Share

Di unung Senja

"Bi...!"

Arum menghela napas barat, lalu menatap wajah Bibinya, terlihat jelas wajah Arum yang begitu pucat.

"Kenapa Nak, ceritakan biar kau lega."

Sesaat Arum merasa seperti ada yang hilang. Entahlah begitu berat jika ia harus berpisah dengan Damar, tak bisa dipungkiri mereka sudah lama hidup bersama. Tak mudah bagi Arum melupakannya begitu saja.

"Ayo, ceritakan pada Bibi," ucap Bibi Fatma menenangkan Arum yang begitu sedih.

Wanita cantik itu mengangguk. "Entahlah, Bi, Rum begitu sakit. Arum rindu, Mas Elang."

Wanita paruh baya itu mengusap rambut Arum dengan pelan. "Kau merindukannya?"

"Iya Bi, biasanya jika Rum sedih, mas Elang selalu ada," jelas Arum yang begitu merindukan kakaknya.

"Sabarlah, pasti nanti bisa ketemu lagi."

"Apa, mas Elang enggak sayang sama Arum Bi?" tanya Arum dengan pelupuk mata yang sudah digenangi air mata.

"Jangan bilang begitu, dia begitu sayang kan sama kamu hingga dia pergi menjauh." Perkataan sang Bibi membuat Arum curiga.

"Maksudnya apa Bi, karena Rum?" tanyanya lagi penasaran.

"Kau tahu Rum, kau wanita hebat dan tegar, percayalah jika talak itu bukan talak tiga. Mungkin saja mudah bagi kalian buat rujuk, namun ini beda Nak," lirih Bibinya pelan mengalihkan pembicaraan.

"Arum tahu Bi, cuma Rum hanya rindu sama mas Elang. Semuanya ini membuat Arum tak bisa berpikir."

Namun, ada rasa resah yang bersemayam di hati Arum. Kemudian ia mengingatkan dirinya bahwa memang sudah seharusnya ia mulai membiasakan diri. Agar nantinya enggak terlalu sakit saat harus melepas semuanya kenangan yang begitu menyakitkan.

Bibi Fatma tersenyum, "Wudhulah, Rum, temui kekasihMU minta petunjukNYA."

Arum tersenyum. "Baiklah, Bi. Terima kasih sudah mengingatkan Arum."

"Iya, Nak."

Arum berjalan mengambil air wudhu dan kembali mengambil mukena menjalankan ibadah shalat isya' dan diakhiri dengan dzikir juga doa.

'Ya Allah, ya Robbana beri aku kekuatan untuk segera bangkit, saat aku terjatuh , jangan biarkan aku menjadi orang yang lemah'

Dalam setiap hubungan akan selalu menginginkan waktu berdua untuk keluarganya. Baik untuk melepas rindu, atau pun hanya sekedar ingin memandang wajah kakaknya saja. Semoga saja doanya diijabah ia bisa bertemu dengan kakaknya.

Tidak bisa dipungkiri sejak sang ayah meninggal, kakaknya lah yang selalu menyayangi Arum. Saat ini Arum memiliki semua itu. Akan tetapi ia harus merelakan Elang sudah tak peduli lagi padanya. Arum menyadari, jika saat itu Elang menentang keras pernikahannya. Wajar kalau Elang menghilang bagai ditelan bumi.

****

Sayub-sayub terdengar Suara adzan menggema dari sudut ruangan. Wanita itu beringsut masuk ke kamar mandi dan menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba. Semoga nasib baik berpihak pada wanita itu, yang mempunyai komitmen kuat dan selalu percaya bahwa tidak ada yang mustahil jika Allah mengizinkan.

Arum harus percaya, akan ada hasil indah yang menanti disetiap perjuangan yang ia lalui, karena Allah itu Maha Adil. Arum harus terus bersabar, berdoa, dan berusaha. Keadaan ini pun tak lepas dari takdir Allah.

Wanita itu berjalan mendekati jendela, terlihat embun pagi masih menyelimuti dan juga dedaunan yang melambai tertiup angin dipagi hari. Entah ... ia tak sanggup menatap hari-harinya ke depan. Mungkin saja wanita itu harus belajar dari embun pagi. Sederhana, menyejukkan namun tidak merusak dedaunan tempat di mana ia berpijak. layaknya embun di dalam pagi hari yang menyejukkan. Karena embun pagi tak pernah salah.

Arum menuju dapur membantu Bibi Fatma, menyiapkan sarapan pagi. Ia memotong sayuran dengan perasaan yang entah...

