Bubuy bulan.......
Bubuy bulan sangrai bentang
Panon poe, panon poe oge hade.....
Lirik lagu: Bubuy Bulan
“Cahyati....Cahyati Assalamualaikum.”
(Cahyati...Cahyati Assalamualaikum).
“Waalaikum salam.”
(Waalaikum salam).
"Cahyati hayu ka sakola, isuk-isuk geus nyanyi bae Sia teh."
(Cahyati Ayo ke Sekolah, pagi-pagi sudah nyanyi saja Kamu itu).
"Sakedap tungguan Lestari, urang nyandak tas heula nya."
(Sebentar tunggu Lestari, Saya ambil tas dulu ya).
“Yak, geuwat candak urang tungguan di buruan yak.”
(Ya, cepat ambil saya tunggu di halaman ya).
Dari kecil aku dan Cahyati sudah bersama-sama, rumahku hanya berjarak lima rumah saja ke rumah Cahyati. Dia sahabatku sejak kami kecil dulu. Di kampung kami, masih terbilang kondisinya sangat sepi, rumah-rumah panggung yang kami miliki masih berjarak sangat berjauhan dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Kami sering bermain bersama, bernyanyi bersama, ke sekolah dan ke madrasah yang sama.
Sedangkan kegiatan bapak dan ibu kami hanya bertani setiap harinya, kalau tidak ke sawah ya kami akan berkebun ke ladang. Tidak seru kalau pulang ke rumah sore hari dan kami masih belum main kotor-kotoran di sawah atau di kali tempat bapak menyawah.
Kami sangat suka mencari tutut (keong) di sawah, mencari belut, mencari kerang di kali atau pun sekedar mencari sayur genjer dan kangkung yang banyak terdapat di pinggir sawah. Lumayan untuk kami jadikan lauk saat makan sehari-hari, begitu halnya sore nanti. Seperti biasanya, kami pun berusaha mencari itu semua di sawah. Hari ini tutut (keong sawah) yang kami peroleh sangat banyak, cukuplah untuk kami bagi bersama dua keluarga. Keluargaku dan keluarga Cahyati.
Kami bergegas pulang untuk memasak menu sop kuning tutut (keong sawah) saja di dapur emak, setelah matang aku pun mengambil rantang untuk aku dan Cahyati.
Adik-adik kami masih kecil-kecil kini. Mereka sangat senang jika kami masakan tutut bumbu kuning, selain rasanya lebih gurih rasanya yang segar tentu sangat pas sekali jika di campur dengan nasi yang hangat. Seperti hal nya dengan sore ini, mereka sudah berjejer menunggu aku menyiapkan makanan bagi mereka. Sedangkan Emak lagi memasak nasi di tungku yang berbeda dariku. Sebakul nasi hangat yang mereka tunggu-tunggu matangnya sejak tadi. Perutku juga sama, sudah sangat terasa lapar.
Sebulan lagi, kami tamat dari Sekolah Menengah Pertama, tampaknya tak mungkin aku dan Cahyati melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Atas, karena sekolahannya sangat jauh dan hanya ada di Karawang Kota, sedang kami hanya di pelosok desa, kami tidak ada kendaraan dan uang untuk pergi berangkat ke sekolah.
Besar kemungkinan kami harus terpaksa berhenti sekolah dan cukup hanya tamat Sekolah Menengah Pertama saja. Biarlah kelak, adik-adikku yang sekolah tinggi lebih dari aku, aku harus kasihan dengan keadaan abah sama emak kalau harus memaksa mereka berhutang ke mana-mana untuk aku melanjutkan sekolah.
Sudah cukuplah aku dapat membaca, menulis, berhitung dan mengaji, yang terpenting aku tidak buta aksara. Bagiku itu sudah lebih dari cukup, walau sebenarnya di hati kecilku masih ingin bisa melanjutkan sekolah kembali, masih ingin belajar dan memiliki mimpi untuk menjadi seorang guru atau apa pun yang lebih baik tentunya. Seperti mereka yang hidup di kota besar dan mampu.
Bukankah hampir semua anak di kampung ini bernasib sama seperti kami? Bahkan banyak di antara mereka, yang hanya Sekolah Dasar terus memutuskan untuk hidup berumah tangga di usia yang masih bocah.
Semoga saja abah dan emak tidak menjodohkan aku seperti mereka. Jujur aku tak akan siap jika bernasib tragis seperti itu, berumah tangga dalam usia terlalu muda belia. Apa yang bisa di lakukan kelak jika terjadi masalah dalam rumah tangga, pasti akan rentan perpisahan.
