"Apa ini masa lalu dan aku terdampar disini?" Pertanyaan yang aku tak tahu untukku sendiri atau untuk orang yang ku temui ini?
"Masa lalu? Artinya kamu dari masa depan?" Ingin ku abaikan kata-kata dari dia yang mengaku Mamaku, bukan tapi Diajeng Ayu Baskoro.
"Apa bukti aku ada di tahun 1995?" Tanyaku sarkas.
"Dan apa buktinya kamu dari masa depan?"
Aku menatap perempuan di hadapanku lama. MAMA.... ya dia Mamaku. Wajahnya persis dengan foto-foto di rumah yang dipajang Eyang dan selalu di peluk Eyang ketika merindukan putri tercintanya.
Tanpa pikir panjang ku berhambur kepelukannya. Mama yang hanya aku tahu dari foto, akhirnya bisa ku peluk tubuhnya nyata. Bagai mimpi dan tanpa sadar aku terisak juga menangis. Ingin ku katakan aku anaknya, Tapi aku tahu dia tak percaya dengan ucapanku.
Aku mencoba menghentikan isakan tangis, entah mengapa aku menjadi anak cengeng. Bahkan saat aku terjatuh atau saat tanganku patah pun tak pernah menangis.
"Namamu Diajeng kan? Bolehkah aku minta bantuan? Aku tak tahu siapa-siapa disini" ku katupkan kedua tangan di hadapanku.
"Buktikan dulu kamu benar dari masa depan?" Aku mulai berpikir. Andai ini tahun 2015 aku dengan mudah menjawab pertanyaan apapun. Toh tinggal tanyakan saja pada si embah yang serba tahu, embah g****e maksudnya. Aku menggaruk kepala yang tak gatal, walau 100 kali mikir kayaknya aku gak bisa jawab deh.
"hhhmmm.... Kamu kasih pertanyaan kali aja aku bisa jawab". senyumku kikuk. "Bagaimana kamu bisa tahu nama ayah dan namaku? Apa yang kamu ketahui selain itu?"
"Umurmu 20 tahun kan? Dan pacarmu..... Andra, Keano Deandra. Dan.... Eyang, eh maksudku ibumu tidak menyukai Andra. Dia pikir Andra pembawa pengaruh buruk untukmu juga masa depanmu.
Aku melihat reaksi Diajeng, Mamaku. "Wah... Kamu tahu juga ya tentang Andra, bahkan orang lain memanggilnya ken atau Ano". Aku tersenyum kaku. bagaimana aku tak tahu tentang Papaku. meski aku bertemu dengannya bisa di hitung jari seumur hidupku, tapi Eyang sering menceritakannya saat Dia memarahiku karena kenakalanku.
"Dan tentang Hp, Bagaimana bentuknya. Apa itu barang masa depan?" Dengan binar mata seolah begitu ttakjub dengan barang yang bahkan dia belum temui.
"Hp itu telepon genggam, seluler. tanpa kabel yang bisa di bawa kemana-mana. dulu bentuknya sebesar telepon kuno itu" sambil ku tunjuk ke arah telepon yang tadi aku gunakan untuk menghubungi Rara.
"Tapi sekarang bentuknya makin tipis dan makin banyak fungsi".
"Apa saja fungsinya?" Dia bertanya dengan rasa penasaran. "Selain buat telepon, bisa buat kirim pesan, ambil foto, simpan nomor telepon, internetan dan masih banyak lagi" berasa kayak guru saja aku sekarang menjelaskan seperti ini.
"Wah banyak banget fungsinya ?. Semoga aku bisa melihat itu semua di masa depan ya". Aku hanya bisa meng-Aamiini dalam hati. Hanya ku jawab dengan anggukan.
"Hhmm... Aku masih 18 tahun, bolehkah aku memanggilmu mbak?" Diajeng tersenyum dengan mengangguk. "Mbak Ajeng bolehkah aku bertanya? Mengapa mbak bisa sangat mencintai Papa? Maksudku mas Andra. Bukankah dia terkenal nakal dan bengal?" Tanyaku penasaran.
