Short
Cahaya yang Tertunda

Cahaya yang Tertunda

Oleh:  Penulis No. 7Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
25Bab
8Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Baru saja masa nifasnya usai, Winda Baskoro menggendong bayinya ke Dinas Kependudukan untuk mengurus kartu keluarga. "Pak, nama anakku Alex Harto." Petugas itu mengetik beberapa kali pada keyboard, tetapi dahinya makin berkerut. "Di kartu keluarga Tama Harto, sudah tercatat seorang anak bernama Alex Harto." Winda tertegun, mengira dirinya salah dengar. "Nggak mungkin, anak kami baru genap sebulan!" Belum selesai bicara, ponsel di sakunya bergetar. Saat dia membuka layar, terlihat foto dari asisten Tama, Sania Marsudi. Dalam foto itu, Tama merangkul pinggang Sania dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggendong bocah laki-laki sekitar lima atau enam tahun. Ketiganya berdiri di depan gerbang TK, tersenyum begitu cerah hingga menyilaukan mata. Di papan nama yang tergantung di dada bocah itu, tertera jelas namanya, Alex Harto.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1

Baru saja masa nifasnya usai, Winda Baskoro menggendong bayinya ke Dinas Kependudukan untuk mengurus kartu keluarga.

"Pak, nama anakku Alex Harto."

Petugas itu mengetik beberapa kali pada keyboard, tetapi dahinya makin berkerut. "Di kartu keluarga Tama Harto, sudah tercatat seorang anak bernama Alex Harto."

Winda tertegun, mengira dirinya salah dengar. "Nggak mungkin, anak kami baru genap sebulan!"

Belum selesai bicara, ponsel di sakunya bergetar.

Saat dia membuka layar, terlihat foto dari asisten Tama, Sania Marsudi.

Dalam foto itu, Tama merangkul pinggang Sania dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggendong bocah laki-laki sekitar lima atau enam tahun. Ketiganya berdiri di depan gerbang TK, tersenyum begitu cerah hingga menyilaukan mata.

Di papan nama yang tergantung di dada bocah itu, tertera jelas namanya, Alex Harto.

Tak lama kemudian, muncul sebuah pesan masuk.

[Nona Winda, bagaimana rasanya jadi selingkuhan? Selamanya kamu akan hidup dalam bayang-bayangku sebagai istri sahnya.]

Jantung Winda terasa seperti dicengkeram tang besi, ujung jarinya gemetar saat berkata pada petugas, "Tolong… periksa lagi status pernikahan Tama."

Lembaran kertas yang keluar dari printer tampak ringan, namun ketika mendarat di telapak tangannya, terasa bagai menahan beban seribu kilogram.

Di kolom pendaftaran pernikahan Tama, nama pasangan tertulis nama Sania dengan jelas dan tanggal menikahnya adalah tujuh tahun lalu.

"Nona, mau tetap mengurus akta anak ini?" tanya petugas, suaranya terdengar samar dan jauh.

Winda menatap wajah putrinya yang sedang terlelap dalam gendongan, senyum getir muncul di bibirnya.

"Masukkan saja ke kartu keluarga-ku, sekalian ganti nama anaknya."

Saat melangkah keluar dari Dinas Kependudukan, langkah Winda terasa limbung bagai menginjak kapas.

Ponselnya kembali bergetar, sebuah pesan dari Tama.

[Sayang, aku sedang rapat di kantor. Pulangnya agak sore untuk menemanimu dan bayi.]

Melihat kata 'Sayang', Winda hanya bisa merasa ironis.

Selama tahun-tahun pernikahan mereka, Tama selalu memanggil Winda seperti itu, dia akan melapor kalau keluar, pelukan kalau pulang. Semua perhatian lembut itu sekarang terasa penuh sindiran.

Saat membuka pintu mobil dan duduk, jari-jari Winda gemetar hingga kunci pun tak bisa dimasukkan.

Dia paham aturan di kalangan mereka, kebanyakan pasangan kaya punya pikiran sendiri, tetapi Tama dulu berbeda.

Pernah di sebuah pesta, seorang sosialita menghina Winda di depan banyak orang. Keesokan harinya, Tama membuat keluarga itu bangkrut dan mereka meninggalkan kota dengan wajah tertunduk malu.

Saat Winda berkata bahwa dirinya menyukai edisi terbatas dari toko tertentu, Tama bisa terbang melintasi samudra untuk membelikannya, hanya demi melihat Winda tersenyum.

Yang paling membekas dalam ingatannya adalah insiden salah laporan hasil cek kesehatan.

Seorang perawat salah memberikan laporan yang mengatakan bahwa Winda menderita gagal ginjal. Mata Tama langsung merah.

Dia memegang erat jas putih dokter itu sambil berteriak, "Ambil ginjalku buat dia! Dua-duanya juga boleh! Kalau dia nggak ada, aku juga nggak mau hidup!"

Setelah tahu semuanya salah, pria yang biasanya tegas dan tanpa ampun di dunia bisnis itu, malah berjongkok di lorong rumah sakit, menangis seperti anak kecil.

"Syukurlah, Winda… yang penting kamu baik-baik saja."

Orang-orang di sekitar Winda selalu mengingatkannya, bisnis Tama makin sukses, pasti tidak lepas dari godaan wanita-wanita di sekelilingnya.

Namun, Tama memperlakukannya begitu baik, begitu baik sampai Winda sama sekali tidak pernah menaruh rasa curiga.

Namun, mengapa justru Sania?

Padahal dulu Tama jelas paling meremehkan Sania.

