Sepanjang perjalanan menuju tempat di mana Cole akan bertemu dengan Asher—keheningan membentang. Adeline sejak tadi hanya diam, meski sejak tadi Cole berusaha untuk mengajaknya bicara. Wanita itu tampak mati-matian menyembunyikan kepanikan di wajahnya.
Ya, Adeline duduk di mobil Cole, seakan dia duduk di kursi yang berbahaya. Hari ini tujuannya bertemu dengan Cole, dia yakin untuk membahas project film terbaru, tetapi sialnya malah dia diajak bertemu dengan Asher. Entah kenapa malah kesialan datang ke hidupnya tanpa henti?
Kemarin malam, Adeline bagaikan mendapatkan mimpi buruk. Mati-matian selama ini dia berusaha move on total dari sang mantan suami. Namun, di kala dirinya mulai menata ulang kehidupannya, dan bahkan mulai berdamai dengan kenyataan—malah semesta seakan sengaja membuat luka di tubuhnya kembali terbuka.
“Adeline, bagaimana? Kau setuju, kan?” tanya Cole tiba-tiba, membuyarkan lamunan Adeline.
Adeline menoleh, menatap bingung Cole. Sungguh, dia tak menyimak apa yang dikatakan Cole. “Maaf, tadi kau bilang apa?”
Cole mengembuskan napas panjang. “Kau tidak mendengarku dari tadi membahas project film?” balasnya mulai kesal.
Adeline merasa tak enak. Dia menyadari dirinya sangat salah. Harusnya di kala Cole mulai mengajaknya bicara, dia menyimak dengan baik. Bukan malah hanya diam saja—seperti dirinya tak tertarik. Padahal bukan dia tak tertarik. Dia jelas sangat tertarik. Apalagi dirinya mendapatkan project besar. Point yang membuat pikirannya kacau adalah dirinya harus mempersiapkan diri kembali bertemu Asher.
“Cole, maafkan aku. Aku benar-benar nggak terlalu fokus. Aku ada sedikit masalah. Jadi, aku kurang fokus. Bisa kau ulang lagi apa yang kau katakan?” tanya Adeline dengan nada tenang, tetapi berusaha menunjukkan dirinya profesional.
Cole mengembuskan napas panjang, meski kesal tetapi dia menghargai Adeline yang sudah minta maaf padanya. “Aku tadi membahas beberapa adegan yang mungkin akan ada di film. Novel ini best seller. Novel tema patah hati, tapi ada beberapa adegan cukup vulgar. Aku lupa bilang ini pada Nora. Jadi, aku langsung tanya saja padamu. Apa kau masalah kalau ada adegan ranjang di film itu?”
Adeline terdiam sebentar mendengar apa yang dikatakan Cole. Dia pernah adegan berciuman dengan lawan mainnya dibeberapa film yang pernah dia bintangi, tetapi hanya sekadar adegan berciuman saja. Tidak sampai adegan ranjang. Pun selama ini memang dia selalu mengandalkan Nora untuk membantunya memilih project film.
“Adegan ranjang yang akan ditunjukkan ke film seperti apa?” tanya Adeline mulai penasaran.
“Tunggu, aku akan membahas lengkap saat bersama Tuan Asher. Kebetulan memang aku harus membahas keunggulan project film ini pada beliau. Kau tunggu, ya?” balas Cole seraya kembali fokus pada hamparan jalan.
Adeline mengangguk, tak melawan. Pun dia belum bisa memutuskan apa pun, kalau belum tahu gambaran seperti apa. Hal yang dia tahu adalah project ini menjadi project terbesar yang pernah dia dapatkan seumur hidupnya. Film yang diangkat dari novel best seller, membuatnya bisa memiliki banyak tabungan.
Adeline memang sempat berpikir untuk menolak film ini setelah tahu investor besar di balik film ini adalah Asher, tetapi dia disadarkan Nora, bahwa memang yang dia butuhkan sekarang adalah uang. Kembar membutuhkan banyak uang. Jadi, hal yang dia lakukan adalah menyingkirkan ego di dalam dirinya.
Tak selang lama, mobil yang dilajukan Cole mulai memasuki sebuah gedung apartemen mewah yang ada di Paris. Mobil Cole terparkir khusus, dan pria itu langsung mengajak Adeline untuk turun dari mobil.
“Cole, kenapa kita ke sini?” tanya Adeline bingung.
