Share

Chapter 1 : One Day After 3 Years

Sun Fleurry McRay berdiri dengan kaki yang hampir ambruk, tak kuat menahan gemetar akibat rasa takut yang mencekam.

Dia hendak mengantar uang kembalian setelah pembeli melakukan transaksi bahan pangan dari peternakannya sore itu. Karena dia sudah mengenal pembeli dengan sangat baik dan sudah sering kali bolak-balik dari rumahnya ke lokasi pembeli, Sun berpikir dia tidak membutuhkan tumpangan atau pun seseorang untuk menemaninya.

Tapi ketika ia akan pulang, baru dirinya merasa menyesal telah menolak semua tawaran orang-orang di peternakan untuk menemaninya.

Ketika dalam perjalanan pulang, Sun dibuntuti oleh empat orang lelaki yang sudah dilihatnya sejak dia berada di tempat pelanggannya tadi. Sebenarnya salah satu dari empat lelaki itu sempat menawari Sun untuk pulang bersama mereka, sebab ia tadi sempat mengalami masalah pada rantai sepedanya. Tapi Sun menolak, mereka terlalu mencurigakan untuk bisa dia percaya.

Rasa curiga Sun terbukti saat dirinya dalam perjalanan pulang, empat orang itu mengikutinya. Bahkan ketika Sun sudah mengayuh sepedanya lebih kencang, dia masih dibuntuti.

Karena rasa panik, Sun memacu sepedanya lebih cepat dan lebih cepat lagi. Namun sayangnya, nasib sial masih membuntuti kala rantai sepeda miliknya kembali lepas dan Sun merasa sudah tidak memiliki waktu yang cukup untuk memperbaikinya. Perasaan panik yang melanda membuatnya tak berpikir panjang dan akhirnya, Sun memutuskan untuk memasuki sebuah gang sempit yang ditutup oleh sebuah dinding besar, menjadikannya buntu dan tak bisa dilewati.

“Nona, sepedamu sudah rusak sekarang. Masih menolak untuk kami antar?” Lelaki berbadan besar yang berdiri  dua meter di depan Sun itu berkata. Dia dan tiga rekannya melihat Sun seakan-akan melihat mangsa yang akan dilumat dalam sekali lahap.

Sun sedikit gemetaran, merasa takut sebab tempatnya berpijak adalah ujung dari jalan sempit dan gelap yang diputus tembok besar.

“Siapa kalian sebenarnya? Apa mau kalian?” Sun bertanya, dengan suara gemetar yang sebisa mungkin ditahan. Kalau dia panik dan bertindak gegabah, itu mungkin akan membahayakan dirinya sendiri.

Para lelaki itu saling menatap, seakan berbagi pikiran yang sama kemudian tertawa. Mereka kembali menatap Sun setelah menyelesaikan tawa, situasi jadi semakin menegangkan bagi gadis itu.

“Kami adalah orang-orang hebat yang bernaung di bawah nama Luciano. Kami datang untuk menjemputmu, dan membawamu.”

“Luciano?” ujar Sun dengan nada bertanya, sebab baru pertama kali baginya mendengar nama itu. “Dan kalian mau membawaku ke mana? Apa kalian adalah rekan ayahku? Apa kalian sudah mendapat izin untuk membawaku?”

“Izin? Kenapa kami harus meminta izin sedangkan kau itu sepenuhnya milik kami?”

Sun makin mengerutkan kening, tak mengerti dengan apa yang lelaki berewok itu katakan. Lalu lelaki itu melanjutkan kata-katanya, “Kalau kau ikut kami, kau akan kami jadikan wanita penghibur yang populer, Nona! Satu kota akan mengenalimu dan kau akan dibayar mahal—”

“Minggir, gadis itu milik bos kami.” Suara lain memecah atensi mereka yang ada di gang sempit itu. Suara yang berasal dari lelaki yang mungkin ada di kubu yang berbeda dengan lelaki berewok di hadapan Sun.

Empat orang yang menyebut diri mereka sebagai anggota Luciano itu memutar tubuh, menghadap rombongan yang berniat bergabung dalam pembicaraan.

“Ah, Heatens?”

“Iya. Kami anggota Heatens yang ditugaskan untuk membawa Nona McRay.”

Sun membulatkan mata. Apa lagi ini, Ya Tuhan?

“Tu-tunggu! Kenapa mau membawaku!? Siapa lagi kalian ini?” Keadaan terasa semakin runyam. Sun menelan pahit kenyataan karena sempat berpikir tiga lelaki lain itu datang sebagai bantuan.

