Sudah tiga bulan lamanya ini aku menganggur di rumah, kegiatanku pagi hari hanya membantu emak beres-beres rumah, siang hanya menemani adik saja di rumah, sore bantu abah ke sawah sambil mencari rumput untuk pakan ternak. Atau bermain bersama Cahyati setiap harinya.
Benar- benar tidak ada kegiatan dan pemasukan. Aku sedang menikmati pekerjaan sebagai seorang pengangguran baru.Yang tak memiliki pekerjaan pasti.
"Lestari, baca geura iyeh."
(Lestari, baca dong ini)
"Naon Eta?"
(Apa itu)
"Aya sanggar jaipong anyar, keur neangan penari-penari anyar, Urang nyobaan hayuk."
(Ada sanggar jaipongan baru, sedang mencari penari-penari baru, Kita coba yuk)
"Aya duitan heunte?"
(Ada duitnya tidak)
"Nyak ayak atuh Siateh, lamun mentas lumayan Urang meunang duit jajan."
(Ya ada dong Kamu itu, kalau pentas lumayan Kita dapat uang jajan.)
"Di mana jauh heunteu?"
(Di mana jauh tidak)
"Lumayan, di kampung sabeulah."
(Lumayan, di kampung sebelah)
"Hayu atuh Urang daftar isukan."
(Ayo dong, Kita daftar besok)
Ya aku harus nekat, apa pun peluang agar aku dapat penghasilan dan pekerjaan, akan aku coba dan di jalani dulu. Kata mereka sih kalau jadi seorang sinden atau penari jaipong penghasilannya lumayan apalagi sawerannya, lumayan bisa di pergunakan untuk aku jajan dan adik-adikku juga tentunya.
Hal biasa di sini untuk menjadi seorang penari jaipong, kegiatan ini memang sudah menjadi peninggalan dari leluhur kami, mungkin sejak sebelum ada penjajahan Karawang sudah terkenal akan tarian jaipongnya. Penghasilan yang telah di turunkan dari generasi ke generasi. Tapi bagi kami yang masih baru lulus Sekolah Menengah Pertama masih banyak harus di latih untuk menjadi seorang penari terampil dan profesional. Tapi jika kami mau belajar dan berusaha, tidak ada kata yang tidak mungkin, semua usaha harus di coba. Dan kami sangat berharap bisa bergabung sebagai penari di sanggar tari.
"Mak, Neng hoyong ngiring jadi penari jaipong."
(Mak, Neng mau ikutan jadi penari jaipong)
"Neng, kumaha ari Eneng, parantos nyarios ka Abah teu acan?"
(Neng, bagaimana Kamu Neng, apa sudah izin ke Abah belum)
"Acan Mak, Neng sareng Cahyati heunteu kur nyalira Mak."
(Belum Mak, Neng bersama Cahyati tidak hanya sendiri)
"Lamun Abah ngizinan, sok mangga angkat Neng."
(Kalau Abah mengizinkan, silakan berangkat Neng)
"Nuhun nyak Mak."
(Terima kasih ya Mak)
***
Dua hari berselang, aku dan Cahyati pun pergi ke kampung sebelah, kami bulatkan tekad untuk mencoba mendaftar sebagai seorang penari jaipong. Kami berjalan cukup lama hampir satu jam perjalanan. Kami sengaja membawa bekal air minum dan ketan goreng, Mak telah membungkuskannya untuk kami tadi.Nanti bisa kami makan, tentunya saat sudah terasa lapar dan dahaga.
Alhamdulillah kami pun sampai di sanggar yang kami tuju. Tepat di depan rumahnya tertulis keterangan: "Sanggar Jaipong Nyaik Elok."
“Punten."
(Permisi)
"Mangga.”
(Silahkan)
"Maaf Ibu Kami mau mencoba daftar untuk jadi penari jaipong di sanggar Ibu."
"Oh begitu, silakan masuk sini, dapat kabar dari siapa Kalian kalau Mak Lastri lagi cari penari."
"Dari selebaran Mak, tak sengaja Saya dapat di kampung."
"Boleh, namanya siapa saja ini? dari kampung Jati Pengasih juga?"
"Saya Cahyati Mak, ini Lestari. Kami teman satu kampung Mak, dari Kampung Jati Bahagia, Kami baru tamat Sekolah Menengah Pertama Mak, tapi sudah di izinkan untuk belajar jaipongan sama orang tua."
"Kalian dari Jati Bahagia naik apa kesini?"
"Kami jalan kaki Mak."
"Masya Allah, jauh itu kampung dari sini, apa Kalian tidak ada sepeda?"
"Ada Mak, tapi di pakai Bapak ke sawah."