“Tuan Asher minta aku untuk menemuinya di penthouse miliknya yang ada di Paris. Jadi, ya kita di sini. Ayo kita naik. Aku tidak mau membuat Tuan Asher menunggu lama,” kata Cole dengan nada tersirat teburu-buru.
Adeline mengangguk, dan dia terpaksa untuk mengikuti Cole.
Saat tiba di depan resepsionis, Cole melakukan konfirmasi pada sang resepsionis. Pun tentu sang resepsionis langsung melakukan konfirmasi pada Asher. Tinggal di penthouse tak bisa membuat orang sembarangan masuk.
“Tuan, Anda diziinkan untuk naik ke penthouse Tuan Lennox,” jawab sang resepsionis sopan sambil menyodorkan kartu akses lift. “Anda bisa langsung naik lift, nanti kalau sudah sampai pasti ada pelayan yang menyambut kedatangan Anda.”
“Thanks,” kata Cole sambil mengambil kartu akses itu, dan melangkah menuju lift yang ada di ujung sana.
Adeline mengembiskan napas panjang, melihat Cole sudah jalan. Wanita itu terpaksa mengikuti dengan langkah kaki yang cukup berat. Rasanya dia ingin sekali berlari, tetapi itu tak bisa dia lakukan. Dia tak ingin membuat Cole menjadi curiga.
Ting!
Pintu lift terbuka. Cole lebih dulu keluar dari lift, dan disusul Adeline.
“Selamat pagi, apa Anda benar Tuan Cole Blake?” tanya seorang wanita muda dengan pakaian pelayan.
Cole mengangguk. “Ya, aku Cole Blake. Aku ke sini ingin bertemu dengan Tuan Lennox.”
Sang pelayan tersenyum sopan. “Tuan Lennox sudah menunggu di dalam. Anda boleh ikut saya, Tuan.”
Cole kembali mengangguk. Lantas, pelayan itu mengantarnya bersama dengan Adeline masuk ke dalam penthouse megah itu. Mereka menuju ruang kerja Asher yang terletak cukup jauh.
“Mohon tunggu sebentar.” Pelayan itu mengetuk pintu, dan ketika mendapatkan perintah dari dalam, mempersilakan untuk masuk, dia segera meminta Cole dan Adeline untuk masuk. Sementara pelayan itu segera pamit undur diri.
“Selamat pagi, Tuan Lennox,” sapa Cole begitu dia masuk ke dalam ruang kerja Asher.
Asher menatap Cole yang datang bersama dengan Adeline. Pria tampan itu tak langsung membalas sapaan Cole. Dia malah kini menatap Adeline dingin—dan seaka seperti ingin terus menatap.
“Ah, Tuan, maaf saya tidak datang sendiri. Tadi saat saya mendapatkan kabar harus bertemu dengan Anda, saya sedang bertemu dengan Adeline membahas proejct film. Anda tidak keberatan kan kalau saya membawa Adeline?” ujar Cole di kala menyadari Asher terus menatap Adeline.
“Tidak, kalian boleh duduk,” ucap Asher dingin, dan meminta Cole dan Adeline untuk duduk.
Cole lebih dulu duduk, disusul Asher yang duduk di sofa, sedangkan Adeline yang sempat mematung langsung ditarik Cole paksa untuk duduk di sampingnya. Tentu tindakan Cole itu membuat Adeline tak bisa berbuat apa pun lagi.
“Langsung saja pada intinya. Aku ingin tahu gambaran tentang project film ini. Aku belum membaca sinopsis novel yang akan diangkat menjadi film ini. Tapi aku dengar dari asistenku film ini bertema patah hati, dan penyesalan seorang pria. Bisa kau gambarkan lengkap?” tanya Asher dingin.
Cole tersenyum samar. “Ya benar, Tuan. Tema novel yang diangkat ini adalah tema patah hati. Bercerita tentang seorang pria yang mengkhianati wanita yang begitu setia padanya. Ending-nya memang kembali bersatu lagi. Itu kenapa ada beberapa adegan cukup vulgar di film ini.”
Kening Asher mengerut, menatap Cole bingung. “Adegan cukup vulgar? Apa maksudmu?” tanyanya menuntut penjelasan.
“Adegan berciuman akan cukup intens, dan adegan ranjang yang akan beberapa kali diambil. Mulai dari pemeran pria dan wanita bercinta di mobil, di kamar mandi, di kamar, dan bahkan ada adegan bercinta di pantai. Kalau saya lihat potensi film ini sangat besar, Tuan. Anda sudah menginvestasikan uang Anda. Jadi, saya pastikan Anda akan untung,” kata Cole meyakinkan.