“Ayahmu terjerat utang belasan tahun lalu dengan bos kami, dia tidak bisa membayar yang setimpal dan bos kami menginginkanmu untuk menjadi istrinya,” ungkap lelaki dari Heatens itu, membuat kepala Sun makin pusing.

Sun mundur, lalu terkejut saat punggungnya ternyata sudah bisa mencapai tembok besar di belakangnya. Rasanya mendebarkan. Jika dia tidak lari sekarang, maka mustahil baginya untuk kabur. Tapi sayangnya, Sun tak segera melihat kesempatan atau celah untuknya melarikan diri. Maka jika dia tetap memaksakan diri untuk lari sekarang, itu akan menjadi tindakan paling nekat yang pernah ia ambil dengan persentase keberhasilan yang amat kecil.

“Ha? Istri? Bosmu yang tua dan bau tanah itu mau memperistri Nona McRay? Apa kalian tidak salah?”

“Tidak ada yang salah jika menyangkut perintah.”

“Nona McRay sudah jelas-jelas akan bahagia hidup sebagai wanita penghibur. Dia akan menjadi kebanggaan dunia bawah atas nama Luciano!”

“Gadis desa sepertinya tidak akan bisa menjadi wanita malam! Dia yang dibesarkan dengan lembut dan sangat hati-hati, tidak akan bisa menjadi lebih dari sekadar istri yang menaati suaminya.”

“Jadi, bagaimana? Mau bertarung untuk membuktikan siapa yang bisa membawa gadis cantik ini? Sepertinya akan jadi menarik.”

Detak jantung Sun terpacu cepat kala melihat mereka memasang kuda-kuda, dan beberapa ada yang mengeluarkan pisau kecil.

Jika orang dari Heatens itu menyanggupi, maka habis sudah Sun yang tak bisa melindungi diri sendiri ini.

“Aku tidak berniat melukai siapa pun, tapi jika itu bisa memukul mundur musuh yang menghalangi, akan aku lakukan.” Keadaan yang semakin diluar kendali membuat Sun hampir menangis, tapi dia menahan kembali air mata itu dan berlari menuju pintu gang.

Sialnya, tangan Sun langsung ditarik oleh lelaki berewok tadi. Tangan kekar lelaki itu mencengkeram kuat, Sun tidak bisa berlari dan hanya pasrah mengikuti gerakan tubuh lelaki itu yang bertarung dengan mengeluarkan segala teknik. Dia tampak sangat ingin mengalahkan lawan sementara ia tetap menjaga Sun agar tak kabur.

Sun kewalahan, napasnya terengah-engah sejak tadi. Dia mungkin sudah akan memasrahkan nasibnya, tapi sebuah suara tiba-tiba mengalihkan fokus mereka.

“Tolong berhenti.” Suara itu terdengar tenang, tapi mampu membuat kegaduhan itu berhenti sejenak. Sun mengarahkan matanya ke sumber suara.

Di depan sana, berdiri seorang lelaki, menatap dua kubu yang menguncinya saat ini dengan sorot mata yang dingin.

“Heatens dan Luciano, ya ...,” ujarnya pelan, seraya masih memperhatikan satu persatu wajah yang ada di sana, dan berakhir pada wajah penuh ketakutan milik Sun.

“Siapa kau?” tanya salah satu lelaki yang ada di sana, kepada sosok yang saat ini berdiri tegap tanpa rasa takut di hadapan penjahat sebanyak itu.

“Noah Bellion.” Mendengar nama itu, orang-orang yang menahan Sun terdengar bergumam, seakan terkejut dengan apa yang didengar mereka.

Mereka tentunya tahu siapa itu Noah Bellion, salah satu eksekutif kelompok mafia paling berbahaya yang berpusat di New Orleans yang bernama Little Boy.

Tapi, meski begitu, tak sedikit pun renggang cengkeraman pada tangan Sun. Malah itu semakin menguat hingga sang gadis mengeluarkan rintihan sakit.

“Jangan kuat-kuat, nanti dia terluka.” Lelaki bernama Noah itu berkata.

“Kenapa? Kau datang untuk menyelamatkannya? Kau kekasihnya?”

“Bukan,” Noah menjawab pelan. Sun hanya memandangnya penuh harapan, berharap Noah bukanlah salah satu dari masalah baru yang mendatanginya hari ini.