"Pagi, Arum, gimana sudah lebih baik?" tanya sang Bibi.

Arum mengangguk senang dan memeluk tubuh erat Bibinya. "Alhamdulillah, rumah sudah sedikit lega Bi."

"Syukurlah, semangat ya," Bibi Fatma senang mendengar ucapan Arum.

Tumis kangkung, ayam goreng juga tahu goreng sudah siap di meja makanan.

"Rum,ayo sarapan," ucap Bi Fatma membuat Arum menatap wajah sang bibi dan mengangguk.

"Iya Bi." Wanita itu berjalan dan duduk di depan Bibinya.

"Rum, bekal kamu sudah Bibi siapkan."

Arum tersenyum sambil menyantap hidangannya. "Iya Bi, Rum, selalu merepotkan 'kan?"

"Tidak Rum, tenanglah."

****

Hati Bibi Fatma bergetar, beliau berusaha menguasai detak jantung yang naik turun, senyuman Arum membuatnya merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Selama ini ia menyembunyikan jati dirinya sebagai Ibu kandung Arum, wanita itu bahagia apapun akan ia lakukan asal anak kandungnya ini bisa bahagia.

"Kau yang membuat anak kita kecarunan, Hah," teriak lelaki tampan itu dengan amarah yang membuncah waktu itu.

"Mas Dibyo, apa aku setega itu. Percayalah bukan aku pelakunya," jawab Fatma kala itu dengan tangan gemetaran. Saat melihat putranya dengan mulut berbusa.

Wajah Dibyo memerah. "Tinggalkan aku dan anakku Fatma, kau wanita yang berbahaya." Dibyo mengusir Fatma tanpa. Menoleh ke arah Fatma sedikitpun.

Fatma menangis histeris. "Mas ... ini tidak adil untukku? Bukan aku pelakunya kumohon jangan pisahkan aku dari anak kita?"

"Keputusanku sudah bulat, pergilah sebelum aku panggilkan polisi."

Fatma melangkah pergi, meninggalkan luka yang tidak berdarah.

Entah apa, kenapa suaminya berubah seperti ini. Entah suaminya senang atau tidak dengan tuduhannya kali ini. Keluarganya selalu menfitnah Fatma agar keluar dari rumah mewah itu. Dengan berbagai cara mereka berusaha mengusir Fatma.

Dibyo kusumo menatap wajah Fatma dengan hati yang tergores, Fatma laksana sebuah lukisan di awan, cerah membingkai ufuk senja. Pemaksaan yang dilakukan keluarganya memang sangatlah menjadi misteri. Entahlah toh ... perkataan Dibyo sudah terucap, mengusir Fatma dari rumah mewah itu.

"Bekerjalah Fatma, biar Mbak yang akan mengurus dan mengangkat Arum sebagai anak kami."

"Tapi Mbak Ningsih...!"

"Percayalah, aku akan menjaga anakmu dengan baik. Anak ini akan selamat jika tak bersamamu. Keluarga Dibyo begitu kejam bukan?"

Fatma mengangguk. "Baiklah, Mbak. Terima kasih."

Sesaat hujan air mata tumpah dihati Bibi Fatma, menyembunyikan identitas sebagai seorang ibu, demi menyelamatkan putrinya. Saat Dibyo mengusirnya Ia telah hamil beberapa bulan.

"Bi, Rum berangkat dulu ya?" pamit Arum menyadarkan lamunannya.

Wanita paruh baya itu mengangguk, matanya berkaca- kaca. " Iya hati-hati Nak."

Akan Fatma genggam tangan anaknya Arum. untuk meninggalkan kenangan pahit bersama suaminya, yang sulit untuk dilupakannya. Fatma tahu betul rasanya disakiti. Lebih baik memulai hal yang baru maka luka itu sedikit demi sedikit akan menghilang. Fatma berjanji akan memeluk dan membuat Arum nyaman bersamanya.

****

Arum diantar oleh Bibi Fatma, hari ini beliau jadwalnya mengunjungi butik kecilnya. Sesaat mereka terdiam, Arum menatap kedua teduh manik mata sang Bibi yang begitu menyimpan luka. Mobil berhenti di depan perusahaan tempat kerja Arum. Dan Arum mengambil tas dan mencium punggung tangan Bibinya.

"Bi, Arum masuk ya." pamit Arum.

"Iya nak, nanti pulang Bibi jemput," ucap Bibinya.

Arum mengangguk. "Iya Bi."

