Share

BAB III : Raut-Raut Ketulusan

Harita berjalan berdampingan dengan Guntur yang membawa kotak anggur yang diberikan oleh Tuan Anwar Imran. Dia melihat seorang pelayan perempuan yang berdiri tidak jauh dan segera melambaikan tangannya.

“Teman sejati yang semakin langka,” kata Guntur kepada Harita tiba-tiba.

“Tolong kamu letakkan ini di ruang kerja bapak,” pesan Harita kepada si pelayan yang menghampirinya.

“Baik, bu” jawab si pelayan sambil menerima kotak itu dan bergegas pergi.

“Kau benar,” Harita menanggapi ucapan suaminya. “Di dunia yang dangkal dan serba pamrih ini, jarang sekali kita bertemu orang yang tulus dan setia. Kau lihat wajahnya yang berseri, orang tua itu tampak benar-benar berbahagia untuk kita. Ketulusan yang mengingatkan aku pada ayahmu. Mereka agak mirip sebenarnya.”

Guntur diam sejenak dan membandingkan Tuan Anwar dan ayahnya. “Benar juga!”

“Coba lihat hadiah dari Pak Anwar ini,” lanjut Harita. “Dia sangat bijaksana meminta Qirani untuk memilih hadiah bagiku.” Harita membuka kembali kotak anting-anting pemberian Tuan Anwar dan mengaguminya.

Ada sebuah kebanggan dalam benak Guntur Gheni, bahwa selama hidupnya ia merasakan kedekatan dengan orang-orang yang berintegritas tinggi seperti Tuan Anwar dan ayahnya sendiri. Tanpa disadari, senyum kecil terbentuk di bibir Guntur.

“Kenapa kau tersenyum sendiri?” tiba-tiba Harita membuyarkan pikirannya.

Guntur Gheni berhenti melangkah lalu menoleh pada Harita. “Saat ini aku merasa bangga dengan apa yang sudah terjadi, terlepas dari semua tragedi yang pernah terjadi.”

Harita memandang Guntur dengan tatapan kosong. “Ya—” Hanya itu yang diucapkan Harita, ia seolah ikut larut dalam refleksi kehidupannya sendiri.

“Dan pemberiannya lebih dari hadiah. Itu simbol persahabatan sejati. Hadiah terbaik yang kita terima hari ini.” Guntur memegang kedua lengan Harita dan menatap mata wanita itu dalam-dalam.

Tatapan itu membuat Harita sedikit kikuk. “Aku akan masukkan nama mereka dalam daftar kunjunganku,” jawabnya segera.

Guntur mengangguk dan segera mengalihkan pandangannya dari Harita. “Sudah sepantasnya begitu,” sahutnya singkat. “Baiklah! Aku sebaiknya menemui tamu yang lain.”

Harita paham akan situasi ini. Banyak hal penting untuk dilakukan Guntur, yang berujung pada kepentingannya juga. Hal itu yang selalu Guntur tanamkan di pikiran Harita dan membuatnya menghormati sosok Guntur Gheni.

Seketika itu ingatan Harita terlempar ke masa tiga puluh dua tahun silam, ketika Guntur menyatakan hendak menikahinya. Harita ragu dan canggung, merasakan campuran antara rasa terima kasih dan rasa bersalah. Mereka berdua seumuran tapi Guntur adalah adik Gumilang dan Harita tidak punya perasaan sayang lebih dari seorang kakak ipar kepadanya.

Penolakan Harita saat itu tidak membuat Guntur berubah sikap, terutama pada Kaindra. Di tengah kesibukannya, Guntur menyempatkan diri untuk bermain dengan Kaindra dan sesekali mengajak mereka berpiknik bersama. Guntur selalu ramah dan penuh kasih sayang padanya.

Pada sekali kesempatan, Guntur pernah mengatakan bahwa dia tidak berusaha menggantikan Gumilang, tetapi untuk melindungi dirinya dan Kaindra serta memberinya kesempatan baru dalam kehidupan keluarga yang utuh. Hingga dua tahun kemudian Harita bersedia menikah dengan Guntur.

Harita adalah wanita yang cerdas, dia telah mempertimbangkan dengan baik. Konsistensi Guntur dalam memberikan kenyamanan dan perlindungan kepadanya dan Kaindra menjadi faktor utama. Dia pun menyadari sepenuhnya bahwa dia adalah anak tunggal yang kedua orang tuanya telah tiada.

Satu hal lain yang menjadi penentu bagi Harita adalah ketika pada suatu hari Wignya mengatakan kepadanya tentang hubungan asmara Guntur dengan seorang gadis bernama Rinjani Mahardhika. Hubungan itu terputus justru disaat Rinjani tengah mengandung anak Guntur. Dan Harita mempercayai bahwa orang-orang keras kepala seperti Guntur, dan seperti Gumilang suaminya, takkan pernah berpaling dari orang yang dicintainya.

Semuanya terbukti setelah mereka menikah. Kehidupan berjalan seperti biasa. Keduanya tetap tidur di kamar masing-masing dan Guntur tetap menghormatinya serta menyayangi Kaindra layaknya seorang ayah kandung. Terkadang beberapa kali terbersit pertanyaan di benak Harita: bukannya selama ini yang diharapkannya adalah seseorang yang mampu mencintai dan melindunginya? Lalu apa bedanya jika itu Gumilang atau Guntur? Hingga hari ini Harita tidak ingin mengetahui jawabannya.