"Sepertinya kamu melupakan sesuatu?" Aku mengernyitkan dahiku memikirkan apa yang aku lupakan. "Namamu... Kamu belum memberi tahu siapa namamu".
"Oh sorry. Aku..." Aku mencoba mencari nama yang bisa aku gunakan untuk nama samaran. Ku edarkan pandangan ke sekeliling. Terlihat taman bunga matahari di luar jendela. "Namaku Sunny". Berkebalikan dengan nama asliku. Mungkin saat aku lahir semua orang menangis karena kehilangan makanya namaku Rainy.
"Sunny? Nama yang indah" aku hanya tersenyum.
"Apa mbak Ajeng bisa tolong aku? Tolong sembunyikan aku. Jangan sampai ada orang yang tahu hanya sampai aku kembali ke tahun 2015". Hanya itu yang bisa ku minta, aku benar-benar tak tahu tempat ini, keadaan ini.
"Aku punya kost di dekat kampus, dan ibuku tidak tahu. itu tempat pelarian jika aku merasa lelah dengan tugas-tugas kampus" Diajeng tersenyum hangat kepadaku. Makanya Papa tergila-gila dengan Mama mungkin salah satunya karena senyumnya itu.
~ ~ ~
Tanpa menghabiskan banyak waktu, Diajeng membawaku ke tempat kost-nya. Meski kecil, ini lumayan untukku dari pada aku tinggal di jalanan.
"hemm... Mbk, Biasanya Andra, eh mas Andra biasa main kesini ya? Waduh aku ganggu dong kalau gitu?" Sambil nyengir kuda ku ledek Mamaku. Mama, seseorang yang ingin ku peluk dengan wujud nyata. Dan Tuhan mengabulkan permintaanku dengan cara.... aku terdampar disini, di masa lalu.
"Eh... Kita tidak seperti yang ada dalam bayanganmu loh ya..."
Dan tawaku membahana keseluruh ruangan.
"Apa ibu mbak gak di rumah? kok bisa kemana-mana? Apa bodyguard mbak sedang tidak tugas?". Tanyaku penasaran.
"Hei.. kalau tanya itu satu-satu seperti aku di introgasi polisi saja" Senyum dibibir Mama tak pernah pudar. Begitu hangat dan menyenangkan.
"Ibuku ada acara arisan, kalau bodyguard aku tentu saja tidak punya. Memangnya aku anak jendral!"
"Hah? Bukannya mbak ada yang jaga 24 jam gitu, biar gak ada yang nyulik kali". dengan nada candaan, padahal sebenarnya aku penasaran. Aku merasa heran anak kesayangan Eyang saja tidak ada penjaga, tapi kenapa aku harus dijaga 24 jam. Andai saja aku tidak di atur dan harus mengikuti semua keinginan Eyang dengan les-les yang membuatku bosan itu, mungkin aku tak ada cerita terdampar disini.
"Kenapa kamu murung, Sun?" Aku mencoba pura-pura senyum. "Makasih ya mbak, mau nolong aku. Andai enggak ada mbak gak tau lagi harus bagaimana disini".
"Tidak usah dipikirkan. Aku malah kira tadi kamu di culik terus di sembunyikan dalam bagasi mobil Ayahku. Kayak yang sering di dengar gitu kasus penculikan terus hilang tidak ditemukan lagi".
"Aku juga bingung mbak, tadinya mau sembunyi dari dari kejaran bodyguard yang jaga aku. Eh waktu aku buka bagasi tau-tau disini. Pengen nangis tapi percuma gak tau harus gimana".
Mama memeluk dan mengusap punggungku. Rasanya nyaman banget. Mungkin selama ini aku merasa tidak di pedulikan keluargaku. Dan rasa hangat ini nyata. Hanya Rara jadi teman baikku. Itupun baru beberapa tahun belakangan sejak keluarga Rara pindah ke sebelah rumah Eyang.
"Lalu bagaimana kamu tahu tentang keluargaku? Apa kita bertemu lagi dimasa depan?".