"Ya sudah, Kalian minum dulu sana, ada air di teko itu silakan, minum dahulu nanti Kita bicara lagi ya."
"Iya Mak terima kasih."
Mak Lastri sangat ramah kepada kami. Setelah istirahat sejenak Mak Lasti pun meminta kami untuk mencoba menari jaipong dengan gerakan-gerakan dasar, karena mungkin beliau iba atau apa alasannya mak Lastri menerima kami bergambung.
Oleh Mak Lastri, kami pun di izinkan ikut bergabung dan berlatih di sanggar hari ini. Tentu saja aku dan Cahyati sangat senang sekali, dan insya Allah tak akan melewatkan kesempatan baik ini. Kami akan serius berlatih.
"Neng, kalau Kalian sudah bulat tekad ingin belajar dan bergabung di sini Mak hanya bisa membantu, silakan besok atau lusa Kalian mulai berlatih di sanggar, mau datang setiap hari silakan mau dua hari sekali pun silakan."
"Terima kasih Mak."
"Ya sudah, untuk hari ini Kalian mau ikut berlatih atau pulang dahulu?"
"Kami mau ikut berlatih langsung Mak kalau di perbolehkan."
"Ya sudah sana lekas bergabung dengan teteh-teteh penari yang lainnya, ada teh Sekar Arum, Sekar Dewi, Sekar Buana, dan yang lainnya, kamu bisa berkenalan dengan mereka".
Aneh kenapa nama mereka Sekar semua ya? Ada rasa ingin bertanya tapi aku malu. Nanti juga aku akan tahu jawabannya seiring perjalanan waktu. Kami pun mulai menari tampak teteh Sekar Arum sangat lentur dan lincah gerakan tarinya, diiringi Lagu Daun Pulus mereka tampak ayu mempesona. Ada aura yang lain yang aku lihat dari mereka, ya mungkin nanti jika aku telah dewasa dan pandai menari aku pun akan seperti mereka, mereka tampak cantik, lincah dan tak bosan di pandang mata, sungguh mempesona.
Aku sangat senang hari ini, akhirnya kami bisa belajar menari dan kelak kami menjadi seorang penari dan sinden jaipong. Seperti yang kami inginkan
Karena hari sudah mulai senja, kami pun berpamitan kepada Mak Lastri. Mungkin aku dan Cahyati akan tiba malam hari di rumah, karena lumayan waktu yang kami butuhkan untuk jalan pulang ke rumah kami masing-masing.
"Lestari dan Cahyati Kalian mau Mak pinjamkan sepeda tua untuk kalian hilir mudik kesini besok?"
Kami tidak dapat menjawab, kami hanya saling bertatap mata karena bingung.
"Yayat, pang candakmu sepeda anu di dapur Yat, jeung pang pompakueun lamun kempes."
(Yayat, tolong ambilkan sepeda yang ada di dapur Yat, dan tolong pompakan jika kempes)
Tak lama kemudian Mang Yayat pun membawakan sepeda tua untuk kami. Sebelum di berikan kepada kami tampak mang Yayat memompa dan membersihkan sepeda itu terlebih dahulu.
"Tuh lumayan, dari pada sama Mak Lastri tidak di gunakan, mending Kalian yang pergunakan saja ya?"
"Terima kasih banyak Mak, besok Insya Allah Kami akan kesini Mak."
"Ya sudah, hati-hati Kalian di jalannya ya, salam untuk orang tua Tari dan Cahyati ya..."
“Iya Mak.”
Hari ini kami bahagia sekali, mak Lastri sangat baik. Sudah di terima masuk ke sanggar Jaipong saja kami sangat senang ini meminjamkan kami sepeda untuk berlatih jaipong setiap hari. Aku kayuh sepeda perlahan- lahan, lumayan sangat lelah, tapi kami akan sampai ke rumah lebih cepat dari pada harus berjalan kaki seperti tadi pagi.
Sepeda, aku letakan di belakang dapur, Emak dan abah pun bertanya tentang hari-hari kami. Kuceritakan hari-hari yang kami lewati, adik-adik pun terpukau mendengar ceritaku. Aku pun beristirahat di bilik kamarku, segalanya aku syukuri aku masih memiliki kesempatan untuk maju dan merubah keadaan ini. Dan hal yang paling penting, abah dan emak memberikan aku kesempatan untuk mengais rejeki dengan cara ini. Cara yang mungkin bagi sebagian pandangan orang kurang baik, setidaknya dapat membantu aku dan keluargaku, dari pada kami terus hidup miskin, meminta dan mengiba kepada orang lain, setidaknya aku telah berusaha. Walau hanya bisa menjadi seorang penari jaipong.
