"Pak, meeting sudah mau dimulai.""Baiklah, ayo."Dengan hitungan langkah Erlan menuju tempat yang telah disediakan oleh Reni. Hati Erlan terasa berkeping-keping melirik Kamila yang tak melepas genggaman suaminya, Erlan terlihat kesal tidak dapat berdusta jika hatinya belum pulih sepenuhnya melupakan Kamila.Angin senja menerbak membelai wajah Erlan,yang menerpa angin berganti dengan semburat kuning di ujung langit. Ia telah selesai meeting hari hampir magrib. Entah mengapa Erlan begitu sibuk hingga tidak sedikitpun melirik jam di pergelangan tangannya. Saat menoleh Kamila dan suaminya telah pergi dari kafe itu. Dan sudah tak terlihat lagi. Kalaupun saat ini dia berkerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sang Ibu. Semenjak kejadian itu Erlan tak pernah pulang ke rumah. Tak sekalipun dia melihat ponsel sejak kejadian itu, untuk sekedar menjawab panggilan dari adiknya. Hal yang tidak pernah absen dilakukan Erlan selama ini, menuruti perintah sang Ibu. Duh, hari ini rasanya rindu d
Ponsel di tangan Dimas hampir terjatuh saat melihat wanita yang tengah melintas di depannya. Dimas sambil mendorong kursi roda sang kakak Erlan. Mudah-mudahan kakaknya tak mengetahuinya. Namun, sepertinya ia tahu jika Kamila berjalan bersama seorang dokter yang tak lain adalah suaminya. Erlan terdiam, seketika ingatannya tertarik jauh ke masa lalu. Ia pikir selama sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan sosok Kamila. Ternyata, Erlan salah dan salah. Ia begitu terluka saat melihat ke arah sang mantan istri yang terlihat begitu cantik. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah ditorehkannya dulu, tetap saja kenangan indah sebelum luka itu ada, kembali hadir. Dengan cepatnya rasa itu muncul menembus batas pertahanan yang selama ini mereka pertahankan. Namun pecah dihantam gelombang perceraian. Memakai pashmina hitam dan masih sama, wajahnya tampak lebih sangat cantik dan begitu dewasa. Berbagai pikiran berkecamuk antara ingin menegur juga tak ingin bertemu dengannya. Untung
"Mas, kenapa tak memberi tahu Mbak Reni, padahal dia sudah kesini beberapa kali mencari, Mas."Erlan terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Kenapa Dimas tiba-tiba bertanya itu?"Apa aku pantas untuk sekedar dicintai, bahkan untuk berjalan saja aku tak bisa, Dim."Dimas mengehela nafas berat. " Ga boleh putus asa begitu, Mas. Bukankah dokter Reyga juga memberi tahu bahwa untuk kesembuhan, Mas sangatlah besar."Erlan menatap jendela dari balik kamarnya. "Entahlah Dimas, aku merindukan Alifa."Dimas tersenyum, sejak kapan kakaknya ini berubah baik. Bahkan ia tahu jika sang kakak selama ini tak pernah peduli dengan Alifa sang keponakan. "Iya, kapan-kapan kita ke sana ya.""Tidak, Dimas. Aku tak mau membuat Kamila susah dengan hadirku."Dimas tersenyum. "Mas, pikir mbak Kamila orangnya pendendam. Satu hal, Mas. Hati Mbak Kamila itu bagaikan sutra sangat lembut, jadi kayaknya ga ada masalah kalau kita menemui Alifa. Lagian bukankah Alifa adalah masih tanggung jawab Mas Erla
Cakrawala memancarkan warna, dan tiba-tiba matahari muncul berada diantara percakapan Erlan dan Reni. Sejenak Erlan bernafas lega melihat wajah gadis itu, lalu menunduk lagi tangannya mencekeram kuat ujung kursi roda yang ia duduki. Seolah harinya begitu ragu akan ketulusan hati Reni. "Karena wanita itu, yang bernama Kamila, kau jadi kecelakaan, Pak?"Reni mendecih, sedangkan Erlan tidak melakukan tindakan apapun. Tidak mengiyakan tidak pula menentang. Merasa ucapan Reni tepat dia mengujar lagi, pertanyaan yang diluar dugaan. "Sudah kubilang, tidak karena siapa-siapa. Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudahlah.""Bisa-bisanya kau menghilang dariku, Pak. Terus mengapa jadi begini? Kenapa jadi lumpuh dikursi roda, Pak?"Erlan meremas rambutnya dengan kasar. Agar Reni mau menghentikan ocehannya. Ia begitu kesal oleh sikap Reni yang tidak menghargainya. "Sudahlah Ren, bukan urusanmu."Reni tersenyum jahat. "Maksudku aku akan menikah lagi. Pak"Kali ini Erlan membulatkan matanya, bahk