Tiba-tiba Mama bertanya seperti itu membuatku merasa bersalah dan juga sedih. karena aku tak ingin menjawab jujur.
"Aku tidak terlalu tahu mbak. karena aku baru pindah ke kompleks perumahan ini. dan hanya sekali ke rumah ini, saat Eyang menyuruhku mengantarkan makanan. Dan aku juga tidak terlalu akrab dengan tetangga karena takut mereka merasa terganggu".
Aku mengarang cerita agar tak di beri pertanyaan aneh-aneh lagi. Aku benar-benar tak ingin mengarang cerita semakin panjang karena akan memberikan luka pada diriku sendiri dengan cerita yang aku tahu akhirnya ini.
Kami menghentikan sesi tanya jawab itu. Mama pulang setelah membelikanku nasi bungkus. Selesai mandi dan makan, ku rebahkan tubuhku diatas kasur. Rasa lelah menyelimuti seluruh tubuhku, entah sejak kapan aku sudah masuk ke alam mimpi. Aku berharap saat bangun nanti semua kembali seperti semula. Dan apa yang aku alami hari ini semua hanya mimpi, semoga saja.
Monday morning,Aku bersiap ke kampus, Papa menawariku untuk berangkat bersama. Tapi ku tolak karena tahu Papa ada meeting pagi ini, tadi om bagas menelepon saat kami sarapan. Client dari luar negeri sudah datang, jadi Papa datang menyambut dan di lanjutkan dengan kerja sama.Aku tak punya bodyguard untuk menjaga dua puluh empat jam lagi. Jadilah aku pergi di antar sopir yang bekerja cukup lama di keluargaku, namanya mang Ujang."Udah siap, non?" Tanya mang Ujang padaku. "Sudah, mang" jawabku dengan senyuman. Aku berjalan masuk ke dalam mobil, terdengar klakson mobil begitu familiar di telingaku."Mas Raka..." gumamku. Sepagi ini mas Raka sudah datang ke rumahku. Pikirku mungkin ada janji dengan Papa, karena pagi tadi buru buru jadi lupa memberi tahu mas Raka kalau Papa sudah ke kantor."Bentar mang, Rain kasih tahu mas Raka dulu kalau Papa sudah berangkat ke kantor" aku mendapatkan anggukan dari mang Ujang.Gegasku lari menuju m
Aku mengganti bajuku dengan cepat, tak sampai sepuluh menit aku sudah turun ke ruang tamu. Aku hanya memakai dress bunga selutut berlengan pendek dan polesan make up tipis juga liptint. "Ha hai.. mas Raka. maaf nunggu lama" tiba tiba aku grogi berhadapan dengan mas Raka. "Hai Rain, kamu sibuk gak? aku mau ajak jalan, boleh?" aku memandang mas Raka, kemudian sebuah pertanyaan muncul di kepalaku. "Mas Raka ngajak malam mingguan eh maksudnya jalan. Emang pacar mas Raka bolehin ?" entah pertanyaan bodoh atau polos yang aku tanyakan. "Pacar? aku gak punya pacar Rain, dan wait kenapa kamu mikir kalau aku sudah punya pacar?" panggilan 'mas' yang dulu disematkan untuk diri mas Raka saat berbicara padaku kini hilang. "Bukannya mbak Risa sama mas Raka pacaran?" aku tak salahkan jika melihat bagaimana interaksi antara Risa dan mas Raka di mall waktu itu. "Jangan bilang kamu mikir aku pacaran sama Risa karena kita pernah ketemu di
"Siapa itu tadi Rain? Mantan Kamu?" Pertanyaan yang terucap oleh Reno setelah insiden bertemu mas Raka dan Risa. Aku masih menarik tangan Reno menjauh dari area bioskop. "Rain, kita mau kemana sih ini? bentar lagi filmnya mulai loh? Telat entar kita" aku berhenti berjalan. "Dia bukan mantanku, dan aku udah gak mood buat nonton. Sekarang aku lapar, dari pada aku makan orang mending kita cari makan. entar aku ganti deh uang tiket tadi" aku masih manyun sama Reno. Aku tahu Reno tak tahu apa apa tapi aku tak bisa merubah mood ku dengan bersikap baik baik saja setelah bertemu mas Raka dan Risa. "Ya udah ayo cari makan. Mau makan apa? Buruan takut ni aku entar kamu makan juga jadiin aku sashimi" dan tawa kami berdua pun pecah. Reno memang bisa merubah suasana meski dengan kata kata receh gak jelas sekalipun. * * * * * Kami memustuskan makan di restoran Jepang gegara Reno sashimi. "Kayaknya aku pernah lihat deh cowok tadi, tapi dimana
