Share

Bab 3

Author: Stars
Julian lagi nggak di rumah, aku pun mulai bersantai di apartemen.

Aku memutar stereo dengan volume penuh dan membuka sebotol anggur merah yang sudah lama kusembunyikan.

Sebelumnya, aku nggak berani menjadi diriku sendiri. Aku selalu menyesuaikan diri dengan Julian yang suka tenang.

Tapi sekarang, dengan waktu yang tersisa, aku mau hidup untuk diriku sendiri.

Sebelum pergi ke rumah sakit, aku memutuskan untuk merapikan rumah yang sudah kutinggali selama 10 tahun untuk terakhir kalinya.

Buku-buku catur dan piala-piala Julian memenuhi sebagian besar ruang.

Di sudut meja terdapat buku harian setengah jadi yang dulu kupakai untuk menulis kenangan manis kami.

Mengingat kenapa buku harian itu terbengkalai, aku tersenyum pahit.

Saat itu, Julian sedang menanjak peringkat dunia, berlatih lebih dari 15 jam sehari, sehingga nggak ada waktu untukku.

Karena nggak ada kegiatan lain, aku mulai menulis buku harian untuk menyimpan kenangan kami, dari ulang tahun hingga setiap tanda kasih sayang kecil.

Saat menunjukkan buku harian pada Julian dengan penuh antisipasi, aku diam-diam berharap dia tersentuh oleh usahaku mengabadikan hubungan kami.

Tapi melihat bukunya, Julian hanya membalik beberapa halaman, lalu mendorongnya menjauh dengan dingin sambil berkata, “Eva, aku nggak paham kenapa kau harus menulis setiap hal sepele gitu.”

“Hal-hal sentimental gini hanya buang waktu saja. Lebih baik kau gunakan waktunya untuk hal yang produktif, misalnya bantu menata catatan pertandinganku.”

Aku ingin melawan, ingin bertanya kenapa dia memperlakukan aku serendah gitu.

Tapi saat melihat tatapan hina di matanya, aku nggak sanggup bicara.

Setelah lama kutahan, rasa cemburu yang nggak kusadari tiba-tiba muncul.

Aku akhirnya bertanya, “Kalau Kelly yang tulis, apa kau akan mengatakan hal yang sama?”

Suaranya menjadi semakin dingin, seperti hembusan angin dari kutub.

“Catur adalah permainan intelektual yang anggun dan rumit.”

“Dia nggak akan buang waktunya untuk hal yang kekanak-kanakan gitu.”

Benar, hanya aku yang begitu bodoh dan menyedihkan, berpikir buku harian cinta bisa menyentuh hatinya.

Sejak itu, aku berhenti menulis.

Sekarang, saat ingatan mulai pudar, aku sadar nggak ada apa pun yang bisa mengingatkanku pada cinta kami yang dulu.

Selain itu, masih banyak hal yang harus kuurus.

Rumah ini penuh dengan jejak hidupku yang seluruhnya berpusat pada Julian.

Jadwal turnamennya masih tertempel di kulkas.

Biji kopi Arabika kesukaannya masih ada di atas meja kopi.

Rak buku yang tertata rapi penuh dengan majalah catur yang dulu aku pesan untuknya.

Di dinding tergantung satu-satunya foto kami bersama yang diambil saat upacara penghargaan.

Dalam foto itu, Julian menatap ke arah kamera, sementara aku menatap dirinya.

Sama seperti yang kulakukan setiap hari selama 10 tahun terakhir.

Aku mulai membuang semua itu, satu per satu.

Biji kopi kubuang ke tong sampah, majalah-majalah catur kumasukkan ke kotak daur ulang.

Foto itu bahkan kukoyak jadi 2.

Bagian foto yang ada Julian-nya kusimpan, sementara bagianku kubuang.

Lemari di kamar tidur juga perlu dirapikan.

Sebagian besar pakaianku dibeli untuk menyesuaikan acara-acara yang dihadiri Julian.

Gaun kecil hitam yang elegan, cocok untuk acara penghargaan.

Setelan rapi dan sopan, cocok untuk pertemuan keluarga.

Jeans polos yang selalu kupakai di rumah, selalu siap saat dia memanggil.

Setiap pakaian di lemari menceritakan kisah tentang hidupku yang selalu berpusat padanya.

Kelly nggak kayak aku.

