Mungkin karena aku tidur awal, pagi ini aku bangun lebih awal dari biasa. Saat netraku memandang keluar jendela langit masih gelap. Harapanku agar kembali seperti semula tak terkabul. aku masih ada disini, di tempat kemarin ku terdampar.
Aku duduk di ujung tempat tidur, pikiranku melayang entah kemana. Pertanyaan bagaimana aku kembali ke tahunku selalu terngiang di telinga. Aku tak membawa barang apapun kecuali baju yang aku pakai.
Karena rasa bosan mulai menderaku, ingin rasanya mendengarkan musik yang ada di dalam list hp ku. Yang sayangnya ternyata hp- ku hilang tak tahu sejak kapan.
Aku hanya melihat radio di atas meja belajar.Kucoba untuk menghidupkan. Ini pertama kalinya aku menghidupkan radio. Dengan modal utak atik seadanya kemudian ku cari siaran radio yang menarik menurutku. Dan aku berhenti di lagu milik NIKE ARDILA - TINGGALAH KU SENDIRI. Itu yang dikatakan penyiar radio.
Lagu ini berasa mewakili aku banget. Ku dengarkan sambil ku pejamkan mata coba meresapi liriknya. kalau di lagu itu Nike Ardila hilang arah karena putus cinta, kalau aku tersesat disini di masa lalu dimana aku belum eksis bahkan orang tua ku masih pacaran.
Pikiranku menerawang, Seandainya hari itu aku mendengarkan kata Eyang untuk pergi sekolah tanpa bantahan mungkin tidak akan ada cerita aku disini.
Aku merapal do'a 'Tuhan jika aku bisa kembali ke masaku, aku akan menurut semu kata-kata Eyang. Aku akan ikut semua les dan kegiatan ekstrakulikuler yang Eyang suruh.... Aamiin.
Semoga do'aku cepat terkabul. walau aku tak yakin apa ada orang yang peduli jika aku menghilang sesaat ataupun untuk selamanya
Jujur aku bukan orang yang peduli sekitar. Aku bukan sombong atau tukang bully di sekolah. Aku hanya tidak suka dalam kerumunan, pusat perhatian dan segala hal ribet. Aku terlalu cuek untuk sekitar. Aku hanya fokus pada hal yang menarik menurutku.
Aku memilih menyendiri saat jam istirahat atau hanya pura-pura tidur di kelas untuk menghindari ajakan bergosip atau bersosialisasi membentuk geng / kelompok. Aku hanaya akan mengangguk pada teman yang menyapa.
Tapi semua cerita berubah saat Rara jadi tetanggaku. Kita berbeda sekolah tapi bukan berarti kita tak dekat atau buat kekacauan. Seperti saat aku bolos dengan cara memanjat tembok belakang sekolah atau ketika kita coba untuk merokok pertama kalinya yang berakhir dengan terbatuk-batuk sampai mata berair karena asap.
Eyang sering mengurus kantor warisan dari Eyang kakung. Sejak aku punya ingatan aku hanya diurus oleh bu Endah. Tapi bu Endah sudah tidak bekerja lagi saat usiaku 15 tahun. Anak-anak bu Endah ingin mengajaknya tinggal bersama dan tidak boleh bekerja lagi karena faktor usia.
Dan sejak itu tidak ada orang yang benar-benar bisa mengawasiku. Mungkin karena usia labil atau ingin diperhatikan. Setiap saat aku selalu membuat ulah. jika ditanya kenapa aku melakukannya. dari hati aku hanya ingin keluargaku perhatian karena aku kesepian.
Rara anak yang baik tapi aku selalu saja bisa membuat dia ikut dalam setiap rencana yang aku buat. We are friend in crime.
Kadang aku merasa bersalah dengannya. Orang berpikir sejak berteman dengan Rara aku berubah, Tapi sebenarnya akulah yang berubah. Bukan berubah hanya saja jiwa pemberontakku muncul dan lebih dominan saat bertambah usia. bahasa gaulnya 'labil'.
