Levin mengangkat tubuh Arum yang masih tak sadarkan diri. Rasa panik menghantuinya, entah, sepertinya ia sudah mengenal Arum begitu lama wanita ini. Jika terjadi sesuatu padanya apa yang harus dilakukan. "Maaf permisi keluarga dari pasien yang mana?" tanya salah satu perawat. "Sebentar lagi sus," jawab Lestari cemas karena ia sudah menghubungi Bibinya Arum yang masih dalam perjalanan. "Aduh ... pasien harus segera ditangani pendarahannya cukup banyak.""Apa yang dibutuhkan, Sus, saya kakak dari pasien." Bohong Levin pada sang suster. "Baiklah, ikut saya, Bapak harus tanda tangan, segera akan dilakukan kuret karena janinnya tak bisa terselematkan." Jelas sang suster pada Levin. "Apa... jadi dia hamil, sus?" tanya penasaran Lestari. "Iya, Mbak. Mari ikut saya,Pak."Jantung Levin naik turun, ia gemeteran wanita itu begitu menderita. Bagaimana bisa lelaki itu menyakiti wanita sebaik Arum. Ia segera menandatanganinya karena ia tidak ingin melihat Arum kehilangan nyawa dan tak bisa se
Damar berlari saat mengetahui jika Arum pun dirawat di tempat yang sama. Saat ia menjenguk Ibunya, ia melihat Bibi Fatma membelikan bubur untuk Arum. Dan saat Damar mengikuti ternyata benar Arum yang sakit. Rasa penasaran Damar kian tersulut, sakit apa sebenarnya Arum? "Pak Levin, ada apa dengan Arum?" tanya Damar sambil berusaha mengatur nafasnya yang habis berlari. Levin memanas, rahangnya mengeras, selama ini dia memang mengenal banyak gadis namun saat melihat air mata Arum hatinya begitu terluka, seolah diri nya ikut merasakan sakit yang Arum rasakan. "Pak, Aku mohon, beritahu ada apa dengan Arum?" tanyanya lagi sambil memohon. Levin tak bisa mengendalikan emosinya. Tangannya mengepal sejurus kemudian melayang menghantam ke wajah Damar dengan sangat keras. "Bughh...."Darah segar mengalir dari sudut bibir Damar. "Aghh, ada apa ini pak Levin.""Coba kau tidak melukainya, Mungkin kandungannya akan baik-baik saja. Lihatlah karena dia stres janinnya tidak bisa berkembang. Suami
"Dia yang memberikan aku talak tiga. Hani, demi kekasihnya yang beberapa tahun akhir-akhir ini muncul di hidupnya." Tukas Arum menceritakan semua pada sahabatnya itu.Terlihat Hani begitu syok. Ia tak tahu jika Damar kekasihnya adalah suami sahabatnya terbaiknya Arum. "Oh. Su ... suami kamu, Rum?" tanya Hani tak percaya. Arum masih mengusap sudut matanya yang basah, dan mengangguk. "Iya.""Demi Tuhan, aku minta maaf, Rum." Lagi-lagi Damar memohon"Maksud Mas Damar?" tanya Arum tidak mengerti. Arum telah sadar, apakah wanita itu Hani? Ya, dia ingat betul vidio yang diberikan oleh Lestari. Wajahnya seperti tidak asing saat itu. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibir wanita itu seakan kelu. "Katakan sesuatu, Mas Damar? dan kamu Hani plis? Apa kalian ada hubungan?" tanya Arum lagi kepada keduanya. Damar masih diam layaknya patung. Hanya bibirnya yang kemudian bergetar, menahan sesak yang merelungi hatinya. "Rum, maaf....""Aku lelah, benar-benar tak percaya, Mas, jadi Hani saha
Sementara hari berganti hari, dan bulan berganti bulan. Arum sedang diapotik membeli obat pesanan Bibi Fatma, ia mengantre setelah namanya dipanggil ia kedepan dan menebus obatnya. Selesai ia berjalan menunggu taksi lewat, kebetulan hari ini ia tidak membawa kendaraan. Arum berjalan mendekati jalan utama dan duduk sambil menunggu, sesaat ia melihat ada gadis kecil mau berlari kearah jalan raya. Sementara ada mobil yang berjalan cepat kearahnya. Arum kaget dan langsung berlari menarik tangan gadis kecil itu, hingga ia tersungkur jatuh di tepi jalanan. "Aghh.... " Teriak Arum kesakitan tangannya berdarah. "Maaf, Tante tidak apa-apa?" tanya gadis kecil itu. "Iya, Tante baik-baik saja Nak.""Aduh maaf ya mbak, terima kasih banyak ya, sudah menolong non Naura. Jika tidak ada mbak. Mugkin Bibi bisa dipecat.""Sama-sama Bi. Lain kali jagainnya hati-hati ya.""Baik Mbak."Selang beberapa menit Levin datang menghampiri, dan meraih tangannya berusaha membangunkan Arum. "Ada-ada saja kamu in