Aku pun terus melamun malam ini, sungguh aku masih ingin sekolah agar dapat bekerja dan mendapatkan nasib yang lebih baik dari abah dan emak saat ini. Sungguh sayang nasibku kalau hanya menjadi seorang istri atau buruh tanam padi saja di sawah. Dan aku sudah bosan tidur tanpa alas kasur begini, cuaca dingin, badan pegal, berjajar bagai ikan pindang dengan ke empat adik-adikku yang masih kecil. Sungguh keluarga sederhana yang jauh dari kata cukup, tetapi dengan terpaksa kami jalani hidup yang penuh dengan kekurangan ini. Aku bukan mengeluh kepada takdir Tuhan, tapi masih boleh kan jika aku berharap untuk menjadi yang terbaik di masa depan?
***
Beberapa hari berselang.
Hari ini aku mengambil rapor dan surat kelulusan di sekolah bersama Cahyati, nilai kami lumayan bagus tapi tidak mungkin aku lanjutkan sekolah seperti yang aku katakan. Melanjutkan Sekolah ke SMA, ya ampun semua itu hanya mimpi bagi kami.
"Lestari kumaha ari maneh teh, hayoh we ngalamun."
(Lestari bagaimana sih Kamu, kenapa melamun terus).
"Urang teh hayang sakola, kumaha nyak ngomong na ka Emak sareng Abah."
(Saya ingin sekolah, bagaimana ya ngomongnya kepada Emak dan Abah).
"Sadar diri atuh Sia teh jeung Urang teh saha, ngan anak kuli sawah."
(Sadar diri dong Kamu dan Saya itu siapa, hanya anak dari kuli sawah).
“Heeh, hayu ah lieur ngabandungan maneh mah mendingan hayu urang balik, terus sare di imah.”
(Iya, ayo ah pusing mendengarkan kamu mending juga ayo kita pulang, terus tidur saja di rumah).
Aku pun pulang dari sekolah jalan kaki hari ini sangat malas sekali sungguh hilang semangat tidak seperti hari-hari sebelumnya. Apa lagi jika mengingat besok kami sudah tidak sekolah lagi. Paling-paling nasibku hanya membantu emak masak di dapur. Aku harus bilang sama emak dan abah, mereka harus usahakan aku sekolah ke Kota. Aku harus berani berbicara apa yang aku mau, setidaknya aku telah mengutarakan apa keinginanku sebagai anak yang masih ingin lanjut sekolah. Semoga saja ada keajaiban untukku.
***
Setelah sore hari abah dan emak pun sudah tampak senggang, mereka sudah tidak berkeluh keringat dan lelah pulang dari sawah. Aku simpan air teh abah yang hangat di atas bale-bale. Dan juga singkong bakar yang aku siapkan sebagai camilannya.
"Abah, Neng hoyong neraskeun sakola ka SMA."
(Abah, Neng ingin melanjutkan sekolah ke SMA).
"Neng, sanes Abah teu hoyong nyakolakeun, tapi atuh kumaha Abah teu kuat ngabiayaan Neng".
(Neng, bukan Abah tidak ingin menyekolahkan, tapi bagaimana Abah tidak kuat membiayainya Neng).
“Tapi Abah, Neng hoyong sakola.”
(Tapi Abah, Neng pingin sekolah).
Dengan lemas aku pun berjalan ke depan teras rumah, tidak dapat bicara banyak apa-apa ke abah. Jangan kan mau sekolah lagi, mau makan sehari-sehari saja kami sering kekurangan.
Rumah kami yang terletak di ujung kampung, sarana prasarana yang masih belum lengkap sama sekali. Bahkan listrik dan angkutan kota saja belum masuk kesini.
Si Yayah, Kokom dan Wahyuni bahkan sehabis lebaran besok mau pada di kawinkan. Untung abah masih tidak sekolot orang tua mereka. Apa yang harus aku lakukan ya Allah? aku ingin merubah hidup ke kota, mungkin merantau begitu seperti mereka, mungkin menjadi pembantu atau pengurus anak atau pekerjaan apa saja yang penting pekerjaan itu halal, dan aku bisa sekolah lagi nanti. Mereka bilang cari duit di kota gampang. Aku harus merubah nasibku ini, kalau aku bisa kerja dan dapat uang banyak Asep, Jaja, Suci dan Ningsih tidak akan alami nasib seperti aku. Mereka harus lebih baik dariku.
“Mak amun Neng Teu tiasa sakola, Neng bade ka kota Mak?”
(Mak, kalau Neng tidak bisa sekolah, Neng mau ke Kota Mak).
“Maneh teuh aya-aya Wae, tos cicing di imah, bantu emak heula ngurusan adi-adi maneh Neng.”
(Kamu itu ada-ada saja, sudah diam di rumah, bantu emak dulu mengurud adik-adik kamu Neng).