Papa sibuk dengan perusahaanya. Usaha yang ia rintis sejak menikahi Mama berkembang pesat setiap tahun. Dan punya cabang di beberapa kota. Papa tidak menikah lagi, entahlah aku juga tak tahu. Karena aku tak pernah dekat dengannya. Aku hanya bertemu mungkin satu atau dua kali dalam setahun karena Papa memilih tinggal di kota berbeda, itu yang sering di jadikan alasan 'jauh'.
Aku sering berpikir andai Mama masih hidup, apa keluarga ku seperti ini? Apa aku punya keluarga yang harmonis seperti orang lain?
Saat kecil aku aku sering iri dengan teman-teman yang selalu di jemput orang tuanya, sedangkan aku... Papa hanya peduli dengan perusahaan dan Eyang hanya datang saat pertama aku masuk sekolah atau penerimaan raport.
Mungkin aku terlihat mengenaskan walau semua materi tercukupi tapi aku miskin kasih sayang. Aku tidak suka berteman, mereka hanya pura-pura baik. Aku ingat saat duduk di sekolah dasar, ada wali murid yang terang-terangan bilang "Kasiha ya si Rainny, anak broken home kurang kasih sayang. diantar jemput cuma sama mbak-mbak yang jaga dia bahkan gak ada yang tahu dia punya keluarga atau tidak".
Aku sering menangis di dalam kamar karena kata-kata gak jelas dari ibu-ibu komplek atau wali murid. Makanya aku malas untuk berteman, Mereka kadang ikut meledekku karena tak punya orang tua. Ingin aku menjawab tapi tak tahu bagaimana caranya. Kadang aku heran dengan orang tua seperti mereka, memberi contoh yng tak baik pada anak.
Dengan melakukan kegiatan yang aku suka setidaknya sedikit mengobati rasa sedihku. Sejak kelas VII aku diam-diam mengikuti kegiatan taekwondo. Saat aku ketahuan Eyang melarangku belajar ilmu bela diri dari korea selatan tersebut. Eyang bilang itu bukan kegiatan untuk perempuan, bukankah kita harus bisa melindungi diri sendiri?
Eyang selalu menyuruhku untuk mengikuti kegiatan seperti olimpiade matematika, belajar bahasa asing dan jika aku bilang lebih suka kegiatan menggerakkan tubuh, Eyang pasti menyuruhku untuk ikut balet. Keinginanku selalu bertentangan dengan keinginan Eyang. Termasuk instrument yang harus aku pelajari. Seakan aku wayang yang semua gerakanku dilakukan oleh dalang. Dan si dalangnya tentu saja Eyangku sendiri.
Bahuku terasa disentuh, Mama memanggil namaku "Sunny... Sunny bangun ayo sarapan".
Ku buka mata cepat ku hapus air yang mengalir di pipiku. "Hi, udah kesini aja pagi-pagi. Emang di bolehin sama Mamanya mbak?"
"Aku ada kegiatan di kampus. Ini aku bawa sarapan , ada roti selai coklat sama nasi bungkus. Maaf ya cuma itu aja". aku menggeleng "Aku sarapan roti selai coklat doang udah cukup kok. Lagian gak biasa sarapan nasi kalau pagi. Ntar nasinya aku makan buat siang aja" Ku tambahkan senyumanku sambil menghadap ke Mama.
"Makasih banyak ya... gak tau gimana kalau aku disini gak ada yang nolongin"
"Jangan bicara seperti itu, siapapun pasti saling tolong menolong. Bukan karena kamu ataupun aku. Jadi tidak perlu merasa terbebani".
Aku benar-benar bersyukur karena terdampar disini. Sehingga bisa bertemu Mama yang baik banget.
"Dari pada kamu nganggur tidak jelas mending ikut aku ke kampus yuk" dengan mata berbinar aku langsung mengagguk "Bolehkah? Apa tidak merepotkan?"
"Asal kamu tidak nangis atau ngambek aja di kampus" Sambil tertawa Mama menggodaku. "Ntar tinggal kasih permen ama balon aja. Pasti langsung diam" kita tertawa bersama.
~ ~ ~
Karena aku tak punya baju ganti, Mama memberikan aku baju. Aku memakai topi agar tak terlalu terekspos wajahku. Entah apa yang terjadi jika aku bertemu Papa dan pasti ingat wajah anaknya, jika ia masih merasa aku anak yang perlu untuk diingat.
