Ku ambil ganggang telepon lalu segera menekan nomor telepon kantor polisi. Biar Mas Alvan tahu rasa setelah main-main denganku. Biar kapok! Terdengar suara sambungan telepon tapi belum juga diangkat. Tak berselang lama terdengar suara pria. "Hallo Pak ...."Tuutt... Tuuutt... Tuuutt. Sambungan telepon diputus sepihak oleh suamiku. "Jangan telepon polisi Al!" Mas Alvan mengiba."Biar Pak Dahlan di penjara,Mas. Aku tak mau kamu difitnah. Biar semua orang tahu kebenarannya." Kutekan lagi nomor yang sama.Mas Alvan kembali menggagalkan panggilan teleponku."Kenapa sih, Mas? Aku ingin tahu kebenarannya.""Aku yang mengambil uang itu," ucapnya sambil menundukkan kepala. Akhirnya kamu mengaku juga, Mas. Gertakan sedikit saja sudah membuatmu ketakutan. Payah. "Untuk apa uang itu, Mas?"Mas Alvan diam, bahkan ia tak berani menatap mataku. "Untuk apa uang sebanyak itu, Mas?" tanyaku lagi dengan intonasi tinggi. Tak perduli masih ada Pak Dahlan di ruangan ini. Seenaknya dia mengmbil uang
"Are you okay?" tanyanya dengan wajah cemas. Kenapa dia selalu tahu jika aku tak baik-baik saja? Kenapa hanya dia yang selalu mengerti perasaanku. "Aku baik-baik saja. Apa kamu tidak bisa lihat aku tersenyum." Kuberi seulas senyum meski terasa begitu berat. Aku hanya tak ingin ia khawatir. "Bohong!"Ya Tuhan, ternyata susah berbohong darinya? Dia memang seseorang yang mampu mengerti perasaanku setelah mama. Ya,mereka berdua adalah keluaraga yang begitu berarti bagiku. Abang Rizal adalah kakak laki-lakiku. Dia adalah orang yang sangat tahu perasaanku. Dengan mudah ia bisa menebak apa yang tengah aku pikirkan. Kami berdua memiliki ikatan batin yang kuat. Dialah pelindungku selama ini. Bahkan melebihi Mas Alvan, suamiku. Meski kita sudah jarang bertemu. Namun dia selalu ada di saat aku butuhkan. Seperti saat ini. "Kamu ada masalah kan? Alvan ngapain kamu? Dia bentak kamu? Dia selingkuh?"Aku hanya diam, tak membantah atau mengiyakan. Ya, meski semua yang ia katakan benar. Namun ak
Kami mulai asyik bercerita sambil menikmati masakan khas Negeri Sakura. Mataku membulat sempurna saat melihat seseorang yang sangat ku kenal berjalan menuju kasir bersama seorang wanita yang tidak ku kenal. Tapi aku tak bisa melihat wajahnya. Tempat duduk yang terletak di pojok sangat menguntungkanku. Aku bebas melihat tanpa ada yang menyadari keberadaanku. Tubuh tegap Bang Rizal mampu menyembunyikan tubuhku yang sedikit gempal. Bukan sedikit, memang nyatanya gempal.Setelah kedatangan Sasya mulailah berdatangan orang hingga memenuhi meja di dalam restoran. Lagi-lagi keadaan ini sangat menguntungkan. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak padaku. Dua wanita itu tengah duduk di kursi tunggu tak jauh dari kasir. Sepertinya mereka sedang memesan makanan untuk di bawa pulang. Sasya sangat akrab dengan wanita itu. Siapa sebenarnya wanita itu? Apa jangan-jangan dialah istri kedua Mas Alvan. Aku harus mengikuti Sasya agar tahu dimana Mas Alvan menyembunyikan gundiknya itu. Dengan begitu
Mobil yang dikendarai Rizal telah berhenti di halaman rumah Rahmawati. Sambil bercanda kedua kakak beradik itu melangkah ke rumah masa kecil mereka. Senyum merekah nampak jelas di wajah keduanya. Alia memang sering berkunjung ke rumah ibunya. Namun tanpa kehadiran Rizal, rumah itu terasa sunyi. Dan sekarang ketika sang kakak berada di sana.Rumah megah itu terasa hidup kembali. Rizal adalah sosok periang dan penyayang saat bersama keluarganya. Itu yang membuat Alia selalu merindukan kehadiaran kakak lelakinya. Bagi kebanyakan wanita cinta pertama adalah sang ayah. Namun tidak bagi Alia. Justru cinta pertamanya adalah sang kakak lelaki. Untuk sesaat Alia melupakan masalah besar yang menerpa hidupnya. Kehadiran Rizal bagai pengobat lara. Luka yang masih mengangga mampu ditutup sementara karena kehadiaran lelaki penuh kharisma itu. "Masih ingat almari hias ini bang?" Alia menunjuk alamari hias yang terbuat dari kayu jati asli. Almari yang berada di ruang tamu. Rizal tersenyum meli
