Rheyner mengemudikan motor matic-nya dengan kecepatan penuh. Pasalnya ia sudah terlambat mengajar hampir satu jam. Iya, mengajar. Rheyner yang menyandang gelar karateka terbaik tingkat provinsi itu memiliki pekerjaan sambilan sebagai pelatih karate di dojo tempatnya dulu berlatih. Tidak setiap hari Rheyner mengajar, seminggu dua kali. Tadi setelah mengantar Sherin pulang Rheyner langsung melesat ke tempatnya mengajar. Jangan tanya mengapa Rheyner tidak mengantar Nadira pulang, karena; 1) Nadira dijemput oleh Josaphat 2) Pacar Rheyner itu Sherin bukan Nadira. Eh, apa urutan alasannya terbalik ya?
Memarkirkan motornya secara asal, berganti pakaian pun grusa-grusu. Akhirnya kini Rheyner berdiri di hadapan murid didiknya yang tadi sudah dihandle oleh temannya. Ia mulai memberi contoh dan memerintah anak didiknya untuk mengulangi apa yang telah ia contohkan. Rheyner mencoba mengabaikan bayangan Nadira yang berdandan tipis dan mengenyahkan adegan Nadira yang masuk ke mobil Josaphat. Ia berusaha untuk fokus memperhatikan setiap gerakan muridnya.
Gerakan demi gerakan Kihon Rheyner ajarkan hingga jadwal mengajarnya hari ini telah selesai. Adzan Magrib sudah dikumandangkan sepuluh menit lalu. Murid-muridnya pun sudah banyak yang meninggalkan dojo. Tetapi Rheyner masih duduk di salah satu pendopo sendirian. Pikirannya kembali melayang. Moodnya kembali memburuk.
“Woy, ngelamun!” Andri, pelatih Rheyner, menepuk bahu Rheyner.
Rheyner sempat terlonjak saking kagetnya. “Haha ... sorry, lo sih Magrib gini ngelamun.”
Rheyner masih enggan bersuara.
“Cewek lo apa kabar, Rhey?”
Alis Rheyner bertaut. “Cewek gue yang mana?”
Gantian Andri yang mengernyit. “Emang lo punya berapa cewek?”
“Ck, maksud gue Abang nanyain cewek mana? Perasaan gue belum pernah bawa cewek gue ke sini?”
“Pernah, yang waktu itu. Ceweknya cantik gemesin gimana gitu, mungil tapi kayaknya enak buat dipeluk. Imut.” Mata Andri berbinar.
“Siap—astaga, Nadira maksudnya? Jangan bayangin dia yang aneh-aneh ya, Bang, awas aja kalo Abang bayangin dia macam-macam!” Mata Rheyner melotot begitu ingat pernah mengajak Nadira ke sini. “Fyi, dia adik gue bukan pacar gue.”
“Wah, bagus dong kalo dia bukan cewek lo. Tenang aja, Rhey, gue nggak bayangin macam-macam, satu macam doang. Dia jadi cewek gue. Gue nggak masalah kok kalo lo jadi kakak ipar gue.” Andri menarik turunkan alisnya.
“Gue yang masalah! Lo ketuaan buat dia, Bang. Gue kasian sama adik gue yang masih kinyis-kinyis, tapi dapat yang bangkotan kayak lo.” Rheyner menatap Andri sok dramatis.
“Lo melukai gue, Rhey.” Andri menaruh telapak tangannya di depan dada kiri dan balas menatap Rheyner dramatis. Sungguh kelakuannya tidak cocok sama sekali jika dilihat dari penampilannya yang lumayan sangar.
Rheyner terbahak. “Jijik, Bang!” Andri ikut terbahak. Akan tetapi, tiba-tiba tawa Rheyner menghilang. “Lagian dia kayaknya bentar lagi punya pacar, Bang.”
Andri terdiam melihat sorot mata Rheyner yang berbeda. Raut muka Rheyner kembali seperti tadi sebelum ia menyapanya.
Andri berdeham. “Ya wajarlah, sebagai kakak lo harus siap ngelepas dia. Nggak sepenuhnya ngelepas sih tapi paling nggak lo ngasih dia kesempatan buat nikmatin masa remajanya. Awalnya mungkin berat, tapi lo harus sadar dia udah mulai tumbuh dewasa.” Andri menepuk bahu Rheyner.
“Gitu ya, Bang?” Rheyner menatap Andri ragu. “Tapi kok gue ngerasa nggak suka ya tiap lihat dia sama cowok itu, meskipun mereka nggak ngapa-ngapain dan sekadar berada di tempat yang sama?” Rheyner tidak terdengar seperti bertanya, tetapi seperti memberi sebuah pernyataan.
