Aroma tembakau begitu kuat melebur bersamaan dengan alkohol. Tampak di sebuah kamar di hotel mewah terdapat sosok pria tampan dan gagah yang berdiri di dekat jendela besar, melihat pemandangan kota Paris yang gemerlap menunjukkan kemewahan.
Langit malam tampak mendung. Sesekali muncul kilat petir, tetapi tak ada suara gelegar—seolah langit memberikan tanda bahwa cuaca tidak baik di suasana musim semi itu.
“Tuan Asher ....” Paul Benson—asisten pribadi Asher—melangkah menghampiri Asher yang sejak tadi hanya berdiam diri di depan jendela besar—menatap hamparan kota Paris.
“Kenapa kau tidak bilang padaku tentang Adeline?!” Ini kalimat pertama yang Asher katakan, tepat di kala sang asisten menghampirinya.
Ya, Asher tak pernah tahu kalau Adeline berkarier di Paris, bahkan sampai menjadi artis ternama. Selama ini, bisa dikatakan dirinya terlalu fokus dengan pekerjaannya yang ada di New York, sampai tak mengikuti perkembangan yang terbaru.
Hari ini, tepat di kala Asher bertemu kembali dengan Adeline setelah empat tahun berpisah, membuatnya cukup tercengang. Apalagi fakta tentang Adeline menjadi seorang artis adalah hal yang tak pernah dia sangka sama sekali.
Empat tahun ini, Asher bisa dikatakan tak pernah tahu kabar Adeline. Pernah dia ingin tahu, tetapi dia menahan diri, karena dia ingat perpisahan ini terjadi atas keinginannya. Dia berpikir Adeline mungkin saja pergi ke sebuah kota terpencil, dan melanjutkan hidup di sana.
Namun, tak pernah sama sekali dia sangka Adeline berada di kota mewah ini. Hal yang paling tak pernah Asher kira adalah Adeline menjadi seorang artis. Yang selama ini dia tahu Adeline tak bisa berbahasa Prancis, tapi kenapa tiba-tiba wanita itu mampu berbahasa asing?
Banyak dugaan-dugaan muncul di kepalanya, mencoba menerka-nerka mencari jawaban yang tepat. Sialnya banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya itu—tak langsung mendapatkan jawaban pasti. Semua seakan abu-abu tak menunjukkan arah sama sekali.
Paul menundukkan kepala, di kala mendapatkan teguran keras dari tuannya. “Tuan, jujur saya sendiri tidak menyangka Nyonya Adeline menjadi seorang artis. Saya memang sudah mendengar kemungkinan artis yang akan menjadi peran utama di project film ini, tapi nama Adeline Hart di dunia ini bukan hanya satu, Tuan. Itu yang membuat saya jujur merasa ragu.”
“Tapi kenyataannya pemeran utama dari project film ini adalah Adeline Hart, mantan istriku,” ucap Asher tampak geram.
Paul masih belum berani mengangkat kepalanya. Dia menyadari kesalahannya yang tidak dulu memasikan. Alhasil sekarang dia mendapatkan masalah. Dia menganggap bahwa nama Adeline Hart di dunia ini banyak, Cara pikirnya membuat malapetaka untuk dirinya sendiri.
“Tuan, apa Anda ingin saya mencari tahu tentang kehidupan Nyonya Hart selama berada di Paris?” tawar Paul, seraya memberanikan diri menatap Asher.
Asher mendecakkan lidahnya. “Untuk apa aku harus tahu kehidupan mantan istriku?” balasnya tajam.
Paul menggaruk tengkuk lehernya tak gatal, bingung dengan apa mau dari tuannya itu. “Hm, Tuan, lalu setelah Anda tahu artis yang menjadi pemeran utama di project film ini adalah istri Anda, apa yang kira-kira Anda ingin lakukan, Tuan?” tanyanya dengan nada sangat hati-hati.
Asher mengembuskan napas kasar. “Tidak ada. Tidak ada yang ingin aku lakukan,” jawabnya dingin, dan tajam. “Sekarang kau keluarlah. Jangan ganggu aku!” Pria itu langsung mengusir asistennya, di kala kepalanya terasa benar-benar penat. Meski banyak pertanyaan bergejolak, tetapi logika membuat ego di dalam dirinya muncul—hingga lidahnya tak bisa untuk mengeluarkan pertanyaan.
“Baik, Tuan. Saya permisi.” Paul menundukkan kepalanya, dan melangkah pergi meninggalkan tuannya.