Setiap hari kami berlatih jaipong dengan giat, Mak Lastri pun sangat bangga dengan kemajuan kami dari hari ke hari. Mak Lastri bilang bulan ini kami sudah layak untuk tampil sebagai penaripemula di panggung. Mak Lastri mengukur baju kebaya untuk kami pergunakan, dan oleh Mak Lastri kami akan di buatkan beberapa setel pakaian kebaya untuk menari. Mak Lastri memesankan dengan beragam warna dan model kepada penjahit langganannya, namanya Ceu Encum. Di kampungku Ceu Encum terkenal sangat piawai menjahit pakaian, khususnya pakaian kebaya untuk segala acara dan umur. Dan dengan hati-hati Ceuk Encim mengukur badan kami satu- persatu untuk membuat pola kebaya. Sungguh terharu mendengarnya akhirnya tak lama lagi aku dan Cahyati sudah dapat mencari penghasilan sendiri, walaupun itu dari karya dan berkesenian tari jaipong saja. Rata-rata yang menjadi seorang penari di sini berlatar belakang dari keluarga yang tidak mampu, ya seperti kami yang bergantung kehidupan dan ek
Abah telah pulang dari mencari kayu bakar, abah membawa ubi dan singkong pasti karena habis panen dari kebun. Aku pun segera menghampirinya. Aku ambil ubi dan singkong yang abah bawa di dalam bakul. Alhamdulillah masih ada makanan yang dapat kami olah siang hari ini. Aku pun merebus ubi untuk adik-adikku, sebentar lagi mereka pulang dari sekolah. Ubi rebus dan teh hangat bisa menghangatkan dan mengganjal perut kami siang ini. Keadaan yang selalu sama yang sering kami alami dari hari ke hari. Aku pun mempersiapkan peralatanku untuk menari, satu setel kebaya berwarna merah yang sama dengan Cahyati, kain, korset, konde, dan peralatan make-up pemberian mak Lastri. Tak lupa aku cek sepeda, ternyata bannya sedikit kempes. Dan aku bergegas memperbaikinya di halaman rumah bersama abah. Agar tetap dapat aku pergunakan. "Lestari....., ayo kita siap-siap.""Iya, saya tinggal mandi dulu, kita kan harus berkumpul di rumah Teh Arum.""Iya biar kita di bantu untuk dandan."
Jaipongan masih menjadi primadona di kampung kami, minimal seminggu ada dua acara tanggapan terkadang di acara hajatan atau panggung-panggung hiburan malam. Penghasilan tetap aku dan Cahyati per bulan minimal delapan ratus ribu sampai dengan satu juta sebagai seorang penari pemula. Sedikit demi sedikit aku dan Cahyati bisa membantu keluarga kami. Seperti hari ini, aku dapat membawa uang 150.000 karena Pak Agus juragan kambing memberikan kami saweran 50.000 seorang. Apa lagi Teh Arum ya, pasti banyak penghasilan dari hasil sawerannya. Pantas saja pakaian, sandal, make-up dan rumahnya semakin hari semakin bagus dan selalu ada perubahan, dia juga menjadi primadona di kampung, laki-laki banyak yang mengejarnya karena cantik, tapi para perempuan-perempuan di kampungnya sebaliknya mereka iri dan selalu menghina Teh Arum dan kawan-kawannya, kemungkinan esok-esok bisa aku dan Cahyati. Dan aku rasa teh Arum ada yang berbeda deh. Aku pun teringat ucapannya saat
Malam ini kami pun pentas kembali, ada acara pernikahan anaknya pak Camat di desa Suka Warna, seperti apa yang menjadi tantangan teh Arum, selain menjadi penari pembukaan acara resepsi kami pun ikut melengser. Melengser istilah tarian malam hari, yang identik dengan duit saweran dan tarian selendang yang sedikit menggoda kaum laki-laki. Kami turut duduk di antrean penari senior. Kami pun siap berlempar selendang dan menari bersama lawan jenis. Tampak beberapa pemuda dan bapak-bapak yang mulai naik ke panggung dan memberi saweran kepada kami, benar saja Teh Sekar Arum orang pertama dan turun dari bangku penari. Dan di susul oleh penari-penari senior lainnya, aku pun terus berdecap kagum, pasti penghasilan mereka yang di dapatkan akan lebih banyak dari kami. Kami yang sering di bilang teh Arum sebagai penari pemula dan polosan. Sungguh apa yang mereka pakai ternyata ada pengaruhnya, teh Sekar Arum dan ke empat penari senior lainnya telah menari terlebih dahulu, sedang
Sudah satu bulan aku menggunakan bedak pengasih dari Ki Slamet sama dengan temanku yang lainnya. Kini penghasilan aku dan Cahyati semakin membaik, terkadang kami membawa pulang uang sampai Rp 300.000 sekali tampil. Lumayan bukan, sedikit demi sedikit aku dapat membelikan furnitur untuk Emak di rumah. Kemarin sudah terkumpul dua juta rupiah, aku membeli kasur dua set untuk kamar emak dan kamarku. Melihat adik-adik tidur dengan layak di atas kasur membuatku sangat senang. Setidaknya tentu saja mereka tidak akan merasakan sakit dan dingin seperti dulu lagi. Bedakku pun sudah hampir habis, aku harus segera pergi ke rumah Ki Slamat lagi. Kalau bisa, kali ini aku pergi kesana sendiri dan diam-diam saja, dalam hatiku terbesit pikiran andai aku bisa mendapat Mustika atau sejenisnya sebagai pemikat yang berbeda dari teman-teman biasanya. Mungkin aku bisa mendapat duit saweran lebih banyak lagi. "Cahyati, Aku mau ke rumah Ki Slamet Kamu mau ikut bareng tidak?"
