Share

Tak bisa meluapakan

Levin yang baru kembali dari lantai bawah sangat marah ketika ia menemukan Arum menangis bersama seorang pria. Levin begitu kesal memasang rahang mengeras melihat tingkah Pria itu, yang begitu ambisi menemui Arum.

"Siapa pria itu!" Lirih Levin menarik tangan Arum berada di belakang tubuhnya.

"Apa yang kau lakukan? Ayo pergi." Teriak Levin.

"Siapa kau?" Damar menoleh kesal ke arah Arum. "Ayolah, jangan ganggu kami."

"Apa kau tidak waras, lihat Arum menangis karenamu."

"Dia mantan suamiku, Pak" tangis Arum pecah.

Tentu saja perkataan Arum sontak membuat Levin kebingungan pada awalnya, akan tetapi setelah tahu ia berusaha membela Arum.

"Rum, aku mohon." Damar berusaha agar Arum memberinya kesempatan bicara.

"Lelaki gila, meninggalkan masih saja mengikutimu Rum. Apa dia tak punya etika juga enggak pernah belajar."

"Saya tahu, dan silahkan nikahi Arum setelah itu akan aku rebut kembali Arum dari tanganmu."

"Hah, kau pikir aku seorang muhalil hah, haha... Jika aku menikahi Arum tidak akan pernah aku lepaskan lagi, kau tahu itu?"

Wajah Damar seketika memerah menahan amarah yang kian meledak. Langkah kaki Damar mundur ke belakang, berharap apa yang di dengarnya hanya sebuah mimpi. Ia tak percaya jika Arum berubah tak mencintainya lagi.

"Ayo, pergi Arum." mereka pergi meninggalkan luka di hati Damar.

Mobil sport berwarna hitam berhenti tepat di depan mereka. Beberapa menit kemudian atap mobil itu terbuka. Seketika Levin menggandeng tangan Arum.

"Cepat naiklah, Rum." Levin mengajak Arum memasuki mobil itu.

Arum merasa jika ini awal dari kehancurannya.

Mereka masuk ke dalam mobil. Beberapa saat kemudian, mobil sport hitam itu meninggalkan jalanan yang sepi menuju jalan utama. Selama perjalanan, tidak ada yang berbicara, sepertinya ia sangat marah oleh tingkah Damar tadi.

"Hmm, maafkan pak atas kejadian tadi," jelas Arum sambil meremas tangannya yang dingin.

"Tidak perlu minta maaf, apa alasan pria itu meninggalkanmu?" tanyanya dengan nada dingin dan tanpa melihat ke arah lawan bicara.

Arum memperbaiki posisi duduknya, badannya dingin sedingin es. "Selingkuh"

"Oh."

Sesak kembali merelungi jiwa Arum.

"Rum."

"Ya...! "

Isak tangsi wanita itu pun hampir terdengar oleh Levin.

"Dalam situasi apapun ... tetaplah kuat."

Arum mengulum senyum. "Iya, Pak."

*

"Gimana jalan sama bos, Rum?" goda Lestari pada sahabatnya.

"Hhmm, malah ketemu sama, Damar," jawab Arum lirih.

"Apa...!"

Arum menarik nafas panjang, berusaha untuk legowo dengan kenyataan hidup ini. "Kau tahu Tari seolah takdir sedang mempermainkanku, talak tiga itu membuat Damar menjadi terbelenggu dengan ucapannya sendiri."

"Apa kau masih mencintainya, Rum?"

Arum berdiri sambil meminum air mineral. Suasana masih tampak mendung di langit sana, ia kembali duduk di samping sahabatnya. "Entahlah ... begitu sulit melupakan kenangan indah kami."

"Jangan mengulangi kesalahan yang sama Rum, kau bisa terluka lagi."

Arum terdiam.

"Memang kesempatan kedua itu ada, namun jika. Kalian rujukpun, kau harus menikahi seseorang 'kan? Lalu bagaimana hati pria yang hanya kau jadikan muhalil nanti." Tari berusaha menjelaskan

"Aku enggak berpikir sejauh itu, Tar, aku hanya kasihan."