Asher terdiam, dengan raut wajah terkejut mndengar penjelasan Cole. Sialnya, hatinya malah mendadak terasa terbakar mendengar ada adegan vulgar di film itu. Artinya mantan istrinya harus beradegan intim dengan lawan mainnya. Shit! Asher mengumpat dalam hati.
Asher sudah biasa mendengar film dengan adegan vulgar. Pun biasanya dia tak sepeduli itu. Menurutnya dia akan setuju apa pun jika mendatangkan uang. Namun, berbeda kali ini. Dadanya sejak tadi sangat sesak, berusaha menahan amarah di dalam dada.
“Aku rasa tidak perlu ada adegan vulgar,” kata Asher tiba-tiba.
Cole tampak bingung. “Kenapa tidak perlu ada adegan vulgar, Tuan?” tanyanya tak mengerti.
Asher berdeham sebentar. “Aku rasa itu tidak perlu ada.”
“Maaf, jika saya lancang menyela. Tapi, saya rasa adegan vulgar di film tidak masalah. Tadi, saya sempat berpikir tentang adegan vulgar ini. Setelah saya mendengar langsung dari Cole, saya setuju. Saya rasa penulis akan marah kalau kita memangkas adegan. Apalagi adegan intim antara pemeran utama pria dan wanita menjadi pemanis adegan dan bisa membuat daya tarik kuat pada audience,” sambung Adeline tiba-tiba yang sontak membuatnya mendapatkan tatapan tajam dari Asher.
“Kau benar—” Cole hendak bicara, tetapi dering ponselnya terdengar membuatnya terpaksa melihat ke arah ponselnya itu. “Maaf, saya izin untuk menjawab telepon lebih dahulu,” lanjutnya sambil menatap Asher.
Asher mengangguk, menanggapi ucapan Cole, dan tatapannya tak henti menatap Adeline.
Cole segera pergi tampak terburu-buru ingin menjawab telepon.
Keheningan membentang. Adeline dan Asher kini saling menatap satu sama lain. Tatapan dingin dengan sorot mata begitu memiliki banyak arti. Suasana di sana seakan benar-benar menunjukkan ketegangan.
“Apa kau sudah gila, Adeline?” geram Asher emosi.
Adeline tersenyum tenang. “Apa yang membuatmu marah, Asher?”
Asher mengepalkan tangannya dengan kuat. “Kau gila! Kenapa kau menerima tawaran film yang ada adegan vulgar?!”
Adeline tetap duduk tenang di seberang Asher. “Aku rasa itu bukan kesalahan. Aku menerima tawaran film ini, karena aku tahu film ini akan membawa banyak keuntungan. Pertama aku akan mendapatkan banyak uang. Kedua, namaku di dunia entertainment akan melesat naik.”
Asher tampak marah, dan makin menatap tajam Adeline. “Oh, kau mulai berpikir seperti pelacur? Kau melakukan apa pun hanya demi uang? Begitu maksudmu, Adeline?!” geramnya dengan emosi.
Adeline mendongakkan kepalanya, melukiskan senyuman tipis. “Jika menurutmu aku pelacur, aku tidak akan marah. Aku tetap pada pendirianku untuk menerima penawaran film ini.”
Asher tak bisa terbendung emosinya di kala Adeline tampak sangat keras kepala. Detik itu, dia menarik tangan Adeline, dan langsung mendorong tubuh Adeline hingga menempek ke dinding.
“Asher! Apa yang kau lakukan!” Adeline terkejut luar biasa, di kala Asher menghimpit tubuhnya. Pria itu kini benar-benar mengunci pergerakan Adeline dengan tubuh kekarnya.
Adeline sudah sejak tadi berusaha untuk berontak, tapi berujung sia-sia. Makin dia berontak, makin Asher menghimpit tubuhnya. Bahkan dia merasa pasokan oksigennya benar-benar terasa habis akibat Asher mengimpit tubuhnya.
“Sialan! Berani sekalu kau berpikir seperti itu! Jika kau butuh uang, bilang padaku! Jangan jadi seorang pelacur!” geram Asher, penuh amarah.
Mata Adeline memerah, menahan air matanya agar tidak tumpah. “Kau bilang apa tadi? Jika aku butuh uang, aku harus bilang padamu? Ck! Asher, kau pikir aku mau jadi seorang pengemis? Oh, tidak. Jika dengan caraku sekarang bisa mendatangkan banyak uang, aku akan melakukan itu. Kau tidak perlu ikut campur, karena kita sudah berpisah.”