Asher tetap bergeming di tempatnya, melihat gemerlap kota Paris di malam hari. Sorot mata pria tampan itu tajam—menunjukkan banyak hal yang sedang berkecamuk di dalam pikirannya.
***
{Adeline, hari ini ingin bertemu dengan sepupuku. Maaf, aku tidak bisa menemanimu bertemu dengan Cole. Tolong kau temui Cole di kafe langganan kita sendiri saja, ya? Nanti aku akan mengirimkan pesan pada Cole. Sekali lagi, maafkan aku. Ada hal urgent yang tidak bisa aku tinggal. Nanti malam aku akan menemuimu.}
Pagi menyapa, di kala Adeline sedang menikmati secangkir teh hijau, ada pesan masuk dari Nora. Ya, sekitar satu jam lalu, memang Nora menghubunginya, mengatakan Cole Black mengajakannya bertemu. Tentu seperti biasa Nora seharusnya menemaninya, tetapi pesan singkat yang baru saja masuk ini, membuatnya harus menemui Cole sendirian.
Adeline mendesah panjang. Wanita cantik itu melirik jam dinding, melihat waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Anak kembarnya sudah berangkat sekolah ditemani pengasuh. Maksud hati dia menunggu sampai Nora datang menjemputnya, tapi mau tak mau kali ini dia harus berangkat sendirian.
Tak ingin menunda-nunda, Adeline segera mengambil ponsel dan tasnya, dan melangkah keluar dari apartemen. Sambil berjalan menuju lobi, dia menghubungi taksi agar datang menjemputnya di lobi.
Adeline memiliki satu mobil yang dia dapatkan dari hasil jerih payah menjadi seorang artis, tetapi dia jarang sekali mengemudi. Dia terlalu terbiasa diantar oleh Nora. Hal itu yang membuatnya nyaman untuk memanggil taksi daripada harus mengemudi.
Perjalanan apartemen Adeline menuju kafe yang ditentukan oleh Nora untuk bertemu dengan Cole memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Jujur, dia tak tahu apa alasan Cole memintanya untuk menemui pria itu. Padahal tadi malam, dia sudah bertemu dengan Cole, walau pembahasan menurutnya masih abu-abu di pandangannya.
Tadi malam harusnya menjadi malam yang spektakuler. Adeline harusnya bahagia membahas projec film terbaru. Apalagi film ini diangkat dari sebuah novel best seller. Akan tetapi, semua seakan buyar di kala dirinya dipertemukan dengan Asher—sang mantan suami yang sudah bertahun-tahun tak lagi dia temui.
Adeline kini turun dari taksi, dan membayar sang sopir dengan beberapa lembar uang. Meski ada kembalian dari sang sopir taksi, tetapi dia meminta sang sopir taksi untuk menyimpan kembalian tersebut. Sopir yang sudah tua, membuat Adeline iba. Dia tak tega sampai harus menerima kembalian uang dari sang sopir taksi itu.
Sopir taksi sudah pergi setelah mengucapkan terima kasih pada Adeline. Lantas, Adeline masuk ke dalam kafe, dan di kala dia hendak menghampiri Cole—dia malah melihat Cole bangkit berdiri.
“Cole,” panggil Adeline bingung, melihat Cole tampak seperti ingin pergi. Padahal dirinya baru saja datang. Pun dia merasa bahwa dirinya datang tepat waktu.
Cole tersenyum, sambil menatap Adeline. “Hey, Adeline. Aku sudah dengar dari Nora, dia tidak bisa menemanimu, karena hari ini dia memiliki urusan. Thanks, kau sudah datang tepat waktu. Kita langsung berangkat saja sekarang.”
Kening Adeline mengerut, menatap Cole dengan tatapan tak mengerti. “Wait, kita berangkat ke mana? Bukankah ini tempat yang sudah ditentukan Nora untuk kau bertemu denganku?” tanyanya memastikan.
Cole mengangguk. “Kau benar. Nora memang sudah menentukan tempat ini. Tapi, tadi baru saja asistenku melaporkan padaku, bahwa aku harus bertemu dengan Tuan Asher Lennox. Jadi, menurutku lebih baik kau ikut saja denganku. Nanti kita bisa sambil ngobrol di sana.”
Raut wajah Adeline menegang mendengar apa yang dikatakan Cole. “Kau mengajakku bertemu dengan A–Asher?” tanyanya lagi spontan.
Kening Cole mengerut, menatap bingung Adeline yang memanggil Asher Lennox—sang investor besar dengan sebutan nama. “Kau terlihat sudah akrab dengan Tuan Lennox? Apakah tadi malam percakapanmu dengannya sudah sangat dekat?” balasnya bertanya.