“Yaaah, mungkin perlu penyesuaian dulu.” Andri memegang tengkuknya. “Eh, sebentar deh. Bukannya lo pernah cerita kalo adik lo cowok semua? Malah pernah ikut latihan di sini ‘kan?”
“Emang.”
“Terus si Nadia, Nadila ata—”
“Nadira,” ralat Rheyner.
“Iya, itu maksud gue. Dia siapa lo, adik ketemu gede?” Mata Andri menyipit.
Rheyner terlihat salah tingkah.
“Ya Tuhaaaaan, ternyata ketidakrelaan lo itu namanya cemburu!”
***
Selepas menunaikan ibadah, Rheyner melajukan motornya menuju kafe milik ibu Nadira untuk berkumpul dengan teman satu bandnya yang dibentuk sejak SMP. Rheyner menyandarkan tubuhnya pada kursi, tidak berminat pada candaan teman-temannya. Padahal sedari tadi Panji sudah dibuat terpingkal-pingkal dengan lelucon yang dilontarkan oleh si kembar, Damar dan Rama. Sepasang kembar itu tengah menceritakan bagaimana Rama yang menggunakan ide Damar untuk menjahili adik kelasnya. Meski wajah mereka tidak identik, tetapi soal ide keusilan jangan ditanya lagi karena mereka sangat identik.
Kepala Rheyner langsung menoleh ke arah panggung begitu mendengar alunan musik. Matanya seketika memicing memastikan siapa yang sedang bermain gitar di depan sana. Dan ternyata memang sesuai dengan apa yang ia pikirkan. Rheyner berdecak sebelum menandaskan cappucino-nya. Ketiga temannya sontak memandang Rheyner.
“Apa sih Rhey, lo tuh dari tadi nggak asyik banget,” celetuk Rama.
“Tahu lo, mending lo pantengin baik-baik band yang lagi tampil itu,” timpal Damar.
Rheyner melirik Damar. Sebelah alisnya terangkat, bertanya.
“Bandnya teman gue, anak NMS juga.” Damar seolah tahu arti ekspresi Rheyner tadi.
“National Music School? Sekolah lo?” tanya Panji yang dibalas anggukan mantap oleh Damar.
“Emang ada NMS mana lagi?” Damar bertanya retoris.
Rheyner menarik diri dari sandaran kursi. Perasaannya jadi tidak enak. “Teman lo yang mana?”
“Gitarisnya itu temen si Damar. Sejak SMP ya, Dam, lo kenal dia?” Rama membantu Damar menjawab.
Mata Panji membelalak. “Josaphat maksudnya?”
“Lo kenal?” Damar balik bertanya.
“Kok lo bisa kenal dia dari SMP?” Rheyner malah menambah pertanyaan. Dan sepertinya pertanyaan dari Rheyner yang paling memerlukan jawaban mengingat aura gelap yang dipancarkannya sedari tadi.
“Iya dulu satu tempat les dan lagi dia itu sepupu Nanda, beberapa kali pernah jemput ke SMP kita kok,” jawab Damar santai. Buktinya ia masih bisa menjawab sembari melahap onion ring tanpa terintimidasi oleh tatapan Rheyner.
“Nanda yang sering bully Nadira?” rahang Rheyner terlihat mengeras.
Damar terdiam. Di dalam hati ia merutuki dirinya sendiri yang melupakan satu fakta bahwa pembicaraan tentang Nanda haram hukumnya untuk Rheyner. Ragu ia mengangguk. Mata Rheyner kembali mengarah ke panggung. Terlihat band itu baru saja menyelesaikan perform-nya.
Panji menepuk pundak Rheyner, mengenalnya lebih dari 10 tahun membuat Panji paham dengan pola pikir Rheyner. “Tenang, jangan suudzon dulu.”
“Feeling gue nggak enak, Ji. Gue ngerasa aneh sama caranya dekatin Nadira.” Rhyner memandang Panji sewot.
“Jo ngedeketin Dira?” tanya Damar dan Rama bebarengan.
Rheyner langsung berdiri tanpa mengindahkan pertanyaan si kembar. Ia berjalan menuju sebuah ruangan kecil yang digunakan untuk band tamu kafe mempersiapkan penampilan. Lebih dari 5 pasang mata menatap Rheyner heran.
“Jo gue ada perlu sama lo,” manik mata Rheyner bertemu dengan manik coklat Josaphat, “bisa kita ngomong berdua aja?”
Josaphat mengangguk dan mengikuti Rheyner.
Rheyner berhenti di jalan kecil samping kafe yang menghubungkan tempat parkir ke ruangan tadi. Di sana cukup sepi dan pencahayaannya tidak seterang spot lain.