Melihat bagaimana tenangnya Noah saat orang-orang ini menanyainya membuat Sun ingin berharap, tapi kenyataan bahwa Noah datang seorang diri tak dipungkiri membuat Sun sedikit cemas. Bagaimana dia akan melawan tujuh orang yang tampak lebih kuat darinya itu?

Lelaki berewok yang terus menggenggam Sun, tertawa. “Lalu untuk apa kau datang? Apa kau juga ditawari gadis ini sebagai alat pelunas utang ayahnya?”

Sun terkejut. Matanya terbelalak mendengar ucapan lelaki berewok itu. Apa dia baru saja disebut sebagai pelunas utang ayahnya? Tapi kapan? Kenapa Sun tak pernah diberi tahu jika ayahnya menjadikannya alat pelunas utang?

Jika memang benar dan selama ini disembunyikan, hal itu akan sangat menyakiti Sun.

“Jangan bicara seperti itu, kau bisa membuatnya menangis.” Noah menodongkan pistol miliknya, pistol berwarna perak yang seketika membuat para lelaki gangster itu panik.

Gang sempit itu dibuat oleh dinding-dinding bangunan yang menjulang tinggi, cahaya matahari tertutup dan cahaya jadi remang. Tapi kalau matanya tidak salah lihat, Sun menangkap senyum tipis dari wajah dingin Noah.

“Tidak masalah juga. Toh dia sudah menangis sejak tadi.”

Noah mengarahkan pistolnya tepat menuju Sun, membuat gadis itu membelalakkan matanya dengan panik. “Berikan dia padaku,” tegas Noah tanpa mau digugat.

“Aku tahu kau dari Little Boy, tapi tidak semudah itu aku akan memberikan gadis ini padamu! Dia adalah permata kami!”

“Kalian tidak membawa senjata yang bisa melukaiku, dan aku tidak mau membunuh kalian di depan gadis itu. Jadi, berikan dia padaku dan pergilah. Jangan membuatku berubah pikiran.”

Ancaman yang dikeluarkan Noah tak berlaku pada mereka. Mereka bahkan tertawa, mengejek Noah yang sudah jelas kalah jumlah.

“Gigih sekali kau, Noah. Kau sepertinya ingin sekali menyelamatkan anak ini. Aku jadi ingin bertanya sekali lagi, apa gadis ini kekasihmu? Kalau iya, kasihan sekali ....”

Sun termangu, tak mengerti akan maksud ucapan si lelaki berewok yang mengekangnya. Dia menatap Noah dan lelaki itu juga menatapnya. Tatapan mata yang sangat dingin itu, belum pernah Sun lihat seumur hidupnya.

“Kau banyak bicara sekali, lelaki tua.” Noah menyimpan kembali senjatanya, tampak siap untuk bertarung dengan tangan kosong. “Dan aku akan mengatakannya sekali lagi, aku bukan kekasihnya.”

Noah menyerang lebih dulu, menghajar para lelaki itu dan mencoba sebisa mungkin untuk menangkap tangan Sun. Bagi Sun, keadaan ini bahkan puluhan kali lebih buruk, tiga pihak yang tak dikenalinya itu, berusaha memperebutkan dirinya dan mengambilnya dengan paksa.

Sun tidak punya kesempatan untuk lari. Sebab ketika satu tangan melepasnya, tangan yang lain dengan sigap menariknya. Sun hanya melihat ke arah Noah, lelaki yang diharapkan bisa menjadi penyelamat terakhirnya.

Lelaki tinggi bertubuh kurus yang bernama Noah itu memiliki kemampuan bertarung yang luar biasa. Mengenyampingkan keadaan fisiknya yang kurus dan seakan tak bertenaga, nyatanya dia tidak membutuhkan waktu lama sampai serangannya mampu melumpuhkan lima orang sekaligus. Tubuhnya yang kurus dan ringan jadi keunggulan tersendiri, memungkinkannya untuk bergerak lincah dan memanfaatkan apa yang ada kendati ia bertarung di ruangan yang sempit.

Perlawanannya membuahkan hasil. Ketika salah satu dari lawannya lengah, ia  menarik Sun dengan cepat. Sun hampir terjatuh jatuh, namun Noah dengan sigap menangkapnya.

Kala itu, Sun yang sudah tak karuan, merasakan sentuhan hangat di tubuhnya. Satu tangan yang dengan enteng memeluknya dan menenangkan.