Dia bisa berdiskusi dengan Julian tentang catur dan menganalisis strategi catur.

Kelly selalu duduk di kursi VIP setiap pertandingan besar.

Kamera selalu berhasil menangkap interaksi mereka yang tampak begitu akrab.

Pada saat-saat seperti itu, aku pun harus mengakui bahwa mereka memang pasangan yang serasi.

Sama cerdasnya dan sama jiwanya.

Mereka terlihat seperti pasangan yang sesungguhnya.

Setelah selesai berkemas, aku menarik koperku ke depan pintu.

Aku menoleh sekali lagi untuk terakhir kalinya, lalu pergi ke rumah sakit.

Saat mobil keluar dari kompleks, ponselku bergetar.

Itu dari agen Julian, Leo Lonardo.

[Eva, kau sudah menindaklanjuti wawancara majalah olahraga buat besok?]

Tak lama kemudian, pesan Julian masuk.

[Ponselmu kok nggak aktif? Leo nggak bisa menghubungimu.]

Aku nggak tahu gimana memberitahunya bahwa saat dia pulang nanti, aku sudah nggak di dunia ini lagi...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Dia Menang, Aku Hilang   Bab 12

    Saat Julian tiba, pemakaman hampir selesai.Dokter Marvin telah menyampaikan kata-kata terakhir untukku dan anak-anak dari rumah sakit menundukkan kepala dalam hening sejenak.Natal ini, setiap anak-anak akan punya hadiahnya sendiri.Nggak ada yang tahu apakah mereka akan diingat tahun depan.Suara nyanyian lembut anak-anak terdengar di pemakaman yang sepi.Lagu Natal yang entah kenapa membuat mata semua orang berlinang air mata.Saat itulah Julian melihat namaku di batu nisan.Fotoku selamanya menatapnya dengan tersenyum tipis.Dokter, perawat dan anak-anak yang mengantarku berdiri di dekat makam.Di tengah lautan pakaian hitam yang khidmat, setelan tuksedo Julian tampak sangat mencolok.Tapi justru dia yang menangis paling putus asa.“Eva, apaan ini?”“Katamu kau lagi di retret kesehatan. Katamu nggak ada sinyal.”“Aku percaya semua yang kau katakan. Kau kok tega tinggalin aku kayak gini?”Aku duduk di atas batu nisanku sendiri dan menatap dengan tenang saat Julian berlutut sambil me

  • Saat Dia Menang, Aku Hilang   Bab 11

    Selama 10 tahun, orang-orang ini sudah bosan sama aku dan ingin memutuskan segala hubungan.Mereka buru-buru jemput Julian dari bandara untuk menghapus jejak kematianku yang mereka sebut sial dengan sebuah acara bahagia.Suapya Julian menikahi Kelly dan meneruskan kehormatan serta status keluarga.Dua puluh menit kemudian, suara meriam upacara menggema di halaman kediaman.Melihat ini, Julian kaget dan menatap ke arah kediaman dengan mata terbelalak.“Apa ini?” tanya Julian dengan nada tegang karena bingung.“Cepat ganti pakaian ini,” ucap sepupu Julian sambil menyerahkan sebuah tuksedo hitam pada Julian.“Ini dibuat khusus. Pas sekali untukmu.”Julian menerima tuksedo itu dengan gerakan kaku.Saat aku menggeleng, ibu Julian mengangguk-angguk dan menarik Julian masuk untuk berganti pakaian.Saat aku pertama kali datang ke rumah ini, ibu Julian pernah menunjukkan gaun pengantin warisan keluarga padaku.Dulu, aku sempat membayangkan sosok Julian mengenakan jas pengantin.Ternyata persis

  • Saat Dia Menang, Aku Hilang   Bab 10

    Begitu mendengar kabar itu, Julian membeku, seolah seluruh tubuhnya mengalami korslet.Ekspresinya berubah-ubah antara terkejut dan menderita, pipi pucatnya bergetar hebat.Pria yang kukira nggak akan pernah menangis untukku meraba-raba kopernya dengan linglung dan mengeluarkan sebuah pulpen tua.Itu hadiah pertamaku untuknya, pulpen yang terukir inisial namanya.Aku membelinya dengan uang hasil kerja paruh waktu sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-18.Julian menempelkan pulpen itu ke pipinya dan menggosoknya berulang kali sampai kulitnya memerah.Julian menatap kosong informasi penerbangan yang berkedip di layar besar Bandara Jafeka.Julian tersenyum patah, lalu berkata, “Nggak mungkin … Dia bilang dia lagi di retret kesehatan …”Julian nggak berani melanjutkan pikirannya.Tapi dia terlalu cerdas, terlalu peka.Dia tiba-tiba teringat gimana aku selalu mengecilkan diri di antara orang-orang elit itu.Aku melihat Julian menutup wajahnya dan air mata membasahi jarinya, lalu bertanya de

