Share

Chapter 3 : Another Genius

Gelas kaca itu pecah. Suaranya nyaring memecah hening, meruntuhkan nyali tiga kepala yang tertunduk menahan takut. Tak ada yang berani mengangkat kepala, bahkan mata melirik untuk melihat tuannya saja tak kuasa.

Berita kematian satu anggota Luciano membuat lelaki berdarah Italia itu geram bukan kepalang.

Luciano adalah sekelompok gangster yang terbilang baru dan bergerak di kota Baton Rouge, ibu kota Louisiana. Dapat ditebak dari namanya, Luciano dipimpin oleh seseorang yang berdarah Italia bernama Marino De Luca.

Luciano tak beda halnya dengan organisasi-organisasi dunia bawah di Italia. Mereka menjunjung tinggi solidaritas antar anggota dan dengan berita kematian ini, tentu saja itu membuat sang pemimpin merasa amat geram.

“Patrick ...,” ujar Marino dengan lirih. Matanya melukiskan amarah, namun di sana juga ada kesedihan. “Dia anggotaku yang setia. Dia tidak seharusnya mati!”

Kemarahan memuncak, Marino kembali membanting benda yang ada di hadapannya. Kali ini botol wine yang menemaninya semalam tadi. Benda itu hancur menjadi serpihan kaca tak berbentuk.

“Maafkan aku, Bos. Aku tidak tahu kalau dia akan membunuh Patrick dengan brutalnya.”

Masih terukir jelas kematian sang rekan yang terjadi di depan mata. Betapa anggota mafia itu bisa dengan mudahnya membunuh musuh yang bahkan tak bersenjata. Dia kejam sekali.

“Noah Bellion .... ” Berbeda saat dirinya menyebutkan nama anak buahnya, Marino terdengar menekankan kebencian yang mengakar kala ia menyebut nama dalang dari pembunuhan Patrick Carter.

Mata lelaki berambut cepak yang diwarnai pirang terang itu memerah, seakan sebentar lagi ia akan kerasukan dan menuju sosok yang dibencinya untuk membalaskan dendam.

Tapi untunglah akal sehatnya masih bekerja hingga ia tak berbuat gegabah. Bagi gangster kecil sepertinya, melawan organisasi mafia bukanlah hal yang mudah. Meski urusannya hanya pada satu orang, tapi bukan mustahil kelompoknya yang besar itu akan membantu.

“Kita tidak bisa membalaskan dendam Patrick untuk saat ini,” ungkap Marino dengan nada sesal, “aku bersumpah akan membuat Luciano menjadi kelompok gangster yang besar sampai cukup untuk menginjak-injak Noah Bellion atau kelompoknya sekalipun!”

“Penuh semangat sekali ....”

Marino dan ketiga anak buahnya langsung melirik ke sumber suara. Lelaki dengan tuksedo hitam yang sangat rapi itu melangkah memasuki ruangan Marino.

“Siapa kau!?” tanya Marino dengan nada tinggi. Dia ingat dia tidak pernah memiliki anak buah dengan penampilan dan wajah anak muda cengeng seperti lelaki yang tengah berjalan santai ke arahnya itu.

“Aku akan memperkenalkan diri—”

“Dia penyusup!”

Belum selesai lelaki dengan rambut sebahuyang dipotong berantakan itu menyelesaikan kalimatnya, dia sudah lebih dulu diberi salam pertemuan oleh anak buah Marino dengan serangan tiga lawan satu.

Marino dibuat terpukau. Lelaki asing yang tampak lebih muda darinya itu memiliki teknik bertarung yang lincah namun setiap gerakannya mampu membuat lawan bertekuk lutut.

Dalam sekejap, tiga orang anak buah terpercaya Marino dikalahkan bahkan dengan tiga sampai lima serangan saja.

“Aku sudah bilang akan memperkenalkan diri,” ujar lelaki itu seraya membenahi tuksedonya, “aku Eliot Redwood, eksekutif Heatens.”

“Apa maumu dengan datang ke tempat ini? Kau tahu ini bukan tempat yang aman untuk dimasuki orang sepertimu, kan?”

“Aku tahu ... aku sangat tahu,” Eliot mendekati Marino yang masih menatapnya dengan penuh waspada, “tapi karena niatku baik, aku tidak perlu merasa takut.”

“Niat baik?” Marino mengerutkan keningnya.

“Aku dengar, ada yang sedang menangis karena kehilangan keluarganya,” ujar Eliot dengan melirik Marino menggunakan ekor matanya, membuat lelaki berbadan kekar itu melotot.

“Kau mengejekku!?”

Eliot tertawa, makin menambah geram di benak Marino. “Aku hanya berkata, Tuan De Luca ...,” katanya tanpa takut meski Marino tak lekang menatapnya tajam.