Sun pikir Noah adalah pahlawan yang benar-benar datang untuk menolongnya, tapi cukup sampai pelukan itu saja dia menganggap Noah sebagai pahlawan.

Kenyataannya, Noah lebih gila.

Noah mengeratkan tangan kirinya untuk mendekap Sun lebih erat, sementara tangan kanannya dengan cepat menarik pistolnya dan menembakkan dua peluru ke kepala dua lelaki yang berasal dari Heatens dan Luciano itu.

Sun tidak tuli, tapi suara memekakkan  itu seakan membuat telinganya berhenti berfungsi seketika.

Itu adalah kali pertama ia mendengar suara senjata api, sekaligus kali pertama melihat pembunuhan terjadi.

“Bawa mereka pulang dan sampaikan salamku pada siapa saja yang gagal membawa gadis ini.” Pelakunya tertawa, tampak tak merasa bersalah sama sekali setelah membuat dua tubuh bungkam untuk selamanya.

“Ah ... aku ingin mengatakan satu hal lagi: aku bukan kekasihnya, tapi gadis ini milikku. Tolong ingat itu dengan baik.”


***


Seberkas cahaya menusuk retina saat Sun membuka netra birunya. Sun mengernyit, lalu terdiam lama sembari menatap langit-langit ruangan tempatnya terbaring.

Suara berisik mengganggunya, meski itu hanya suara kecil yang dihasilkan dari langkah kaki seseorang di atas lantai kayu itu.

Sosok lelaki bertubuh kurus tinggi, yang saat memutar kepala untuk meliriknya, Sun dibuat panik luar biasa.

Gadis itu segera bangun dan menarik selimutnya kuat-kuat, seakan benda itu mampu melindungi dirinya yang kini merasa terancam. Bayang-bayang genangan darah dan suara keras itu masih menghantuinya, menciptakan sedikit trauma kala ia kembali melihat pelaku utama.

Noah Bellian diam bergeming. Dia hanya melihat-lihat isi kamar Sun dan mendapat reaksi panik dari gadis itu saat ia terbangun membuat Noah jadi sedikit bingung.

“Kau takut?” tanya Noah yang membuat Sun tak habis pikir.

Ayolah ...! Sun baru saja menyaksikan pembunuhan paling sadis di depan matanya, dan sekarang pembunuh itu sudah berdiri di ruangan yang sama dengannya. Katakan, bagaimana bisa Sun tetap tenang saja dan tidak takut?

“Aku mohon, jangan sakiti aku ...,” ucap Sun dengan lirih. Lekung menurun yang dibentuk kedua bilah bibir Noah tak menunjukkan pergerakan, dia bungkam seraya matanya yang sayu menatap lurus ke arah Sun. Itu membuat suasana makin mencekam.

Noah terdengar menghela napas. “Ini kamarmu,” ucapnya singkat, seakan meyakinkan Sun kalau gadis itu tidak sedang dalam bahaya sekarang.

Noah lalu bergerak mengambil kursi kayu yang ada di ruangan itu, lalu duduk di hadapan Sun yang masih ketakutan dengan gaya yang sedikit feminin jika dipakai oleh lelaki sepertinya. Kedua kaki panjangnya saling bersilang, begitu pun dengan tangannya yang bersilang dada.

“Kau ... membunuh mereka semua?” Sun akhirnya memberanikan diri untuk kembali bersuara.

“Tidak. Hanya dua.”

“Bagaimana bisa!?” bentak Sun seketika, “bagaimana bisa kau menjawabnya dengan begitu santai seakan yang kau lakukan itu bukan apa-apa!?”

Noah masih memasang ekspresi setenang mungkin, membalas emosi Sun dengan pasif lalu mengalihkan pandangannya menuju luar jendela.

“Sepertinya kau benar-benar tidak paham siapa diriku, ya ...?” ujarnya pelan, “tidak masalah. Aku juga tidak berniat untuk melalui tahap perkenalan dulu denganmu.”

“Kau ini ... siapa sebenarnya? Apa yang kau inginkan dariku?”

“Kau ....” Sun termangu, tanpa memahami sedikit pun maksud ucapan Noah. “Aku ingin kau.”

“Apa maksudmu?” Ketimbang menjawab pertanyaan Sun, Noah memilih bungkam dan beranjak dari duduknya. Ia tampak akan pergi tapi Sun menahannya dengan sebuah pertanyaan, “Apa kau datang untuk mengambilku sebagai tebusan utang?”