Sekolah enggak boleh karena tidak ada biaya, pergi merantau ke kota juga tidak boleh karena khawatir, "Ya Allah, Mak, Abah, Neng harus bagaimana lagi? Masa nasib Neng seperti ini?"
Sudah tiga bulan lamanya ini aku menganggur di rumah, kegiatanku pagi hari hanya membantu emak beres-beres rumah, siang hanya menemani adik saja di rumah, sore bantu abah ke sawah sambil mencari rumput untuk pakan ternak. Atau bermain bersama Cahyati setiap harinya. Benar- benar tidak ada kegiatan dan pemasukan. Aku sedang menikmati pekerjaan sebagai seorang pengangguran baru.Yang tak memiliki pekerjaan pasti. "Lestari, baca geura iyeh." (Lestari, baca dong ini) "Naon Eta?" (Apa itu) "Aya sanggar jaipong anyar, keur neangan penari-penari anyar, Urang nyobaan hayuk." (Ada sanggar jaipongan baru, sedang mencari penari-penari baru, Kita coba yuk) "Aya duitan heunte?" (Ada duitnya tidak) "Nyak ayak atuh Siateh, lamun mentas lumayan Urang meunang duit jajan." (Ya ada dong Kamu itu, kalau pentas lumayan Kita dapat uang jajan.) "Di mana jauh heunteu?" (Di mana jauh tidak) "Lumaya
Setiap hari kami berlatih jaipong dengan giat, Mak Lastri pun sangat bangga dengan kemajuan kami dari hari ke hari. Mak Lastri bilang bulan ini kami sudah layak untuk tampil sebagai penaripemula di panggung. Mak Lastri mengukur baju kebaya untuk kami pergunakan, dan oleh Mak Lastri kami akan di buatkan beberapa setel pakaian kebaya untuk menari. Mak Lastri memesankan dengan beragam warna dan model kepada penjahit langganannya, namanya Ceu Encum. Di kampungku Ceu Encum terkenal sangat piawai menjahit pakaian, khususnya pakaian kebaya untuk segala acara dan umur. Dan dengan hati-hati Ceuk Encim mengukur badan kami satu- persatu untuk membuat pola kebaya. Sungguh terharu mendengarnya akhirnya tak lama lagi aku dan Cahyati sudah dapat mencari penghasilan sendiri, walaupun itu dari karya dan berkesenian tari jaipong saja. Rata-rata yang menjadi seorang penari di sini berlatar belakang dari keluarga yang tidak mampu, ya seperti kami yang bergantung kehidupan dan ek
Abah telah pulang dari mencari kayu bakar, abah membawa ubi dan singkong pasti karena habis panen dari kebun. Aku pun segera menghampirinya. Aku ambil ubi dan singkong yang abah bawa di dalam bakul. Alhamdulillah masih ada makanan yang dapat kami olah siang hari ini. Aku pun merebus ubi untuk adik-adikku, sebentar lagi mereka pulang dari sekolah. Ubi rebus dan teh hangat bisa menghangatkan dan mengganjal perut kami siang ini. Keadaan yang selalu sama yang sering kami alami dari hari ke hari. Aku pun mempersiapkan peralatanku untuk menari, satu setel kebaya berwarna merah yang sama dengan Cahyati, kain, korset, konde, dan peralatan make-up pemberian mak Lastri. Tak lupa aku cek sepeda, ternyata bannya sedikit kempes. Dan aku bergegas memperbaikinya di halaman rumah bersama abah. Agar tetap dapat aku pergunakan. "Lestari....., ayo kita siap-siap.""Iya, saya tinggal mandi dulu, kita kan harus berkumpul di rumah Teh Arum.""Iya biar kita di bantu untuk dandan."
