Share

SUSUK JAIPONG
SUSUK JAIPONG
Penulis: Nyi Mas Ratu Intan

BAB 1

Bubuy bulan.......

Bubuy bulan sangrai bentang

Panon poe, panon poe oge hade.....

Lirik lagu: Bubuy Bulan

“Cahyati....Cahyati Assalamualaikum.”

(Cahyati...Cahyati Assalamualaikum).

“Waalaikum salam.”

(Waalaikum salam).

"Cahyati hayu ka sakola, isuk-isuk geus nyanyi bae Sia teh."

(Cahyati Ayo ke Sekolah, pagi-pagi sudah nyanyi saja Kamu itu).

"Sakedap tungguan Lestari, urang nyandak tas heula nya."

(Sebentar tunggu Lestari, Saya ambil tas dulu ya).

“Yak, geuwat candak urang tungguan di buruan yak.”

(Ya, cepat ambil saya tunggu di halaman ya).

Dari kecil aku dan Cahyati sudah bersama-sama, rumahku hanya berjarak lima rumah saja ke rumah Cahyati. Dia sahabatku sejak kami kecil dulu. Di kampung kami, masih terbilang kondisinya sangat sepi, rumah-rumah panggung yang kami miliki  masih berjarak sangat berjauhan dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Kami sering bermain bersama, bernyanyi bersama, ke sekolah dan ke madrasah yang sama.

Sedangkan kegiatan bapak dan ibu kami hanya bertani setiap harinya, kalau tidak ke sawah ya kami akan berkebun ke ladang. Tidak seru kalau pulang ke rumah sore hari dan kami masih belum main kotor-kotoran di sawah atau di kali tempat bapak menyawah.

Kami sangat suka mencari tutut (keong) di sawah, mencari belut, mencari kerang di kali atau pun sekedar mencari sayur genjer dan kangkung yang banyak terdapat di pinggir sawah. Lumayan untuk kami jadikan lauk saat makan sehari-hari, begitu halnya sore nanti. Seperti biasanya, kami pun berusaha mencari itu semua di sawah. Hari ini tutut (keong sawah) yang kami peroleh sangat banyak, cukuplah untuk kami bagi bersama dua keluarga. Keluargaku dan keluarga Cahyati.

Kami bergegas pulang untuk memasak menu sop kuning tutut (keong sawah) saja di dapur emak, setelah matang aku pun mengambil rantang untuk aku dan Cahyati.

Adik-adik kami masih kecil-kecil kini. Mereka sangat senang jika kami masakan tutut bumbu kuning, selain rasanya lebih gurih rasanya yang segar tentu sangat pas sekali jika di campur dengan nasi yang hangat. Seperti hal nya dengan sore ini, mereka sudah berjejer menunggu aku menyiapkan makanan bagi mereka. Sedangkan Emak lagi memasak nasi di tungku yang berbeda dariku. Sebakul nasi hangat yang mereka tunggu-tunggu matangnya sejak tadi. Perutku juga sama, sudah sangat terasa lapar.

Sebulan lagi, kami tamat dari Sekolah Menengah Pertama, tampaknya tak mungkin aku dan Cahyati melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Atas, karena sekolahannya sangat jauh dan hanya ada di Karawang Kota, sedang kami hanya di pelosok desa, kami tidak ada kendaraan dan uang untuk pergi berangkat ke sekolah.

Besar kemungkinan kami harus terpaksa berhenti sekolah dan cukup hanya tamat Sekolah Menengah Pertama saja. Biarlah kelak, adik-adikku yang sekolah tinggi lebih dari aku, aku harus kasihan dengan keadaan abah sama emak kalau harus memaksa mereka berhutang ke mana-mana untuk aku melanjutkan sekolah.

Sudah cukuplah aku dapat membaca, menulis, berhitung dan mengaji, yang terpenting aku tidak buta aksara. Bagiku itu sudah lebih dari cukup, walau sebenarnya di hati kecilku masih ingin bisa melanjutkan sekolah kembali, masih ingin belajar dan memiliki mimpi untuk menjadi seorang guru atau apa pun yang lebih baik tentunya. Seperti mereka yang hidup di kota besar dan mampu.

Bukankah hampir semua anak di kampung ini bernasib sama seperti kami? Bahkan banyak di antara mereka, yang hanya Sekolah Dasar terus memutuskan untuk hidup berumah tangga di usia yang masih bocah.

Semoga saja abah dan emak tidak menjodohkan aku seperti mereka. Jujur aku tak akan siap jika bernasib tragis seperti itu, berumah tangga dalam usia terlalu muda belia. Apa yang bisa di lakukan kelak jika terjadi masalah dalam rumah tangga, pasti akan rentan perpisahan.

