Share

Maaf yang tetlambat

Damar terpuruk di dalam hampa, ia masih merasakan mata Arum yang penuh dengan pelangi, namun mobilnya berhenti di depan rumah Hani. Hani begitu bahagia dan membuka pintu, setelah berhari-hari Damar tidak pernah mengunjunginya lagi. Rasa rindu yang membuncah membuat Hani kegirangan. Namun tidak dengan Damar pikirannya kosong hatinya begitu berat.

"Hay ... sibuk, Mas sampai angkat telepon ku saja enggak mau." Hani mendengus kesal sambil bergelagut manja di lengan Damar.

Terdengar Danar menarik nafas beratnya. "Maaf.... "

"Ayo masuk, Mas," pinta Hani menarik tangan Damar.

Damar mengikuti Hani, meskipun hatinya tak ingin. Entah kenapa mobilnya berhenti tadi depan halaman rumah Hani. Apa wanita ini akan seperti Arum yang begitu baik juga penurut? Entahlah ... yang Damar tahu jika Arum belum tergantikan hingga detik ini.

"Minumlah kopinya masih hangat,"

Damar tersenyum kecut. "Iya."

"Lama lo Mas enggak kesini, Hani sampai rindu," goda Hani pada lelaki itu.

"Iya, sibuk di kantor banyak pekerjaan."

"Bagaimana, istrimu masih bertahan? Apa kamu masih betah dengan sikap kampungannya?" tanya Hani membuat wajah Damar berubah jadi memerah menahan amarah yang kian meledak dalam dirinya.

"Apa maksud kamu, Hani?" tanya balik Damar.

Damar naik pitam. Badan dan otak yang lelah membuat egonya kaki ini mendidih di atas kepala. Ia tak ingin lagi mendengar kejelekan Arum dibahas di sini. Karena hanya ada sosoknya yang pantas mendampinginya.

"Ya kan, biasanya kamu yang suka cerita kalau istrimu bla ... bla ... bla. Aneh kenapa jadi begini kamu, Mas?"

Damar terdiam

"Mas ... jangan pergi," rengek Hani.

"Sudah." Damar menaikkan tangannya ke atas pertanda menyerah dan pergi.

Damar mendengus kesal, ia bangkit dan meninggalkan Hani dengan segudang kekecewaan. Hani pun merasa jika kelakuan Damar tidak wajar, apa sebenarnya yang terjadi? Hani berdiri dan berteriak menjatuhkan semua benda yang ada di depannya berhamburan ke lantai.

"Aghh ... awas kau, Mas Damar. Kau harus membayar semuanya." Lirih Hani emosi.

*

Damar mengira telah menang, menyelamatkan harga dirinya sebagai pemimpin rumah tangga dan menalak istrinya. yang nyatanya punya kedudukan tinggi dihatinya. Nyatanya, Damar telah kalah. Harusnya mulutnya tetap bungkam seperti biasanya, apalagi ia tahu emosinya kalau itu belum stabil. Terpancing oleh kakaknya. Sembarangan mengucapkan kata talak itu.

Berkali-kali Damar membanting stir, merasai jiwanya sedang terluka. Kemana lagi ia harus mencari istrinya. Damar kian tersudut dan bingung apa langkah yang harus ia tempuh? Hani semakin tidak terkendali sementara Arum hilang entah kemana?

"Kau keterlaluan." Damar membanting semua barang di atas meja kala itu.

"Bukankah itu yang kau mau? Punya kekasih. Itu sudah kau dapatkan bukan."

Sesak di relung hati Damar.

"Kau egois, Arum, lihatlah dirimu."

"Ya, karena aku wanita kampungan kan."

Damar terdiam, tenggorokannya seakan tercekat kering. Keringat dingin itu menyergapnya dari segala penjuru, membuat Damar menggigil tanpa sebab.

Arum menatapnya sekilas, menunduk lalu berjalan keluar. Dengan air mata yang berderai.

Degup jantung Damar lebih cepat serasa habis lari puluhan meter, ia tidak menyangka jika hatinya sesakit ini. Kejadian waktu itu membuat Damar benar-benar begitu kalut. Pekerjaannya semua berantakan, yang ada dipikirannya hanya Arum. Sungguh pria itu bisa gila rasanya memikirkan semua itu.

Teringat perjuangan mereka melawan Sang kakak Elang hingga akhirnya direstui. Hanya bermodalkan nekat. Karena keluarga Elang orang yang begitu berbahaya. Yang tak begitu merestui hubungannya. Kenangan-kenangan itu membuat Damar down. Bahkan sering kali Damar pulang larut malam. meninggalkan Arum istrinya hanya sendiri di rumah demi menemani Hani.

Mungkin insting wanita itu tajam, memang benar adanya, buktinya Arum bisa tau hubungannya dengan Hani yang selama ini Damar sembunyikan. Semua kejadian dulu seakan berputar-putar dan menari di otak Damar, luka batin yang Damar torehkan, ternyata begitu dalam.

"Maafkan aku, Rum. Dosaku terlalu banyak sama kamu. Pantas kamu begitu marah dan menghilang seperti ini." Gumamnya.

Konsentrasi kerjanya buyar, ia sangat frustasi memikirkan ini semua.

*

Wanita itu melangkah memasuki ruang kerjanya. Dan duduk sesaat ia tersenyum menatap setumpuk pekerjaannya. Arum mengangkat sambungan telepon, sementara dari sebrang sana suara laki-laki galak sedang berbicara.

[Kerjakan tugasmu, makan siang harus selesai]

Arum mendengus kesal. [baik Pak.]

Ia mengerjakan tugasnya, begitu sulit apalagi ia lama tak memainkan komputer, mata Arum tampak menelisik area yang sangat berantakan di sekitar mejanya.

