Rheyner tengah menautkan tali sepatu ketika Nadira menghampiri. Pagi ini adalah hari pertamanya masuk kuliah. Setelah menjalani serangkaian OSPEK akhirnya ia resmi menjadi mahasiswa. Rheyner begitu antusias menjalani hari ini. Saat ia bangun tadi energinya seolah berada di titik maksimal.
Nadira meletakkan kotak makan di samping Rheyner. Gadis itu telah memakai seragam lengkap. Ia tidak bersuara. Seolah menunggu Rheyner mengakhiri aktivitasnya. Netra gadis itu tidak lepas dari sosok Rheyner.
Rheyner mendongak seusai memakai sepatu. Tangannya mengambil kotak dari Nadira. Bibir pemuda itu tersenyum. Tentu saja senyumnya bersambut dengan senyum Nadira.
"Semangat untuk hari pertama kuliahnya. Jangan bandel dulu." Akhirnya Nadira bersuara.
“Iya,” jawab Rheyner kalem. Kita sampai di penghujung cerita. Sad ending? I don't think so. Open ending bagi yang hanya membaca sampai di sini. Silakan bayangkan kelanjutan versi kalian sendiri.
Bagi yang berkenan lanjut, silakan baca kelanjutannya yang berjudul “Why Not?”
Terima kasih atas apresiasi, Temans Dera semua~
Nadira melihat permainan tim basket sekolahnya dari sudut lapangan indoor. Nadira seperti tidak memiliki keberanian untuk melihat dari jarak yang lebih dekat, padahal sahabatnya sedari belum masuk TK sedang bertanding. Rheyner, sahabat Nadira, adalah kapten tim basket. Meski Nadira tidak duduk di tribune, Rheyner tahu Nadira melihat. Rheyner sudah hafal betul di mana Nadira berada karena hampir setiap tim basket bertanding selalu melihat dari sana.Nadira menunjukkan kedua jempolnya saat Rheyner berhasil mencetak three point dan menoleh padanya. Rheyner tersenyum dan mengedipkan sebelah mata. Lagi-lagi Rheyner berhasil membuat tim basket sekolahnya memenangkan pertandingan. Meskipun hanya pertandingan persahabatan, tetap saja
Rheyner segera melajukan motornya setelah Nadira duduk di boncengannya. Namun, Rheyner tidak melajukan motornya menuju komplek rumah mereka. Ia sengaja membelokkan motornya menuju restoran yang akan digunakan untuk merayakan kemenangan tim basketnya.Berkali-kali Nadira protes, tetapi tidak digubris oleh Rheyner. Akhirnya Nadira hanya diam. Sampai beberapa saat kemudian mereka sampai di restoran yang tidak begitu jauh dari sekolah. Rheyner sudah mematikan mesin motornya, tetapi Nadira tak kunjung turun.“Turun, Nad. Nggak lapar apa?”“Kata kamu tadi mau ngantar aku pulang, kenapa ke sini?”“Gue ‘kan nggak bilang langsung pulang tadi.” Rheyner tersenyum penuh kemenangan. Nadira turun dari motor Rheyner dengan wajah cemberut yang s
Rheyner memarkirkan motornya tepat di depan garasi rumah Nadira. Ia masuk ke rumah Nadira dengan santai seolah rumah itu adalah rumahnya juga. Rheyner tersenyum melihat Nadira tengah menuruni tangga dengan ransel tergantung di bahu. Sementara Nadira langsung manyun begitu matanya bersiborok dengan Rheyner."Morning, cewek ngambekan," sapa Rheyner"Aku nggak mau berangkat sama kamu!" kata Nadira yang masih bertahan dengan sikap ketusnya kemarin."Dan gue bakalan tetap maksa lo buat berangkat bareng gue.""Kalo aku nggak mau ya nggak mau!" Sejujurnya Nadira bukan masih marah kepada Rheyner, tetapi ia sudah dapat membaca maksud Rheyner. Rheyner sudah tidak ingin menyembunyikan persa