“Ada perlu apa, ya?” tanya Josaphat, dia tidak mampu menerka tujuan Rheyner mengajaknya bicara berdua saja di pertemuan kedua.
“Jauhin Nadira!” Rheyner to the point.
Josaphat mengernyit. “Kenapa?”
“Apa tujuan lo dekatin dia?” Rheyner balik bertanya dengan suara penuh penekanan.
“Maksud lo nanya ginian apa? Kayaknya bukan urusan lo deh.” Josaphat menantang mata tajam yang sedari tadi menghujamnya.
“Nadira adik gue, otomatis ini jadi urusan gue.”
“It’s ok kalo lo kakaknya, tapi alasan lo ngelarang gue dekatin Dira itu apa?”
“Gue tahu lo pasti punya maksud lain.”
“Emang iya, maksud lain gue adalah jadiin dia cewek gue.”
Rheyner mencengkeram kemeja flanel yang dikenakan Josaphat. “Berengsek, bukan itu!” Senyum asimetris tergambar di wajah Josaphat. Terlihat jelas ia tidak takut sama sekali dengan sikap Rheyner. Justru ia terkesan meremehkan Rheyner. “Ngaku sama gue, apa motif lo dekatin Nadira?”
“Well, gue nggak suka ini, tapi gue musti mengakui kalo lo emang cerdas.” Josaphat menyingkirkan tangan Rheyner yang mengendur akibat terkejut dengan kejujuran Josaphat. Benarkah semudah ini?
“Apa pun rencana lo, gue nggak akan pernah biarin itu terjadi!”
Josaphat sudah berjalan beberapa langkah menuju ruangan tadi. “Ya, ya, kita lihat aja nanti siapa yang bakal dia percaya.”
Rheyner masih termangu menatap kepergian Josaphat. Ia benar-benar tidak bisa mengartikan sikap Josaphat. Semudah dan secepat inikah Josaphat mengakui niat buruknya? Rasanya tidak mungkin.
Josaphat terlihat menempelkan ponselnya ke telinga. Sedetik setelahnya ia berbalik menatap Rheyner yang masih terus memandanginya. Ia menyunggingkan senyum asimetrisnya pada Rheyner.
“Halo Dira, besok jadi jalan?”
Seketika Rheyner menggeram marah. Setelah memberikan tatapan mautnya, Rheyner berbalik meninggalkan Josaphat menuju parkiran.
***
Nadira membalurkan sunblock ke seluruh bagian tubuh yang dapat dijangkaunya sebelum menggunakan pakaian yang sudah disiapkan sejak semalam. Tidak, Nadira tidak naked. Ia menggunakan tanktop dan celana pendek yang biasa ia pakai sebagai rangkapan. Ini memang masih pagi buta, tetapi Nadira sudah bersiap sejak tadi. Hari ini rencananya ia akan menghabiskan waktu dengan Josaphat. Dari pagi sampai nanti malam. Ya, istilah nge-date mungkin cocok untuk digunakan. Selesai meratakan
Rheyner merebahkan dirinya pada sofa panjang ruang tamu rumahnya. Ia merasa lelah, baik fisik maupun pikiran. Tangan kirinya ia gunakan sebagai bantalan sementara tangan kanannya ia letakkan di dahi. Mata Rheyner memang terpejam, tetapi ia tidak tidur. Indra pendengarnya menangkap langkah kaki memasuki rumahnya. Langkah kaki itu tidak terdengar lagi. Rheyner tahu ada yang berdiri beberapa langkah dari sofa tempatnya berbaring. Ia juga tahu kalau itu bukan mamanya, karena jika itu mamanya tidak mungkin hanya diam saja. Rheyner pun masih diam, ia enggan membuka mata.“Ehm, Mas .…” Rheyner hafal di luar kepala suara ini. Suara milik orang yang sudah bersamanya selama sekitar 13 tahun. Rheyner tak langsung menjawab.Akhirnya Rheyner berdeham sebagai jawaban. Posisinya masih sama, tidak berubah sedikit pun meski ia dapat merasakan bahwa Nadira ten
“Nggak usah, Rheyn. Jo jemput aku, kok,” Nadira menolak tawaran Rheyner untuk mengajaknya berangkat bersama.Rheyner menarik kembali tangannya yang mengulurkan helm Nadira. “Oh, ya udah.”“Lagian punya pacar kok kerjaannya ngantarin cewek lain, sih.” Nadira terkekeh.“Lo ‘kan bukan cewek lain. Lo itu adik gue.” Rheyner menekankan kata adik.“Tapi ‘kan kita udah sama-sama punya pacar.” Nadira tersenyum manis.Pertama kalinya Rheyner tidak suka dengan senyuman Nadira. “Terus kenapa? Apa itu bisa dijadikan alasan untuk nggak saling peduli?”Nadira terperanjat. “Maksudku bukan gitu,