"Sudah selesai, Rum?" tanya atasannya.

"Maaf sedikit lagi Bu," jawab Arum kaget sambil merapikan kerjaannya.

"Bisa, 'kan?"

Arum mengangguk.

"Selesai, filenya antar keruangan Bos ya? Ruangan paling ujung?" tunjuk Bu Ana, ruangan itu.

"Baik, Bu."

Tak butuh waktu lama, Arum pun bisa mengerjakan dan selesai tepat waktu. Ia berjalan mendekati ruangan yang berada diujung jalan. Ruangan besar dengan pintu kaca tembus pandang, terlihat ruang tamu juga ada, semuanya komplit memang ya, ruangan bos sangat nyaman juga bersih.

Namun terlihat sepi, hanya ada sekertarisnya di luar. Dengan petunjuk wanita bertubuh sintal itu, Arum masuk keruangan sang big bos.

Hari ini, akhirnya Arum bertemu lagi dengan pria yang kemarin ia injak kakinya dengan keras. Sesaat Arum menunduk dan tangannya gemetar melihat lelaki itu lagi, dan rupanya dia adalah bos di perusahaan itu. Tubuhnya tinggi, wajah tampan juga badan yang kekar.

Sesaat tubuh Arum beku tak berani menatap pria itu dan hanya diam.

"Namamu Arumi Syahila?" tanyanya membuka percakapan.

Arum menunduk. "Ya."

"Bawa kesini laporannya?"

Arum menghela napas panjang mendengar jawabannya yang sangat singkat, padat, dan jelas itu.

"Besok kau temani aku meeting."

"Oh. Saya Pak?"

"Iya siapa lagi."

"Apa saya tidak lagi bermimpi?" tanya Arum bingung.

"Ya, kau kan calon istriku."

Arum seketika terdiam. Ingin rasanya ia pergi. Kelakuan pria ini membuat Arum tidak bisa bergerak.

"Sudah jangan cemberut saja, hidupmu itu terlalu dramatis. Santai saja."

Jika bukan bosnya mungkin Arum akan, bicara namun, ia sudah nyaman kerja disini. Biarlah toh Arum juga bisa dibuat tertawa sama bos tengil ini.

"Baik Pak, permisi."

*

Pria itu mengemudi dengan wajah yang berbinar. Pikiran aneh Arum mulai berkeliaran di otaknya. Sesekali pandangannya terarah pada luar jendela mobil sang bos. Tak seperti yang terlihat, ternyata beliau sosok yang tegas juga bukan tipe pria yang cengengesan.

Hening ... hanya terdengan suara deru mesin.

"Panggilan kamu?" tanya Levin memecah suasana hening.

"Arum, bisa juga Rum," jawab Arum singkat.

"O ... aku harap kau membantuku saat meeting nanti."

Arum menarik nafas panjang. "Bapak yakin, memilih saya."

Levin tersenyum. "Yakin malah."

Bukan Levin namanya, jika ia tak mencari tahu seluk beluk tentang masa lalu Arum, dengan mudah identitas Arum dalam genggaman Pria itu. Mobil berbelok ke arah lokasi meeting, Arum terlihat begitu grogi tangannya dingin. Namun ia harus bisa.

Semua sudah menuggu tinggal kedatangan Levin, la lalu menarikkan kursi untuk Arum dan acara dimulai. Namun ada sepasang mata yang melotot memperhatikan Arum dari jauh. Damar berada disitu namun, Arum tak mengetahuinya karena posisinya agak jauh.

Arum mengerti apa yang diperintahkan oleh Levin, dengan tenang ia melukis permintaan dari sang klien. Mata Damar memanas menahan sesak yang menghimpit dadanya. Kenapa Arum bersama pemilik perusahaan itu apa mereka ada hubungan?

Wajah merah merona, amarah kian terlihat Damar begitu cemburu, melihat Arum sesekali tersenyum ke arah pria itu. Meeting selesai dan tander dimenangkan oleh Levin, wajah kecewa terlihat dari Damar.

"Selamat Pak Levin, anda memenangkannya."

"Terima kasih, Pak."

Mereka keluar ruangan dan Levin masih dipanggil oleh rekan bisnisnya. Sementara Arum menunggu di Koridor depan. Sambil jemari memainkan ponselnya.

"Kamu bahagia?" tanya Damar membuat Arum terkejut.

Arum bergeming. Hening kembali terdiam beberapa menit. Tak ada kata, hanya dua pasang manik mata yang saling terjerat.

"Ya, tentu saja." Akhirnya jawaban itu lolos dari bibir tipis Arum.

Sungguh Damar ingin sekali memeluk tubuh Arum meski hanya sesaat karena rindunya. Arum berusaha bangkit kemudian beranjak ingin meninggalkan Damar. Damar bergerak secepat, mencekal lengannya.

"Plis ... jangan pergi? Kau masih mencintaiku kan?" tanya Damar memohon.

"Kenapa bertanya seperti itu?" Arum tampak kesal. "Bukankah semua sudah selesai." Wanita itu berusaha tersenyum.

"Beri aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita."

"Apa?"

"Pukul aku ... jika aku salah Rum ... pukul."

Damar menarik tangan Arum dan memukulkan kepipinya.

Arum menggeleng dan menagis hingga tak tahan lagi. "Maaf ... aku harus pergi."

"Kumohon, Rum, mengertilah ... aku minta maaf."

"Buat apa? Bukankah aku hanya wanita yang tak bisa memberimu keturunan?"

"Aku tak peduli Rum, asal kau mau kembali lagi."

Arum merasa malas, suaminya benar-benar membuatnya sakit hati.

"Ada apa ini, kenapa kau membuat calon istriku menangis?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status