Rheyner menunggu Nadira di depan gerbang rumah gadis itu. Tadi pagi-pagi sekali Sherin mengiriminya pesan yang isinya menyuruh Rheyner berangkat dengan Nadira. Sementara Sherin akan berangkat sendiri seperti sebelum berpacaran dengan Rheyner. Entah mengapa Sherin benar-benar khawatir pada Nadira.
Nadira keluar rumah dengan ceria. Ia bahkan bersenandung.
“Lho, kirain Kak Panji. Kok kamu nggak jemput Kak Sherin sih, Rheyn?” tanya Nadira heran.
“Bawel deh. Buruan naik.”
Nadira naik ke boncengan Rheyner tanpa disuruh dua kali. Akan tetapi, Rheyner tak kunjung menyalakan mesin motornya.
“Kok nggak jalan?” Nadira menyuarakan pertanyaan di benaknya.
“Helm lo mana?” Rheyner mempertanyakan helm yang sengaja ia belikan untuk Nadira.
“Biasanya sama Kak Panji nggak pakai helm nggak papa kok asal lewat jalan pintas yang bebas polisi.”
“Jadi kalo bareng Panji lo nggak pake helm?” Rheyner menolehkan kepalanya spontan. Nadira menggeleng. “Nad, pake helm itu bukan sekedar buat terhindar dari tilang, tapi buat terhindar dari bahaya. Jangan ketularan begonya Panji dong.”
“Bahaya mah nggak ngaruh sama hel—”
“Lo tahu maksud gue,” potong Rheyner sengit. Nadira berdecak. Ia turun dari motor Rheyner dan segera berlari masuk ke rumah mengambil helm. Kalau tidak begitu Rheyner akan berubah jadi cowok paling cerewet sedunia.
Sembari menunggu Nadira mengambil helm, Rheyner memainkan telepon pintarnya. Ia membalas chat Sherin yang menanyakan apakah Rheyner dan Nadira sudah berangkat atau belum. Tak lama Nadira kembali dan sudah memakai helm yang dibelikan Rheyner. Rheyner memasukkan kembali ponselnya dan menyalakan mesin motor. Senyum puas terhias di bibir Rheyner.
“Awas, kalo pergi naik motor nggak pakai helm lagi!” kegalakan Rheyner teredam helm full face yang ia kenakan.
“Emang Kak Sherin kamu paksa begini juga?” cibir Nadira.
“Beh ... ya kagaklah, orang gue nggak beliin dia helm.” Rheyner tertawa.
Nadira menabok punggung lebar Rheyner.
“Pegangan.” Rheyner memacu motornya agar melesat meninggalkan perumahan mereka.
***
Sepulang sekolah Nadira semangat sekali mengajak Rheyner, Sherin, dan Panji serta Putri ke kafe milik ibunya. Nadira menolak memberi alasan pasti mengapa ia mengajak mereka ke sana. Oh, iya, sebenarnya Nadira juga memiliki alasan selain alasan pribadinya, mencomblangkan Panji dan Putri. Akhir-akhir ini Panji sering menanyakan tentang Putri pada Nadira. Nadira yang kelewat peka jelas dapat melihat bahwa Panji tertarik pada Putri. Jadi begitulah, Nadira yang harus berperan menjodohkan mereka.
Nadira langsung mendudukkan diri di dekat panggung kecil kafe itu. Hanya Rheyner yang menyadari perubaan sikap Nadira. Dan mungkin hanya dia juga yang dapat menebak alasan Nadira duduk tepat di depan panggung.
Semua sudah duduk di tempat yang sama dengan Nadira. Akan tetapi, Nadira justru terlihat asik dengan ponselnya hingga lampu kafe mendadak meredup. Nadira meletakkan ponselnya dan melihat ke arah panggung yang sudah ada beberapa orang lengkap dengan alat musik. Lalu terdengarlah lantunan lagu milik band asal Jepang, One Ok Rock, yang berjudul Notes n Words. Itu lagu favorit Nadira dan Rheyner.