Harita menghentikan langkahnya dan menghadap Guntur. “Terimakasih untuk hari ini. Aku senang,” katanya. Guntur terdiam sejenak lalu menghadap Harita dan menjawab pelan, “Aku lebih suka mendengar kalimat itu daripada bisikan aku terlalu tua.”

Raut Harita cemberut. “Ah, kau ini. Itu tadi cuma—”

“Aku tahu, aku juga bercanda,” sela Guntur. “Maksudku, aku senang kamu bahagia. Aku hanya tidak ingin menjadi seorang filsuf hari ini” katanya lagi.

Giliran Harita yang kini terdiam. Instingnya mengatakan bahwa Guntur masih memikirkan Rinjani. “Mungkin kau perlu menemuinya,” timpal Harita tiba-tiba.

Guntur terkejut mendengar ucapan itu tapi berusaha tetap tenang. “Mungkin minggu depan.”

“Bawakan bouquet Calla Lily dan mawar putih. Tenang saja, aku yang akan menyiapkannya untukmu,” timpal Harita.

“Ide yang bagus,” sahutnya. Tak lama kemudian Guntur tersenyum kecil.

“Aku harus pergi sekarang,” kata Guntur menutup pembicaraan sebelum situasi menjadi canggung.

“Ya, ya. Tentu saja.” Ia mempersilahkan Guntur pergi dengan isyarat tangannya dan mereka pun berpisah disitu.

Harita kemudian menuju salah satu tenda kanopi. sementara Guntur menuju meja dimana Wignya dan ketiga direktur bisnisnya berkumpul. Setelah mereka memberinya ucapan selamat, Guntur mengajak Wignya bertemu para tamu lain. Mereka meninggalkan Yudanta dan Magnus yang seakan tanpa lelah berdiskusi tentang bisnis.

Guntur dan Wignya menghampiri perwakilan serikat pekerja yang datang dari berbagai kota. Zethra Adyatman yang berada diantara mereka melihat kedatangan kedua pamannya. Dia segera meminta salah satu dari mereka untuk menyiapkan tempat duduk.

Tak lama berselang, salah seorang perwakilan berdiri merapikan pakaian dan peci hitamnya. Perawakan orang yang tinggi langsing itu bersiap menyampaikan kata sambutan.

“Tuan Guntur Gheni, terima kasih atas undangan anda di perayaan yang luar biasa ini. Kami merasa terhormat memiliki anda sebagai pemimpin. Anda telah menjadi sumber inspirasi dan kekuatan kami. Terima kasih telah memperjuangkan hak dan kesejahteraan kami.”

Guntur tidak dapat memungkiri bahwa nada suara yang sedikit bergetar dari orang ini memperlihatkan kekaguman dan rasa syukur yang nyata. Guntur pun mengangguk dan tersenyum.

Seorang perwakilan yang lain seketika ikut berdiri. “Kami juga ingin mengucapkan selamat atas ulang tahun pernikahan yang ke-30 bagi anda. Tidak hanya seorang pemimpin yang berani dan bijak, anda juga seorang suami dan ayah yang baik. Kami berharap Tuan dan keluarga berlimpah kebahagiaan,” kata orang itu dengan penuh kearifan.

Guntur merasa kedua sambutan itu sudah cukup. Sekalipun tujuannya baik, Guntur Gheni kurang suka akan pujian. Dia percaya pujian bisa melenakan, dan bukan untuk itu tujuannya hadir diantara mereka. Guntur pun berdiri untuk berbicara.

“Terima kasih atas kehadiran kalian semua disini. Kalian adalah bagian dari keluarga besar Gagak Barong. Saya paham kita semua bekerja keras dan berkorban demi kebaikan bersama dengan peran kita masing-masing. Untuk itu, mari bersulang untuk organisasi kita.”

Wignya Shuman memberikan segelas champagne yang baru saja disiapkannya untuk Guntur. Yang lain kemudian memegang gelas mereka masing-masing. “Demi kejayaan Gagak Barong!” ujar Guntur tegas. Mereka semua mengulangi kalimat Guntur dan bersulang dengan gembira.

“Baiklah, sekarang kita sudah minum,” ujar Guntur. “Saya ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Saat ini, beberapa dari kalian sedang menghadapi kesulitan dan tantangan pekerjaan di perusahaan pertambangan asing di wilayah Timur.”

Guntur berhenti sejenak untuk menghabiskan champagne di gelasnya. “Saya ingin kita tetap saling mendukung dan mempercayakan urusan ini kepada saya. Itu saja.” Suara berat yang karismatik dalam menyampaikan pesan itu membuat semuanya terdiam dan mengangguk.  

“Akhir kata, saya menghargai kedatangan kalian. Kalian telah menunjukkan bahwa kalian bagian dari keluarga saya. Terima kasih.” Begitulah Guntur berorasi; kesederhanan dan ketegasan, serta yang terpenting menepati ucapannya.

Hingga perayaan itu selesai, Guntur dan Harita telah melakukan tugas sebagai tuan rumah dengan baik. Para tamu menyampaikan kesan-kesan yang menyenangkan, mengucapkan terima kasih, dan memberi ucapan selamat kepada mereka berdua.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status