Sania dulunya adalah pengasuh rumah tangga Keluarga Bagaskoro. Suatu kali dengan sengaja mengenakan gaun berpotongan rendah untuk mengantarkan kopi pada Tama.

Tama langsung membanting cangkir dan membentaknya dengan keras, "Jangan pakai trik-trik murahan ini di depanku! Besok kamu jangan datang lagi!"

Setelah itu, dia langsung merengkuh Winda ke dalam pelukannya, tatapannya penuh hasrat.

"Sayang, di hatiku cuma ada kamu seorang. Perempuan-perempuan murahan seperti itu, aku usir satu per satu!"

Sania menangis tersedu sampai berlutut dan mengetukkan kepala memohon ampun. Namun, Tama bahkan tak melirik sedikit pun.

"Aku hanya mencintai Winda. Mataku nggak bisa menoleransi setitik pun noda. Perempuan kotor sepertimu, jangan pernah muncul di depanku lagi."

Sania bangkit dengan wajah pucat, lalu hari itu juga dia mengemasi barang-barangnya dan berjalan pergi.

Beberapa waktu kemudian, ketika Tama mempekerjakannya sebagai asisten pribadi di perusahaannya, dia menjelaskan hal ini pada Winda.

"Winda, setelah dia dipecat, keluarganya ingin menikahkannya dengan duda tua. Dia tampak putus asa dan ingin bunuh diri terus-terusan. Aku takut kalau dia nanti akan menyebarkan gosip soal kita di luar, jadi lebih aman kalau dia tetap di dekatku."

Waktu itu Winda percaya.

Siapa sangka, dua orang itu justru berselingkuh tepat di depan matanya selama lebih dari enam tahun, bahkan sudah punya anak berusia enam tahun.

Winda menggertakkan gigi, menahan rasa perih di matanya, lalu menghubungi detektif swasta.

Setengah jam kemudian, sebuah video beserta titik lokasi terkirim padanya.

Winda langsung menyetir menuju lokasi yang ditunjukkan.

Tama ternyata sama sekali tidak berada di kantor, melainkan baru saja selesai menghadiri rapat orang tua di TK Alex.

Dia menggenggam tangan Sania, memeluk anak laki-laki bernama Alex di pelukannya, ketiganya berjalan berdampingan menyeberang jalan. Senyum hangat yang mengembang di wajah Tama terasa lebih tulus dibandingkan foto keluarga mana pun yang pernah mereka ambil bersama, membuat mata Winda terasa pedih.

Dia menginjak gas dan membuntuti mereka sampai ke kawasan vila di pinggiran kota.

Tampak olehnya Tama turun dari mobil lebih dulu, mengeluarkan sekotak besar mainan dari bagasi.

Anak lelaki bernama Alex itu bersorak gembira lalu berlari membawa mainannya. Sania bersandar lebih dekat ke pelukan Tama dan berkata sambil memarahi, "Kamu terlalu memanjakannya."

"Dia anakku. Kalau bukan aku yang manjain dia, siapa lagi?"

Tama menunduk, mencium bibirnya sekilas. "Lagi pula, hari ini dia dapat penghargaan terbanyak. Ini membuatku bangga."

Sania mendongak menatapnya, matanya merah. "Tama, terima kasih sudah menyekolahkan Alex di sekolah dasar elite terbaik."

"Sebenarnya… kelahirannya saat itu adalah sebuah kecelakaan. Aku awalnya nggak ingin mengganggumu. Bisa melihatmu dari jauh saja sudah cukup. Aku janji nggak akan mengusik hubunganmu dengan Nona Winda."

"Kamu mikir apa sih?" Tama mencubit pipinya, suaranya tidak keras, tetapi jelas.

"Dia nggak akan tahu. Lagi pula, kamulah istri sah yang tercatat di akta nikahku. Aku baik pada kalian berdua itu memang sudah seharusnya."

Sania tersenyum lega. Tiba-tiba Tama membungkuk dan berbisik di telinganya, "Sudah jadi suami-istri, bukannya kita harus menjalankan kewajiban sebagai pasangan?"

Wajah Sania seketika merona. Dia langsung digendong masuk ke vila.

Sementara Winda duduk di mobil, hatinya seperti tertikam pisau tumpul. Dia mengemudi pulang dalam keadaan linglung.

Malam itu, ketika Tama masuk, seperti biasa, begitu melangkah ke dalam rumah Tama langsung merentangkan kedua tangannya ingin memeluk Winda.

"Sayang, sudah lama menunggu, ya? Capek nggak seharian urus bayi?"

Winda tetap tenang, menggeser sedikit ke samping. "Soal kartu keluarga anak kita…"

"Masalah itu nanti biar aku yang urus. Jangan khawatir!"

Nada Tama tiba-tiba menjadi tegas, tetapi melihat wajah Winda pucat, Tama segera menurunkan suaranya dan membujuk.

"Sekarang mengurus kartu keluarga itu sangat merepotkan. Kamu baru saja selesai masa nifas, mending istirahat saja di rumah. Urusan ini serahkan padaku."

Winda menunduk dan mengangguk pelan, tanpa memberitahunya bahwa anak mereka sudah tercatat di kartu keluarga Keluarga Baskoro.

Winda bahkan tidak bilang bahwa dalam perjalanan pulang, dia sudah menelepon musuh bebuyutan yang paling dibenci Tama.

Di telepon, dia menggenggam ponsel erat, suaranya tenang, tetapi tegas.

"Aku masih lajang. Kalau kamu masih mau, tujuh hari lagi, aku akan menikah denganmu."

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
25 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status