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Air mata yaang aku tahan sejak tadi tak bisa ku bendung. Awalnya aku hanya terisak tapi rasa sakit kehilangan itu pelan menjalar ke relung hatiku. Reno membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Tangisan ini terdengar pilu mewakili perasaanku yang pilu. "Rain... nangis aja sepuasnya. Nanti ketika kita sampai, kamu gak boleh nunjukin sisi lemahmu yang ini. Karena Rainy yang aku tahu adalah gadis yang kuat" Tangisku semakin keras, kulepaskan rasa pilu yang menusuk dada. Aku menyesal tak mengucapkan kata terakhir atau pun pelukan terakhir. "Gimana ini Ren? aku belum sempat minta maaf, ngabisin waktu lebih lama bahkan aku gak sempat kasih pelukan hangat tuk terakhir kali sambil bilang betapa aku sayang banget sama Eyang. Selama ini aku yang bandel gak pernah nurut. Aku nyesel banget kenapa aku gak bisa jadi cucu yang baik" Reno semakin menenggelamkanku dalam pelukan di dadanya dengan satu tangannya dia mengelus punggungku.
Reno menepati janjinya itu. Yang mana dia akan menemui ku di sini meski dia repot sebagai mahasiswa lagi. Ternyata Reno cuti kuliah dan bukan sepertiku yang cuma menyandang gelar calon mahasiswa. Aku masih tak pernah menghubungi mas Raka, begitu pun Papa yang tak pernah memberi tahukan di mana keberadaanku. Ini bulan ketiga setelah aku di tinggal pulang oleh Reno. Seperti pagi ini dia sudah nyengir kuda saat mengunjungi ku. "Kenapa pagi pagi udah senyum gak jelas aja? Kangen akut ya sama aku?" Tanya ku sambil tersenyum yang ikut tertular dari Reno. "Ih... geer bener kamu. mana ada aku kangen ama kamu. Yang ada tu kamu yang kangen tingkat dewa sama aku" Reno membalas sambil memberikanku paper bag. "Apa ni?" Tanyaku penasaran. "Makanan dari Mami, takutnya kamu makin kurus di sini sendirian tanpa aku. Makanya sengaja aku minta Mami buatin makanan buat kamu" Aku langsung membuka isi paper bag, aroma harum masakan Tante Susan langsung m
Saat awal aku harus memeriksakan diri ke Dokter, Aku masih duduk di kelas IX. Diagnosa mengalami BPD yang aku tak paham itu apa. Semakin di perparah dengan aku yang pernah mengalami penculikan. Hingga aku menjadi PTSD.Papa dan Eyang yang tidak terlalu peduli padaku, memicu gangguan yang aku alami di usia yang belia. Belum sembuh aku dari gangguan 'Borderline', Trauma penculikan membuatku semakin parah.Hayalanku bertemu Mama, menciptakan pertemanan dengan Rara adalah 'side effect' yang aku tunjukkan. Karena takut semakin parah, Eyang membawaku ke psikiater mengobati dengan cara menghipnotis agar aku bisa melupakan semua kejadian yang pernah aku alami untuk mengurangi tindak 'aneh'ku yang lain.Yang sayangnya meski Eyang mencoba menghapus ingatanku yang menyebabkan aku trauma, semua sia sia. Membuat ingatanku tumpang tindih, aku semakin tidak bisa membedakan mana yang khayalan, ilusi, atau nyata. Dokter pernah menyarankan keluargaku untuk membawaku berobat secar