Share

BAB IV : Tidak Ada Kata Cukup Bagi Mereka Yang Tamak

Pukul 7.20 malam, setelah perayaan selesai, Guntur Gheni bersama Wignya Shuman dan Zethra Adyatman berkumpul di ruang kerjanya. Mereka hendak merencanakan tindak lanjut untuk membereskan perkara serikat pekerja yang telah dibahas sebelumnya.

Wignya Shuman menuangkan Glenlivet 18 ke dalam tiga gelas kristal lalu menyajikannya kepada Guntur dan Zethra. Tak lama berselang, Kaindra Gheni masuk.

Sorry, aku masih agak lapar jadi aku mengambil ini dulu.” Ia menunjukkan piring berisi beragam eclairs. Guntur tak mengacuhkannya dan justru balik bertanya, “Kau sudah menemui mamamu?”

“Ya, baru saja aku bertemu mama di dapur,” jawabnya ringan.

“Baguslah!”

Sejenak Guntur hendak menanyakan apakah Kaindra memberikan kado bagi Harita, tapi ia mengurungkan niatnya. Bila ternyata tidak, itu akan mempermalukan Kaindra dan dirinya di depan yang lain.

Guntur menyalakan sebatang rokok dan menyandarkan punggung ke kursi. Setelah Kaindra duduk, ia segera memulai rapat.

“Aku mau perkara ini selesai cepat dan efektif, tanpa menyalakan lilin atau membeli seragam mereka. Yang pertama terlalu riskan, yang kedua karena kita tak perlu menabur garam di laut.”

Guntur menghisap rokoknya lagi. Wignya paham apa yang maksudkan Guntur. Menyalakan lilin berarti menghabisi sang Komisaris, dan itu beresiko tinggi. Keberadaan orang itu pasti dilindungi oleh kesepakatan antar kedua negara. Kematiannya akan membuat kekacauan besar.

Membeli seragam yang berarti menyuap para anggota Dewan Direksi juga percuma. Biayanya kurang lebih setara dengan jumlah pesangon bagi seratus dua puluh delapan pekerja yang dipecat.

Guntur Gheni paham bahwa keserakahan seringkali bukan masalah finansial, melainkan mental. Tak ada kata cukup bagi mereka yang tamak.

“Ada hal lain yang perlu kita ketahui tentang si Komisaris ini?” tanya Guntur.

Sementara Kaindra mengunyah cappuccino éclair, Zethra yang duduk di hadapannya diam dan mengkaji semua kekurangannya dalam menangani perkara ini.

Zethra Adyatman memang cakap dalam hal administrasi dan menjalin kedekatan dengan para anggota serikat pekerjanya. Ia kerap dipuji karena kepeduliannya terhadap orang yang membutuhkan bantuan.

Tapi Zethra memiliki kelemahan. Ia hanya berani menghadapi orang yang otoritasnya lebih lemah darinya. Tidak masalah baginya untuk berduel dengan orang yang bertubuh lebih besar darinya, tapi ia akan berpikir berulang kali untuk menghadapi orang yang lebih berkuasa darinya.

Wignya Shuman yang mengerti gelagat ketidak puasan kakak angkatnya, segera membuka catatannya. Ia menemukan informasi yang diperlukannya. Tapi sebelum sempat membaca, Guntur sudah terlanjur angkat bicara.

“Kalau dia tidak pernah ke prostitusi, lalu dari mana dia mendapatkan wanitanya? Dan kemana ia membawanya? Hotel? Atau pulang ke tempatnya?”

Dengan sabar Wignya menunggu sampai kakak angkatnya selesai berbicara dan kemudian menanggapi pertanyaan-pertanyaan Guntur. Dua minggu yang lalu, Wignya telah meminta Sena, pengawal kepercayaannya, untuk membayangi si Komisaris. Selama dua minggu itu, Sena mengamati dimana orang itu tinggal, gaya berpakaiannya, kemana saja ia pergi, rute yang biasa ia lewati, dan figur wanita yang disukainya.

Guntur Gheni terdiam untuk mengolah semua informasi yang diterimanya sambil sesekali menenggak minuman. Wignya dan Zethra saling berbisik. Kaindra yang sedang menuang segelas anggur putih mendadak bersuara, “Kenapa tidak menyingkirkannya saja dengan membuat seolah-olah itu kecelakaan? No risk at all!”

Wignya menghembuskan nafas lalu menjelaskan, “Penggantinya belum tentu lebih baik dari orang itu. Dan lagi, kau sebaiknya menyimak, anak muda. Ayahmu sudah mengatakan untuk tidak menyalakan lilin.”

Kaindra menyadari kebenaran ucapan pamannya, tapi harga dirinya telah tergores. Ia pun melihat ayahnya masih tak bergeming. Lalu dengan nada sinis dan sedikit menantang, Kaindra bertanya kepada Wignya,”Kalau begitu apa saran paman?”

Wignya berkata pelan, “Aku benci mengetahui kelemahannya adalah wanita.”

Wignya memiliki sebuah gagasan tapi enggan mengungkapkannya. Ia bermaksud menunggu Guntur mengemukakan rencana, tapi Kaindra terlanjur menantangnya dan ia tidak bisa menepisnya begitu saja.

“Baiklah! Kita butuh seorang gadis muda yang cantik dan oriental seperti yang disukainya. Tapi yang terpenting, pastikan dia tidak memiliki orang yang akan merindukannya. Yudanta bisa mendapatkan yang seperti itu” kata Wignya mulai menjelaskan.

