Share

Chapter 2 : Girl With The City Monsters

Dua hari setelah pertemuannya dengan Noah, Sun yang sudah memantapkan diri akhirnya memutuskan untuk pergi bersama Noah menuju sebuah tempat. Sun tidak tahu mereka akan pergi ke mana, tapi Noah sempat berkata jika mereka akan pergi menuju sebuah kota yang Noah tinggali. Mungkin bisa dibilang jika Sun akan dibawa ke rumah lelaki itu, dan semoga saja firasat buruk Sun yang merasa dirinya akan diserahkan kepada ketua kelompok orang-orang jahat seperti Noah itu tidak benar.

Saat ini belum diketahui pasti tujuan mereka. Hanya saja yang Sun tahu, dirinya dan Noah saat ini sudah berada di New Orleans, kota pelabuhan terbesar di Louisiana, salah satu negara bagian Amerika Serikat.

Seperti gambaran kota pada umumnya, tempat yang panas dan ramai oleh suara bising kendaraan bertenaga mesin membuat Sun yang selama ini tinggal di tempat asri bernama desa jadi agak terkejut. Tentunya, setelah menempuh perjalanan jauh, dihadapkan suasana yang jauh berbeda dengan suasana yang biasa ia temui membuat kepala Sun sedikit nyeri. Itulah alasan mengapa sejak tadi ia terlihat lesu dan hanya menyandarkan kepalanya ke kaca mobil.

Noah melirik ke arah Sun tanpa merespons, kendati dirinya tahu jika Sun pasti merasa tak nyaman dengan keadaan baru yang dirasakannya di kota besar seperti New Orleans.

“Kita akan segera sampai, kau bisa istirahat di Kediaman Melrose nantinya.” Ucapan Noah hanya seperti angin lalu bagi Sun yang benar-benar lemas setelah melalui perjalanan jauh. Bahkan dia sudah acuh tak acuh akan apa itu Kediaman Melrose yang terdengar seperti sebuah tempat bernaung yang besar.

Dari situ saja Noah sudah bisa menebak jika jarak terjauh yang pernah ditempuh Sun saat bepergian pasti saat gadis itu menuju sekolah saja.

Sun menghela napas lelah. “Di sini ramai sekali ...,” ujarnya yang terdengar seperti keluhan. Noah tak peduli, dia tak ingin membagi fokus dari perburuan lukisan indahnya di internet.

Sun melirik sedikit ke arah ponsel Noah, dia berkata, “Aku penasaran tentang apa yang membuatmu sibuk sejak tadi,” ujarnya.

Noah tidak menjawab. Dia langsung menunjukkan layar ponselnya pada Sun yang sepertinya ingin tahu apa yang sedang Noah lakukan. Begitu tahu apa yang dilakukan Noah, Sun merespons dengan, “Kau menyukai lukisan, ya?”

Noah yang merasa ditanyai pun menatap Sun sekilas. “Iya,” jawabnya kemudian dengan singkat.

“Aliran lukisan seperti apa yang kau suka?”

“Tidak spesifik.”

“Abstrak? Surealis?”

“Aku suka semua lukisan yang terlihat indah di mataku.” Jawaban tegas Noah seakan-akan dia sedang tidak mau diajak bicara oleh Sun. Hal itu membuat Sun jadi menelan kembali segala ucapan yang setidaknya bisa mencairkan suasana membosankan di mobil itu. Sun merasa sedikit sebal.

Mereka pun kembali hening, untuk beberapa saat sampai Sun kembali membuka suara. “Soal kau yang ingin menjadikanku wan—”

“Kita sudah sampai.”

Noah menyela ucapan Sun dengan cepat, bahkan dibuat tak bisa lagi dilanjutkan oleh Noah yang kini keluar dari mobil lebih dulu. Sun bukan orang yang akan mudah tersulut oleh emosi, jadi meski kesal, dia akan tetap bersikap tenang dan tersenyum untuk meredakannya.

Mungkin Noah memang lelaki yang jahat dan menyebalkan, tapi selagi dia tidak berlaku jahat pada Sun, Sun juga tidak akan bersikap jelek pada Noah. Itu adalah tata krama yang sudah diajarkan Anthony sejak Sun masih kecil.

Sun tiba di sebuah rumah yang sangat besar, saking besarnya sampai lebih tepat jika disebut istana.

“Ayo masuk,” ucap Noah membuyarkan fokus Sun yang semula terdiam mengagumi kemewahan hunian di hadapannya.

Sun mengangguk lalu mengikuti langkah Noah.

