"Ok, kalau begitu kita langsung datangi Dian dan juga tante Dyah, kita ajak mereka untuk ketemu lalu tunjukkan video ini," ungkap Bima. Ia ingin masalah itu cepat selesai, dengan begitu tidak ada lagi yang menggangu ketentraman mereka nantinya. "Sayang kamu ikut kan?" tanya Bima seraya menoleh ke arah istrinya, sementara itu Saras hanya mengangguk. "Ya sudah langsung sekarang saja atau kapan?" tanya Dody. Ia khawatir akan mengganggu pengantin baru. "Sekarang saja, lebih cepat jauh lebih baik," jawab Bima. Jika dibiarkan terlalu lama nanti mereka keburu membuat rencana lagi. Karena orang seperti Sintia tidak akan tinggal diam jika usahanya belum ada yang berhasil. "Ya sudah, kasihan kalian. Seharusnya lagi asyik mikirin mau honeymoon ke mana, eh ini malah ngurusin masalah," ujar Dody, mendengar itu Bima hanya tersenyum. Jujur, apa yang dikatakan Dody memang ada benarnya juga, itu sebabnya Bima ingin secepatnya masalah yang kini menimpanya segera selesai. Setelah itu mereka bergega
"Itu suara mama," batin Bima."Kami di ruang makan, Ma." Bima berteriak, setelah itu ia melanjutkan niatnya untuk melihat hasil tes yang baru saja istrinya itu lakukan. Dengan hati berdebar, Bima membuka benda pipih yang di tangannya. "Dua garis, itu artinya Saras hamil. Sayang kamu hamil." Bima menatap wajah ayu istrinya itu. Saras hanya mengangguk, seketika Bima menarik tubuh istrinya dan memeluknya dengan erat. Bahkan Bima juga menghujani Saras dengan kecupan, tak lupa juga ucapan terima kasih. "Terima kasih ya, Sayang. Sebentar lagi kita akan jadi orang tua." Bima mencium kening Saras dengan lembut, setelah itu ia membingkai wajah istrinya, saat hendak mendekatkan bibirnya, tiba-tiba suara ibunya mengagetkan mereka. "Ehem, ehem, mentang-mentang udah sah." Rahma berdehem, mendengar itu reflek Bima melepaskan tangannya lalu menoleh. Sementara Saras menunduk karena malu. "Ish, Mama. Oya, Ma kami punya kejutan." Bima menyerahkan test peck tersebut kepada ibunya. Seketika Rahma men
Waktu terus bergulir, kini usia kandungan Saras sudah memasuki bulan sembilan, mereka tinggal menunggu hari saja. Kini Bima tengah menikmati perannya sebagai seorang suami dan calon ayah, butuh ekstra kesabaran dalam menghadapi sikap istrinya yang berubah-ubah. Tak jarang, Bima harus mempunyai stok kesabaran yang cukup banyak. Seperti malam ini, saat Bima tengah sibuk dengan pekerjaannya. Saras terus saja mengganggunya, entah itu meminta di pijit kakinya, dan masih banyak lagi. Beruntung, Bima termasuk orang yang penyabar, tetapi orang juga mempunyai batas kesabaran. "Sudah ya, aku selesein kerjaan dulu, biar nanti tinggal nemenin kamu tidur," ujar Bima seraya bangkit dari duduknya. Jika terus berada di samping istrinya pekerjaan yang menumpuk tidak akan pernah selesai. "Tapi jangan lama-lama," sahut Saras. "Iya, nggak lama kok." Bima mencolek hidung istrinya. Setelah itu ia beranjak menuju meja kerjanya. Baru saja Bima menjatuhkan bobotnya di kursi, tiba-tiba Saras sudah memangg
"Lihat ini, alamat rumah sudah aku temukan, kamu tinggal labrak aja ke sana." Dila menyodorkan sebuah tumpukan foto. Dengan perlahan Saras mengambil tumpukan foto tersebut, dan melihatnya satu persatu. "Kamu terlihat begitu bahagia, Mas." Saras menatap foto tersebut satu persatu, rasanya sangat perih melihat suaminya sendiri tersenyum bahagia bersama wanita lain. Setelah itu Saras mengambil kertas yang berisi alamat rumah suaminya itu. Sedetik kemudian, Saras terkejut setelah mengetahui alamat tersebut. Rumah yang pernah Rayyan beli setahun yang lalu, bahkan sertifikat rumah itu adalah atas nama dirinya. "Ini kan alamat rumah yang pernah, mas Rayyan beli setahun yang lalu," ucap Saras. Seketika Dila tersentak, itu artinya Rayyan sengaja membeli rumah itu untuk istri mudanya. "Jadi kamu tahu kalau Rayyan membeli rumah itu?" tanya Dila. Akan sangat mudah jika Saras tahu kalau suaminya membeli rumah yang sekarang di tempati oleh istri muda Rayyan. "Iya, sertifikat juga atas namaku,"