“Jumat malam, enam hari lagi, adalah acara pembukaan nightclub baru kita.

“Sinner’s Sanctuary?” tanya Kaindra mengonfirmasi.

“Ya. Kita undang dia kesana dan memberinya satu VIP lounge” Wignya melanjutkan.

“Setelah dia datang, wanita kita ini akan mendekati dan mengajaknya minum di bar. Disana Yudanta akan memberi kode kepada bartender untuk memasukkan obat tidur dalam mocktail apapun yang dipesannya. Lalu ia akan mengajaknya bersetubuh di lounge. Begitu dia selesai dan tertidur, Yudanta akan mengeksekusi wanita itu dengan pistol yang dibawanya, menaburkan puluhan pil ekstasi disana, dan menaruh senjata digenggaman tangannya.”

“Wow! That’s cool!” Kaindra tertarik dengan ide pamannya.

Wignya mengungkap rencananya lebih lanjut. “Saat dia tersadar dan panik, aku dan Zethra akan memperkenalkan diri sebagai perwakilan organisasi Gagak Barong dan mengatakan bahwa tempat itu dikelola oleh organisasi. Komisaris itu akan mengetahui bahwa kami bisa membereskan masalah itu tanpa diketahui publik.”

Ia lalu berhenti sejenak dan menenggak minumannya. “Sebagai balasan, kita minta masalah serikat pekerja kita dibereskan dalam seminggu. Bagaimana?”

“Itu benar benar ide yang brillian, paman!” Kaindra Gheni langsung beranjak dari duduknya, bertepuk tangan dan tertawa penuh kekaguman. Zethra yang merasa teryakinkan oleh pujian Kaindra kepada pamannya kemudian ikut bertepuk tangan.

Melihat ayahnya masih terdiam, Kaindra tidak tahan untuk bertanya, “Jadi bagaimana menurutmu, Pa? Itu ide yang bagus ‘kan?!”

Zethra dan Wignya kemudian juga menengok ke arah Guntur Gheni dan menunggu tanggapannya. Guntur masih terdiam, sampai beberapa saat kemudian ia menegakkan posisi duduknya.

“Tidak buruk,” ujar Guntur. Ia lalu membenamkan rokoknya ke asbak.

“Hanya saja, pembunuhan bukan solusi mudah seperti dulu. Sulit menutupinya terutama jika dilakukan di ruang publik. Internet dan media sosial membuat siapapun bisa merekam dan mengunggah berita lalu menjadikannya viral. Lagipula, kita bukan pembunuh seperti anggapan orang-orang diluar sana” lanjutnya menjelaskan.

Wignya sama sekali tidak kesal dengan sanggahan Guntur terhadap gagasannya tadi. Ia justru merasa lega karena Guntur menolak rencana pembunuhan gadis itu. Tapi kemudian ia menjadi penasaran dan bertanya, “Lalu apa saranmu, kak?”

“Iya, Pa, bagaimana rencanamu?” tanya Kaindra yang juga penasaran.

“Aku setuju mengundangnya ke pembukaan Sinner’s Sanctuary. Buatkan undangan eksklusif baginya, tapi tanpa fasilitas lounge. Kalau dia mau biar dia membayarnya sendiri. Lagipula, aku ragu dia akan menggunakannya.”

Guntur mengernyitkan dahinya. ”Tujuannya kesana untuk mencari wanita, dan dia akan membawanya ke hotel langganannya. Dimana dia merasa aman.”

Guntur diam dan menyalakan sebatang rokok kemudian menatap pada Kaindra. “Kaindra, kamu akan menjadi bayangannya di hari itu. Informasikan segera jika dia tidak menuju ke nightclub kita. Sena sudah bertugas dua minggu, rutinitas bisa membuat orang lengah.“

Kaindra sontak terkejut mendengar dirinya dilibatkan. “Pa, aku tidak bisa. Aku akan berangkat ke Maladewa Jumat pagi.”

Guntur kesal dan terdiam. Bukan hanya karena tidak bisa diandalkan, tapi Guntur tahu alasan dibalik rencana kepergian Kaindra. Guntur telah menerima laporan bahwa Kaindra sedang berhubungan dengan seniman muda yang cantik. Ia tidak menyukai reputasi Kaindra yang suka bergonta-ganti pasangan.

“Kamu sudah mengatakannya kepada Mamamu?” Guntur bertanya singkat dan mencoba memusatkan perhatiannya kembali ke urusan si Komisaris.

“Sudah, Pa!” Kaindra pun terdiam.

Guntur mengangguk dan suasana ruangan itu menjadi sedikit canggung.

Adalah Wignya Shuman yang kemudian memecah keheningan. “Kak, biar aku saja yang menjadi bayangannya.”

“Jika diperbolehkan, biar aku saja, paman Wignya” sela Zethra. “Setidaknya aku bisa ikut membantu.”

“Baiklah, biar Zethra saja, Wig” kata Guntur kemudian.

Akhirnya diputuskan bahwa Zethra yang akan membuntuti si Komisaris. Wignya akan mengurus sisanya. Magnus Kanigara yang mengenal baik Manager hotel itu akan meminta kerja samanya. Yudanta bertugas memilih gadisnya.

Semuanya telah diatur sebaik mungkin. Mereka berempat bersulang dan meninggalkan ruang kerja itu. Wignya mematikan lampu dan menjadi yang terakhir keluar ruangan.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status