"Mas, aku masih ngomong!" teriak Arum, saat Damar lagi-lagi tak menanggapi. Arum menoleh malas, lalu mengambil air minum dan meminumnya. Seperti biasa, jika Arum emosi tangannya bergetar hebat, maka Arum dalam posisi siap mendengarkan apa pun isi hati suaminya yang sudah mulai tak sejalan dengan pikirannya. Damar hanya menarik nafas panjang tanpa menggubris ucapan Arum istrinya. "Sudah hampir tiga bulan kau selalu pulang larut. Tak bisakah sedikit saja Mas mengerti posisiku disini sebagi istrimu?" suara Arum bergetar menahan amarah yang naik satu tingkat. "Aku capek, Rum. Setiap hari pertanyaan yang sama," jawab Damar sambil masuk ke kamar mandi dan membantingnya. Arum melirik jam yang melingkari di atas ranjangnya, kemudian menggeleng pelan sebab waktu masih menunjukkan pukul sebelas malam. Damar suaminya baru pulang. Sebenarnya Arum tak pernah ingin memperpanjang masalah dengan ikut-ikutan meluapkan kekesalan sejak tadi, ia mengetahui Damar berjalan dengan wanita itu. Sebuah v
Damar melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia membanting setir mobilnya, sungguh ia tak berniat menghianati sang istri dengan perselingkuhannya, mobil terparkir di halaman kantor. Lelaki itu menggeser kursinya mendekati meja, ada beberapa file yang harus dikerjakan hari ini, saat Ia sibuk dengan pekerjaannya.Tok ... tok ... tok"Masuk.""Maaf pak satu jam lagi ada jadwal meeting dengan perwakilan PT Cahaya dari luar kota," sang asisten mengingatkannya. "Baik, siapkan berkas-berkasnya." Perintah Damar pada wanita bertubuh sinyal itu. "Baik, Pak, permisi.""Ya silahkan."Meeting berjalan dengan baik, Damar melajukan mobilnya menuju rumah idamanya yang dibelinya untuk hadiah untuk Hani wanita simpanannya selama ini. Mobil terparkir di garasi depan rumah, sang kekasih menyambutnya dengan senyum penuh kehangatan."Mas, aku merindukanmu," ucap Hani bergelayut manja di lengan Damar. "Mas juga kangen, hari ini kau kusut sekali.""Aku pikir, Mas ga akan kesini."Damar hanya terseny
Kata orang senja, adalah waktu yang tepat untuk meminta kepada sang pemberi kehidupan. Namun, banyak kejadian menyakitkan yang Arum simpan rapat-rapat di bilik memori dan tak pernah ingin Arum buka lagi. Namun, pada saat tertentu, kenangan menyakitkan itu muncul begitu saja dan membuat Arum tak berdaya untuk menepisnya.Pada saat ini, wanita itu menyadari kalau tak bisa berpura-pura bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Semua kenangan itu tak bisa dihapus dari ingatannya, seorang istri yang tak diinginkan. Arum merindukan ayah juga Ibunya yang sudah lama pergi. Selama menjadi istri Damar memang tak sekalipun ia kasar padanya. Tapi tidak dengan keluarganya justru bertindak sebaliknya selalu menyakiti. "Damar, kenapa kau menikahi perempuan yang tidak tahu asal usulnya." Suara sang Ibu meninggi membuat Arum begitu sesak. "Bu, sudahlah!" Damar mencoba untuk meredam emosi Ibunya. "Enak ya, sudah ga jelas. Untung Damar sudi menikahimu."Seketika genangan air mata Arum mengalir deras
Wanita itu sibuk mengecek dan menata rapi kerjaannya, tak berselang lama tugas menumpuk lagi. Hari mulai panas pertanda hari mulai siang, saatnya istirahat Arumi bergegas ke musholla untuk menjalankan ibadah shalat dzuhur. Selesai bergabung dengan Lestari yang sedang asyik menyantap makan siang. "Tari.... " Arum memanggil sahabatnya. Lestari melambaikan tangan. "Ayo sini pesan makanan ya?" tanyanya. "Enggak, lah aku makan roti saja," jawab Arum malas."Nanti kamu sakit Rum, lihatlah kau ini wajahmu begitu pucat."Arum mengangguk pelan. "Baiklah.""Bu, satu lagi ya soto dagingnya." Pesan Lestari pada pemilik kantin. "Baik, Mbak Tari."Mereka menikmati makan siang bersama, tak butuh waktu lama Arum sudah mengenal banyak teman disini. Sikap supel dan ramah Arum membuat teman-teman yang baru dikenalnya begitu baik. Arum merasa jika dunianya akan membaik lambat laun. Terkadang Arum sangatlah takut, akan masa depannya seperti apa. Wajar jika ia merasa hatinya semakin hampa, entah seola