"Kita bicarakan ini di ruanganku," ujar Zen seraya berjalan melewati anak buahnya yang masih berjaga.
Arthur mengangguk satu kali lantas memberi jalan pada Zen untuk mendahuluinya.
"Kau yakin informasi yang kau dapatkan ini akurat?" Zen bertanya tanpa melihat orang yang ditanya. Kaki pria itu terus melangkah meninggalkan ruangan di mana Lea tengah dirawat.
"Sangat yakin, Tuan. Informasi ini saya dapat dari informan kita yang ada di dermaga," jawab Arthur sangat yakin.
"Kau yakin ini bukan jebakan untuk mrmancingku keluar?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut Zen membuat Arthur berpikir dua kali. Hingga beberapa saat, Arthur tidak kunjung menjawab pertanyaan Zen. Oleh sebab itu, Zen berhenti melangkah dan membalik badan, melihat pada orang kepercayaannya yang bungkam.
"Kau tidak yakin, eh?" Zen mengangkat sebelah alis, menatap remeh pada Arthur.
"Maafkan saya, Tuan." Arthur menundukkan kepala, merasa bodoh atas ketidakcermatannya.
Hal
Dengan dada yang bergemuruh, Zen keluar dari ruang kerja dengan beberapa lembar foto yang tersisa di dalam amplop. Dia mengayun langkah dengan lebar, kembali ke kamar di mana Lea dirawat. Hari memang masih pagi, tapi emosi tinggi yang dia rasakan membuat suhu di sekitarnya terasa begitu panas seperti sedang berada di tengah gurun pasir yang tandus.Anak buah Zen yang berada di depan kamar segera berdiri menyambut kedatangan pria tersebut. Mereka pikir, tuan mereka akan segera meninggalkan mansion setelah mendapat kabar dari Arthur bahwa ada informasi yang ditunggu-tunggu olehnya.Zen mengangkat sebelah tangan ketika salah satu anak buahnya hendak menyapa, pertanda bahwa dia menginginkan anak buahnya tersebut diam. Alih-alih langsung masuk ke dalam kamar, Zen justru berdiri di depan pintu yang masih tertutup. Pria itu hanya diam dan melihat ke dalam ruangan dengan tatapan tajam. Atau lebih tepatnya melihat seorang pri
Dalam suasana hati yang kacau, Zen melajukan supercar-nya dengan ugal-ugalan. Mengikuti GPS yang dikirim Arthur beberapa saat lalu, supercar itu seolah melaju dengan sendirinya. Kedua tangan Zen mencengkeram kemudi dengan sangat erat hingga buku-buku jarinya memutih.“Berengsek!” umpat Zen sembari memukul kemudi.Pria itu memalingkan wajah ke kiri sejenak sebelum akhirnya kembali mengarahkan fokusnya ke depan. Tentang kebenaran pengkhianatan yang dilakukan oleh Clint masih sangat mengganggu pikirannya.“Aku harus fokus.” Zen menyugesti dirinya sendiri untuk kembali fokus pada apa yang ingin dia lakukan bersama Arthur.Lokasi yang dikirimkan Arthur ternyata berada di sebuah motel, di dekat dermaga. Zen pun segera memarkirkan kendaraannya di halaman motel yang terbilang cukup kumuh tersebut.“Apa tidak ada tempat lain yang lebih menjijikkan dari ini?&r
Seorang pria dengan setelan jas mahal tampak berjalan di samping Bram. Bukan pertama kali Zen melihat pria itu, karena sebelumnya dia pun pernah bertemu dengan pria tersebut. “Sepertinya ini adalah transaksi besar The Demon. Jika tidak … maka tak mungkin pemimpin The Demon turun tangan sendiri untuk melakukan transaksi,” ujar Zen seraya menurunkan teropong dan berpaling ke arah Arthur. “Maksud Anda … pria yang bersama dengan Bram adalah pemimpin The Demon?” Kening Arthur berkerut samar. Selama ini, yang Arthur tahu pemimpin The Demon sangat menjaga kerahasiaan identitasnya. Tak hanya Arthur, orang-orang yang terlibat dalam bisnis serupa pasti tahu jika pemimpin kartel tersebut nyaris tak pernah terlihat. Tak ada yang tahu seperti apa wajah dan siapa sebenarnya orang nomor satu di kartel itu. Lalu, bagaimana Zen tahu jika orang yang bersama Bram adalah “The Demon” itu sendiri? “Tepat sekali.” Zen menatap lurus pada Arthur. “Bagaimana Anda bisa
Meninggalkan lokasi di mana pertikaian itu terjadi, Zen dan Arthur segera kembali ke motel. Sudah cukup lama sejak Bram meninggalkan dermaga. Mereka harus segera menyusul agar tidak terlalu jauh tertinggal.“Sepertinya kita harus bekerja lebih keras,” ujar Arthur setelah mematikan sambungan telepon.Anak buah Zen yang bersiaga di sekitar pelabuhan melihat kendaraan yang ditumpangi oleh Bram berbelok ke jalur yang berlawanan arah dengan jalur menuju perbatasan. Setelah mengikuti mobil itu dengan jarak aman, akhirnya dia dapat menyimpulkan bahwa Bram memang belum berniat kembali ke Meksiko.“Begitukah?” Zen yang hendak membuka pintu mobil, menghentikan apa yang dia lakukan lalu menoleh pada Arthur yang berada di samping sedan tua—kendaraan yang disewa oleh Arthur untuk melancarkan pekerjaannya.“Bram tidak menuju perbatasan. Bisa jadi dia sedang menuju markas The Demon untuk membahas masalah kegagalan transaksinya,” ujar Arthur, menjelaskan apa yang belum d