Rheyner mengantarkan Nadira sampai di depan kelasnya. Setelah itu Rheyner berjalan menuju kelasnya yang berada di lantai 3 tepat di atas kelas Nadira. Dari arah yang berlawanan Sherin teman sekelasnya berjalan ke arah Rheyner. For your information, Sherin adalah salah satu gadis paling populer di sekolah Rheyner. Oh, dan jangan lupakan fakta bahwa ia adalah gadis yang ditaksir Rheyner setahun belakangan.“Pagi, Rin,” sapa Rheyner ketika berhadapan dengan Sherin. Keduanya berhenti beberapa meter dari pintu kelas.“Hai, Rhey, pagi juga. Pacar baru?” tanya Sherin dengan wajah yang berusaha ceria, tetapi Rheyner mampu membaca sinar mata Sherin yang meredup.“Yang bareng gue?” Sherin mengangguk. &ldq
Nadira memasuki rumahnya yang cukup besar untuk keluarga yang hanya terdiri dari tiga orang. Sayup-sayup terdengar suara ribut dari ruang keluarga. Nadira segera melangkahkan kakinya ke sana. Di ruang keluarga ada dua anak laki-laki berusia 9 dan 14 tengah berebut kamera DSLR. Si anak 14 tahun berusaha menjauhkan kameranya dari jangkauan si anak 9 tahun.“Mas, siniin kameranya.” Si anak 10 tahun meminta. Kakinya melonjak-lonjak hendak meraih kamera.“Nggak!” tolak si anak yang lebih besar.“Bima, Fian, ngapain sih ribut-ribut?” tanya Nadira setelah meletakkan ranselnya di sofa. “Kedengaran sampai depan, lho.“Aku mau pinjam kamera Mas Bima, Mbak,” adu Fian.“Bima, pi
Nadira berjalan santai menuju kelasnya. Pagi ini ia berangkat bersama Panji karena Rheyner menjemput Sherin. Ia berpisah dengan Panji di parkiran. Entah mengapa perasaan Nadira pagi ini sedikit tidak tenang. Sekolah sudah lumayan ramai mengingat bel masuk berbunyi sepuluh menit lagi. Di koridor dekat tangga Nadira melihat kerumunan murid yang lebih banyak perempuan. Memang di sana ada mading, tetapi biasanya tidak seramai itu kecuali saat pengumuman kelulusan.Benak Nadira diselimuti rasa penasaran. Tanpa sadar kakinya bergerak menuju ke mading tersebut. Saat Nadira mendekat semua mata memandangnya. Pandangan mereka beragam tapi lebih banyak yang menilai dari ujung rambut ke ujung kaki. Langkah Nadira tidak setegas tadi, ia menolehkan kepalanya perlahan untuk memastikan kemana arah pandang murid-murid yang berkerumun itu.Tidak ada orang lain di sana, di belaka
Rheyner menunggu Nadira di depan gerbang rumah gadis itu. Tadi pagi-pagi sekali Sherin mengiriminya pesan yang isinya menyuruh Rheyner berangkat dengan Nadira. Sementara Sherin akan berangkat sendiri seperti sebelum berpacaran dengan Rheyner. Entah mengapa Sherin benar-benar khawatir pada Nadira.Nadira keluar rumah dengan ceria. Ia bahkan bersenandung.“Lho, kirain Kak Panji. Kok kamu nggak jemput Kak Sherin sih, Rheyn?” tanya Nadira heran.“Bawel deh. Buruan naik.”Nadira naik ke boncengan Rheyner tanpa disuruh dua kali. Akan tetapi, Rheyner tak kunjung menyalakan mesin motornya.“Kok nggak jalan?” Nadira menyuarakan pertanyaan di benaknya.&l
“Lho, Mbak Dira mana, Mas?” tanya Bima saat melihat sang kakak pulang seorang diri. Rheyner hanya diam. Ia melangkahkan kakinya masuk ke rumah dan langsung menuju ke dapur. Mengambil air mineral dari kulkas dan menenggaknya langsung. Setengah botol masuk ke perut Rheyner. “Ih, Mas Rhey minumnya kok nggak pake gelas sih? Fian bilangin Mama nih.” Adik bungsu Rheyner mendadak muncul. Rheyner menatapnya sekilas dan malas. “Mbak Dira mana Mas? Orang ditanya juga,” tanya Bima lagi. Ia mulai jengkel. “Lo berdua berisik banget, sih! Nadira pergi sama cowoknya!” jawab Rheyner galak. Setelah mengucapkan itu ia segera berjalan menuju tangga untuk masuk ke kamarnya. “Mas Rheyner kenapa sih, Mas Bim?” tanya Fian.