Benar-benar seperti istana. Sun melihat pintu ganda yang besar itu dijaga oleh dua lelaki berpakaian rapi dalam balutan tuksedo hitam dengan kacamata hitam dan sebuah alat komunikasi yang terpasang di telinga mereka. Dua lelaki itu terlihat seperti agen rahasia yang sedang menjalankan misi.

Lupakan tentang dua agen rahasia itu, Sun lebih tertarik membahas betapa indahnya hunian yang dimiliki Noah ini. Pada bagian samping rumah itu, ada kolam renang air biru yang bukan main luasnya. Melihatnya seperti melihat air laut yang hanya dipindahkan saja wadahnya. Halaman depan dipenuhi rerumputan hijau yang ditata dengan baik, seakan-akan alam dengan sengaja membangun istana itu untuk dihuni manusia.

Tentu saja, ini adalah kali pertama Sun melihatnya.

“Wah ...!” Hanya itu yang bisa Sun ucapkan kala ia memasuki rumah besar yang seingatnya bernama Kediaman Melrose itu. Dia seperti melihat aula ketika memasuki bagian depan kediaman itu. Lantainya dibangun dengan marmer kualitas terbaik, lampu gantung yang besar dan tampak mewah serta sebuah air mancur buatan yang ada di tengah-tengah ruangan utama itu.

“Kau tinggal di sini?” tanya Sun begitu saja.

“Tidak.”

“Lalu kenapa kau membawaku ke sini?”

“Kau akan tinggal di sini.” Noah berjalan lagi menuju salah satu tangga, disusul Sun yang segera mengimbangi langkahnya. Ketika tiba di lantai dua, sebuah suara menghentikan langkah Noah.

“Noah!” Panggilan itu berasal dari seorang wanita berpakaian gaun khas era Victoria berwarna biru. Dia bersama temannya yang berpenampilan sama, bergegas menghampiri Noah.

“Kau kembali,” tuturnya dengan senyum merekah. Noah hanya berdiri tanpa mau menjawab. “Aku dengar kau tiba-tiba saja melakukan perjalanan menuju Vermont, apa Bos memberimu misi di sana?”

“Tidak.”

“Ah, kalau begitu ... kau melakukan perjalanan pribadi?” Wanita lainnya bertanya. Noah membenarkan dengan gumaman. Wanita itu bertanya lagi sembari melirik keberadaan Sun di samping Noah. “Lalu siapa gadis ini? Apa kau pergi ke Vermont untuk mencari budak bar—”

“Alexa, Jessie, aku ingin kalian membawanya ke kamar untuk wanitaku.”

Penuturan Noah membuat kedua wanita bernama Alexa dan Jessie itu mendadak bungkam dengan mulut sedikit menganga. Raut terkejut tak mampu disembunyikan mereka kala mendengar apa yang Noah katakan.

“No-Noah, maksudmu gadis ini ....”

“Dia wanitaku.”

Seharusnya Sun tidak lagi merasa terkejut kala mendengar perkataan semacam ini keluar dari mulut Noah. Hanya saja ... hal yang tak dimengertinya adalah, mengapa kedua wanita itu tampak begitu terkejut ketika mengetahui kalau Noah memiliki wanita?

Apa kedua wanita itu menyukai Noah? Atau yang lebih parah ... kedua wanita itu juga wanita milik Noah? Dalam arti lain ... Sun dibawa untuk dijadikan istri Noah yang ke sekian?

“Aku harus pergi.” Setelah memastikan Sun memiliki orang di sisinya, Noah bergegas pergi untuk melaksanakan urusannya. Dia hanya berkata seperti itu, tanpa berpamitan kepada Sun dan membuat kedatangannya ke sini hanya untuk menitipkan Sun saja.

Apa Noah akan kembali lagi ke kediaman ini? Itulah hal yang menjadi tanya di benak Sun saat ini.

***

Noah memasuki ruangan luas yang berpusat pada sebuah meja bundar yang besar. Meja yang kini dipenuhi lima orang dan menjadi lengkap penghuni bangkunya kala Noah bergabung dalam kelompok itu.

Tatapannya menjurus ke depan, seperti biasanya. Sikapnya yang tenang membuat empat orang yang ada di sana menahan kesal, sementara satu orang yang duduk lurus berseberangan dengannya tampak tersenyum.

Noah memang seperti itu, dan sepertinya tidak bisa dirubah lagi, mungkin sekiranya begitu tatapannya pada Noah jika diungkapkan dengan kalimat.

“Perjalananmu menyenangkan, Noah?” Lelaki yang barusan bertanya adalah William Odolff, pemimpin dari organisasi bawah tanah yang terkenal sedaratan New Orleans, Little Boy.

Noah menatapnya dan berkata, “Aku dapat koleksi baru, dan itu menyenangkan.”

