“Lho, Mbak Dira mana, Mas?” tanya Bima saat melihat sang kakak pulang seorang diri.
Rheyner hanya diam. Ia melangkahkan kakinya masuk ke rumah dan langsung menuju ke dapur. Mengambil air mineral dari kulkas dan menenggaknya langsung. Setengah botol masuk ke perut Rheyner.
“Ih, Mas Rhey minumnya kok nggak pake gelas sih? Fian bilangin Mama nih.” Adik bungsu Rheyner mendadak muncul. Rheyner menatapnya sekilas dan malas.
“Mbak Dira mana Mas? Orang ditanya juga,” tanya Bima lagi. Ia mulai jengkel.
“Lo berdua berisik banget, sih! Nadira pergi sama cowoknya!” jawab Rheyner galak. Setelah mengucapkan itu ia segera berjalan menuju tangga untuk masuk ke kamarnya.
“Mas Rheyner kenapa sih, Mas Bim?” tanya Fian.
“Mana kutahu, cemburu kali.” Bima mengangkat bahunya.
“Cemburu itu apa?” Fian bertanya lagi dengan polosnya.
Bima memandang Fian sebal. “Oncom!”
Fian cemberut karena Bima langsung meninggalkannya. “Semua jahat sama Fian cuma Mbak Dira yang baik.”
***
“Salah nggak kalo aku suka sama kamu?” tanya Josaphat tiba-tiba. Nadira menatap Josaphat kaget. Josaphat membalas tatapan Nadira lekat.
Mulut Nadira membuka, tetapi sedetik kemudian tertutup kembali. Speechless.
“Aku nggak lagi nembak kamu, by the way,” Josaphat tersenyum lembut, “aku cuma menyampaikan aja apa yang aku rasain saat ini.”
Dira mengerjapkan matanya sekali. “Se-secepat ini?” Josaphat mengangguk mantap.
“Kamu nggak pernah dengar istilah love at the first sight?”
“Pernah sih tapi ... tapi aku belum pernah lihat bukti nyatanya.” Nadira menggigit bibir bawahnya. Polos, pikir Josaphat.
“Nah, mungkin aku bisa jadi contohnya.” Senyum Josaphat makin lebar.
“Jo, kamu serius?” tanya Nadira hati-hati.
“Aku nggak akan jawab pertanyaan kamu,” senyum Josaphat berubah miserius, “just wait and see.”
Entah mengapa pipi Nadira terasa panas. Keduanya saling tatap. Di depan mereka, mentari telah kembali bersembunyi. Deburan ombak yang menghantam kerasnya karang menjadi backsound senja pertama yang Nadira lewati bersama Josaphat.
***
Rheyner mondar-mandir di balkon kamarnya dengan gusar. Tangan kanannya menggenggam smartphone dan matanya sesekali melirik balkon di seberang rumahnya yang masih gelap. Sudah hampir satu setengah jam Rheyner di sana. Sepulangnya dari kafe tadi Rheyner langsung mandi dan terus berada di kamar. Setengah jam lalu sang mama memanggilnya untuk makan malam tetapi Rheyner tidak turun. Sudah makan alasannya. Padahal boro-boro makan, dia saja tadi sibuk memperhatikan si gitaris-penggombal-basi alias Josaphat dan Nadira.
Rheyner mengalihkan pandangannya ke dalam kamar begitu mendengar suara pintu dibuka. Bima melenggang masuk dengan DSLR menggantung di leher tatapan heran Rheyner mengiringinya. Bima hanya nyengir dan berdiri di samping Rheyner.
“Nungguin Mbak Dira, Mas?” tanya Bima.
“Kagak,” jawab Rheyner cuek.
“Oh kirain,” ucap Bima menggantung, “kata Mbak Dira tempo, hari Mas Rhey punya pacar. Benar ya Mas?”
Rheyner tidak langsung menjawab. Tangannya sibuk mengetik di ponsel pintarnya. “Ck, anak kecil tahu apa sih lo.”
“Aku udah SMP tingkat 2 kalo Mas Rhey lupa. Aku udah ngerti kali, nggak kayak Fian.” Bima agak jengkel pada kakak satu-satunya ini.
“Kalo gue punya pacar emang kenapa? Kayak baru pertama kali gue pacaran aja,” Rheyner sewot.
“Kok lo nyolot sih Mas ‘kan gue cuma nanya!”