Nadira menyaksikan penampilan band itu dengan seksama. Ia hayati setiap lirik lagunya. Di sana, di atas panggung, seseorang juga tengah memperhatikan Nadira tanpa mengurangi konsentrasi pada permainan gitarnya.
Sepasang manik mata Nadira seperti terserap dalam pusaran ombak yang menenggelamkan kala bertemu dengan manik mata seseorang yang masih memainkan gitar dengan apik.
Another song for you about your love
’cause you love the me that’s full of faultsI wish you could see it from this view’cause everything around you is a little bit brighter from your loveLagu selesai. Semua bertepuk tangan kecuali Rheyner. Sejak band itu mulai bernyanyi pun Rheyner sudah memandangnya tidak suka. Rheyner sendiri tidak tahu alasan pastinya. Namun, yang jelas ia benar-benar tidak suka dengan band itu meski lagu yang baru saja dimainkan merupakan lagu favoritnya.
Nadira yang paling antusias bertepuk tangan. Bibir Nadira melengkung sempurna kala personil band yang sedari tadi menatapnya menyunggingkan senyum tipis padanya. Pemuda yang masih memegang gitar itu maju selangkah dan terlihat membisikkan sesuatu ke telinga si vokalis. Vokalis itu mengangguk mengerti.
“Oke, lagu selanjutnya adalah lagu milik kami sendiri yang diciptakan oleh Josaphat, gitaris. Lagu ini kami persembahkan untuk Nadira teman baru kami sekaligus ehm ... teman special-nya Jo.” Sang vokalis menunjuk Nadira sembari mengedipkan sebelah matanya. “Enjoy it.”
Josaphat masih menatap Nadira. Kali ini dengan tatapan yang tak terbaca membuat Nadira tersipu.
Di meja Nadira semua sudah ramai menggodanya kecuali satu orang. Siapa lagi kalau bukan Rheyner. Punggung Rheyner bersandar di kursi, kedua tangannya bersidekap dan tatapannya tajam mengarah ke panggung atau lebih tepatnya seseorang yang berada di panggung.
“Gombalan basi!” desis Rheyner.
Rheyner tidak tahu bahwa ada satu orang di meja itu yang mendengar desisan tersebut. Dan satu orang lagi yang sadar dengan perubahan sikap Rheyner.
***
“Nadira, pulang!” kata Rheyner tegas.
Nadira menatap Rheyner dengan tatapan memohon. “Sebentar aja kok, Mas.”
“Nggak!” tolak Rheyner. “Lo itu berangkat bareng gue jadi pulang juga harus sama gue. Mau bilang apa gue nanti sama Ibu?”
“Aku udah pamit sama Ibu kok.” Tatapan Nadira semakin memelas.
Rheyner terdiam. Sherin menghampiri dan memeluk lengan kekar Rheyner. “Udahlah, Rhey, izinin aja Dira pergi. Lo nggak kasihan sama Dira?” bujuk Sherin.
“Iya, nggak usah lebay gini deh, Rhey. Jo keliatannya orang yang baik kok.” Panji menimpali. “Udah, Dira, sana pergi nggak papa.”
Rheynera langsung memandang Panji sengit. Rahang kokohnya semakin mengeras.
“Benaran?” tanya Nadira yang justru seperti ditujukan pada Rheyner.
“Iya, Dira.” Panji yang menjawab.
“Mas Rheyn...” panggil Nadira.
“Ya udahlah terserah lo!” Rheyner menarik tangan Sherin dan berjalan cepat ke motornya. Nadira memandang nanar. Rheyner marah.
Panji menyentuh pundak Nadira. “Udah sana, Mas Rheyner biar Kakak yang urus. Tuh, Jo udah nungguin dari tadi.” Panji menunjuk Josaphat yang berada di mobilnya, tidak terlalu jauh dari mereka berdiri, dengan dagu.