Aku memasuki area kampus Mama, ku lihat sekeliling. Salah satu kampus favorit di kota ini. Mungkin aku akan coba mendaftar disini saat aku lulus beberapa bulan lagi. Tapi saat itu apa aku sudah kembali ke tahun 2015?
"Huft..." Ku hembuskan nafas yang terasa sangat berat.
"Ada apa?" Mama bertanya seakan heran denganku.
"Tahun depan harusnya aku masuk kuliah. Tapi dengan keadaan kayak gini, gak tahu juga bisa atau enggak"
"Jangan begitu, siapa tahu nanti Sunny bisa kembali sebelum tahun ajaran baru"
"semoga saja" dengan nada skeptis ku jawab. Antara yakindan tak yakin. Tapi mau bagaimana lagi, semua yang bisa ku lakukan hanya pasrah. Entahlah, merasa bukan aku. Aku yang selalu keras kepala dengan keputusan dan tindakan yang ku lakukan selama ini.
~ ~ ~
Sudah hampir 3 jam aku disini. Duduk di salah satu bangku kantin. Mungkin karena hari ini minggu jadi kantin sepi. kulihat dari kejauhan Mama melambai padaku. Ku balas lambainnya, tapi kini fokusku teralihkan pada orang yang berada di samping Mama. Dari gesture tubuhnya aku tebak itu Papa .....
Monday morning,Aku bersiap ke kampus, Papa menawariku untuk berangkat bersama. Tapi ku tolak karena tahu Papa ada meeting pagi ini, tadi om bagas menelepon saat kami sarapan. Client dari luar negeri sudah datang, jadi Papa datang menyambut dan di lanjutkan dengan kerja sama.Aku tak punya bodyguard untuk menjaga dua puluh empat jam lagi. Jadilah aku pergi di antar sopir yang bekerja cukup lama di keluargaku, namanya mang Ujang."Udah siap, non?" Tanya mang Ujang padaku. "Sudah, mang" jawabku dengan senyuman. Aku berjalan masuk ke dalam mobil, terdengar klakson mobil begitu familiar di telingaku."Mas Raka..." gumamku. Sepagi ini mas Raka sudah datang ke rumahku. Pikirku mungkin ada janji dengan Papa, karena pagi tadi buru buru jadi lupa memberi tahu mas Raka kalau Papa sudah ke kantor."Bentar mang, Rain kasih tahu mas Raka dulu kalau Papa sudah berangkat ke kantor" aku mendapatkan anggukan dari mang Ujang.Gegasku lari menuju m
Aku mengganti bajuku dengan cepat, tak sampai sepuluh menit aku sudah turun ke ruang tamu. Aku hanya memakai dress bunga selutut berlengan pendek dan polesan make up tipis juga liptint. "Ha hai.. mas Raka. maaf nunggu lama" tiba tiba aku grogi berhadapan dengan mas Raka. "Hai Rain, kamu sibuk gak? aku mau ajak jalan, boleh?" aku memandang mas Raka, kemudian sebuah pertanyaan muncul di kepalaku. "Mas Raka ngajak malam mingguan eh maksudnya jalan. Emang pacar mas Raka bolehin ?" entah pertanyaan bodoh atau polos yang aku tanyakan. "Pacar? aku gak punya pacar Rain, dan wait kenapa kamu mikir kalau aku sudah punya pacar?" panggilan 'mas' yang dulu disematkan untuk diri mas Raka saat berbicara padaku kini hilang. "Bukannya mbak Risa sama mas Raka pacaran?" aku tak salahkan jika melihat bagaimana interaksi antara Risa dan mas Raka di mall waktu itu. "Jangan bilang kamu mikir aku pacaran sama Risa karena kita pernah ketemu di