Bara api di dalam tubuh Asher makin menjadi. Aura kemarahan tak bisa lagi terbendung. Rahangnya mengetat. Kilat mata tajam bagaikan mata elang yang sedang menunjukkan amarahnya.
“Tidak aku sangka, berpisah denganku, kau memilih pekerjaan serendah ini, Adeline,” geram Asher penuh amarah.
Adeline mendongakkan kepala, seakan menantang Asher tanpa gentar. “Iya, ini pekerjaan yang aku pilih. Lalu, kau mau apa, Tuan Lennox? Harusnya apa pun pekerjaan yang aku pilih, kau tidak perlu ikut campur. Karena kau tidak ada hak sama sekali!”
Asher menyalang penuh amarah, mendengar jawaban berani dari Adeline. Detik itu, dia langsung menyambar bibir Adeline, dan memberikan lumatan liar penuh tuntutan.
Mata Adeline melebar terkejut di kala mendapatkan ciuman lihar dari Asher. Wanita cantik itu memukul kuat dada bidang Asher dengan tangannya, tapi semua sia-sia. Tinggu tubuh Adeline hanya sedada Asher, sangat wajar kalau dia tak bisa berontak. Apalagi Asher memiliki tinggi tubuh yang gagah dan kekar.
Ciuman Asher begitu liar dan menuntut seakan itu adalah ledakan emosi dari ucapan Adeline yang begitu berani. Asher menunjukkan kekuasaan yang mendominasi. Semenatar Adeline meski berani menjawab, tetapi wanita itu tak mampi melepaskan jerat Asher Lennox.
Mata Adeline terhunus tajam pada pria di hadapannya itu. Aura kemarahan begitu kental terlihat. Namun, dia tak mau gegabah. Dia sengaja berjuang keras mengendalikan diri, agar dia tak kalah. Jika dia sampai langsung memaki, sama saja dengan dirinya kalah.“Kau tahu? Yang membuatku paling terkejut adalah kau sangat lucu, Asher. Kau jelas tahu bahwa tindakan yang kau lakukan akan membuat orang berpikir macam-macam. Well, kau menggali kuburmu sendiri,” ucap Adeline dingin, dan tajam.Asher sedikit menjauh, tetapi tatapannya masih intens menatap Adeline yang sejak tadi melayangkan tatapan tajam padanya. “Apa yang aku lakukan adalah yang terbaik. Dan harusnya kau berterima kasih padaku. Aku bisa menyelamatkan nama baikmu.”Adeline tersenyum sinis, mendengar jawaban Asher. “Malam ini, aku bertemu dengan Cole bersama dengan Nora. Aku pikir Cole akan membahas tentang project fiim ke depannya, atau mungkin dia membahas promosi film, tapi ternyata Cole memintaku untuk bersabar, karena kemungkin
Mobil Nora meluncur perkotaan dengan kecepatan sedang. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, dan tentu suasana masih terlihat ramai. Banyak orang berlalu lalang di trotoar, dan tak jarang muda-mudi melalui jalan di trotoar sambil tertawa bahagia.Keheningan membentang. Adeline duduk di samping Nora yang mengemudi, dengan sorot mata lurus ke depan, membendung sesuatu hal di sana. Ya, Adeline dan Nora kini dalam perjalanan menuju apartemen. Lebih tepatnya Nora ingin mengantar Adeline pulang.Seperti biasa, Nora yang selalu membawa mobil, sedangkan Adeline menjadi penumpang yang setia. Makan malam dengan Cole telah usai. Dua wanita cantik itu langsung bergegas pulang.“Adeline,” panggil Nora seraya melirik Adeline sebentar. Tampak jelas raut wajahnya menyimpan banyak hal yang ingin ditanyakan. Namun, dia tak mungkin bertanya di depan Cole.“Ya,” jawab Adeline singkat, dan datar.“Hmm, aku sedikit bingung. Sebenarnya apa yang akan kau lakukan sampai kau yakin keputusan Tuan Lennox akan b