“Makasih ya, Kak.” Nadira memberikan senyumnya untuk Panji, seseorang yang ia anggap sebagai kakak.
“Sama-sama, Adikku Sayang.” Panji mengelus kepala Nadira.
“Ehm, Putri masih di kamar mandi ya?”
“Iya. Kamu jangan khawatirin dia, biar Kakak yang antar.” Nadira mengangguk. Tidak lama setelah itu Nadira berjalan ke mobil Josaphat dan segera masuk. Josaphat menyambutnya dengan senyum merekah.
***
“Lho, Mbak Dira mana, Mas?” tanya Bima saat melihat sang kakak pulang seorang diri. Rheyner hanya diam. Ia melangkahkan kakinya masuk ke rumah dan langsung menuju ke dapur. Mengambil air mineral dari kulkas dan menenggaknya langsung. Setengah botol masuk ke perut Rheyner. “Ih, Mas Rhey minumnya kok nggak pake gelas sih? Fian bilangin Mama nih.” Adik bungsu Rheyner mendadak muncul. Rheyner menatapnya sekilas dan malas. “Mbak Dira mana Mas? Orang ditanya juga,” tanya Bima lagi. Ia mulai jengkel. “Lo berdua berisik banget, sih! Nadira pergi sama cowoknya!” jawab Rheyner galak. Setelah mengucapkan itu ia segera berjalan menuju tangga untuk masuk ke kamarnya. “Mas Rheyner kenapa sih, Mas Bim?” tanya Fian.
Pagi ini Rheyner sedang memanaskan motornya ketika ia melihat Nadira keluar dari rumah untuk membuang sampah lengkap dengan seragamnya, meski masih mengenakan sandal rumahan sebagai alas. Namun, tetap saja hal itu membuat Rheyner mengernyit heran.Melihat Nadira ia jadi teringat kejadian kemarin dan sepertinya sikapnya sedikit keterlaluan. Jadi ia memutuskan untuk meminta maaf. Belum sempat Rheyner menghampiri dan menyapa, tetapi Nadira sudah berbalik. Rheyner segera mengejar Nadira dan membiarkan mesin motornya tetap menyala.Begitu memasuki gerbang rumah Nadira, Rheyner bertemu dengan Rendra yang juga baru saja memanaskan mesin mobil.“Pagi, Yah. Wah, tumben nih jam segini udah siap ngantor,” sapa Rheyner.“Iya, Ayah ada pertemuan di luar kantor. Tempatnya agak jauh jadi harus berangkat pagi-pagi gini.”
Rheyner mengemudikan motor matic-nya dengan kecepatan penuh. Pasalnya ia sudah terlambat mengajar hampir satu jam. Iya, mengajar. Rheyner yang menyandang gelar karateka terbaik tingkat provinsi itu memiliki pekerjaan sambilan sebagai pelatih karate di dojo tempatnya dulu berlatih. Tidak setiap hari Rheyner mengajar, seminggu dua kali. Tadi setelah mengantar Sherin pulang Rheyner langsung melesat ke tempatnya mengajar. Jangan tanya mengapa Rheyner tidak mengantar Nadira pulang, karena; 1) Nadira dijemput oleh Josaphat 2) Pacar Rheyner itu Sherin bukan Nadira. Eh, apa urutan alasannya terbalik ya?Memarkirkan motornya secara asal, berganti pakaian pun grusa-grusu. Akhirnya kini Rheyner berd
Nadira membalurkan sunblock ke seluruh bagian tubuh yang dapat dijangkaunya sebelum menggunakan pakaian yang sudah disiapkan sejak semalam. Tidak, Nadira tidak naked. Ia menggunakan tanktop dan celana pendek yang biasa ia pakai sebagai rangkapan. Ini memang masih pagi buta, tetapi Nadira sudah bersiap sejak tadi. Hari ini rencananya ia akan menghabiskan waktu dengan Josaphat. Dari pagi sampai nanti malam. Ya, istilah nge-date mungkin cocok untuk digunakan. Selesai meratakan
