“Kau tahu kenapa disebut pucuk sukma, Sumirah?” Nyai Mutik menatap ke arah Sumirah dengan tatapan sendu seolah menyesalkan keputusan Sumirah yang menempuh jalan ini, jalan yang juga diambilnya yaitu menyembah Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng. Nyai Mutik sejatinya sangat berharap tidak ada lagi seseorang yang akan mengalami hal tragis saat ingin meraih keabadian. Namun, Sumirah yang rupanya telah dipenuhi oleh amarah dan dendam itu bersikeras untuk menginjak dan menempuh jalanan yang kesemuanya bertebaran tulang belulang dari manusia yang gagal melakukan ritual.Sumirah menggelengkan kepalanya, pertanda tidak tahu. Kanjeng Ratu penguasa Rawa Ireng tersenyum penuh misteri.“Disebut pucuk sukma karena dia adalah jelmaan dari sukma seseorang yang menjadi tuannya. Sukmamu perlahan akan bercampur dengan bangsa kami melalui bunga teratai itu, Sumirah. Saat kelopak pertama masuk ke tubuhmu, maka sukmamu tak lagi milikmu, tapi milikku sang penguasa Rawa Ireng. Namun kamu jangan khawatir, Sumir
Suasana di dalam gua sangat gelap, sementara suara kakek tua terus terdengar berulang-ulang. Suaranya terdengar hingga menembus jiwa. Sumirah semakin rapat menutup matanya.Tiba-tiba suara sang kakek menghilang, gua terasa sunyi dan gelap.Terdengar suara riak air dari bejana emas yang bergetar karena gerakan tangan Sumirah yang ketakutan.Sumirah berusaha menenangkan degup jantungnya hingga akhirnya gemetar di tangannya perlahan mereda, bejana tak lagi bergetar.Cukup lama Sumirah ditelan keheningan gua, hingga tiba-tiba terdengar suara kaki yang melangkah perlahan. Mantan istri dari Permana itu menajamkan pendengarannya.Sumirah begitu familiar dengan suara yang didengarnya. Itu suara langkah kaki sang rama saat berjalan menggunakan sandal selopnya.Suara langkah kaki terdengar semakin mendekat, dan berhenti tepat di hadapannya. Sumirah masih tetap menutup matanya.Nyai Mutik berpesan supaya dirinya jangan sekali-kali membuka matanya, apa pun yang dia dengar jangan sekali-kali membu
Hanya dalam sekejap penguasa Rawa Ireng dan Nyai Mutik sudah berada di depan mulut Gua Pitutur yang terlihat gelap. Tak ada sinar sedikitpun yang menerangi dalamnya gua. Hanya sinar rembulan yang melapisi tipis gua bagian atas serta luar gua, selebihnya semakin menatap mulut gua maka hanya kegelapan yang terpampang nyata.Saat langkah pertama sang ratu memasuki gua, semua obor yang berada di gua yang tadinya mati, kini apinya kembali menyala, gua kembali terang.Sumirah kaget karena kini di sekitarnya menjadi terang. Akan tetapi dirinya berusaha untuk tetap tenang, dirinya merapatkan matanya agar tak terbuka. Sang ratu dan Nyai Mutik tersenyum melihat keteguhan hati yang dimiliki Sumirah.“Bukalah matamu, Sumirah. Aku datang menjemputmu!” Suara lembut Kanjeng Ratu Lintang Pethak terdengar.Sumirah masih ragu membuka kelopak matanya, dia takut kalau lagi-lagi makhluk di depannya bukanlah kanjeng ratu yang asli.“Bukalah matamu, Sumirah. Aku datang kemari bersama Kanjeng Ratu untuk menj
“Pendopo jati?” Sumirah menatap takjub bangunan kuno di hadapannya.“Ya, Sumirah. Bangunan megah di depanmu disebut pendopo jati, tempat ritual terakhirmu, ayo kita masuk!”Sumirah memasuki pendopo jati dengan perlahan, pandangannya menyapu seluruh sisi pendopo, dirinya sangat takjub dengan bangunan ini, kuno namun megah dan gagah serta pesona keindahannya yang tak terbayangkan.Tidak ada emas, perak maupun berlian, hanya bangunan yang lantai, pondasi dan seluruh kerangka yang benar-benar hanya terbuat dari kayu jati. Setiap pilarnya berdiri kokoh seolah mereka adalah pohon hidup yang akarnya masih menyebar dan tertancap kuat di bawah bangunan, gagah dan kokoh.“Silakan kamu duduk di mana pun kamu inginkan, Sumirah!”“Di mana pun?”“I