“Lagi pula, kalau benar, tidak perlu marah. Kau harus menyimpan tenagamu, karena aku membawa kabar baik untuk membuat mendiang temanmu itu tenang.”

“Cepat katakan apa maumu dan jangan buang waktuku!”

“Aku membawa pesan pribadi untuk bersekutu denganmu.”

Seluruh pasang telinga yang ada di sana lantas terkejut mendengar perkataan Eliot.

Bersekutu? Pesan pribadi?

Apa Eliot sudah gila mengajak geng lain untuk bersekutu dengannya yang datang seorang diri!? Apa dia tidak sadar tindakannya ini seperti bersuka rela masuk ke kandang singa?

“Bersekutu? Kau berani sekali, bocah!” Salah satu anak buah Marino berkata. Sepertinya dia sudah sadar setelah dibuat pingsan oleh serangan Eliot tadi.

Eliot menoleh, lantas tersenyum sok ramah. “Oh, kau sudah bang—” Namun lagi-lagi ia tak diberikan kesempatan untuk menuntaskan kalimatnya.

Kali ini serangan cepat itu seakan seratus persen bisa melumpuhkan Eliot yang sama sekali tak bersenjata. Tapi dengan menakjubkannya, bahkan pisau yang diarahkan ke Eliot mampu ia balikkan menuju si empu-nya.

Marino mendelik, terkejut melihat begitu mudahnya Eliot membalikkan serangan itu dan tak segan menusuk anak buahnya.

“Kau ...,” erang Marino yang bersiap untuk menyerang, namun Eliot hentikan dengan segera kala pisau lipat itu ia tarik cepat dan mengarahkannya tepat ke depan Marino.

Tak ada senyum yang Eliot berikan. “Menaklukkan hewan buas memang sulit, ini merepotkan,” tuturnya sembari membuang wajah.

Eliot menjatuhkan pisau yang sudah berlumur darah itu. “Aku pikir kita bisa diajak bekerja sama karena kali ini, musuh kita kebetulan sama. Bukan hanya Luciano yang kehilangan anggotanya, Heatens juga kehilangan salah satu anak kesayangan bos-nya.”

“Jika begitu, kenapa bukan bos-mu yang datang kemari dan mengajakku bekerja sama untuk menyerang Little Boy si sampah New Orleans itu!?” tanya Marino.

“Aku sudah bilang ini pesan pribadi, kan? Bos kami yang baik hati sudah merelakan anak tak berdosa yang dibunuh eksekutif Little Boy itu. Padahal sebenarnya, aku sangat bersemangat untuk membalas dendam.”

“Balas dendam atas kematian anggotamu, kau naif atau bagaimana?” Eliot menatap Marino, seakan dia terkejut dengan mata yang membulat.

Kemudian Eliot tertawa kecil. “Astaga, kedokku ketahuan.” Dia masih tertawa untuk beberapa saat sampai masuk ke mode seriusnya. “Aku memang sangat ingin mencari gara-gara dengan Little Boy, karena itu aku menggunakan situasi untuk membuat alibi agar bisa menyerang para tikus New Orleans itu. Tapi sayang, bos tetap tidak memberiku izin untuk mengadakan perang antara Heatens dan Little Boy.”

Marino masih mendengarkan penjelasan Eliot dengan saksama. Meski dia masih waspada karena lelaki asing yang berdiri di hadapannya saat ini tak ragu untuk melukai anak buah Marino, bahkan ketika dia berada di wilayah Luciano.

“Tapi sebagai gantinya, bos membiarkanku melakukan apa pun. Karena itu aku datang ke sini, atas kemauanku sendiri.”

“Kau ingin mengalahkan Little Boy demi bos kesayanganmu itu? Soalnya kudengar dia sangat ingin menikahi anak gadis Anthony itu.”

Eliot terdiam dengan mata menerawang ke langit-langit ruangan, tampak menimang-nimang sesuatu. “Kalau soal itu, bos memang sangat kecewa karena anak buahnya tidak bisa membawa gadis itu. Tapi aku tidak bergerak karena itu.”

“Lalu apa alasanmu?”

“Aku hanya ... tertarik dengan apa pun yang berhubungan dengan Noah Bellion.”

“Noah Bellion?”

“Iya. Orang yang membunuh anak buahmu dan anak buahku, serta orang yang membawa kabur anak Anthony.”

“Kau memiliki dendam pribadi dengan lelaki itu?” tanya Marino, membuat Eliot mengalihkan tatapannya kembali menuju langit-langit ruangan.

Bukankah itu sudah jelas dari kedatangannya? Eliot tidak kesal Marino bertanya demikian, tapi dia tidak akan menjawab.

Eliot balik badan, lalu berjalan meninggalkan ruangan dengan langkah yang amat ringan.