Sore ini Rheyner dan Panji masih harus latihan basket untuk persiapan turnamen yang sudah di depan mata. Rheyner dan Panji akan bermain untuk terakhir kalinya sebelum ‘pensiun’. Mereka berdua memang merupakan pemain andalan di tim basket SMA Bakti Bangsa. Setelah berlatih dan berdiskusi tentang strategi apa yang akan digunakan dalam turnamen, pelatih memberi waktu istirahat. Rheyner menenggak minuman isotonik pemberian pacarnya. Panji yang duduk di sebelahnya melakukan hal yang sama, bedanya minuman yang ia minum bukan dari pacarnya. Teman satu tim mereka sudah menyebar di pinggir lapangan yang teduh. Bahkan ada yang dengan santainya tidur telentang bertelanjang dada. Sekitar lapangan basket memang sepi karena memang area olahraga terpisah dengan gedung pembelajaran. Arfa dan Erga berjalan ke arah Rheyner dan Panji. Rheyner menafsirkan mereka dari kanti
Rheyner menenggak kaleng coke-nya hingga tandas. Hal itu langsung mendapat decakan dari si Kembar, Damar dan Rama. Malam ini mereka sedang berkumpul di rumah—kamar—Rheyner, rutinitas setiap malam minggu. Akhir-akhir ini Rheyner terlihat lebih srampangan. Pintu balkon sudah dibuka sedari tadi. Pandangan Rheyner kerap kali mengarah keluar, ke seberang kamarnya. Hal tersebut tidak luput dari pengamatan si Kembar. Padahal pintu dan jendela balkon di seberang tertutup rapat. “Bro, lo ngapa, dah?” tanya Rama tidak tahan. “Gue?” Rheyner pura-pura tidak mengerti.
Hari ini adalah hari pertandingan terakhir Rheyner sebelum ‘pensiun’ dari jabatannya sebagai kapten tim basket SMA Bakti Bangsa. Rheyner keluar dari kamar dengan seragam basket kebanggan sekolahnya. Ketika akan menuruni tangga, mata hitamnya bertemu dengan sepasang mata bersorot lembut. Nadira Almira. Kedua sudut Rheyner terangkat. Ia mempercepat langkahnya menghampiri Nadira. “Vitamin kamu habis, ‘kan?” Nadira menyodorkan satu botol kaca berisi pil suplemen makanan. “Makasih.” Rheyner menerima dan mengacak rambut halus Nadira. “Harus menang, ya,” kata Nadira sembari menuruni tangga di rumah Rheyner. “Lo dateng, dong, biar gue semangat menangin pertandingan.” “Iya, ntar aku sama—”
Josaphat memarkirkan mobilnya asal di parkiran SMA Bakti Bangsa. Ia berlari kecil menuju bangunan utama Sbasa. Ia tidak tahu harus mencari ke mana sebenarnya. Ini pertama kalinya Josaphat masuk ke Sbasa. Di ujung koridor Josaphat melihat Rama, kembaran Damar—temannya. Ia tidak tahu bagaimana bisa Rama berada di sana. “Ram?” Josaphat menghampiri Rama. Rama menoleh dengan wajah kalut dan tangan memegang ponsel. “Hei, Jo! Lo udah ada clue ke mana Dira pergi?” Josaphat menggeleng. “Nggak sama sekali. Terakhir dia bilang mau nonton Rheyner tanding. Setelah itu dia nggak ada hubungin gue. Gue juga lagi sibuk latihan band.” “Tadi waktu Panji hubungin gue dan bilang kalau Dira hilang, gue
Sherin menatap Rheyner yang terlihat muram. Ini sudah hari kedua ia melihat penampakan Rheyner yang seperti itu. Sejak penculikan yang dialami Nadira tiga hari lalu, pacarnya itu berubah. Rheyner jadi pendiam dan bawah matanya terlihat menghitam. Dua tahun sekelas dengan Rheyner baru kali ini Sherin melihat Rheyner yang pendiam. Kemarin Sherin pun dibuat shock oleh Rheyner. Dua kali ia melihat Rheyner murka. Hari ketika Nadira menghilang dan kemarin ketika Rheyner kembali berhadapan dengan pelaku penculikan Nadira. Ketika menemukan Anita cs di gudang, Rheyner pasti memukul mereka kalau saja Sherin dan teman-teman Rheyner tidak datang. Lalu kemarin saat Anita cs, Rheyner, Sherin, dan Putri dipanggil ke ruang kepala sekolah. Sherin bertanya dalam hati apakah Rheyner aka