"Saras kamu tidak bisa seenaknya saja seperti itu, apa kamu lupa kalau aku yang membeli rumah ini. Memang sertifikat atas nama kamu tapi aku juga berhak karena .... ""Karena apa? Apa kamu lupa dengan perjanjian pra-nikah kita, Mas? Yang di dalamnya, jika siapa saja di antara kita selingkuh, maka semua harta tidak akan dibagi menjadi dua. Dalam arti akan menjadi milikku sepenuhnya, karena di sini kamu yang selingkuh." Saras memotong ucapan Rayyan, seketika pria itu kembali terkejut. Dan yang Saras katakan memang benar adanya. "Dan satu lagi, kamu juga sudah menanda tangani surat persetujuan yang kemarin aku bawa. Apa kamu lupa," lanjutnya.Jlep, rasanya seperti ditusuk dengan belati yang tajam, semua apa yang Saras ucapkan memang benar. Ada perjanjian pra-nikah yang mereka buat dulu, dan sekarang Rayyan yang akan kalah. Karena pria itu ketahuan selingkuh, sebagai akibatnya harta akan menjadi milik Saras seutuhnya. "Heh, Rayyan itu tidak selingkuh, karena dia menikahi wanita yang ber
Rayyan melempar map tersebut ke atas meja, lalu ia menyenderkan kepalanya di sandaran sofa. Sesekali Rayyan memijit pelipisnya yang terasa pusing, ingin marah tapi semua itu terjadi atas ulahnya sendiri. Rayyan yang kurang hati-hati membuatnya harus menelan kekecewaan. "Kalau aku tidak mau bercerai?" tanya Rayyan. Mata hitamnya menatap wanita yang sepuluh tahun ini sudah mendampinginya. Bahkan Saras lah yang telah menemani Rayyan mulai dari nol hingga sesukses sekarang. "Kita akan tetap bercerai, bukankah kamu sudah bahagia dengan istri mudamu itu, terlebih kalian sudah mempunyai anak," ungkap Saras. Ia berharap Rayyan tidak mempersulit perceraiannya. "Aku menikah dengan Alexa karena keinginan mama, mama yang sudah memaksaku," ujar Rayyan yang terus berusaha untuk membela diri. Namun semua yang Rayyan katakan sama sekali tidak mempengaruhi niat Saras untuk berpisah. "Maaf ya, Mas. Aku tidak peduli dengan semua itu, entah keinginan siapa dan permintaan siapa, itu sama sekali tidak
"Mas bagaimana ini, istrimu itu benar-benar keterlaluan. Bisa-bisanya dia mengusir kita, hanya karena sertifikat atas nama dia," ungkap Alexa dengan raut wajah panik, sementara itu Rayyan berusaha untuk tetap tenang. Karena ia sudah mempunyai tujuan, di mana sebuah rumah yang cukup mewah berhasil Rayyan beli tanpa sepengetahuan Saras. "Kamu tidak perlu khawatir, kemasi saja barang-barang kita. Ayo, Ma biar kita bisa cepat pergi dari rumah ini," ujar Rayyan dengan sangat santai, tapi justru hal tersebut membuat istri dan ibunya merasa heran. "Terus kita mau tinggal di mana, rumah mama kan sempit. Tidak seluas rumah ini," ujar Erika yang merasa bingung. "Mama tidak perlu khawatir, ayo." Rayyan mengajak ibu serta istrinya untuk segera mengemasi barang-barang mereka. Sementara itu, Saras saat ini tengah sibuk menemani bu Ani untuk berkeliling melihat rumah tersebut. "Bagaimana, Ibu tertarik untuk mengontrak rumah ini?" tanya Saras. Ia yakin jika orang yang bersamanya pasti akan sangat
Hari telah berganti, pagi ini Saras sudah siap untuk berangkat ke kantor. Kini wanita berjilbab itu akan membiasakan diri untuk hidup tanpa adanya seorang suami. Saras benar-benar sudah ikhlas melepaskan Rayyan, baginya suami seperti dia tidak pantas untuk dipertahankan lagi. "Sepertinya hari ini aku akan sibuk di kantor," gumamnya seraya merapikan jilbabnya, setelah dirasa sudah rapi. Saras meraih tas serta kunci mobil, setelah itu ia beranjak keluar dari kamarnya. Saras berjalan menuruni anak tangga, setibanya di bawah, ia bergegas menuju garasi untuk mengambil mobil miliknya. Setelah masuk ke dalam mobil, Saras melajukannya dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba saja ponselnya berdering, dengan terpaksa ia menepikan mobilnya terlebih dahulu. "Siapa sih jam segini nelpon." Saras mengambil ponselnya, lalu menggeser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan. [Assalamu'alaikum, halo ada apa, Van][Wa'alaikumsalam, bisa ke rumah sakit sekarang. Hasil tesnya sudah keluar][Ya sudah,