Rheyner merebahkan dirinya pada sofa panjang ruang tamu rumahnya. Ia merasa lelah, baik fisik maupun pikiran. Tangan kirinya ia gunakan sebagai bantalan sementara tangan kanannya ia letakkan di dahi. Mata Rheyner memang terpejam, tetapi ia tidak tidur. Indra pendengarnya menangkap langkah kaki memasuki rumahnya. Langkah kaki itu tidak terdengar lagi. Rheyner tahu ada yang berdiri beberapa langkah dari sofa tempatnya berbaring. Ia juga tahu kalau itu bukan mamanya, karena jika itu mamanya tidak mungkin hanya diam saja. Rheyner pun masih diam, ia enggan membuka mata.“Ehm, Mas .…” Rheyner hafal di luar kepala suara ini. Suara milik orang yang sudah bersamanya selama sekitar 13 tahun. Rheyner tak langsung menjawab.Akhirnya Rheyner berdeham sebagai jawaban. Posisinya masih sama, tidak berubah sedikit pun meski ia dapat merasakan bahwa Nadira ten
“Nggak usah, Rheyn. Jo jemput aku, kok,” Nadira menolak tawaran Rheyner untuk mengajaknya berangkat bersama.Rheyner menarik kembali tangannya yang mengulurkan helm Nadira. “Oh, ya udah.”“Lagian punya pacar kok kerjaannya ngantarin cewek lain, sih.” Nadira terkekeh.“Lo ‘kan bukan cewek lain. Lo itu adik gue.” Rheyner menekankan kata adik.“Tapi ‘kan kita udah sama-sama punya pacar.” Nadira tersenyum manis.Pertama kalinya Rheyner tidak suka dengan senyuman Nadira. “Terus kenapa? Apa itu bisa dijadikan alasan untuk nggak saling peduli?”Nadira terperanjat. “Maksudku bukan gitu,
Sore ini Rheyner dan Panji masih harus latihan basket untuk persiapan turnamen yang sudah di depan mata. Rheyner dan Panji akan bermain untuk terakhir kalinya sebelum ‘pensiun’. Mereka berdua memang merupakan pemain andalan di tim basket SMA Bakti Bangsa. Setelah berlatih dan berdiskusi tentang strategi apa yang akan digunakan dalam turnamen, pelatih memberi waktu istirahat. Rheyner menenggak minuman isotonik pemberian pacarnya. Panji yang duduk di sebelahnya melakukan hal yang sama, bedanya minuman yang ia minum bukan dari pacarnya. Teman satu tim mereka sudah menyebar di pinggir lapangan yang teduh. Bahkan ada yang dengan santainya tidur telentang bertelanjang dada. Sekitar lapangan basket memang sepi karena memang area olahraga terpisah dengan gedung pembelajaran. Arfa dan Erga berjalan ke arah Rheyner dan Panji. Rheyner menafsirkan mereka dari kanti
Rheyner menenggak kaleng coke-nya hingga tandas. Hal itu langsung mendapat decakan dari si Kembar, Damar dan Rama. Malam ini mereka sedang berkumpul di rumah—kamar—Rheyner, rutinitas setiap malam minggu. Akhir-akhir ini Rheyner terlihat lebih srampangan. Pintu balkon sudah dibuka sedari tadi. Pandangan Rheyner kerap kali mengarah keluar, ke seberang kamarnya. Hal tersebut tidak luput dari pengamatan si Kembar. Padahal pintu dan jendela balkon di seberang tertutup rapat. “Bro, lo ngapa, dah?” tanya Rama tidak tahan. “Gue?” Rheyner pura-pura tidak mengerti.