Jaipongan masih menjadi primadona di kampung kami, minimal seminggu ada dua acara tanggapan terkadang di acara hajatan atau panggung-panggung hiburan malam. Penghasilan tetap aku dan Cahyati per bulan minimal delapan ratus ribu sampai dengan satu juta sebagai seorang penari pemula. Sedikit demi sedikit aku dan Cahyati bisa membantu keluarga kami. Seperti hari ini, aku dapat membawa uang 150.000 karena Pak Agus juragan kambing memberikan kami saweran 50.000 seorang. Apa lagi Teh Arum ya, pasti banyak penghasilan dari hasil sawerannya. Pantas saja pakaian, sandal, make-up dan rumahnya semakin hari semakin bagus dan selalu ada perubahan, dia juga menjadi primadona di kampung, laki-laki banyak yang mengejarnya karena cantik, tapi para perempuan-perempuan di kampungnya sebaliknya mereka iri dan selalu menghina Teh Arum dan kawan-kawannya, kemungkinan esok-esok bisa aku dan Cahyati. Dan aku rasa teh Arum ada yang berbeda deh. Aku pun teringat ucapannya saat
Malam ini kami pun pentas kembali, ada acara pernikahan anaknya pak Camat di desa Suka Warna, seperti apa yang menjadi tantangan teh Arum, selain menjadi penari pembukaan acara resepsi kami pun ikut melengser. Melengser istilah tarian malam hari, yang identik dengan duit saweran dan tarian selendang yang sedikit menggoda kaum laki-laki. Kami turut duduk di antrean penari senior. Kami pun siap berlempar selendang dan menari bersama lawan jenis. Tampak beberapa pemuda dan bapak-bapak yang mulai naik ke panggung dan memberi saweran kepada kami, benar saja Teh Sekar Arum orang pertama dan turun dari bangku penari. Dan di susul oleh penari-penari senior lainnya, aku pun terus berdecap kagum, pasti penghasilan mereka yang di dapatkan akan lebih banyak dari kami. Kami yang sering di bilang teh Arum sebagai penari pemula dan polosan. Sungguh apa yang mereka pakai ternyata ada pengaruhnya, teh Sekar Arum dan ke empat penari senior lainnya telah menari terlebih dahulu, sedang
Sudah satu bulan aku menggunakan bedak pengasih dari Ki Slamet sama dengan temanku yang lainnya. Kini penghasilan aku dan Cahyati semakin membaik, terkadang kami membawa pulang uang sampai Rp 300.000 sekali tampil. Lumayan bukan, sedikit demi sedikit aku dapat membelikan furnitur untuk Emak di rumah. Kemarin sudah terkumpul dua juta rupiah, aku membeli kasur dua set untuk kamar emak dan kamarku. Melihat adik-adik tidur dengan layak di atas kasur membuatku sangat senang. Setidaknya tentu saja mereka tidak akan merasakan sakit dan dingin seperti dulu lagi. Bedakku pun sudah hampir habis, aku harus segera pergi ke rumah Ki Slamat lagi. Kalau bisa, kali ini aku pergi kesana sendiri dan diam-diam saja, dalam hatiku terbesit pikiran andai aku bisa mendapat Mustika atau sejenisnya sebagai pemikat yang berbeda dari teman-teman biasanya. Mungkin aku bisa mendapat duit saweran lebih banyak lagi. "Cahyati, Aku mau ke rumah Ki Slamet Kamu mau ikut bareng tidak?"
Dan akhirnya aku pun pergi ke rumah ki Anom, dengan sengaja menyewa sebuah mobil beserta sopirnya. Aku bilang kepada abah dan emak ingin main ke kota mengunjungi teman lama dan mungkin menginap di sana jika tidak pulang atau terlambat pulang. Aku sengaja pergi dari rumah menjelang subuh, dan aku yakin Cahyati tak akan memergokiku, perjalanannya lumayan lama, ke Ciamis lebih dari 5 jam aku baru sampai ke dusun abah Anom. Dusun yang aku cari sudah benar, hanya saja aku harus bertanya kepada warga di mana rumah abah Anom tepatnya. “Permisi Bu.” “Iya Neng ada yang bisa ibu bantu?” “Saya mau bertanya alamat rumah Abah Anom Bu apa ibu kenal?” “Oh abah Anom? Dia rumahnya ada di atas bukit sana neng, neng lurus saja dari sini naik ke bukit, tapi tidak bisa bawa mobil neng.” “Ya, baik Bu.” Aku akan meminta pak sopir menunggu di sini, lagi pula biar saja pak sopir beristirahat dulu saja sejenak, karena aku tahu pasti beliau lelah saat dalam perj
"Neng bangun." "Iya Mak, Neng masih mengantuk ini." "Bagaimana tidak mengantuk, Kamu pulang itu hampir subuh Neng." "Masa Mak? Lestari kenapa tidak ingat ya?" "Ya Kamu sangat lusuh dan sangat terlihat lelah semalam, Mak tidak mau mengganggumu, ya sudah lekas mandi dan berganti pakaian." "Iya Mak." Ya aku pasti lupa, tapi kenapa ya sampai larut malam begini, bahkan menjelang pagi. Apakah memang kami mendapatkan banyak tanggapan dan saweran semalam. Aku pun berdiri dari kasurku, aku mengambil tas pribadiku dan aku buka, astaga duitnya banyak sekali. Aku pun hitung lembar-demi lembar uang yang ada. Totalnya ada dua puluh juta rupiah, doa gepok uang pecahan 100.000. Duit siapa ini? oh iya aku pun ingat saat aku mau naik ke panggung aku melihat ada Abah Rahmat di sana. Sungguh dia memberikan aku uang sebanyak ini dalam satu malam saja saat menari? Aku pun bergegas mandi dan mengganti pakaianku, aku ingin sarapan dahu