“Aku menunggu jawabanmu. Hubungi aku di nomor yang ada di saku celana anak buahmu itu.”

Marino dan anak buahnya yang bernama Torca itu kebingungan, sejenak saja sampai mereka benar-benar menemukan sebuah kertas bertuliskan nomor ponsel di saku celana Torca.

Yang ada di pikiran mereka saat ini adalah, kapan Eliot meletakkan kertas itu di sana? Padahal Marino terus memperhatikan gerakan Eliot, dan bahkan Torca saja tidak sadar jika eksekutif Heatens itu telah memasukkan sesuatu ke dalam sakunya.

Eliot meninggalkan kesan yang luar biasa bagi Marino. Meski terbilang masih muda, namun gerakannya saat bertarung sama sekali tak memperlihatkan sisi amatir dari seorang anak muda yang baru berkecimpung di situasi semacam tadi. Tampak dia sudah sangat berpengalaman dan dia genius dalam bertarung.

Jika begini, Marino tidak bisa ragu untuk tidak menerima ajakan Eliot. Kendati lelaki itu tak meminta bantuan dari kelompoknya sama sekali, tapi entah kenapa Marino merasa tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan dengan menolak tawaran Eliot untuk bekerja sama.

Sementara itu, Eliot kini berjalan seorang diri dengan langkah ringan di atas trotoar. Kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk senyum manis dengan raut yang amat puas.

Padahal belum ada satu jam dirinya meninggalkan markas musuh, dan dirinya juga tak tahu apakah musuhnya mau diajak bekerja sama atau tidak. Tapi melihat rautnya, tampak dia yakin sekali jika Marino tidak akan menolak tawarannya.

Eliot tidak sabar jika itu berurusan dengan Noah Bellion.

“Lama tak berjumpa~” Lantunan nada yang samar dinyanyikan mengiringi langkahnya, Eliot sedang bersenandung dengan hati yang cerah.

Sepanjang langkah menuju area parkir sebuah gedung yang lumayan jauh dari markas Luciano, Eliot tak bisa berhenti menyembunyikan raut gembiranya.

Bahkan ketika ia sudah berada di dalam mobil, dia masih menunjukkan raut itu hingga membuat wanita di kursi pengemudi turut tersenyum kendati dirinya tak tahu alasan di balik senyum itu.

“Harimu menyenangkan, Eliot?” tanya wanita dengan rambut lurus pendek sebahu itu. Eliot meliriknya, lalu tersenyum lagi.

“Aku yakin satu juta persen dia akan menerima tawaranku, Joana.”

“Kau masih sangat percaya diri seperti biasanya.”

Namanya Joana Clarke, wanita berusia 24 tahun yang belum lama ini bergabung dengan Heatens sebagai kaki tangan Eliot Redwood. Secara fisik, Joana adalah wanita yang sangat cantik. Dia memiliki wajah oval dengan mata besar seperti boneka, irisnya berwarna cokelat cerah yang seakan bisa memancarkan cahaya surya. Hidungnya yang kecil dibentuk mancung, kedua bilah bibirnya berbeda dengan bagian atas yang tipis dan berlekuk indah sedangkan bagian bawah agak tebal.

Joana tidak memiliki rambut yang panjang seperti wanita feminin pada umumnya. Sejak tiga tahun yang lalu, dia tidak pernah membiarkan rambutnya melewati bahu dan selalu memotong bob dengan panjang paling maksimal hampir menyentuh bahu. Rambut cokelat alaminya biasa dibentuk keriting gelombang dengan rambut bagian kanan yang selalu diselipkan di belakang telinga, menambah kesan elegan seorang wanita bermartabat tinggi.

“Aku tidak tahu mengapa, tapi mungkin wajahmu yang sempurna seperti biasa membuat rasa percaya diriku jadi melambung jauh. Ah, sepertinya aku sudah berlebihan.” Eliot tertawa kecil, memalingkan tubuhnya yang semula menghadap Joana untuk duduk dengan baik selagi wanita itu mulai menjalankan mobilnya.

“Tidak. Kau tidak berlebihan. Aku sudah melihat potensimu dan kesempatan yang selalu kau gunakan dengan baik. Kau sangat pintar seperti biasa, Eliot ....” Joana melirik Eliot yang masih memandangnya dengan senyum bahagia. “Dan seperti yang kau tahu, lelaki cerdas itu lebih menarik ketimbang lelaki tampan.

“Luciano adalah kelompok kecil yang bahkan akan lenyap dalam semalam oleh Heatens. Bos mereka memiliki keinginan yang besar untuk membalas kematian anggotanya pada kelompok besar seperti Little Boy, tentu saja dia butuh kekuatan untuk melawan kelompok itu.”

