Short
Saat Dia Menang, Aku Hilang

Saat Dia Menang, Aku Hilang

By:  StarsCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
12Chapters
11views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Pacarku, Julian Jovan adalah grandmaster catur yang jenius. Waktu umurnya 16 tahun, dia jadi grandmaster termuda yang pernah ada di Benua Nathan. Aku habiskan 10 tahun hidupku untuknya, tapi dia nggak pernah ungkit soal pernikahan. Tapi, pas dia mencapai puncak karier dan memenangkan Grand Slam, dia tetap menolak ingkar janji yang dulu dia buat sama keluarganya soal karier. “Dalam rencanaku, nggak ada pernikahan atau komitmen jangka panjang lainnya sebelum semua targetku tercapai.” Mendengar ini, aku nggak debat dengannya. Aku diam-diam kemas kopernya untuk Kejuaraan Dunia dan doakan yang terbaik untuknya. Julian nggak tahu, saat dia mengangkat piala kejuaraan di hadapan dunia, aku dengan tubuhku yang sekarat sedang menandatangani surat persetujuan kematianku sendiri.

View More

Chapter 1

Bab 1

Sebelum setiap turnamen, Julian selalu mengacak-acak ruang kerjanya. Dia orangnya suka lupa segalanya kalau sudah fokus main catur.

Dia pakai jaket, tapi lupa pakai jam tangan. Atau dia pakai baju, tapi lupa mengancingnya.

Lupa makan dan minum bahkan lebih sering terjadi.

Akulah yang selalu mengikutinya dari belakang, merapikan kekacauan yang dia tinggalkan.

Pesawatnya hari ini dijadwalkan terbang jam 4 sore.

Setelah beres barang-barang penting Julian, aku pakai sisa waktuku untuk menata ulang buku-buku catur dan bahan panduan turnamen yang berantakan di rak bukunya.

Rak paling atas sudah penuh dengan debu tebal.

Saat aku pelan-pelan usap debunya dengan kemoceng, sebuah map coklat tua nggak sengaja jatuh dari rak.

Sebelumnya aku nggak pernah lihat ini.

Aku tahu Julian orangnya sangat pelupa. Aku khawatir map itu isinya penting yang mungkin dia salah taruh. Alih-alih menaruhnya kembali, aku memilih untuk membukanya. Akhirnya, aku pun beneran membukanya.

Di dalamnya ada selembar kertas yang terlipat rapi, tebalnya setipis laporan medis yang kusimpan di saku.

Keluarga Julian adalah keluarga besar pecatur yang nggak akan membiarkan hubungan pribadi mengganggu karier seorang pemain.

Yang aku pegang waktu itu adalah surat perjanjian yang ditulis Julian untuk keluarganya 7 tahun lalu.

Kalau semua targetnya tercapai, barulah dia bisa menetap dan berkeluarga sesuai harapan kedua orang tuanya.

Kalau targetnya belum tercapai, dia janji dia nggak akan terganggu oleh hubungan cinta.

Julian adalah kebanggaan terbesar keluarganya dan harus menanggung beban nama besar mereka.

Aku tiba-tiba paham kenapa setelah 10 tahun bersamanya sejak aku berumur 18 tahun, aku nggak pernah dapat janji pernikahan darinya.

Dulu aku pikir, kalau aku bisa memahami dan mendalami dunia caturnya yang rumit itu, aku bakal bisa memahami dirinya.

Sayangnya, bakatku terbatas. Meskipun sudah berkali-kali aku ulangi permainannya sampai tengah malam, aku tetap nggak bisa memahami kejeniusan strateginya.

Tapi sekarang, melihat surat perjanjian yang sudah mulai menguning, aku sadar bahwa semua usahaku selama ini sia-sia.

Julian selalu membuat catatan teliti di setiap dokumen penting.

Di halaman terakhir perjanjian itu, semua rencana hidupnya tertulis dengan jelas dan terperinci.

Semuanya nggak ada yang berkaitan dengan aku.

Tanggal dia tanda tangan perjanjian karier itu ternyata pas saat kami pertama kali ketemu.