“Heh, berani ngomong pakai ‘lo-gue’ lagi, bilangin Mama nih!”
Bima memutar bola matanya, nggak adil. “Yaudah maaf.”
Rheyner hanya menjawab dengan gumaman. Keduanya diam. Rheyner kembali memandang kamar di seberang yang masih gelap. Sementara Bima mulai sibuk dengan kameranya.
“Bagus nggak, Mas?” Bima menunjukkan hasil jepretannya pada Rheyner. Rheyner mengalihkan pandangan.
“Mayan.”
Bima mendelik ke arah Rheyner. “Udah, gitu doang? Kalo Mbak Dira pasti bilang ini bagus.”
“Dengar ya, gue itu jawabnya jujur. Kalo gue jawab bagus nanti teknik motret lo nggak berkembang cuma segini-gini aja.” Rheyner meletakkan tangan kirinya di puncak kepala Bima. “Coba sini gue lihat hasil foto yang lain.”
Bima menyerahkan kameranya ke tangan Rheyner. Rheyner mulai melihat foto-foto yang diambil oleh adik pertamanya. Rheyner akui, akhir-akhir ini dia memang jauh dari kedua adiknya. Rheyner dituntut lebih memprioritaskan kegiatan-kegiatannya di sekolah. Sebentar lagi ia akan mengikuti turnamen basket terakhirnya sebelum pensiun sebagai kapten. Maklum saja, Rheyner sudah kelas 12. Semester depan sudah akan lebih disibukkan dengan persiapan UN. Dan pergantian semester tidak lebih dari tiga bulan dari sekarang.
Bima menatap Rheyner was-was. Ia menunggu komentar yang akan kakaknya lontarkan. Air muka Rheyner yang tadi biasa saja menjadi tidak terbaca. Manik hitam kecokelatannya fokus pada gambar yang ditampilkan kamera digital itu. Lalu perlahan sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyum simpul.
“Ini keren, cetakin satu buat gue.” Rheyner mengembalikan kamera Bima.
Bima melihat foto mana yang Rheyner maksud. Senyum bahagia tergambar di wajah rupawan yang tak jauh beda dari Rheyner itu. Saat menoleh ke samping kanan ternyata Rheyner sudah tidak ada. Kakaknya sudah berbaring di kasur. Bima berdecak.
Saat Bima akan menyusul Rheyner terdengar suara mobil berhenti di depan rumahnya. Bukan di depan rumahnya persis sih, rumah Nadira lebih tepatnya. Bima melihat seorang pemuda keluar dari city car berwarna hitam itu diikuti Nadira. Bima memicingkan matanya demi melihat wajah pemuda itu lebih jelas.
“Mas, itu ya pacarnya Mbak Dira?” tanya Bima sedikit menolehkan kepalanya.
Rheyner yang semula terpejam langsung membuka mata dan beranjak dari kasur empuknya dengan cepat. Bergegas menghampiri Bima yang masih di balkon. Dilihatnya Nadira berdiri berhadapan dengan Josaphat di depan pintu gerbang rumah Nadira. Sepertinya kedua orang berlawanan jenis itu masih asyik ngobrol.
“Ck, nggak sadar jam apa gimana tuh cowok?” komentar Rheyner penuh ketidaksukaan.
“Baru jam delapan kali, Mas,” sahut Bima meski dalam hati ia juga setuju dengan komentar Rheyner.
“‘Baru’ lo bilang? itu Nadira aja masih pakai seragam sekolah, Bim. Kalo perginya sama gue nggak masalah, tapi ini perginya sama orang asing. Kok Ibu ngizinin sih,” Rheyner menggerutu kesal.
“Kok orang asing, katanya itu pacar Mbak Dira?” tanya Bima heran. Rheyner diam.
Mata Rheyner melotot begitu melihat adegan Josaphat yang menepuk puncak kepala Nadira, mungkin tujuannya untuk pamit karena Nadira melambaikan tangannya.
“Berani banget dia nyentuh Nadira,” geram Rheyner.
“Ck, nepuk kepala doang Mas. Masih mending daripada dia nyium Mbak Dira.”
Rheyner melirik adiknya kesal. City car Josaphat sudah berjalan menjauh. Nadira juga sudah masuk ke rumahnya.
“Lagian kenapa sih Mas kok kayaknya sewot gitu? Mas Rheyner nggak cemburu ‘kan Mbak Dira punya pacar?”