"Apa, hanya kasihan? bukankah kasihan dan mencintai hanya beda tipis?"

Arum mengangguk. "Iya kau benar Tar. Namun aku sadar ada wanita lain di hati Damar. Aku berharap bisa membencinya."

Wajah Arum seketika bersedih. Entah apa itu bagaimanapun hari-harinya selalu bersama Damar. Tak mudah melupakan kenangan semuanya itu.

"Sabar ya Rum, aku sayang kamu."

Arum memeluk tubuh sahabatnya dengan erat. Rencana mau pulang tapi suara ponsel di dalam tas kecil, membuyarkan lamunan Arum. Saat ia membuka ponselnya ternyata dari Bibi.

[Ya, Bi.]

[Bibi, minta tolong belikan nasi padang ya Nak, kepengen banget nih Bibi]

Arum tersenyum tipis.

[Baik, Bi.]

*

Awan gelap dan mendung menemani Arum melajukan sepeda motornya. Rasa nyeri kembali hadir saat teringat perkataan Damar tadi. Motornya terparkir di kedai nasi padang ia turun dan masuk. Lalu memesan dua bungkus nasi padang dengan lauk rendang juga kepala ikan kakap.

Sesaat ada yang memanggilnya. "Hey, kau Arum kan?" tanya Hani pada Arum sahabatnya.

Arum terkejut dan tak percaya bisa bertemu lagi dengan sahabatnya dulu. "Hani, kau kah itu?" tanya Arum tak percaya.

"Iya ini aku," jawabnya senang.

"Apa kabar? Bagaimana keadaanmu?"

Hani tersenyum "seperti biasa, aku baik," jawab Hani sambil memeluknya erat.

"Syukurlah, kau makin cantik Hani, apa kau sudah menikah?" tanya Arum.

Hani menggelengkan kepala. "Suamiku pergi Rum, dan saat ini aku menjalin hubungan dengan mantan kekasihku. Namun ia sudah beristri."

"Astaga, jangan bermain api Han, nanti kau bisa terbakar," nasehat Arum.

"Kau benar Rum, akupun lelah." Hani pun bersedih.

"Keluarlah, dari lingkaran itu Han."

Hani mengangguk. "Entahlah Rum, aku enggak tahu."

Selama beberapa tahun mereka tak saling bertemu bahkan mereka saling los kontek. Grub W* dari para sahabat pun Hani tak ada. Mereka bercanda hingga hari sudah mulai sore. Arum meninggalkan kedai nasi padang dan pamit untuk pulang.

Arum melanjutkan perjalanannya pulang, ditemani motor metik mendung seolah menemaninya dalam perjalanan. Meski jiwanya terluka ia sadar jika sang pemberi kehidupan, akan membawanya ke dalam keindahan suatu saat nanti.

Motor terparkir di depan rumah. Arum masuk. Dan mencari Bibi Fatma, namun rumah begitu sepi.

'Kok sepi ya'

Arum masuk dan menaruh makanan pesanan Bibi ke atas meja. Ia lalu masuk kamar dan membersihkan diri, selesai kembali ke dapur dan sang Bibi sudah berada di meja makan menyiapkan teh hangat untuk Arum.

"Ya Allah, Bi, enggak usah repot-repot."

Wanita paruh baya itu tersenyum. "Tidak repot Rum, cuma teh hangat saja. Ayo makan Bibi sudah lapar."

Arum mengangguk. "Iya, Bi."

Mereka menikmati makan bersama, namun tertangkap oleh Bibinya bahwa Arum lagi tidak baik-baik saja.

Kenapa Rum, kau seperti ada masalah?"

"Tadi Rum, ketemu mas Damar Bi," jawab Arum sedih.

"Terus...?"

"Entahlah, Bi."

"Ingat Rum! talak tiga, menurut agama sah, meskipun kalian belum resmi bercerai."

"Rum tahu Bi."

"Sudah jangan di pikirkan, makan yang banyak habiskan ya?"

Arum mengangguk, hati kecil bertanya, perhatian Bibinya melebihi seorang ibu kepada anaknya. Arum tersenyum dan kembali menikmati makanannya.