Ternyata, janji yang kutunggu selama 10 tahun itu sejak awal nggak pernah masuk dalam rencana hidupnya.

Sekarang, aku sedang sekarat.

Aku sudah nggak peduli lagi soal janji nikah atau status jadi istrinya.

Jawabannya pun sekarang sudah nggak berarti lagi.

Aku tersenyum pada diriku sendiri, lalu berdiri dan bersiap-siap menuju bandara.

Saat aku tiba di ruang tunggu keberangkatan, Julian duduk sendiri di sofa sambil membaca buku kumpulan permainan catur.

Dia sama sekali nggak sadar dengan kehadiranku.

Pemandangan seperti ini sudah kulihat entah berapa kali selama 10 tahun terakhir.

Aku selalu hanya diam dan melihatnya tenggelam dalam dunia bidak-bidak caturnya.

Dia bisa tetap fokus bahkan di tempat ramai dan berisik.

Biasanya, Julian akan menulis catatan padat di pinggir halaman bukunya.

Setiap kali melihat wajahnya yang fokus gitu, aku langsung tahu.

Bahwa hari ini pun, aku nggak bisa ungkapkan isi hatiku.

Menahan diri agar nggak mengganggunya sudah menjadi kebiasaan dalam hubungan kami.

Aku berjalan pelan ke arahnya, lalu duduk di sampingnya.

Aku menaruh penyangga pergelangan tangan yang sudah terbuka di sisi kirinya dan sebatang biskuit di sisi kanannya.

Pas dia melihatku, aku langsung merapikan kerah bajunya dan berkata, “Udara di sana lebih kering dari sini. Kulitmu sensitif, jadi jangan lupa nyalakan pelembap udara setiap malam.”

“Dan jangan lupa makan. Lambungmu lemah, jangan sampai kelaparan …”

Akhirnya dia menatapku dari keheningannya dan memotong ucapanku, “Kau kok tiba-tiba jadi cerewet sekali?”

Aku mengelak tatapannya dan menjawab, “Biar kau nggak telepon aku tengah malam cuman karena nggak bisa ketemu barangmu.”

“Aku sudah daftar retret kesehatan. Jadi mungkin bakal nggak di rumah selama beberapa hari.”

Tentu saja, itu bohong.

Kali ini, aku nggak yakin apa aku masih bisa angkat teleponnya nanti.

Kemarin, rumah sakit beri aku rencana perawatan terakhir.

Ada 2 pilihan.

Satu, menjalani operasi dan hidup pakai alat bantu napas selamanya.

Kedua, yaitu eutanasia.

Pada saat itu, aku diam-diam bersyukur atas sifat Julian.

Dia tipe orang yang nggak bakal tanya macam-macam asalkan aku beri dia alasan.

Julian ambil kopernya dan berjalan menuju gerbang keberangkatan.

Sosoknya makin lama makin jauh dan mengecil sampai hampir nggak kelihatan.

Aku nggak bisa menahan diri untuk berlari mengejarnya.

Lewat dinding kaca bening, aku bertanya pada Julian, “Julian, ada yang ingin kau katakan padaku?”

Dia membeku selama beberapa saat, lalu menjawab, “Apa yang mau kau dengar?”

Aku melambaikan tanganku dengan lemah, lalu memaksakan sebuah senyuman dan berkata, “Nggak ada. Aku akan merindukanmu.”

“Semoga kau beruntung di turnamennya.”

Julian menatapku sedikit lama dari biasanya. Wajahnya tampak bingung, tapi suaranya tetap datar seperti biasanya.

“Eva Castina, hari ini kau agak aneh deh,” ucap Julian.

Mendengar ini, aku mengepalkan tanganku dengan kuat dan nggak menjawabnya.

Kayaknya ini akan jadi terakhir kalinya aku melihat Julian.

Tapi aku tetap nggak berkata apa-apa dan nggak mendengar apa-apa.

Aku membalas pesan dokter.

[Aku sudah buat keputusan, eutanasia.]

Aku pilih tanggalnya tepat pada hari final pertandingan Julian.
Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
12 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status