Jawaban santai dari Noah memicu tanggapan sinis dari wanita berambut hitam panjang dengan poni pagar di sudut lain meja pertemuan itu. “Menyenangkan sekali sampai tidak bisa menghentikan hasrat berbuat seenaknya milikmu, ya?”

Namanya adalah Eve. Perempuan berusia 22 tahun yang menjadi satu-satunya eksekutif wanita di Little Boy. Eve memiliki saudara kembar bernama Adam, mereka kembar namun tak seiras. Eve dan Adam adalah anggota eksekutif yang bekerja mengumpulkan informasi tentang musuh ataupun hal lain yang berkaitan dengan pergerakan Little Boy. Jika Eve mencari informasi melalui internet dan meretas, maka Adam mencari informasi dengan turun langsung ke lapangan.

Seperti yang disebutkan, mereka kembar namun tak seiras. Tak hanya jenis kelamin yang berbeda, sifat mereka pun berbeda. Eve lebih aktif berbicara, pintar dan memiliki kemampuan merangkai kata yang tepat sehingga sindir-menyindir anggota bukanlah hal yang baru baginya. Sedangkan Adam lebih pendiam, dia terkesan tak peduli dengan lingkungan namun sebenarnya ia pengamat yang baik.

Meski diam saja, namun Adam tak sedikit pun mengalihkan matanya dari Noah. Dia mengamati ekspresi lelaki yang empat tahun lebih tua darinya itu, menebak jika diamnya Noah karena dia sudah tahu jika Eve akan menyindirinya seperti itu. Bahkan sebelum Noah tahu jika ada pertemuan lima eksekutif dan pemimpin Little Boy siang ini, Noah mungkin saja sudah menebak jika kalimat seperti itu pasti akan dilontarkan padanya entah kapan dan oleh siapa.

Noah bergeming, memberi kesempatan untuk keempat eksekutif lain menyuarakan kekesalan mereka atas apa yang telah dia lakukan.

“Ah, karena sifat berbuat seenaknya milikmu, Little Boy akan memiliki masalah ke depannya,” timpal lelaki berambut sebahu dan berewok cukup tebal, Draven Missegrand. Dia dikenal sebagai eksekutif yang memegang urusan persenjataan Little Boy, sekaligus dikenal sebagai mata keranjang yang memiliki banyak wanita.

Noah menatap mata Draven, tanpa bicara dan meninggalkan kesan tak suka. Mungkin hanya Draven saja yang merasa demikian, karenanya dia langsung membuang muka sekilas sebelum kembali menatap Noah lebih tajam. “Jangan memberiku tatapan seperti itu, Noah. Kau membuatku ingin menusuk kedua matamu itu.”

“Hentikan, Draven. Tuan William masih berada di sini, jaga sikapmu!” Hubungan kelima eksekutif Little Boy memang tak sebagus kebanyakan tim. Tapi meski begitu, di sana ada seorang lelaki bernama Tobias, eksekutif pertama yang diangkat oleh William dan selalu menjadi penengah keributan yang terjadi dalam lingkup para eksekutif.

Tobias memiliki emosi yang stabil, karena itu dia selalu hati-hati dalam mengambil langkah dan tidak bertindak gegabah karena emosi. Dia memiliki perawakan tinggi, tubuhnya menjulang 190 cm dengan kulit cokelat eksotis. Tatapannya teduh, tampak bukan seperti penjahat ditambah kumis dan berewok tipis yang membuat kesan lelaki dewasa miliknya makin terasa. Tobias adalah perokok akut, dia menyukai rokok dan hampir setiap saat menyesap benda berbahan dasar tar dan nikotin itu.

Jika lima eksekutif memiliki pemimpin, maka Tobias lah yang paling pantas dari segi usia dan kestabilan emosinya. Dia yang memiliki wibawa, pastinya dengan mudah membuat orang disekitarnya mematuhi ucapannya.

Draven mendengus sebal, kemudian membenahi duduknya selagi menghela napas. William hanya tertawa kecil, Draven pasti berusaha keras menahan kesalnya mengingat lelaki dengan berewok tebal itu adalah yang paling tidak bisa akur dengan Noah.

“Baiklah, Noah ...,” William kembali berkata, “kau tahu mengapa aku mengadakan pertemuan mendadak ini, kan?”

Noah mengalihkan pandangannya, menatap sesuatu yang ada di lantai, entah apa itu. “Aku tahu,” jawabnya acuh tak acuh.

“Kau pergi tanpa mengabari, aku membiarkannya karena kau pergi untuk mengurus urusan pribadimu. Tapi aku tidak ingin kau membuat keributan dengan kelompok lain, Noah ....”