Levin membersihkan luka di siku tangan Arum dengan pelan dan telaten, luka itu terus ditiup bersamaan dengan kapas yang terus meratakan Betadine. Hingga perih dirasakan Arum sambil menggigit bibir bawahnya, namun saat ini luka yang sedang diobati masih sakit luka hatinya. Bibi Fatma memberikan kotak dan gunting, dan kotak P3K yang diberikan pada Levin. Setelah selesai membersihkan kuka Aum. Terakhir, Levin menempelkan kain kasa ke luka tangan Arum. "Nah, sudah selesai. Ingat Rum, membantu boleh asal nyawa kamu juga harus dipikirkan," ucap Levin seraya memotong gulungan plester perekat dengan gunting.Arum trenyuh. Bos galaknya bisa bicara sebijak ini. Bibi Fatma datang membawa dua gelas jus jeruk, untuk Arum juga Levin. "Memangnya kenapa nak? Kenapa bisa lukanya dalam begitu?" tanya Bibi Fatma cemas. "Sok jadi pahlwan sih Bi, masa nolongin anak kecil yang mau tertabrak mobil, ya jadinya gini dia sendiri kan, yang kena musibah." Adu Levi pada sang Bibi. "Sudahlah pak Levin, janga
"Tari, ko pengen makan baso ya. Kita beli di ujung jalan itu yuk, kayaknya enak deh. Rame terus soalnya." Ajak Arum pada sahabatnya. "Aku juga lapar sih, tadi siang kan kita cuma makan roti saja," jawan Tari cemberut."Sudah aku yang traktir deh, kayaknya lagi bokek kan'?"Tari tersenyum malu. "Kok tahu sih, habisnya banyak pengeluaran bulan ini Rum.""Ya ayo, kita makan."Saat mereka mau berangkat Levin datang menghalagi. "Maaf ya Rum, ga bisa nganterin kamu ada meeting soalnya."Arum mengangguk. "Siap pak. Gapapa kok.""Salam buat Bibi ya!"Arum tersenyum. "Iya pak."Mereka sudah sampai di depan warung baso yang sangat ramai. Banyak pengunjung, Arum pengen mampir kesini namun baru kali ini sempat mampir. Dua porsi baso jumbo dipesan Arum juga Tari. Pramusaji datang mengantarkannya. Mereka berdua sedang asyik memanjakan lidah mereka dengan rasa baso yang sangat lezat juga punya ciri khas. Kuahnya sangat kental dilidah. Tak jauh dari kursi yang diduduki Arum dan Lestari ada sepasang
"Rum...?" panggil Elang lagi."Apa masih ada, yang kamu sembunyikan, Mas?" tanya Arum penasaran. Elang menarik nafas pelan, ia tahu jika wanita ini sedang terluka. Apa gunanya menutupi rahasia, toh akhirnya Arum akan tahu juga. "Iya, Bibi Fatma adalah Ibu kandungmu."Tangisan itu makin deras, Arum begitu syok mendengar perkataan Elang. Arum menggeleng kasar. "Tidak ... kau bohong, Mas," elak Arum. Elang memberikan sebuah foto usang yang ada di tangannya, Arum pandang kembali dengan perasaan entah. Hanya selembar foto lecek itulah satu-satunya kenangan yang dilihatnya sekarang dengan sang Bibi bersama dirinya. Akan tetapi, gambar itu sudah tidak mampu lagi menghapuskan kesedihannya. Kenapa banyak kebohongan dalam hidupnya. Rasa rindu yang semakin lama semakin mengimpit dadanya, sehingga menjadi gumpalan sesak yang tak tertahankan. Membayangkan lelaki yang sangat ia kagumi ternyata bukan siapa-siapanya. Seolah dunia Arum telah runtuh. Ini lebih menyakitkan dari ditalak Damar. "Rum,
"Aku minta maaf Rum, karena pergi menjauh darimu. Tapi bukan maksud aku menyakitimu."Elang merasakan jika tangan Arum begitu dingin. Ia terus menggosok dengan tangannya agar tubuh Arum kembali mengahangat. Namun, tangan Elang gemetar. Matanya berkaca-kaca. Rasa haru menyelimuti hatinya yang kian terkikis oleh rindu."Kenapa kamu tega mas, sama Arum?" tanyanya sambil terisak. "Maaf Rum.""Kasih tahu alasan Ibu, Eh Bibi Fatma menitipkan aku ke Ibu Ningsih mas." Arum berusaha bangkit dari tidurnya dan duduk bersandar di ranjang. Elang mengelap pipi Arum yang basah, sungguh perhatian Elang dari dulu selalu membuat hati Arum melambung tinggi ke angkasa, seolah dialah wanita yang paling bahagia saat berada di dekat kakaknya ini. "Bibi Arum melakukan yang terbaik Rum, beliau inginkan kau selamat dari keluarga papamu kala itu.""Oh.""Percayalah tidak ada seorang Ibu yang tega terhadap putrinya. Bukankah Bibi selalu baik padamu dari kecil." Elang mengusap rambut Arum dan menenagkannya. A