"Siapa itu tadi Rain? Mantan Kamu?" Pertanyaan yang terucap oleh Reno setelah insiden bertemu mas Raka dan Risa. Aku masih menarik tangan Reno menjauh dari area bioskop. "Rain, kita mau kemana sih ini? bentar lagi filmnya mulai loh? Telat entar kita" aku berhenti berjalan. "Dia bukan mantanku, dan aku udah gak mood buat nonton. Sekarang aku lapar, dari pada aku makan orang mending kita cari makan. entar aku ganti deh uang tiket tadi" aku masih manyun sama Reno. Aku tahu Reno tak tahu apa apa tapi aku tak bisa merubah mood ku dengan bersikap baik baik saja setelah bertemu mas Raka dan Risa. "Ya udah ayo cari makan. Mau makan apa? Buruan takut ni aku entar kamu makan juga jadiin aku sashimi" dan tawa kami berdua pun pecah. Reno memang bisa merubah suasana meski dengan kata kata receh gak jelas sekalipun. * * * * * Kami memustuskan makan di restoran Jepang gegara Reno sashimi. "Kayaknya aku pernah lihat deh cowok tadi, tapi dimana
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Air mata yaang aku tahan sejak tadi tak bisa ku bendung. Awalnya aku hanya terisak tapi rasa sakit kehilangan itu pelan menjalar ke relung hatiku. Reno membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Tangisan ini terdengar pilu mewakili perasaanku yang pilu. "Rain... nangis aja sepuasnya. Nanti ketika kita sampai, kamu gak boleh nunjukin sisi lemahmu yang ini. Karena Rainy yang aku tahu adalah gadis yang kuat" Tangisku semakin keras, kulepaskan rasa pilu yang menusuk dada. Aku menyesal tak mengucapkan kata terakhir atau pun pelukan terakhir. "Gimana ini Ren? aku belum sempat minta maaf, ngabisin waktu lebih lama bahkan aku gak sempat kasih pelukan hangat tuk terakhir kali sambil bilang betapa aku sayang banget sama Eyang. Selama ini aku yang bandel gak pernah nurut. Aku nyesel banget kenapa aku gak bisa jadi cucu yang baik" Reno semakin menenggelamkanku dalam pelukan di dadanya dengan satu tangannya dia mengelus punggungku.
Reno menepati janjinya itu. Yang mana dia akan menemui ku di sini meski dia repot sebagai mahasiswa lagi. Ternyata Reno cuti kuliah dan bukan sepertiku yang cuma menyandang gelar calon mahasiswa. Aku masih tak pernah menghubungi mas Raka, begitu pun Papa yang tak pernah memberi tahukan di mana keberadaanku. Ini bulan ketiga setelah aku di tinggal pulang oleh Reno. Seperti pagi ini dia sudah nyengir kuda saat mengunjungi ku. "Kenapa pagi pagi udah senyum gak jelas aja? Kangen akut ya sama aku?" Tanya ku sambil tersenyum yang ikut tertular dari Reno. "Ih... geer bener kamu. mana ada aku kangen ama kamu. Yang ada tu kamu yang kangen tingkat dewa sama aku" Reno membalas sambil memberikanku paper bag. "Apa ni?" Tanyaku penasaran. "Makanan dari Mami, takutnya kamu makin kurus di sini sendirian tanpa aku. Makanya sengaja aku minta Mami buatin makanan buat kamu" Aku langsung membuka isi paper bag, aroma harum masakan Tante Susan langsung m
Saat awal aku harus memeriksakan diri ke Dokter, Aku masih duduk di kelas IX. Diagnosa mengalami BPD yang aku tak paham itu apa. Semakin di perparah dengan aku yang pernah mengalami penculikan. Hingga aku menjadi PTSD.Papa dan Eyang yang tidak terlalu peduli padaku, memicu gangguan yang aku alami di usia yang belia. Belum sembuh aku dari gangguan 'Borderline', Trauma penculikan membuatku semakin parah.Hayalanku bertemu Mama, menciptakan pertemanan dengan Rara adalah 'side effect' yang aku tunjukkan. Karena takut semakin parah, Eyang membawaku ke psikiater mengobati dengan cara menghipnotis agar aku bisa melupakan semua kejadian yang pernah aku alami untuk mengurangi tindak 'aneh'ku yang lain.Yang sayangnya meski Eyang mencoba menghapus ingatanku yang menyebabkan aku trauma, semua sia sia. Membuat ingatanku tumpang tindih, aku semakin tidak bisa membedakan mana yang khayalan, ilusi, atau nyata. Dokter pernah menyarankan keluargaku untuk membawaku berobat secar