  • Saat Dia Menang, Aku Hilang   Bab 9

    Saat merekam video itu, aku berusaha keras biar nggak kelihatan terlalu lemah.Efek samping kemoterapi telah membuat berat badanku turun 11,3 kg.Apa pun yang kutelan, selalu dimuntahkan lagi.Aku merasa diriku tampak terlalu lelah di depan kamera, jadi aku memaksakan diriku untuk berdandan selama setengah jam.Tapi saat aku melihat pantulan diriku di cermin dengan bibir merah mencolok di wajahku yang pucat, aku justru merasa ngeri.Tiba-tiba aku teringat saat dulu aku menemani Julian ke sebuah wawancara, aku nggak sengaja mendengar bisikan beberapa wartawan gosip di kamar mandi.“Kalau saja dia bukan pacarnya Julian.”“Aku beneran nggak akan mau mewawancarainya. Dia membosankan, nggak punya pesona dan bikin rating jatuh.”“Penampilannya di depan kamera buruk sekali. Kelly jauh lebih cantik dan memikat.”“Sayang sekali jadwal wawancara Kelly sudah penuh …”Setelah mendengar itu, aku melatih bersenyum di kamar mandi supaya terlihat lebih alami.Aku pikir aku bisa tampil lebih baik setel

  • Saat Dia Menang, Aku Hilang   Bab 8

    Prosedurnya berlangsung persis seperti yang dijelaskan Dokter Marvin.Saat obat mulai mengalir di nadiku, tubuhku terasa tenggelam ke laut yang dingin dan dalam.Tubuhku terasa berat, mati rasa dan napasku pun berhenti.Saat kubuka mata lagi, aku sudah melayang di antara penonton turnamen di Etiropia.Sebuah layar raksasa menunjukkan pukul 7 malam, Waktu Etiropia Tengah.Pertandingan final sedang berlangsung dan Julian jelas tampak unggul.Hanya tinggal beberapa langkah lagi menuju kemenangan mutlak.Kemungkinan Julian untuk menang kini mencapai 90 persen.Seluruh penonton terdiam.Para wartawan sibuk menekan tombol kamera mereka.Seluruh dunia menunggu untuk menyaksikan momen bersejarah ini.Julian duduk di depan papan catur, jarinya menggantung di atas benteng putih.Hanya tinggal beberapa langkah kecil untuk skakmat lawannya.Gelar juara dunia sudah di depan mata.Namun, tangannya tiba-tiba terhenti.Julian mendongak dan matanya menyapu ke seluruh arena.Lalu, dia menjatuhkan rajany

  • Saat Dia Menang, Aku Hilang   Bab 7

    Keesokan harinya, berita tentang perubahan drastis gaya permainan Julian tersebar di mana-mana.[Gaya permainan Julian mengejutkan dunia catur! Para ahli bingung!][Jenius catur goyah! Apakah masalah pribadi yang menjadi pemicunya?][Kelly Kiara mengisyaratkan ‘ketidakstabilan emosional’ tunangannya adalah penyebabnya!]Perawat-perawat di rumah sakit selalu berjalan pelan di sekitarku dan memerhatikan ekspresiku.Mereka kira aku nggak mau melihat berita apapun dari mereka.Tapi aku sudah nggak peduli sama apa pun.Aku hanya menyelesaikan boneka-boneka beruang di tanganku dengan tenang.Setiap jahitan adalah sisa kasih sayang terakhir yang bisa kukasih.Malam sebelum prosedur, aku menuntaskan semua persiapanku.Aku mengemas dan mengirim semua boneka yang sudah kujahit selama 8 bulan.Bersamaan dengan itu, aku mengirim 6 undangan pemakaman.Karena prosedurnya dijadwalkan dengan rapi, aku bahkan bisa mengatur perpisahanku sendiri.Perawat, Lisa Sumarno, menatap pria di TV yang baru saja m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status