“Cemburu? Ya nggaklah. Ngapain gue cemburu kayak mereka udah benaran pacaran aja,” jawab Rheyner yang kembali masuk dan merebahkan dirinya di ranjang. Bima mengikuti masuk, ia duduk di kursi belajar Rheyner.
“Oh, mereka belum pacaran.” Bima mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba matanya membelalak seperti tersadar akan sesuatu. “Eh, berarti kalo mereka pacaran benaran Mas Rheyner cemburu dong.”
“Lo tuh hih....” desis Rheyner.
Bima terkekeh. “Hehe ... tapi nggak mungkin sih ya, ‘kan Mas Rheyner udah punya pacar. Lagian kakak mana yang cemburu kalo adiknya punya pacar. Ya ‘kan, Mas?”
“Hm.”
“Ya udah, aku mau nyetak foto yang Mas minta dulu. Besok pagi aku kasih ke Mas Rhey.” Bima berjalan ke pintu kamar Rheyner. Tangannya sudah memegang kenop pintu ketika mengucapkan tujuannya menemui Rheyner tadi. “Mas, jangan serius-serius ya pacarannya.”
Rheyner menolehkan kepalanya. “Kenapa emang?”
“Karena aku pengin Mbak Dira jadi kakak aku benaran,” jawab Bima cepat.
Blamm. Pintu tertutup bebarengan dengan pertanyaan menggantung Rheyner. “Apa sih maksud—”
“Dasar, nggak sopan. Mana ngomong nggak jelas.” Mood Rheyner seharian ini sudah buruk ditambah dengan sikap aneh Bima barusan membuat Rheyner jadi sakit kepala. Ia mengambil bantal untuk menutupi wajahnya dan meredam teriakannya “Arrrrrggh...!”
***
Pagi ini Rheyner sedang memanaskan motornya ketika ia melihat Nadira keluar dari rumah untuk membuang sampah lengkap dengan seragamnya, meski masih mengenakan sandal rumahan sebagai alas. Namun, tetap saja hal itu membuat Rheyner mengernyit heran.Melihat Nadira ia jadi teringat kejadian kemarin dan sepertinya sikapnya sedikit keterlaluan. Jadi ia memutuskan untuk meminta maaf. Belum sempat Rheyner menghampiri dan menyapa, tetapi Nadira sudah berbalik. Rheyner segera mengejar Nadira dan membiarkan mesin motornya tetap menyala.Begitu memasuki gerbang rumah Nadira, Rheyner bertemu dengan Rendra yang juga baru saja memanaskan mesin mobil.“Pagi, Yah. Wah, tumben nih jam segini udah siap ngantor,” sapa Rheyner.“Iya, Ayah ada pertemuan di luar kantor. Tempatnya agak jauh jadi harus berangkat pagi-pagi gini.”
Rheyner mengemudikan motor matic-nya dengan kecepatan penuh. Pasalnya ia sudah terlambat mengajar hampir satu jam. Iya, mengajar. Rheyner yang menyandang gelar karateka terbaik tingkat provinsi itu memiliki pekerjaan sambilan sebagai pelatih karate di dojo tempatnya dulu berlatih. Tidak setiap hari Rheyner mengajar, seminggu dua kali. Tadi setelah mengantar Sherin pulang Rheyner langsung melesat ke tempatnya mengajar. Jangan tanya mengapa Rheyner tidak mengantar Nadira pulang, karena; 1) Nadira dijemput oleh Josaphat 2) Pacar Rheyner itu Sherin bukan Nadira. Eh, apa urutan alasannya terbalik ya?Memarkirkan motornya secara asal, berganti pakaian pun grusa-grusu. Akhirnya kini Rheyner berd
Nadira membalurkan sunblock ke seluruh bagian tubuh yang dapat dijangkaunya sebelum menggunakan pakaian yang sudah disiapkan sejak semalam. Tidak, Nadira tidak naked. Ia menggunakan tanktop dan celana pendek yang biasa ia pakai sebagai rangkapan. Ini memang masih pagi buta, tetapi Nadira sudah bersiap sejak tadi. Hari ini rencananya ia akan menghabiskan waktu dengan Josaphat. Dari pagi sampai nanti malam. Ya, istilah nge-date mungkin cocok untuk digunakan. Selesai meratakan