Bertahan beberapa saat di tepi jembatan, Zen akhirnya turun dari mobil. Tangan kanannya masih menggenggam pistol yang dia gunakan untuk meledakkan mobil Bram. Pria itu berdiri persis di pembatas jembatan yang telah runtuh. Kedua matanya menyorot tajam ke bawah, di mana kobaran api itu masih tampak menyambar-nyambar dengan ganas.“Aku sudah membalaskan dendammu, Sweet Cake. Tak ada yang perlu kau takutkan lagi di dunia ini. Aku akan selalu melindungimu,” gumam Zen, seolah kalimat yang terdengar seperti curahan hati itu meluncur tanpa kendali.Suara sirine polisi yang meraung-raung kian mendekat, memaksa Zen untuk segera berbalik dan masuk ke mobil. Dia harus segera meninggalkan tempat itu jika tidak ingin polisi setempat membuatnya repot.“Kemudikan mobilnya, Art,” perintah Zen pada Arthur, sementara dirinya duduk di kursi penumpang.Arthur segera berpindah posisi ke sisi kiri mobil dan duduk di balik kemudi. Sembari melajukan mobil
Dari kaca spion, Zen melihat ke belakang di mana Arthur tengah berusaha menyelesaikan masalah pribadinya. Sejenak lalu, Zen sempat berpikir bahwa mungkin saja di luar sana juga ada seorang anak yang di tubuhnya mengalir darah Aberdein. Sebagai seorang pria dewasa, tak bisa dielakkan lagi jika dia pun memiliki kebutuhan biologis yang perlu disalurkan. Dahulu, sebelum dirinya bersentuhan dengan dunia hitam, dia pun pernah mendekati wanita hanya untuk sekadar menyalurkan hasratnya sebagai seorang pria. Tidak … tentu saja Zen tak pernah menggunakan hati ketika mendekati wanita-wanita itu. Karena yang dia butuhkan hanyalah kepuasan yang diberikan oleh wanita-wanita tersebut.“Selamat malam, Tuan,” sapa penjaga yang bersiaga di halaman depan mansion.“Apa ada sesuatu yang perlu kuketahui selama aku tidak ada?” Zen membalas sapaan itu dengan pertanyaan.“Tidak ada hal penting yang terjadi, Tuan,” jawab penjaga itu.Tak
Mengalihkan pikiran dari hubungannya dengan Clint, Zen memusatkan perhatian pada Lea. Wanita yang baru saja disuntik dengan penawar racun itu masih tampak lelap dalam tidur panjangnya.“Penawar apa yang dia berikan? Kenapa tidak ada reaksi sama sekali?” keluh Zen yang tak melihat reaksi apa pun di tubuh Lea setelah penawar itu masuk ke tubuhnya.Pria itu bahkan membungkukkan badan, mendekatkan telinganya ke dada Lea untuk mendengarkan detak jantung si wanita. Namun sama sekali tidak ada yang berbeda. Oh, Zen … memangnya apa yang diharapkan pria itu saat melakukannya? Selama jantung Lea masih berdetak, itu artinya wanita tersebut masih hidup bukan?“Apa saja yang dia kerjakan hingga dini hari jika hasilnya tak memberikan reaksi apa pun seperti ini?” gerutu Zen.Pria itu berasumsi bahwa Clint bekerja hingga larut seperti yang dia lihat dalam tampilan kamera pengawas semalam adalah untuk membuat penawar racun. Hal ini membuat Z
Rupanya tak hanya sekali itu saja Zen bersikap hangat terhadap Zac. Semakin hari justru Zen dan Zac semakin dekat. Bahkan sudah beberapa hari ini Zen selalu mengajak Zac bermain hingga berkeliling mansion. Sungguh, ini justru menjadi pemandangan yang sangat menakutkan. Pria yang sangat akrab dengan kekerasan dan kekejaman, mendadak memiliki sikap hangat seolah dia adalah tipe family man. “Kurasa ada yang salah dengan otak Zen. Apa kau memberinya makanan atau sesuatu yang meningkatkan kadar dopamin di dalam otaknya dengan pesat?” Clint yang berdiri di bawah pohon maple, bertanya pada Arthur yang berada di sisinya. Kedua mata pria itu menyorot pada pemandangan aneh di halaman belakang mansion yang terhubung dengan taman anggrek. Di mana seorang penjual senjata ilegal dan pembunuh berdarah dingin, tengah bermain lempar tangkap dengan seorang bocah laki-laki. Bagi yang tidak pernah mengenal Zen, pasti akan mengira bahwa mereka adalah ayah dan anak yang tengah menghabiskan libura