Pov AlvanAku berjalan sambil menahan emosi yang sudah di ubun-ubun. Sial*n kenapa seceroboh ini! Harusnya tak ku biarkan Alia masuk kantor sebelum laporan keuangan ku ubah. Kalau begini bisa mati aku! Kenapa juga aku tidur seperti orang mati, sampai aku tak mendengar alarm yang beryanyi nyaring. Sekarang aku sudah tak bisa menginjakkan kaki di kantor ini. Lalu bagaimana semua rencanaku? Hancur sudah! Aku acak rambut, frustasi. Pusing kepalaku memikirkan semua ini. "Pagi, Pak," sapa karyawan yang berjalan melewatiku. Aku tetap diam tak menjawab, kubiarkan saja mereka berlalu dengan pandangan penuh selidik ke arahku. "Penampilan Pak Alvan hancur banget ya?""Bu Alia ke kantor, apa ada masalah?""Pasti masalah besar. Tahu sendiri kan kelakuan suaminya bagaimana?""Mungkin sudah tahu kedoknya?"Terdengar cuitan para karyawati bagian marketing. Ku toleh tiga wanita bertubuh gempal itu. Seketika mulut mereka membisu. Nah kan baru sekali di lirik sudah mati kutu. Awas saja jika aku kemb
Pov Alvan"Sini, Mas!" Mega mendesak. Dan aku selalu tak berani menolak permintaannya. Mesti nantinya aku akan menderita. "Ada di saku belakang." Tangan Mega dengan gesit merogoh saku celanaku dan mengambil benda di dalamnya. Benar dugaanku. Tangan mulus Mega mengambil kartu debit dan kartu kredit yang ada di dalamnya. Setelah barang yang ia cari berpindah tangan. Dompet hitamku dimasukkan kembali ke dalam saku celana. "Ayo Sya!" Mega melambaikan tangan ke arah adikku yang duduk sambil memainkan ponselnya. Aduh, gawat! "Mau kemana sih yang?" "Mau shopping dong, Mas. Aku bisa stres di rumah terus dengan Aira. O, ya, kamu jagain Aira ya. Kalau ada apa-apa bisa panggil Mbak Ria di belakang."Ria adalah babysitter Aira. Mega mana mau mangasuh anak seorang diri. Menyusui anakku saja tidak. Katanya takut tubuhnya rusak. Entah kenapa pikirannya bisa seperti itu. "Ta-tapi ada masalah serius ini." "Nanti saja lah Mas, aku pusing di rumah terus."Mega dan Sasya segera berlalu dari hadap
Pov AlvanOweekk ... Oweekk .... Tangis Aira semakin kencang dan menjadi-jadi. Sudah satu jam menunggu kedatangan Mega tapi sampai sekarang belum nampak batang hidungnya. Memang keterlaluan dia, sudah tahu anak rewel tapi tak kunjung pulang. Oweek... Oweekk .... Aira masih menangis dalam gendonganku. Hanya saja suaranya mulai pelan. Dan akhirnya dia tertidur karena kelelahan manangis. Kasihan kamu, nak. Kuciumi pipinya perlahan. Aku duduk di sofa dengan bantal sebagai peyangga punggung. Aira masih terlelap dalam gendonganku. Takut jika ku letakkan di ranjang dia akan menangis lagi. Bisa repot nanti. "Istri kamu keterlaluan Van, anak nangis malah kelayapan tidak pulang!" omel ibu yang duduk tak jauh dariku. Kutempelkan jari telunjuk di bibir, memberi isyarat ibu agar mengecilkan suaranya. Bisa repot kalau Aira bangun lagi. Pusing! Pusing! "Iya, iya, habisnya ibu kesel dengan istri mudamu itu!" Omel ibu dengan nada suara yang sudah dikecilkan. Bapak sendiri sudah masuk kamar t
Pov Alvan"Kok jadi masam begitu, Mas?" Mega menatap wajahku penuh selidik. "Jangan bilang kamu lupa dengan janjimu!"Kan benar, dia memang selalu ingat apa yang aku janjikan terutama menyangkut uang dan liburan. Menghembus akan nafas kasar. Mega sudah duduk di sebelahku dengan tatapan penuh tanda tanya. "Janjinya nanti dulu, ya, sayang. Ada masalah besar.""Kamu itu suka bohong! Katanya mau mengajakku ke Jepang jika aku sudah memberimu anak. Sekarang giliran ku tagih kamu menghindar." "Bukan menghindar, hanya saja ...." Aku bingung harus bagaimana. "Hanya apa?" "Alia melarang Alvan masuk kantor karena dia sudah tahu suamimu korupsi," ucap Ibu. "Apa!" ucap Sasya dan Mega serempak. "Kamu tidak lagi bercanda kan, Mas?" Ku gelengkan kepalaku. Mana mungkin aku bercanda masalah seperti ini. "Aduh, bagaimana dong ini? Mikir dong Mas, jangan diam saja!" Aku diam sambil menyusun rencana agar bisa kembali ke kantor. Kalau aku tidak ke kantor, mana bisa aku memenuhi kebutuhan Mega yang