Setelah berjalan sekitar setengah kilometer di hutan itu, Allen tiba di gudang senjatanya yang dijaga ketat oleh puluhan orangnya. Memasuki gudang itu, ada kontainer-kontainer berjejer di sana. Namun, apa yang ada di kontainer-kontainer itu adalah senjata yang dimiliki Allen secara legal. Hanya yang ada di dalam kontainer itu saja, tidak termasuk yang ada di bawahnya. Allen mendekat ke salah satu kontainer yang dijaga empat orang. Bukan pengawalan ketat. Hanya ada dua tempat yang bisa menjadi lokasi yang menimbulkan situasi berbahaya. Di luar gudang, dan di bawah tanah. Terutama yang ada di bawah tanah. Jika ada orang luar yang masuk ke sana, tidak ada yang bisa keluar dalam keadaan hidup. Begitulah aturannya. Ah, orang luar itu termasuk para pengkhianat. Seperti yang akan ditemui Allen sekarang. Allen masuk ke kontainer itu dan salah satu orangnya membukakan pintu menuju basemen bawah tanah. Allen menuruni tangga yang ujungnya hanya menunjukkan kegelapan itu. Melewati kegelapan
Freesia berhenti membacakan buku dongeng di tangannya untuk mengecek jika Lily sudah tidur di sebelahnya. Freesia mengembuskan napas pelan, lega, karena gadis kecil itu akhirnya tidur juga. Freesia menarik selimut untuk menutupi tubuh Lily. Lalu, dia juga membenahi posisi berbaringnya yang tengkuknya bersandar bantal tinggi, hendak tidur juga.Namun, pintu kamar itu tiba-tiba terbuka, tanpa ketukan. Allen yang merupakan pelakunya menatap Freesia selama dua detik, sebelum mengalihkan tatap pada Lily. Jadi, dia sadar jika masuk ke kamar tidur seorang perempuan tanpa mengetuk itu adalah tindakan tidak sopan.Meski begitu, ketika pria itu berdiri di samping tempat tidur, Freesia langsung menyinggung,“Tidakkah kau merasa malu masuk ke kamar seorang gadis seenaknya, tanpa seizinnya?”Allen menghela napas. “Tentu saja kau tidak akan melewatkan hal seperti itu untuk menyerangku,” balas Allen.“Karena itukah kau memerlukan orang lain untuk mengajarkan manner pada putrimu?” Freesia melanjutkan
“Kau masih belum membunuhnya juga?” Pertanyaan itu menyambut Allen ketika ia keluar dari kamar Freesia. Hanya ada tiga orang di sana, selain Allen dan Sean, ada Val. Orang yang barusan melemparkan pertanyaan itu pada Allen. “Atau, kau benar-benar berencana membuat gadis itu menjadi ibu tiri Lily?” Val tidak berhenti. Allen menatap Val tajam. “Kau hanya punya dua pilihan itu, Allen. Dan lebih baik kau segera memutuskan,” lanjut Val. “Dan kenapa aku harus mendengarkan kata-katamu?” sinis Allen. “Karena kau mulai melanggar aturanmu sendiri karena gadis itu,” sebut Val. Allen mendengus kasar. “Dan apa yang kau pikirkan? Kau pikir, aku melakukan itu untuknya? Karena aku merasa simpati padanya?” “Lalu, kau melakukan itu untuk siapa?” tantang Val. “Kau tidak akan berkata seperti itu jika tahu apa yang dikatakan gadis itu di sana tadi,” tandas Allen. Val mengerutkan kening. “Dia bilang, dia tidak akan percaya pada siapa pun selain aku di rumah ini,” ucap Allen. “Dan kau percaya pa
Freesia tak perlu membuka mata untuk tahu siapa yang menciumi wajahnya tanpa henti ini. Ia berusaha menahan senyum ketika mendengar suara Lily kemudian, “Dia tidak bangun juga meski sudah kucium.” Omong-omong, sepertinya Lily bicara dengan seseorang. Siapa …? “Allen, coba kau yang menciumnya. Dia pasti akan langsung bangun jika dicium pangelan,” ucap Lily kemudian. Hell, no! Freesia seketika membuka mata lebar dan menatap Allen yang berdiri di samping tempat tidur itu dengan horor. “Wah, dia sudah bangun!” seru Lily senang. “Yeah, aku sudah bangun. Dan aku bisa bangun tanpa ciuman pangeran,” Freesia memberitahu Lily. “Aku alergi ciuman pangeran.” “Benalkah?” kaget Lily. “Ya,” tandas Freesia. Allen mendengus pelan, meledek. “Tapi, ketika kau tenggelam di kolam lenang, kau bangun kalena dicium Allen,” beber Lily. Freesia mengerjap kaget. “Apa?” Ia seketika beranjak duduk. “Ayolah, itu bahkan tidak bisa disebut ciuman, mengingat bagaimana ciuman pertama kita,” celetuk Allen.