*

Menyadari kesalahan setelah membuat Arum sakit, bahkan menangis pasti akan meninggalkan rasa penyesalan yang teramat dalam. Terjebak oleh ego sendiri tanpa mau berusaha mendengar dari pihak lain memang menyiksa. Damar merasa hidupnya kini telah hampa. Harusnya semarah apa pun, ia tak pantas sampai mengucapkan kata yang tidak sesuai dengan hatinya.

Damar meremas rambutnya dengan kasar

Ia masih terngiang di benak, dengan kenyataan bahwa dirinya yang telah melukai hati istrinya, luka itu semakin membuat Arum begitu membencinya.

"Damar ... aku tidak tahu masalahmu, biasanya kau sangat cerdik. Hingga kau kalah telak dengan pak Levin. Ada apa denganmu?"

"Maaf, Pak, lain kali saya akan lebih hati-hati."

"Aku tahu kau punya semangat yang tinggi, berusahalah agar perusahaan kita tetap bangkit."

Damar menarik nafas berat. "Baik, Pak," ujar Damar dengan bibir yang bergetar.

Damar melajukan mobilnya dengan kecepatan cepat, berharap beban hidupnya sedikit berkurang. Ya, memang seharusnya begitulah sikap seorang pejantan tangguh. Berani minta maaf dan mengakui kesalahan. Namun sepertinya tak terpengaruh oleh Arum. Jika ia memaafkan pun ia harus menikahi pria lain dulu.

Berapa kali setir mobilnya menjadi santapan pukulan Damar. Ia keluar mobil dan masuk ke dalam rumah, bergegas ia kekamar untuk membersihkan dirinya.

Akan tetapi langkahnya tertahan oleh pertanyaan sang kakak. "Damar, kamu mau kemana? Sini aku kenalin teman mbak, namanya Lena."

Sesaat Damar berhenti dan berbalik. Menjabat tangan gadis itu dengan senyuman.

"Damar!"

"Lena.... " gadis itu menjulurkan tangannya.

Damar berhenti sejenak untuk menetralkan detak jantungnya yang masih untuk Arum. Berkali-kali ia menarik napas lalu membuangnya pelan. Ketika debar dada mulai normal, Damar berjalan kembali. Tanpa menghiraukan kakaknya juga Lena yang menuggunya.

Bayangan-bayangan itu membuat dada Damar terasa bergemuruh. Tangisan Arum membuatnya pilu. Damar terus mengguyur tubuhnya dengan shower hingga air itu bisa menghapus sudut matanya yang terasa basah. Runtuh sudah ketegaran Damar. Ia menangis, mugkin saja murka atas kebodohannya yang telah salah menilai sosok istrinya sendiri.

Sementara Herlin langsung berjalan ke kamar adiknya. Dan berusaha membujuk adiknya agar mau menemui Lena.

"Eh, Mbak cuma mau bilang, temui lah Mar, meski cuma sebentar kasihan lah dia lama menunggu," pinta Herlin pada adiknya.

Damar tersenyum kecut sambil memakai kaos oblong. "Malas mbak, Damar capek," jawabnya acuh tak acuh

"Yakin enggak mau nemuin, cantik lo. Lebih cantik malah dari Arum."

Akhirnya kemarahan yang sejak tadi ia tahan meledak juga.

"Oh ... begitu, apa yang mbak bilang tadi? Muak aku muak, ini kelewatan, keluar mbak."

"Damar, ini pertama kali kamu bentak, Mbak ...."

Damar justru sedang berusaha melawan rasa gugupnya yang bercampur dengan rasa bersalah. Wajah mendung terlihat jelas dari kakaknya.

"Keluarlah Mbak, sebelum kesabaranku habis. Yang aku inginkan hanya, Arum!" tekan Damar pada kakaknya.

Damar menunduk dan seketika tubuhnya lemas, ia gak tahu lagi harus bagaimana. Ada rasa yang entah apa langsung merasuk jiwa. Intinya, Damar telah kehilangan Arum selamanya. Tak mungkin wanita itu akan memaafkannya.

Perlahan, Damar berjalan mendekati ranjang, masih tercium jelas wangi tubuh Arum dalam kamarnya ini. Begitu menyakitkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status