Rheyner merebahkan dirinya pada sofa panjang ruang tamu rumahnya. Ia merasa lelah, baik fisik maupun pikiran. Tangan kirinya ia gunakan sebagai bantalan sementara tangan kanannya ia letakkan di dahi. Mata Rheyner memang terpejam, tetapi ia tidak tidur. Indra pendengarnya menangkap langkah kaki memasuki rumahnya. Langkah kaki itu tidak terdengar lagi. Rheyner tahu ada yang berdiri beberapa langkah dari sofa tempatnya berbaring. Ia juga tahu kalau itu bukan mamanya, karena jika itu mamanya tidak mungkin hanya diam saja. Rheyner pun masih diam, ia enggan membuka mata.“Ehm, Mas .…” Rheyner hafal di luar kepala suara ini. Suara milik orang yang sudah bersamanya selama sekitar 13 tahun. Rheyner tak langsung menjawab.Akhirnya Rheyner berdeham sebagai jawaban. Posisinya masih sama, tidak berubah sedikit pun meski ia dapat merasakan bahwa Nadira ten
“Nggak usah, Rheyn. Jo jemput aku, kok,” Nadira menolak tawaran Rheyner untuk mengajaknya berangkat bersama.Rheyner menarik kembali tangannya yang mengulurkan helm Nadira. “Oh, ya udah.”“Lagian punya pacar kok kerjaannya ngantarin cewek lain, sih.” Nadira terkekeh.“Lo ‘kan bukan cewek lain. Lo itu adik gue.” Rheyner menekankan kata adik.“Tapi ‘kan kita udah sama-sama punya pacar.” Nadira tersenyum manis.Pertama kalinya Rheyner tidak suka dengan senyuman Nadira. “Terus kenapa? Apa itu bisa dijadikan alasan untuk nggak saling peduli?”Nadira terperanjat. “Maksudku bukan gitu,
Sore ini Rheyner dan Panji masih harus latihan basket untuk persiapan turnamen yang sudah di depan mata. Rheyner dan Panji akan bermain untuk terakhir kalinya sebelum ‘pensiun’. Mereka berdua memang merupakan pemain andalan di tim basket SMA Bakti Bangsa. Setelah berlatih dan berdiskusi tentang strategi apa yang akan digunakan dalam turnamen, pelatih memberi waktu istirahat. Rheyner menenggak minuman isotonik pemberian pacarnya. Panji yang duduk di sebelahnya melakukan hal yang sama, bedanya minuman yang ia minum bukan dari pacarnya. Teman satu tim mereka sudah menyebar di pinggir lapangan yang teduh. Bahkan ada yang dengan santainya tidur telentang bertelanjang dada. Sekitar lapangan basket memang sepi karena memang area olahraga terpisah dengan gedung pembelajaran. Arfa dan Erga berjalan ke arah Rheyner dan Panji. Rheyner menafsirkan mereka dari kanti
Rheyner menenggak kaleng coke-nya hingga tandas. Hal itu langsung mendapat decakan dari si Kembar, Damar dan Rama. Malam ini mereka sedang berkumpul di rumah—kamar—Rheyner, rutinitas setiap malam minggu. Akhir-akhir ini Rheyner terlihat lebih srampangan. Pintu balkon sudah dibuka sedari tadi. Pandangan Rheyner kerap kali mengarah keluar, ke seberang kamarnya. Hal tersebut tidak luput dari pengamatan si Kembar. Padahal pintu dan jendela balkon di seberang tertutup rapat. “Bro, lo ngapa, dah?” tanya Rama tidak tahan. “Gue?” Rheyner pura-pura tidak mengerti.
Hari ini adalah hari pertandingan terakhir Rheyner sebelum ‘pensiun’ dari jabatannya sebagai kapten tim basket SMA Bakti Bangsa. Rheyner keluar dari kamar dengan seragam basket kebanggan sekolahnya. Ketika akan menuruni tangga, mata hitamnya bertemu dengan sepasang mata bersorot lembut. Nadira Almira. Kedua sudut Rheyner terangkat. Ia mempercepat langkahnya menghampiri Nadira. “Vitamin kamu habis, ‘kan?” Nadira menyodorkan satu botol kaca berisi pil suplemen makanan. “Makasih.” Rheyner menerima dan mengacak rambut halus Nadira. “Harus menang, ya,” kata Nadira sembari menuruni tangga di rumah Rheyner. “Lo dateng, dong, biar gue semangat menangin pertandingan.” “Iya, ntar aku sama—”