“Kau datang sendirian, dan bos juga tidak mengizinkanmu menggunakan Heatens untuk membalas dendam pribadimu. Bagaimana kau meyakinkannya?”

“Aku tidak menunjukkan apa-apa selain kemampuan bertarungku di hadapannya.”

“Benarkah!?” tanya Joana dengan nada tak percaya. “Eliot, mereka mencari sekutu, bukan pegulat saja.”

“Meski begitu pun, aku yakin dia akan menghubungiku nantinya. Dia tidak punya pilihan lain, Joana.”

Joana tersenyum simpul, tampak dirinya juga jadi ketularan energi positif yang Eliot keluarkan.

“Lalu, sudah punya rencana?” tanya Joana kemudian.

“Sudah,” jawab Eliot dengan cepat dan yakin.

“Kau benar-benar Eliot si genius!”

Eliot tertawa menanggapi pujian yang Joana berikan padanya. “Hanya kau dan bos saja yang sering menjuluki diriku dengan sebutan itu,” ungkapnya seraya mengalihkan muka ke jalanan.

“Mau bagaimana lagi, mata kami tidak buta dan kami punya mulut untuk mengatakannya.”

Senyum Eliot perlahan-lahan lenyap. Kini dia hanya memandang jalanan dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia senang mendengar pujian itu, tapi dia juga tak memungkiri jika dirinya merasa kurang.

“Kau akan dilihat jika berdiri di tempat yang tepat,” ujar Eliot dengan pelan, hampir tak bisa didengar jika jalanan amat ramai kala itu.

Joana menatap Eliot, jelas terlihat dirinya tak paham mengapa tiba-tiba Eliot berkata demikian.

Eliot yang sadar akan tatapan Joana, kini tertawa singkat. “Aku senang, aku berdiri di hadapanmu, Joana.”

“Oh .... Kenapa tiba-tiba berkata seperti itu?”

Mobil mereka berhenti di area parkir sebuah gedung. Ketika mesin sudah dimatikan, keduanya tak kunjung keluar dan hanya menatap satu sama lain.

Eliot tersenyum tipis, senyum manis yang menjadi candu setiap kali Joana menangkap rupanya. “Karena aku berdiri di depan seseorang yang mau membalas tatapanku,” jawab Eliot seraya mengusap pipi Joana.

Wanita dengan bibir merah merona itu menurunkan tatapannya, takut jika ia akan semakin tenggelam dalam netra hazel milik Eliot.

Tak dibiarkan tatapan itu pergi begitu saja. Eliot menarik lembut wajah Joana, mempertemukan kembali tatapan wanita itu dengan dirinya sebelum ia bergerak maju mencumbu bibir sang hawa.

Joana sempat terkejut. Refleks tubuhnya merasakan sensasi yang membuatnya amat merinding kala jari-jemari kekar milik Eliot menggerayangi kulit lehernya yang jenjang.

Joana tidak menolak kecupan itu dan mempersilakan Eliot memperdalam pagutannya pada bibir Joana. Mereka menikmati perhelatan panas keduanya sampai ke sisi lain tubuh yang bersangkutan. Desahan dan erangan kecil pun tak mampu mereka tahan.

Berlangsung cukup lama hingga keduanya merasa cukup. Joana menarik bibirnya dan meraup oksigen dengan rakus, sementara Eliot menggerakkan tangannya untuk merengkuh Joana yang masih ngos-ngosan menghirup udara.

“Joana ...,” lirih Eliot tepat di samping telinga Joana, “aku harap kau tetap bersamaku.”

Joana hanya mendengarkan, tapi genjotan luar biasa yang kinerja jantungnya hasilkan membuat tubuhnya memanas. Perasaan itu sudah lama tak dia rasakan, perasaan cinta yang mendalam dan membuatnya secara buta mengiyakan apa pun yang dikatakan obyek asmaranya.

Joana tak menjawab. Dia hanya membalas pelukan Eliot dengan tak kalah erat. Joana harap, dalam gelapnya dunia yang ia pilih untuk ditinggali, dia bisa merasakan hal yang para manusia normal rasakan.

Dicintai dan mencintai.

Mungkin Joana bisa menganggap sedikit asa dalam gulita hidupnya, bahwa seorang lelaki datang untuk mencintai dan membalas perasaannya. Namun Eliot tak lebih menganggap semua hanyalah batu loncatan untuknya mencapai tujuan.

Eliot tidak hidup untuk cinta. Eliot hidup hanya untuk kebencian yang tumbuh subur dan mengakar dalam hatinya. Kebencian yang hanya mengarah untuk satu nama, Noah Bellion, lelaki miskin yang menjadi sangat kaya dengan merenggut segala yang Eliot punya.

“Aku ingin menghancurkan Noah. Tolong temani aku dan jangan lepaskan tanganku.”




-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status