Restoran yang dipilih untuk makan malam bersama antara Adeline, Nora dan Cole adalah L’Arpege. Lokasi restoran berada di dekat Musée Rodin—sebuah museum yang terkenal dengan patung indah. Restoran ini dipilih oleh Nora. Bisa dikatakan Nora mengatur semuanya mulai restoran hingga jam bertemu.Adeline kini sudah duduk di kursi yang sudah dipesan Nora. Malam itu dia memakai gaun sederhana, tetapi tetap menunjukkan keanggunan nyata. Rambut cokelat panjang dan tebal biasanya tergurai sekarang diikat dengan model pony tail. Pun riasan tipis berkesan anggun membuatnya memang benar-benar sangat cantik.Saat memasuki restoran mewah itu, sudah banyak pria yang tak berkedip menatap Adeline. Namun sekali lagi, Adeline begitu tak peduli. Dia tetap duduk dengan anggun di kursi yang disiapkan, dan mengabaikan banyak mata yang menatapnya.Sejak masuk ke dalam dunia entertainment, Adeline begitu menjaga penampilan. Jadi, kalau dia menjadi sorotan sudah bukan lagi hal biasa. Dia malah menganggap orang-
Aroma wine begitu tercium. Asher berdiri di ruang kerjanya yang ada di penthouse-nya, sambil melihat pemandangan kota Paris. Jemari kokoh pria tampan itu mencengkeram kuat gelas berkaki tinggi yang telah berisikan wine.Asher menyesap perlahan wine itu, menatap lurus ke depan, dengan pikiran yang tak tenang. Dua hari berlalu setelah kejadian di mana dia mencium Adeline, berhasil membuat pikirannya jelas tidak beraturan. Dia mencoba melupakan, tetapi sialnya tak bisa.Asher seakan terbelenggu di suatu hal yang dia ciptakan sendiri. Dia tak mengerti kenapa sampai dirinya lepas kendali. Padahal harusnya dia mampu mengendalikan diri. Namun, sial ucapan Cole kemarin yang membahas adegan di film, membuatnya benar-benar kacau.“Tuan ....” Paul melangkah masuk ke dalam ruang kerja Asher.Asher menoleh, mengalihkan pandangannya pada Paul. “Ada apa kau ke sini?” tanyanya dingin.Paul menundukkan kepala. “Maaf mengganggu Anda, Tuan. Saya hanya ingin memberi tahu Anda kalau di depan ada Tuan Cole
Dua hari meliburkan diri, cukup membuat hati Adeline jauh lebih baik. Dia bahkan banyak meluangkan waktu untuk kedua anaknya. Meski pikirannya terus kacau, tetapi paling tidak dia bisa cukup agak tenang, karena meliburkan diri menjauh dari banyak hal.Adeline tak sama sekali merespons panggilan telepon atau pesan yang membahas pekerjaan. Semua diserahkan ke Nora untuk memberi tahu banyak pihak, bahwa dia sedang off sebentar.Liburan singkat ini memang tidak serta merta membuat Adeline lupa kejadian di mana Asher menciumnya secara kurang ajar. Gejolak emosi di dalam diri, tentu tak bisa lepas begitu saja dari dalam dirinya. Namun, setidaknya dia memiliki ruang sedikit untuk bernapas. Adeline sadar betul bahwa sejak di mana dia bertemu dengan Asher, dia harus menghadapi badai yang datang. Hidupnya dulu tenang, tak ada gangguan. Akan tetapi, sejak semesta mempertemukannya lagi dengan Asher, jelas menimbulkan rasa yang tak lagi nyaman.Asher adalah investor besar di project film yang Ad
Langit malam tampak gelap. Awan mengumpul menunjukkan kemegahannya. Namun, sayangnya bintang dan bulan tak terlihat. Bisa dikatakan ada tanda-tanda mendung—hanya saja rintik hujan tak langsung turun membasahi bumi.Cuaca yang mendung. Adeline duduk di ranjang tepatnya di tengah-tengah antara Leo dan Aurelia. Seharian dia mengajak dua anaknya untuk berjalan-jalan. Mulai dari makan di luar, hingga bermain di taman.Hari cukup melelahkan. Adeline mengajak anak kembarnya untuk istirahat. Dia kini sedang membacakan dongeng—pengantar tidur untuk anak kembarnya. Namun, terlihat si kembar masih semangat mendengarkan dongeng. Malah belum menunjukkan tanda-tanda mengantuk.“Mommy, apakah princess benar-benar akan bertemu dengan seorang pangeran?” tanya Aurelia tampak semangat.Adeline mengangguk. “Ya, Princess, akan bertemu dengan Pangeran, di waktu dan cara yang tepat.”Leo menatap Adeline dengan tatapan polos. “Seperti Mommy dan Daddy yang dulu bertemu, dan saling mencintai?”Adeline terdiam