“Adam ...,” sebut Tobias, memberi kode pada Adam untuk melaksanakan tugasnya.

Adam segera berkata. “Lewis Guerda Pearson dari Heatens dan Patrick Carter dari Luciano. Mereka adalah dua orang yang dibunuh oleh Noah dua hari lalu di Woodstock, Vermont.”

“Woah, Noah ... julukan Little Boy’s Devil memang cocok untukmu. Kau tidak ragu membahayakan nyawa orang lain, bahkan organisasi yang telah menjadi rumahmu sendiri.” Draven kembali menyindir, didukung Eve yang tersenyum sinis.

William menautkan jemarinya di depan hidung, wajahnya tampak serius. “Luciano adalah organisasi gangster kecil di Baton Rouge, ibu kota Louisiana. Sedangkan Heatens adalah organisasi mafia yang cukup terkenal di wilayah yang sama,” ujarnya dengan penuh pertimbangan.

Eve menimpali, “Organisasi mereka tidaklah sekuat ataupun sebesar Little Boy, Tuan. Anda tidak perlu mencemaskannya.”

“Tidak.” Tentu saja itu berasal dari anggota yang paling hati-hati dalam mengambil dan mempertimbangkan keputusan, Tobias. “Meski tidak sebesar Little Boy, jika dua organisasi itu menyerang secara bersamaan, kita bisa repot. Noah telah membunuh satu orang dari dua organisasi itu, tentu saja ini akan dianggap sebagai bendera perang karena Noah mengacaukan tugas yang diberikan langsung oleh kedua ketua organisasi untuk dilakukan orang-orangnya pada hari itu.”

“Kau dengar, Noah? Betapa sifat egoismu itu sangat menyebalkan dan merugikan kami?” Draven kembali berkata. Dia sepertinya tak ingin lagi mengerem kata-katanya.

Noah pun agaknya lelah terus-terusan diam. Dia buka suara dengan satu kalimat singkat pembuka. “Aku akan mengatasinya.” Ketimbang meminta maaf, Noah memilih untuk memberikan kalimat itu sebagai jaminan. Hal itu membuat Draven dan Eve makin tajam menatapnya.

Noah melanjutkan, “Aku membunuh mereka atas keinginanku dan aku sadar akan hal itu. Gadis itu adalah urusanku, jadi jangan berisik dan biarkan aku mengurusnya.”

“Kau masih saja menyimpan sikap tak sopanmu itu, Noah Bellion!?” Draven tak tahan. Lelaki yang selalu membiarkan dua kancing atas kemejanya terbuka itu dengan bergegas bangun dan menarik kerah kemeja Noah.

Sementara Noah masih bersikap tenang, tak terganggu kendati dia tahu benar dua mata Draven jelas menggambarkan kebencian. Bahkan dengan berani, Noah membalas tatapan itu. Hal itulah yang membuat Draven makin ingin mengakhiri masa hidup Noah Bellion saat ini juga.

“Draven, kembali ke kursimu.” Perintah Tobias tak langsung Draven patuhi, jelas sekali dia sangat marah akan perkataan dan semua tindak-tanduk Noah.

“Draven ....” Ketika William sudah bersuara pelan, barulah Draven si tempramental melepas cengkeramannya dengan kasar.

“Jika Little Boy sampai berada dalam keadaan yang membahayakan, aku pasti akan langsung membunuh gadis itu,” ancam Draven sebelum ia kembali ke tempat duduknya.

Noah memutuskan untuk pergi. Tanpa berpamitan atau mengucap satu patah kata. Noah Bellion memang selalu seperti itu. Dia minim akan rasa solidaritas kendati rekan-rekannya menjunjung tinggi nama Little Boy di atas segalanya, dia juga tak punya rasa hormat pada atasan dan suka berbuat seenaknya.

Tapi selama ia tak mengkhianati Little Boy, William akan membiarkannya berbuat seenaknya. Sebab William mengenal Noah dengan baik, William tahu jika Noah bisa menjadi kuda hitam dengan kemampuan yang ia miliki.

Noah tidak bodoh ataupun berpura-pura bodoh. Dia tahu jika yang dia lakukan akan berimbas pada organisasinya. 

Cepat atau lambat, dua organisasi musuh akan bergerak. Mungkin akan mengincar Little Boy selaku organisasinya, dan mungkin juga akan mengincar Sun sebagai hal yang diperebutkan Noah, Heatens dan Luciano sejak awal. Tapi selagi itu menyangkut apa yang dia miliki, Noah akan selalu siap bertarung bahkan jika itu harus dengan anggota organisasinya sendiri.

Noah tidak suka jika ada yang mengusik kepunyaannya.




-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status