Adeline panik, menyadari apa yang dia ucapkan salah. Sungguh, dia merutuki dirinya yang bodoh kenapa sampai memanggil nama Asher Lennox dengan panggilan non formal, seakan dirinya mengenal pria itu.
“M–maaf, aku sepertinya masih mengantuk. Tadi malam aku tidur tidak pulas. Maksudku kenapa kau harus mengajakku bertemu dengan Tuan Lennox? Aku yakin kau bisa berangkat sendiri, kan?” ujar Adeline berusaha tenang.
“Ya, aku memang bisa berangkat sendiri. Tapi, ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan padamu. Jadi, aku rasa kau harus ikut.”
“Cole, tapi—”
“Come on, Adeline. Aku tidak memiliki banyak waktu. Tuan Lennox paling tidak suka menunggu lama. Tolong jangan buat aku terlambat,” potong Cole mulai kesal dengan Adeline.
Adeline benar-benar merasa tersudut. Wanita itu bingung harus seperti apa. Namun, di sisi lain dia sadar bahwa dirinya tak bisa untuk bersikap seenaknya. Dia bekerja di dunia entertainment—di mana dia harus menuruti aturan yang ada.
“Baiklah, aku ikut denganmu,” jawab Adeline terpaksa. Baru saja dia ingin mengawali pagi, dengan tanpa memikirkan mantan suaminya, tapi malah takdir seakan membuatnya dekat dengan sang mantan suami.
Cole tersenyum samar. “Good, thanks tidak mempersulitku,” jawabnya yang melangkah keluar dari kafe.
Adeline bergeming sebentar di kala Cole sudah pergi. Kakinya seakan enggan untuk pergi. Namun mata Cole mengisyaratkannya untuk bergerak—membuatnya tak berdaya sama sekali. Dia melangkah mengikuti Cole—dengan raut wajah membendung rasa kesal.
Aroma alkohol begitu kuat melebur bersamaan dengan tembakau. Kepulan asap yang sempat memenuhi ruangan, tetapi kepulan asap itu hanya sebentar, dan lenyap bagaikan tak pernah ada. Hanya tinggal aroma yang melebur bersamaan dengan aroma alkohol yang kuat.Asher duduk di kursi kebesarannya yang ada di ruang kerjanya, dengan aura wajah penuh amarah dan sorot mata tajam layaknya seperti ingin membunuh. Pria tampan itu terlihat ingin meledakan amarah, tetapi sejak tadi dia mati-matian menahan diri.Tangan kokohnya mencengkeram kuat gelas sloki. Kukunya sudah memutih akibat dia menekan sloki kuat. Jika tekanan makin kuat, bisa dipastikan sloki itu akan hancur lebur. Sekali lagi, pria tampan itu benar-benar berusaha keras meredam amarah yang membakar dirinya. Beberapa menit lalu, Adeline baru saja pergi dari hadapannya, tetapi dia seakan merasa bahwa bayang-bayang wanita itu masih di depannya. Gejolak api amarah sudah tak tertahankan. Semua bermula dari ucapan Adeline—yang seakan sukses me
Mata Adeline terhunus tajam pada pria di hadapannya itu. Aura kemarahan begitu kental terlihat. Namun, dia tak mau gegabah. Dia sengaja berjuang keras mengendalikan diri, agar dia tak kalah. Jika dia sampai langsung memaki, sama saja dengan dirinya kalah.“Kau tahu? Yang membuatku paling terkejut adalah kau sangat lucu, Asher. Kau jelas tahu bahwa tindakan yang kau lakukan akan membuat orang berpikir macam-macam. Well, kau menggali kuburmu sendiri,” ucap Adeline dingin, dan tajam.Asher sedikit menjauh, tetapi tatapannya masih intens menatap Adeline yang sejak tadi melayangkan tatapan tajam padanya. “Apa yang aku lakukan adalah yang terbaik. Dan harusnya kau berterima kasih padaku. Aku bisa menyelamatkan nama baikmu.”Adeline tersenyum sinis, mendengar jawaban Asher. “Malam ini, aku bertemu dengan Cole bersama dengan Nora. Aku pikir Cole akan membahas tentang project fiim ke depannya, atau mungkin dia membahas promosi film, tapi ternyata Cole memintaku untuk bersabar, karena kemungkin