Dan akhirnya aku pun pergi ke rumah ki Anom, dengan sengaja menyewa sebuah mobil beserta sopirnya. Aku bilang kepada abah dan emak ingin main ke kota mengunjungi teman lama dan mungkin menginap di sana jika tidak pulang atau terlambat pulang. Aku sengaja pergi dari rumah menjelang subuh, dan aku yakin Cahyati tak akan memergokiku, perjalanannya lumayan lama, ke Ciamis lebih dari 5 jam aku baru sampai ke dusun abah Anom. Dusun yang aku cari sudah benar, hanya saja aku harus bertanya kepada warga di mana rumah abah Anom tepatnya. “Permisi Bu.” “Iya Neng ada yang bisa ibu bantu?” “Saya mau bertanya alamat rumah Abah Anom Bu apa ibu kenal?” “Oh abah Anom? Dia rumahnya ada di atas bukit sana neng, neng lurus saja dari sini naik ke bukit, tapi tidak bisa bawa mobil neng.” “Ya, baik Bu.” Aku akan meminta pak sopir menunggu di sini, lagi pula biar saja pak sopir beristirahat dulu saja sejenak, karena aku tahu pasti beliau lelah saat dalam perj
"Neng bangun." "Iya Mak, Neng masih mengantuk ini." "Bagaimana tidak mengantuk, Kamu pulang itu hampir subuh Neng." "Masa Mak? Lestari kenapa tidak ingat ya?" "Ya Kamu sangat lusuh dan sangat terlihat lelah semalam, Mak tidak mau mengganggumu, ya sudah lekas mandi dan berganti pakaian." "Iya Mak." Ya aku pasti lupa, tapi kenapa ya sampai larut malam begini, bahkan menjelang pagi. Apakah memang kami mendapatkan banyak tanggapan dan saweran semalam. Aku pun berdiri dari kasurku, aku mengambil tas pribadiku dan aku buka, astaga duitnya banyak sekali. Aku pun hitung lembar-demi lembar uang yang ada. Totalnya ada dua puluh juta rupiah, doa gepok uang pecahan 100.000. Duit siapa ini? oh iya aku pun ingat saat aku mau naik ke panggung aku melihat ada Abah Rahmat di sana. Sungguh dia memberikan aku uang sebanyak ini dalam satu malam saja saat menari? Aku pun bergegas mandi dan mengganti pakaianku, aku ingin sarapan dahu
Aku harus tetap menari, agar teman-temanku tidak curiga dengan kejanggalan- kejanggalan yang terjadi ini. Memang benar aku memperoleh banyak uang dari itu semua, tapi haruskah aku mengorbankan seseorang demi syarat Nyi Mas Srinti. Hampir setiap malam pun aku memimpikannya mimpi yang aneh dan sangat menakutkan, mimpi yang sama terus berulang-ulang tentang Nyi Mas Srinti yang meminta bantuanku untuk membalaskan dendamnya. Terkadang aku juga bermimpi, mimpi tentang kehidupan masa lalu Nyi Mas Srinti sebagai seorang penari jaipong. Tampak sosoknya yang memiliki paras yang ayu dan sangat piawai menari. Rasanya ingin berhenti dari semua kehidupan dan mimpi-mimpi buruk ini, tapi sepertinya tidak mungkin, masih sangat berat dan terlanjur semua, aku sudah terlambat untuk mundur. "Teh...." "Iya ada apa Asep dan Jaja?" "Asep sebentar lagi lulus Sekolah Menengah Pertama, Asep mau kerja saja ya? biar dapat bantu Teteh dan Abah." "Jangan! Asep dan J