“Fleesia, kau sudah mau jadi ibu tiliku?” tanya Lily di tengah sarapan mereka. Freesia sampai tersedak potongan sosis yang dimakannya. Bukan apa-apa, itu adalah pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya sejak mereka bertemu setelah mandi tadi. Pertama, ketika Lily menjemput Freesia ke kamarnya untuk sarapan. Kedua, ketika mereka baru saja duduk di ruang makan, dan gadis itu duduk sendiri di antara Freesia dan Allen. Dan yang ketiga, yang baru saja terjadi. “Apa kau telsedak kalena kau ingin bulu-bulu menjawab mau?” tanya Lily penuh semangat. Oh, betapa positifnya pikiran gadis kecil ini. Sangat jauh berbeda dengan ayahnya. “Lily, hentikan,” tegur Allen sembari mendekatkan gelas berisi air minum ke arah Freesia. “Jika dia mati karena tersedak, dia tidak akan menjadi ibu tirimu.” Lihat cara pria itu bicara. Seenaknya saja dia menyumpahi Freesia mati tersedak. “Fleesia, jangan mati,” Lily merengek. “Aku tidak akan mengajakmu bicala sampai kau selesai makan.” Freesia segera menegu
Freesia berusaha untuk tidak gugup ketika mereka bertiga ada di ruang keluarga, duduk berhadapan membentuk pola segitiga di karpet ruangan itu. Tentu saja Freesia harus berterima kasih pada dirinya sendiri untuk situasi ini. Karena dia sendirilah yang membawanya pada situasi ini. Memang, Freesia ingin tahu lebih banyak tentang Allen dan Lily, tapi bukan berarti dia ingin tahu karena dia ingin menikah dengan Allen dan menjadi ibu tiri Lily. Ketika Freesia memberikan alasan itu untuk menolak Lily tadi, ia hanya menyebutkan apa yang ada di kepalanya, tanpa memikirkan resikonya. Tentu saja ia tak memikirkan resiko bahwa Allen akan setuju dengan itu. Dan begitulah, mereka bertiga akhirnya berada di ruang keluarga untuk melakukan sesi wawancara untuk satu sama lain dalam proses untuk mengenal lebih banyak tentang satu sama lain. “Aku akan mulai lebih dulu,” cetus Lily dengan riang. “Namaku Lily Woodz. Aku belumul tiga tahun dan sebental lagi, aku akan naik umul.” “Naik umur?” tanya Free
Apa kata Allen barusan? Izin membunuh? “Ti-tidak. Maksudku bukan pekerjaan seperti itu,” jelas Freesia buru-buru. Allen mendengus pelan. “Lalu, izin seperti apa?” Astaga, apa yang Freesia pikirkan? Apa dia barusan menawarkan kerjasama dengan mafia? Neneknya pasti akan membunuhnya. “Ma-maksudku, izin seperti … menjual obat terlarang,” sebut Freesia. “Kau tahu, meski di negara ini dilarang, tapi ada negara-negara yang memperjual belikan beberapa obat terlarang itu dengan bebas. Perusahaanku punya banyak cabang di luar negeri, jadi perusahaanku pasti membantumu tentang itu.” Allen tampak berpikir. “Itu terdengar menarik.” Freesia diam-diam mengembuskan napas lega. “Lalu, penawaran apa lagi yang kau miliki?” tanya Allen. “Well, selain obat, ada juga senjata,” sebut Freesia. “Jika bisa bekerja sama dengan perusahaan keamanan atau pihak militer …” “Aku sudah punya izin untuk jual-beli senjata,” jawab Allen. “Oh …” “Lalu? Kau bisa mendapatkan izin untuk jual-beli anak?” tanya Alle
“Fleesia, apa kau beltengkal dengan Allen?” tanya Lily ketika mereka makan siang, siang menjelang sore itu. Karena tidur Lily tadi sangat lelap, Freesia tak ingin membangunkan Lily meski sudah tiba waktu makan siang. Allen sendiri sepertinya sedang sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, siang itu mereka makan siang terlambat. “Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanya Freesia dengan nada suara tenang. “Kalena Allen tidak ada ketika aku bangun dan dia tidak makan siang belsama kita,” jawab Lily. Freesia tersenyum kecil pada Lily. “Itu hanya perasaanmu saja. Allen sibuk dengan pekerjaannya. Ketika kita kemari tadi, kudengar dia ada di ruang kerjanya,” beber Freesia. Setidaknya, Freesia tidak berbohong tentang itu. “Oh …” Lily manggut-manggut. “Tapi, apa Allen sudah makan siang?” tanyanya. Freesia menggeleng. “Aku tidak tahu jika tentang itu,” jawabnya. Kali ini pun, Freesia tidak berbohong. Namun kemudian, menjawab pertanyaan Lily itu, sosok Allen muncul di ruang makan. “Allen!” seru Li