah. Aku harap dia tidak datang besok untuk menemuiku.”

Gadis dengan surai pirang emas itu bertopang dagu, menatap alat riasnya kemudian memainkan salah satunya dengan gerakan yang sama dan berulang. Dia tiba-tiba saja merasa penasaran tentang apa yang sedang dilakukan Noah. “Sedang apa dia sekarang ... aku jadi ingin tahu,” gumamnya tanpa sadar.

Sejurus kemudian, Sun menangkap presensi ponselnya. Ponsel yang selalu sepi dan tidak pernah ia gunakan selain untuk menghubungi ibunya. Ketika melihat ponsel itu, Sun jadi teringat ucapan Noah hari itu.

“Jika itu dirimu, sesibuk apapun akan aku angkat.”

Seperti itu kiranya ucapan Noah yang Sun ingat. Hal itu membuat Sun menyunggingkan senyum kecil. “Ucapannya seperti dialog dalam film romansa,” ejek Sun kemudian mengambil ponselnya. Dia pergi ke bagian penyimpanan nomor, nomor Noah berada yang paling atas.

Tapi ketika dia melihat nomor ponsel itu, dia tiba-tiba merasa ragu. Haruskah ia pencet nomor itu? Atau tidak? Sun terdiam untuk waktu yang lama, bertarung antara rasa penasaran dan keraguannya. Pada akhirnya, jarinya menekan nomor itu dan sudah terlanjur baginya untuk berhenti.

Sun tidak menunggu lama, panggilan itu langsung diterima oleh nomor tujuannya.

“Halo.”

Suara yang tenang itu milik Noah, Sun sudah bisa mengenalinya dengan baik. Tapi setelah ia mendengar suara itu, dia terdiam dan membiarkan Noah mengulangnya tiga kali.

“Sun?”

“Iya, ini aku,” jawab Sun setelah sadar kalau dirinya mengabaikan Noah. “Noah ....”

“Ada apa?”

Ketika ditanyai seperti itu, Sun baru memikirkan akan menjawab apa. Dia tidak punya alasan kuat untuk menghubungi Noah, apalagi dia mengerti kalau Noah bisa saja sibuk saat dia mengganggunya dengan sebuah panggilan.

Tentu saja, Sun tidak bisa beralasan kalau dia penasaran dengan apa yang dilakukan seorang mafia seperti Noah saat ini. Jika itu terjadi, Noah bisa salah tangkap dan mengira dirinya menelpon karena rindu. Sun menggigit bibir dalamnya dengan raut resah.

“Kau baik-baik saja?” tanya Noah. Sun lama sekali tak menjawab pertanyaannya, dia pikir Sun sedang tidak baik-baik saja, karena itulah gadis itu menghubunginya.

Tapi praduganya dipatahkan oleh jawaban Sun. “Aku baik-baik saja,” ujar gadis itu setelah dia mendapat alasan yang bisa dia pakai sebagai alibinya menelpon. “Aku hanya memastikan kebenaran ucapanmu malam itu.” Sun tersenyum bangga pada dirinya, dia tahu kalau dia memang pintar.

“Ucapanku?”

“Iya. Kau bilang jika aku yang menelpon, kau akan jawab sesibuk apapun dirimu.” Noah terdengar menghela napas kasar, Sun berpikir kalau lelaki itu mungkin saja benar-benar sedang sibuk saat ini. “Apa kau sedang sibuk?” tanyanya kemudian.

“Sesibuk apapun aku, aku akan menepati kata-kataku.”

Sun tersenyum. “Kau memang si mafia yang berpegang pada ucapanmu.”

“Akan aku anggap itu sebagai pujian.”

Setelahnya, mereka hening. Sun tidak tahu lagi apa yang harus dia ucapkan, dan entah kenapa ketimbang mengakhiri, dia memilih menyusahkan diri dengan berpikir apa yang harus ia katakan selanjutnya. Noah tidak terlihat seperti orang yang akan mencari topik menarik hanya untuk berbincang dengan orang lain, jadi di sini dirinyalah yang harus bertindak.

Lama terdiam, Sun sebenarnya membuat Noah menunggu. Tapi karena menurutnya tak ada lagi yang mau dikatakan dan berpikir tak ada lagi hal yang mau Sun bicarakan dengannya, Noah berniat menutupnya dengan, “Aku akan menemuimu besok.”

Hal itu tentu membuat Sun melotot. “Ah ... tidak!” pekiknya dengan suara keras. Noah mengernyit bukan karena suara keras gadis itu. Sadar akan apa yang dia lakukan, Sun segera mencari alasan. “M-maksudku, kau pasti sibuk. Tidak perlu sampai datang besok.”

“Apa yang akan kau lakukan besok sampai tidak mengizinkanku untuk menemuimu?”

Sun terdiam dengan perasaan merinding. Seperti inikah insting para mafia? Dia bisa mendeteksi kejanggalan hanya dengan untaian kata?

“Aku tidak melakukan apa-apa besok, tapi kau sepertinya sibuk. Kau bahkan tidak berkunjung setelah tiga hari berlalu, aku pikir ini akan berlanjut sampai seminggu seperti yang sudah-sudah.”

“Apa kau sangat ingin aku datang untuk mengunjungimu?”

Sun tersenyum kikuk. Dia rasa keringat dingin mulai mengaliri dari punggungnya setelah mendengar ucapan Noah yang sejak tadi selalu merepotkan untuk dijawab. “Haha ... aku rasa kau terlalu percaya diri. Aku tidak serindu itu denganmu.”

Sun dan Noah kembali bungkam. Sekarang gadis itu cemas-cemas harap, semoga saja Noah tidak lagi berniat untuk mengunjunginya besok.

“Kalau tidak ada yang ingin kau bicarakan, tutuplah telponnya. Kita bisa bicara lagi nanti.”

Mendengar itu, sudah bisa dipastikan kalau Noah sedang dalam urusannya saat ini. Itu cukup menjadi alasan bagi Sun untuk berhenti menyusahkannya dengan menahan panggilan itu lebih lama. “Baiklah, sampai jumpa,” ucap Sun lalu memutus panggilan.

Noah tidak tahu apakah ucapannya secara tidak sengaja akan membuat Sun merasa tidak enak karena sudah menghubunginya, tapi saat ini dirinya memang sedang berada dalam urusan mendadak.

Noah dan Draven dipanggil menuju ruang William, tapi karena telpon mendadak dari Sun, Noah memutuskan untuk menunda langkahnya dan membiarkan Draven berjalan lebih dulu. Kini dia sudah selesai dengan urusannya, tapi saat dirinya akan melanjutkan langkahnya menuju ruangan William, langkahnya kembali tercekat ketika melihat Draven yang berjalan mendekatinya sembari menyulut rokok yang sudah ada di mulutnya.

“Sudah selesai berbicara dengan kekasihmu?” tanya Draven dengan nada mengejek. Noah hanya mengalihkan pandangannya dengan dingin, muak karena lagi-lagi Draven membuka mulut hanya untuk menguras kesabarannya.

“Apa yang Tuan William katakan padamu?” tanya Noah, tanpa basa-basi. Noah sekali.

“Dia memintamu untuk memimpin Yellow Crowl, sebelum Eliot mengambil alih kepemimpinan.” Mendengar ucapan itu, Noah membulatkan matanya.

Bagaimana bisa William memintanya untuk berurusan dengan kelompok yang terkenal sangat keji dan merepotkan itu? Terlebih ... dirinya juga harus berurusan dengan Eliot Redwood kali ini?

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status