Langkah Noah langsung terhenti. “Apa yang Papa pinjam darimu? Sebesar apa utang yang Papa punya padamu?”

Noah tak membalikkan tubuhnya. Dengan amat dingin, dia menjawab, “Ayahmu tidak meminjam, tapi merenggut. Dan sebesar apa jumlahnya ... itu setara dengan nyawa seseorang,” Noah menjeda dan membuka pintu kayu di hadapannya, “iya, itu tidak bisa dihitung.” Kemudian lelaki itu menutup pintu, pergi dari sana.

Sun terdiam di atas ranjangnya. Dia tidak menghentikan Noah karena ucapannya. Entah mengapa itu terdengar tulus, bukan sebuah sebuah dusta atau candaan belaka.

Sun bergeming lama sampai pintu kembali terbuka, menampakkan sosok sang ibu.

“Mama ...,” tuturnya lalu memeluk tubuh Karina.

Wanita tua berusia 50-an itu menangis haru. Dia tentunya diberi tahu tentang apa yang menimpa anak semata wayangnya tadi. Melihat Sun pulang dengan selamat tanpa luka sedikit pun, membuat Karina sangat bersyukur. Syukurlah Sun tidak dibawa oleh salah satu dari dua kelompok gangster itu. Meski sebenarnya, diselamatkan oleh Noah Bellion juga agaknya sedikit ia sayangkan.

“Syukurlah kau baik-baik saja, Nak,” ujar Karina sembari mengelus surai pirang bergelombang milik Sun.

Sun mengerutkan bibirnya. “Tapi, kenapa Mama tidak menahan lelaki tadi untuk masuk ke kamarku!? Dia orang jahat, Mama! Kenapa Mama tidak membawa polisi?”

Rentetan kalimat itu dibalas keheningan oleh Karina. Netranya beralih, seakan tak mau menjawab pertanyaan putrinya. Hal itu membuat Sun mengerutkan kening, dan kepalanya mulai dipenuhi hal-hal buruk.

“Mama ...?” panggilnya pelan, “jadi, yang dikatakan lelaki tadi itu benar, ya?”

“Apa yang dia katakan?”

“Dia menginginkanku, karena aku ini adalah alat untuk melunasi utang Papa.” Karina menatap wajah melas anaknya dengan tak tega. Sebenarnya dia tidak ingin membenarkan pernyataan barusan, namun dia juga tak bisa menyembunyikannya lebih lama dari Sun sendiri.

Karina mengelus pipi Sun dengan penuh rasa sayang. “Sun ... maaf karena tidak pernah memberi tahu sebelumnya.”

“Apa aku akan menjadi pengantinnya?” Sun kembali bertanya.

“Tuan Noah tidak pernah mengatakan akan menikahimu, tapi jika benar pun, Mama tidak bisa bertindak lebih.”

“Mama, negara ini memiliki polisi. Kenapa Mama tidak bisa bertindak lebih seakan Mama sendirian? Kita bisa melawan lelaki jahat itu dan dia akan berhenti memaksaku untuk ikut dengannya.”

“Sun ...,” sela Karina, meminta untuk didengarkan, “jika kita melawan, ayahmu akan malu, Nak. Ayahmu pernah seenaknya berutang pada Tuan Noah, sekarang Tuan Noah juga berhak untuk mengambil apa yang ia mau dari ayahmu.”

Mendengar penuturan sang ibu membuat Sun makin tak paham. Sebenarnya ada apa antara ayahnya dan lelaki bernama Noah itu di masa lalu? Apa yang sudah ayahnya ambil dari Noah sampai hanya dirinya yang diinginkan Noah agar utang sang ayah bisa benar-benar lunas?

“Setidaknya, dia tidak akan membunuhmu, Sun.”

Sun membungkam mulutnya, lelah untuk membalas. Dia melihat wajah sang ibu yang tampak ingin memberontak, namun tetap ditahan. Sun jadi semakin penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang membuat ibunya tak mau melawan kendati dia tahu jika anak perempuannya akan dibawa pergi oleg orang jahat?

Tapi untuk saat ini, Sun memilih diam dan mengikuti alur yang telah disiapkan. Dia akan mencari tahu sendiri, kemudian memikirkan jalan terbaik agar bisa melepaskan diri dari lelaki bernama Noah Bellion itu.




-Bersambung-

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Miracle_Ji
kasihan sun :( btw keren banget kak. Narasinya menghipnotis
goodnovel comment avatar
Miracle_Ji
dari prolog aja sudah seruuuu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status