Nyai Mutik telah pergi, kini Sumirah tinggal sendiri di pendopo jati yang diterangi obor di setiap sudutnya. Sumirah menghirup nafas panjang, bersiap untuk melakukan ritual melebur sukma. Tak bisa dipungkiri jika hatinya masih ada sisa rasa keraguan mengingat jika ritual pertama saja begitu berbahaya jadi tidak mungkin jika ritual yang kedua akan lebih mudah. Terlebih kali ini Nyai Mutik yang mengingatkan dirinya jika apa yang ada di dalam gua ini adalah sesuatu yang tidak nampak wujudnya yang mana justru lebih berbahaya. Berkali-kali Sumirah menarik nafas dan menghembuskannya demi bisa meredam rasa gejolak di dalam hatinya. Barulah setelah beberapa saat akhirnya wanita yang dipenuhi dengan dendam kesumat itu berhasil meyakinkan dirinya kembali.Sumirah menatap lama bunga teratai di pangkuannya. Meyakinkan dirinya lagi jika jalan yang dia ambil memanglah yang terbaik.Dirinya melakukan hal ini dem
Nyai Mutik hanya mampu menjerit di dalam hati. Kali ini dirinya tidak mampu membantu Sumirah. Tubuh Nyai Mutik bergetar hebat, dua ratus tahun hidup, baru kali ini dirinya menemui manusia ambisius dan senekat ini.Saat nyai Mutik ketakutan justru sang ratu tersenyum senang, dia akan memiliki dayang abadi yang baru. Mata merah delimanya menyala, lidah bercabangnya keluar dan berdesis, karena begitu senangnya sang ratu tak mampu mempertahankan wujud manusianya dengan sempurna.Sementara itu di pendopo jati Sumirah tengah menatap sepuluh kelopak bunga terakhir yang dia pegang, dia meyakinkan diri bahwa apa yang dia lakukan adalah pilihan yang tepat. Sumirah menutup kedua matanya, lalu dalam sekali suapan Sumirah menelan seluruh kelopak bunga teratai di tangannya.Sumirah tersungkur dan tubuhnya menegang, kemudian tulang-tulang di tubuh Sumirah terdengar patah seperti rempe
Jelmaan ular Sumirah terus merayap, dia menabrak apapun yang ada di depannya, tidak peduli itu pohon ataupun lelembut, jika ada yang menghalanginya maka akan dia tabrak, bahkan jika perlu dia makan sekalian. Sumirah tak ingin langkahnya dihalangi, secepat mungkin dirinya harus berendam di danau, waktunya tak lama lagi, jangan sampai dirinya menyia-nyiakan kesempatan terakhir yang diberikan oleh Kanjeng Ratu Lintang Pethak kepadanya.Banyak pohon yang tumbang karena terkena tubuh ularnya, tapi Sumirah tidak peduli, tetap merayap secepat mungkin yang dia bisa. Mengejar waktu datangnya purnama pertama.Sesampainya Sumirah di danau, ternyata Kanjeng Ratu Lintang Pethak dan Nyai Mutik telah menunggu dirinya. Malam ini langit masih gelap tanpa sinar bulan dan bintang, tertutup awan mendung yang tebal. Angin berhembus kencang menggoyangkan ujung pepohonan di sekitar danau jelmaan rawa ireng.
“Dari mana saja kamu, Gendis? Semalam kok tidak ada di rumah?”“Aku pergi untuk menari, Kang Mas. Aku kan penari.”“Menari? Menari di mana? Terus, itu kenapa bajumu compang-camping begitu? Seperti habis diserang binatang buas!”“Anuuu ....”Permana menatap Gendis dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sanggulnya lepas, rambutnya tergerai acak-acakan, baju kebaya dan kain jariknya sudah sobek kanan kiri.Gendis pucat, bingung akan memberikan alasan seperti apa, tidak mungkin dirinya berkata jujur kalau semalam melayani Ki Lawu, sebagai syarat agar Permana suaminya sembuh.“Aku itu loh, pentas di rumahnya Juragan Sastro. Juragan kopi kampung sebelah. Kang Mas kenal kan dengan Juragan Sastro. Dia Juragan yang tidak genit kok, Kang Mas. Terus ini tadi aku terperosok di jurang saat pulang pentas menari, Kang Mas. Untung saja jurangnya tidak terlalu curam, dan ada pencari kayu bakar yang menolongku tadi.”Permana menatap Gendis, masih dengan tatapan keraguan. Kalau memang Gendis pergi menari,