Aku pun terus melamun malam ini, sungguh aku masih ingin sekolah agar dapat bekerja dan mendapatkan nasib yang lebih baik dari abah dan emak saat ini. Sungguh sayang nasibku kalau hanya menjadi seorang istri atau buruh tanam padi saja di sawah. Dan aku sudah bosan tidur tanpa alas kasur begini, cuaca dingin, badan pegal, berjajar bagai ikan pindang dengan ke empat adik-adikku yang masih kecil. Sungguh keluarga sederhana yang jauh dari kata cukup, tetapi  dengan terpaksa kami jalani hidup yang penuh dengan kekurangan ini. Aku bukan mengeluh kepada takdir Tuhan, tapi masih boleh kan jika aku berharap untuk menjadi yang terbaik di masa depan?

***

Beberapa hari berselang.

Hari ini aku mengambil rapor dan surat kelulusan di sekolah bersama Cahyati, nilai kami lumayan bagus tapi tidak mungkin aku lanjutkan sekolah seperti yang aku katakan. Melanjutkan Sekolah ke SMA, ya ampun semua itu hanya mimpi bagi kami.

"Lestari kumaha ari maneh teh, hayoh we ngalamun."

(Lestari bagaimana sih Kamu, kenapa melamun terus).

"Urang teh hayang sakola, kumaha nyak ngomong na ka Emak sareng Abah."

(Saya ingin sekolah, bagaimana ya ngomongnya kepada Emak dan Abah).

"Sadar diri atuh Sia teh jeung Urang teh saha, ngan anak kuli sawah."

(Sadar diri dong Kamu dan Saya itu siapa, hanya anak dari kuli sawah).

“Heeh, hayu ah lieur ngabandungan maneh mah mendingan hayu urang balik, terus sare di imah.”

(Iya, ayo ah pusing mendengarkan kamu mending juga ayo kita pulang, terus tidur saja di rumah).

Aku pun pulang dari sekolah jalan kaki hari ini sangat malas sekali sungguh hilang semangat tidak seperti hari-hari sebelumnya. Apa lagi jika mengingat besok kami sudah tidak sekolah lagi. Paling-paling nasibku hanya membantu emak masak di dapur. Aku harus bilang sama emak dan abah, mereka harus usahakan aku sekolah ke Kota. Aku harus berani berbicara apa yang aku mau, setidaknya aku telah mengutarakan apa keinginanku sebagai anak yang masih ingin lanjut sekolah. Semoga saja ada keajaiban untukku.

***

Setelah sore hari abah dan emak pun sudah tampak senggang, mereka sudah tidak berkeluh keringat dan lelah pulang dari sawah. Aku simpan air teh abah yang hangat di atas bale-bale. Dan juga singkong bakar yang aku siapkan sebagai camilannya.

"Abah, Neng hoyong neraskeun sakola ka SMA."

(Abah, Neng ingin melanjutkan sekolah ke SMA).

"Neng, sanes Abah teu hoyong nyakolakeun, tapi atuh kumaha Abah teu kuat ngabiayaan Neng".

(Neng, bukan Abah tidak ingin menyekolahkan, tapi bagaimana Abah tidak kuat membiayainya Neng).

“Tapi Abah, Neng hoyong sakola.”

(Tapi Abah, Neng pingin sekolah).

Dengan lemas aku pun berjalan ke depan teras rumah, tidak dapat bicara banyak apa-apa ke abah. Jangan kan mau sekolah lagi, mau makan sehari-sehari saja kami sering kekurangan.

Rumah kami yang terletak di ujung kampung, sarana prasarana yang masih belum lengkap sama sekali. Bahkan listrik dan angkutan kota saja belum masuk kesini.

Si Yayah, Kokom dan Wahyuni bahkan sehabis lebaran besok mau pada di kawinkan. Untung abah masih tidak sekolot orang tua mereka. Apa yang harus aku lakukan ya Allah? aku ingin merubah hidup ke kota, mungkin merantau begitu seperti mereka, mungkin menjadi pembantu atau pengurus anak atau pekerjaan apa saja yang penting pekerjaan itu halal, dan aku bisa sekolah lagi nanti. Mereka bilang cari duit di kota gampang. Aku harus merubah nasibku ini, kalau aku bisa kerja dan dapat uang banyak Asep, Jaja, Suci dan Ningsih tidak akan alami nasib seperti aku. Mereka harus lebih baik dariku.

“Mak amun Neng Teu tiasa sakola, Neng bade ka kota Mak?”

(Mak, kalau Neng tidak bisa sekolah, Neng mau ke Kota Mak).

“Maneh teuh aya-aya Wae, tos cicing di imah, bantu emak heula ngurusan adi-adi maneh Neng.”

(Kamu itu ada-ada saja, sudah diam di rumah, bantu emak dulu mengurud adik-adik kamu Neng).

Sekolah enggak boleh karena tidak ada biaya, pergi merantau ke kota juga tidak boleh karena khawatir, "Ya Allah, Mak, Abah, Neng harus bagaimana lagi? Masa nasib Neng seperti ini?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Puji Hastuti
lanjut baca...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status