Sesaat Levin terpana melihat wajah Arum yang keluar dari mobil. Dres bermotif biru sebatas lutut membuat penampilan wanita itu sangat berbeda dari biasanya. Anggun dan cantik.

"Hey... siapa wanita tadi? Wajahnya hampir mirip denganmu?" tanya Levin penasaran.

"Oh, itu Bibiku Pak."

"Cantik, sama sepetimu."

Arum hanya diam dan tersenyum.

"Calon ibu mertuaku, berarti," ucap Levin lembut dan merayu.

'Mulai lagi lebainya keluar'

Arum menggeleng. "Tuh, pacar pak Levin datang." Tunjuk Arum pada wanita seksi berjalan mendekatinya.

"Yah dia lagi," ucap Levin berdecak kesal.

Arum menatap Levin lekat. "Jangan sakiti hati wanita pak."

Levin menggeleng cepat.

Arum menarik napas lega, dan tersenyum lalu berjalan meninggalkan Levin. setidaknya Levin tidak akan menyakiti wanita. Arum hanya ingin bosnya menjadi tipikal pria yang setia.

****

"Hey berhenti ...." Panggil wanita itu pada Arum.

Arum menoleh, mencari dimana arah suara yang memanggilnya. "Ada apa?"

"Dengar ya Levin adalah milikku, jangan berani mendekatinya."

Arum menarik nafas berat, berusaha agar tak tersulut emosi. "Kenapa, apa aku seperti wanita penggoda. Aku rasa aku tak pernah menggoda Pak Levin."

"Dasar ya." Wanita itu berusaha untuk mendorong tubuh Arum. Namun Lestari dengan sigab menopang tubuh sahabatnya.

Arum kembali memalingkan wajahnya, bersama rasa sakit yang kian menembus dadanya. Ia mengusap kasar airmata yang kembali mengalir deras membasahi wajah. Kenapa ini terjadi padanya.

"Dasar wanita bar-bar," bentak Lestari pada wanita bertubuh sinyal itu.

"Hah kenapa, jika kau mendekati Levin itu akibatnya."

"Dasar ya, gila wanita ini."

"Aghh sakit ... perutku sakit sekali Tari."

Wanita itu dan Lestari melotot kaget melihat kaki Arum penuh darah. Lestari begitu panik dan berteriak meminta tolong.

"Ada apa ini? Arum...." Levin begitu khawatir tentang keadaaan Arum.

"Entahlah ... wanita itu mendorong tubuh Arum pak tadi." Jelas Lestari pada Levin.

"Awas ya jika terjadi apa-apa sama Arum, aku tidak akan memaafkanmu."

Wajah panik Levin, perasaan entah ... yang jelas ia punya rasa sayang yang lebih pada Arum entah perasaaan suka atau tidak. Yang jelas saat ini lebih ingin menjaga dan mengayomi Arum. Ia mengangkat tubuh Arum dan menggendongnya menuju mobil. Levin sangat panik karena darahnya begitu banyak yang keluar, terlihat dari kakinya.

"Bertahanlah Arum."

Sesaat Arum tak sadarkan diri.

Mobil melaju pesat, Levin gemetar melihat Arum sudah tak sadarkan diri. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Arum?

****

"What ….!" Damar takjub dengan keadaan rumahnya. Berantakan dan kotor di mana-mana.

Pakaian menumpuk di atas sofa. Panci, piring, gelas dan sendok menumpuk di wastafel. pakaian kotor terlihat menumpuk di samping mesin cuci. Belum lagi sisa-sisa makanan dan bungkus snack bertebaran di beberapa bagian rumah.

Berapa hari Ibu dan kakaknya tidak beres-beres. Loh kok bisa? Astaga.

Damar memijit pelipisnya yang begitu berat. Selama dua hari, ia meeting di luar kota. Dan beginilah keadaan rumahnya sekarang, saat ia pulang keadaan rumahnya bak kapal pecah saja. Biasanya rumah ini sangat bersih dan wangi saat Arum berada di sini. Ya ternyata selama ini Arumpun dimanfaatkan sama Ibu juga kakaknya. Astaga, Damar mendengus kesal.

Ponsel dalam saku Damar berbunyi, lantas dia mengangkatnya.

[Damar...! Kamu sudah di rumah?] Terdengar suara teriakan cemas dari Herlin.

[Aku di rumah!] jawab Damar kesal.

[Ibu, dirumah sakit. Jatuh tadi]

[Apa]

Sejurus kemudian, Damar melihat jam di pergelangan tangannya, dan berangkat menuju rumah sakit dengan hati yang tak karuan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status