Mobil Nora meluncur perkotaan dengan kecepatan sedang. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, dan tentu suasana masih terlihat ramai. Banyak orang berlalu lalang di trotoar, dan tak jarang muda-mudi melalui jalan di trotoar sambil tertawa bahagia.Keheningan membentang. Adeline duduk di samping Nora yang mengemudi, dengan sorot mata lurus ke depan, membendung sesuatu hal di sana. Ya, Adeline dan Nora kini dalam perjalanan menuju apartemen. Lebih tepatnya Nora ingin mengantar Adeline pulang.Seperti biasa, Nora yang selalu membawa mobil, sedangkan Adeline menjadi penumpang yang setia. Makan malam dengan Cole telah usai. Dua wanita cantik itu langsung bergegas pulang.“Adeline,” panggil Nora seraya melirik Adeline sebentar. Tampak jelas raut wajahnya menyimpan banyak hal yang ingin ditanyakan. Namun, dia tak mungkin bertanya di depan Cole.“Ya,” jawab Adeline singkat, dan datar.“Hmm, aku sedikit bingung. Sebenarnya apa yang akan kau lakukan sampai kau yakin keputusan Tuan Lennox akan b
Restoran yang dipilih untuk makan malam bersama antara Adeline, Nora dan Cole adalah L’Arpege. Lokasi restoran berada di dekat Musée Rodin—sebuah museum yang terkenal dengan patung indah. Restoran ini dipilih oleh Nora. Bisa dikatakan Nora mengatur semuanya mulai restoran hingga jam bertemu.Adeline kini sudah duduk di kursi yang sudah dipesan Nora. Malam itu dia memakai gaun sederhana, tetapi tetap menunjukkan keanggunan nyata. Rambut cokelat panjang dan tebal biasanya tergurai sekarang diikat dengan model pony tail. Pun riasan tipis berkesan anggun membuatnya memang benar-benar sangat cantik.Saat memasuki restoran mewah itu, sudah banyak pria yang tak berkedip menatap Adeline. Namun sekali lagi, Adeline begitu tak peduli. Dia tetap duduk dengan anggun di kursi yang disiapkan, dan mengabaikan banyak mata yang menatapnya.Sejak masuk ke dalam dunia entertainment, Adeline begitu menjaga penampilan. Jadi, kalau dia menjadi sorotan sudah bukan lagi hal biasa. Dia malah menganggap orang-
Aroma wine begitu tercium. Asher berdiri di ruang kerjanya yang ada di penthouse-nya, sambil melihat pemandangan kota Paris. Jemari kokoh pria tampan itu mencengkeram kuat gelas berkaki tinggi yang telah berisikan wine.Asher menyesap perlahan wine itu, menatap lurus ke depan, dengan pikiran yang tak tenang. Dua hari berlalu setelah kejadian di mana dia mencium Adeline, berhasil membuat pikirannya jelas tidak beraturan. Dia mencoba melupakan, tetapi sialnya tak bisa.Asher seakan terbelenggu di suatu hal yang dia ciptakan sendiri. Dia tak mengerti kenapa sampai dirinya lepas kendali. Padahal harusnya dia mampu mengendalikan diri. Namun, sial ucapan Cole kemarin yang membahas adegan di film, membuatnya benar-benar kacau.“Tuan ....” Paul melangkah masuk ke dalam ruang kerja Asher.Asher menoleh, mengalihkan pandangannya pada Paul. “Ada apa kau ke sini?” tanyanya dingin.Paul menundukkan kepala. “Maaf mengganggu Anda, Tuan. Saya hanya ingin memberi tahu Anda kalau di depan ada Tuan Cole
Dua hari meliburkan diri, cukup membuat hati Adeline jauh lebih baik. Dia bahkan banyak meluangkan waktu untuk kedua anaknya. Meski pikirannya terus kacau, tetapi paling tidak dia bisa cukup agak tenang, karena meliburkan diri menjauh dari banyak hal.Adeline tak sama sekali merespons panggilan telepon atau pesan yang membahas pekerjaan. Semua diserahkan ke Nora untuk memberi tahu banyak pihak, bahwa dia sedang off sebentar.Liburan singkat ini memang tidak serta merta membuat Adeline lupa kejadian di mana Asher menciumnya secara kurang ajar. Gejolak emosi di dalam diri, tentu tak bisa lepas begitu saja dari dalam dirinya. Namun, setidaknya dia memiliki ruang sedikit untuk bernapas. Adeline sadar betul bahwa sejak di mana dia bertemu dengan Asher, dia harus menghadapi badai yang datang. Hidupnya dulu tenang, tak ada gangguan. Akan tetapi, sejak semesta mempertemukannya lagi dengan Asher, jelas menimbulkan rasa yang tak lagi nyaman.Asher adalah investor besar di project film yang Ad